Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151708 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harris Hasan
Jakarta: Fakulitas Kedokteran Universitas Indonesia , 1998
T56458
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martinus R. Amir
"Tujuan penelitian ini adalah menilai makna klinis depresi segmen ST (DSST) di sandapan prekordial {V1^-Vq) pada penderita infark miokard akut inferior- (ItiAI) dan hubungannya dengan lesi di arteri koroner kiri cabang desendens anterior (LAD).
Penelitian bersifat prospektif dilakukan di Rwnah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta antara 1 Desember 19B6 sampai dengan 31 Agustus 1988. Tujuhhpuluh empat dari 1O4 penderita ItiftI dengan jarak waktu antara sakit dada sampai masuk rumah sakit < 12 jam, tanpa bukti infark miokard sebelwnnya dan tanpa terapi trombolitikf dimasukkan dalam penelitian, Penderita dibagi menjadi 4 kelompok yattni Kl. K2f K3 dan K4. Kl adalah penderita tanpa DSST (n=31, 42%), K2 dengan DSST yang menghilang <= 24. jam pertanta (n=2Of 27Z}f K3 dengan DSST yang menetap > 24 Jam tetapi menghiiang < 4B jam (n=lB? 24Z), dan K4 dengan DSST yang otenetap .>= 48 jam (n=5,7Z). t/mur, jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan bermakna di antara ke 4 kelompak. ftata-rata kadar punnak enzim kreatinin kinase (CK) dan dehidrogenase laktat (LDH) lebih tinggi pada K3r K4 dibanding KJL. K2. (1391.6 £ 4JfO,3 vs 690.2 ±_ 421fB U2/lf p
Terdapat perbedaan bermakna menngenai angka kekerapan blok AV antara KI, K2 dan K3f K4 (p
Rata-rata lama rawat Kl dan K2 lebih pendek dibanding dengan K3 dan K4 (11.5 i 3,8 vs 15,4 ± 8,9 hari p
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa DSST di prekordisl pada penderita IMA1 mempunyai indikator prognostik. Penderita dengan DSST yang menetap lebih dari 24 jam pertama ntempijinyai prognosis yang lebih buruk, oleh karena itu harus dilakukan pemantauan yang lebih ketat,untuk penatalaksanaan yang lebih agresif."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sujoko
"ABSTRAK
Penderita pasca IMA yang menunjukan elevasi segmen ST pada ULJB akan mendapat serangan koroner cukup besar berkisar 75% - 84% dan mempunyai gambaran klinik berupa infark anterior yang leas.
Insidensi untuk terjadi elevasi segmen ST pada ULJB bervariasi 2 - 3,5% ada pula yang mendapatkan 14 - 51% , sedangkan kematian tertinggi terjadi pada 6 bulan setelah IMA. Untuk menguji pernyataan tersebut dilakukan penelitian secara
retrospektip dan prosfektip pada penderita IMA yang masuk di R.S. Jantung Harapan Kita Jakarta dalam periode Nopember 1985 - Agustus 1988 dengan tujuan penelitian melihat serangan koroner berupa kematian, payah jantung,IMA dan angina berulang yang terjadi dalam periode tindak lanjut (" follow up ") 10 bulan.
Insidensi elevasi segmen ST pada ULJB pada penelitian ini didapat 14,81% dan didominasi 79,2% infarct anterior. Kelompok yang diteliti 19 penderita dengan hasil ULJB elevasi segmen ST , kelompok kontrol 12 penderita dengan hasil ULJB depresi segmen ST, kedua kelompok ini berlatar belakang infark anterior dan beralamat di Jakarta.
Variahel kedua kelompok ini jenis kelamin sama serta usia juga tidak berbeda bermakna kelompok yang diteliti berusia rata-rata 52,55 ± 6,58 tahun, sedang pada kelompok kontrol, berusia rata-rata 53,79 ± 8,05 tahun, faktor resiko juga tidak berbeda, lama ULJB yang dicapai juga tidak berbeda bermakna kelompok yang diteliti lama ULJB rata-rata 7,11 ± 2,98 menit sedang kelompok kontrol 7,83 ± 5,6 menit, denyut jantung yang dicapai juga tidak berbeda bermakna pada kelompok yang diteliti denyut jantung rata-rata 134,17 ± 13,47 / menit kelompok kontrol 123,17 ± 20,12 / menit.
Nilai ensim kreatinin kinase saat masuk rumah sakit pada kelompok yang diteliti adalah sangat tinggi dan berbeda bermakna dibanding kelompok kontrol yang menunjukan infark luas.
Pada tindak lanjut selama 10 bulan didapatkan serangan koroner hanya pada kelompok yang diteliti 31,5% dengan kematian pada 2 penderita .
Karena itu perlu dilakukan koroner angiografi pada penderita pasca IMA yang menghasilkan elevasi segmen ST pada ULJB guna pertimbangan Bedah pintas koroner atau medikamentosa.
"
1989
Tpdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leroy Leon Leopold Lasanudin
"Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kondisi ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan oksigen pada otot jantung yang disebabkan oleh obstruksi arteri koroner. Elevasi segmen-ST infark miokard (STEMI) akut terjadi ketika pasien dengan SKA mengalami oklusi total pada pembuluh arteri koroner. Penanganan utama untuk pasien dengan STEMI adalah terapi reperfusi menggunakan angioplasti primer. Thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) flow grade merupakan metode penilaian aliran darah, dimana TIMI 0 flow menandakan tidak adanya perfusi dan TIMI 3 flow menandakan perfusi lengkap. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan prediktor klinis pasien yang berhubungan dengan TIMI flow akhir 3. Penelitian ini merupakan studi cross-sectional analitik yang dilaksanakan melalui pengumpulan data karakteristik klinis pasien STEMI dan TIMI flow akhir dari Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) Registry. Sampel penelitian melibatkan 3706 pasien STEMI yang diobati dengan angioplasti primer antara Februari 1, 2011 dan Agustus 31, 2019. Data dianalisis menggunakan IBM SPSS versi 20. TIMI flow akhir 3 berhubungan dengan durasi antara gejala awal dan terapi reperfusi ≤6 jam (p<0.001) dan dislipidemia (p = 0.008). Sedangkan, TIMI flow akhir <3 berhubungan dengan infark miokard pada dinding anterior jantung (p = 0.03) dan kadar kreatinin dalam darah di atas 1.2 mg/dl (p = 0.03). Durasi antara gejala awal dan terapi reperfusi yang lebih dini (≤6 jam) merupakan prediktor klinis terkuat untuk TIMI flow akhir 3.

Acute coronary syndrome (ACS) is an imbalance between oxygen supply and demand of the heart muscle due to an obstruction in the coronary artery. Acute ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI) occurs when a patient with ACS has a complete coronary artery occlusion. The main treatment for patients with STEMI is reperfusion therapy using primary angioplasty. Thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) flow grade is a method of measuring blood flow, where TIMI 0 flow indicates no perfusion and TIMI 3 flow indicates complete perfusion. This study is aimed to determine which clinical predictors are associated with final TIMI 3 flow. This is an analytical, cross-sectional study which was conducted through data collection of STEMI patients’ clinical characteristics and final TIMI flow from the Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) Registry. The study samples include 3706 STEMI patients who were treated with primary angioplasty between February 1, 2011 and August 31, 2019. The data was analyzed using IBM SPSS version 20. Final TIMI 3 flow is associated with the duration between symptom onset and reperfusion therapy of ≤6 hours (p<0.001) and dyslipidemia (p = 0.008). Meanwhile, final TIMI <3 flow is associated with anterior wall myocardial infarction (p = 0.03) and creatinine level above 1.2 mg/dl (p = 0.03). An earlier duration between symptom onset and reperfusion therapy (≤6 hours) is the strongest clinical predictor of final TIMI 3 flow."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Andriyati
"

Latar belakang: Ruptur plak dan pembentukan trombus merupakan karakteristik plak pada infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST). Karakteristik plak tersebut rentan untuk terjadi trombosis kembali dan dapat memperlambat proses penyembuhan endotel pasca implantasi stent Durable Polymer Drug-Eluting Stents (DP-DES). Biodegradable Polymer Drug-Eluting Stents (BP-DES) memiliki biokompatibilitas yang lebih baik. Studi yang membandingkan luaran klinis kedua jenis stent tersebut pada pasien IMA-EST masih terbatas.

 

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan luaran klinis pasien IMA-EST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) menggunakan BP-DES dibandingkan dengan DP-DES generasi kedua dalam kurun waktu dua tahun.

 

Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Luaran klinis primer berupa major adverse cardiovascular events (MACE) yang terdiri dari kejadian infark miokard berulang, total repeat revascularization dan kematian kardiovaskular. Luaran klinis sekunder berupa trombosis stent baik definit, probable maupun possible.

 

Hasil: Total terdapat 400 pasien yang dianalisis (197 kelompok BP-DES dan 203 kelompok DP-DES). BP-DES berasosiasi dengan kejadian MACE (adjusted OR 0,67, 95% IK 0,21 – 0,91, p 0,005) dan trombosis stent yang lebih rendah (adjusted OR 0,62, 95% IK 0,19 – 0,73, p<0,016) dalam waktu dua tahun. Luaran klinis infark miokard berulang dan total repeat revascularization yang merupakan bagian dari luaran klinis komposit MACE, tidak didapatkan hubungan bermakna.

 

Kesimpulan: Terdapat perbedaan kejadian MACE dan trombosis stent antara kelompok BP-DES dengan DP-DES generasi kedua dalam kurun waktu dua tahun pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP, dimana BP-DES berasosiasi dengan luaran klinis yang lebih rendah.



Background: Plaque rupture and thrombus formation are characteristic of plaque in patients with ST segment elevation myocardial infarction (STEMI). Characteristics of these plaques are those that are prone to recurrence of thrombosis and may aggravate delayed endothelial healing after Durable Polymer Drug-Eluting Stents (DP-DES) implantation. Biodegradable Polymer Drug-Eluting Stents (BP-DES) had better biocompatibility. Studies comparing the clinical outcomes of the these type of stents in STEMI patients are still limited.

 

Objective: This study aims to determine the comparison of clinical outcomes of STEMI patients undergoing primary percutaneous coronary intervention (PPCI) using BP-DES compared to the second generation DP-DES within two years.

 

Methods: This study is a retrospective cohort study in STEMI patients undergoing P. Primary clinical outcome was major adverse cardiovascular events (MACE) defined as recurrent myocardial infarction, total repeat revascularization and cardiovascular death. Secondary clinical outcome was stent thrombosis defined as definite, probable or possible.

 

Results: A total of 400 patients were analyzed (197 BP-DES groups and 203 DP-DES groups). BP-DES was associated with lower incidence of MACE (adjusted OR 0.67, 95% CI 0.21 - 0.91, p 0.005) and stents thrombosis (adjusted OR 0.62, 95% CI 0.19 - 0.73, p <0.016) within two years. Recurrent myocardial infarction and total repeat revascularization which is part of the MACE composite outcome, there were no significant association.

 

Conclusion: There were differences in the occurence of MACE and stent thrombosis between the BP-DES group and the second generation DP-DES within a period of two years in STEMI patients undergoing PPCI, whereas BP-DES was associated with better clinical outcomes.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simarmata, Hendra
"ABSTRAK
Latar belakang: PCSK9 merupakan protein yang berperan dalam regulasi kadar kolesterol LDL darah. PCSK9 diketahui memiliki mekanisme kerja lain yang melibatkan proses inflamasi, peningkatan Lp(a), aktivasi jaras protrombotik dan platelet, metabolisme triglyceride-rich lipoprotein, serta modifikasi plak yang juga dapat berperan dalam patogenesis berbagai spektrum penyakit aterosklerotik, termasuk IMA-EST. Kemajuan dalam strategi penatalaksanaan IMA-EST telah berhasil meningkatkan kesintasan. Polimorfisme R46L gen PCSK9 diketahui memiliki efek proteksi terhadap risiko kardiovaskular. Pada pasien infark miokard, prevalensi pembawa karier mutan R46L sebesar 2,14%. Dalam observasi pasien infark miokard akut didapatkan proporsi pasien yang memiliki kesintasan yang panjang. Polimorfisme R46L gen PCSK9 dipikirkan dapat memiliki peranan dalam mempertahankan kesintasan pasien-pasien tersebut. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara polimorfisme R46L gen PCSK9 pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan luaran kardioserebrovaskular mayor. Metode: Sebanyak 601 pasien dengan IMA-EST yang menjalani IKPP diperiksakan polimorfisme R46L gen PCSK9 pada saat admisi. Data luaran kardioserebrovaskular mayor dan data penunjang lain didapatkan dari rekam medik dan follow-up melalui telepon. Hasil: Tidak ditemukan varian mutan (GT dan TT) polimorfisme R46L gen PCSK9 pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP sehingga analisa hubungan polimorfisme R46L gen PCSK9 terhadap luaran kardioserebrovaskular mayor tidak dapat dilakukan. Kesimpulan: Pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP di RS Jantung Harapan Kita, tidak ditemukan varian mutan R46L gen PCSK9. Analisa hubungan polimorfisme R46L gen PCSK9 terhadap luaran kardioserebrovaskular mayor tidak dapat dilakukan.

ABSTRACT
Background: PCSK9 is a protein molecule that regulates serum LDL cholesterol level. Recent data suggest that PCSK9 activity may also work through other mechanisms, such as inflammation, increased Lp(a), triglyceride-rich lipoprotein metabolism, activation of prothrombotic pathways and platelets, and modification of atherosclerotic plaque, which may contribute to the pathogenesis of atherosclerotic diseases, including STEMI. Advances in the management of STEMI have succeeded in increasing survival. Polymorphism R46L of PCSK9 gene has been known to have protective effect on cardiovascular risks. In patients with myocardial infarction, the prevalence of R46L mutation carriers was 2.14%. In the longterm observation of acute coronary syndrome patients, a proportion of patients experienced longer survival. Polymorphism R46L of PCSK9 gene may play a role in longterm survival. Objective: The aim of this study is to evaluate the association between plasma polymorphism R46L of PCSK9 gene with MACCE in STEMI patients who underwent primary PCI. Methods: In total, 601 patients with STEMI who were treated with primary PCI had their plasma sample drawn during admission and evaluated for polymorphism R46L of PCSK9 gene. MACCE and other supportive data were taken from the medical records and telephone follow-up. Results: In this study, no polymorphism R46L of PCSK9 gene was detected. Therefore, its association with MACCE could not be further analysed. Conclusion: There was no polymorphism R46L of PCSK9 gene detected in STEMI patients treated with primary PCI. The analysis of its association with MACCE could not be conducted."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhendiwijaya
"Perjalanan klinis IMA yang berupa kejadian kardiak seperti gagal jantung, angina paska infark, aritmi ventrikel dan kematian, dilaporkan cukup tinggi, termasuk yang dilaporkan di RSJHK. Banyak petanda-petanda laboratorium untuk mendeteksi dini terhadap komplikasi dari perjalanan klinis IMA diperiksa sebagai petanda prognostik. Kini ada beberapa peneliti menghubungkan petanda proses inflamasi sebagai nilai prognostik, karena mereka mempunyai pendapat bahwa patologi dari sindroma koroner akut termasuk infark miokard akut merupakan respons inflamasi dari suatu cidera sel. Akibat cidera sel ini tubuh memberikan respon sistemik dengan mengeluarkan protein-protein fase akut Dari protein-protein fase akut yang dikeluarkan tubuh yang paling terbanyak dan sensitif adalah CRP. Tujuan penelitian iní untuk mengetahui nilai CRP penderita IMA pada saat masuk di unit gawat darurat dan mengetahui hubungan peningkatan nilai CRP awal pada infark miokard akut terhadap perjalanan klinis selama perawatan rumahsakit, sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai faktor prognosis terhadap perjalanan klinis IMA. Penelitian ini dikerjakan di RSJHK secara studi cross sectional terhadap 31 penderita IMA yang masuk ke unit gawat darurat berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Pemeriksaan nilai CRP dengan menggunakan metode turbidimetri alat Hitachi/BM 911, dengan nilai normal CRP < 0,5 mg/dl (Standard Internasional). Hasil penelitian didapatkan umur rerata penderita 53,2 8,64 tahun, dengan kelompok kelamin laki-laki 27 orang (87,1 %) dan perempuan 4 orang (12,9 %) dengan onset sakit dada 4,2 ± 2,7 jam. Diagnosa infark anterior 22 orang (71 %) dan diagnosa infark inferior 9 orang (29 %). Didapatkan rerata nilai CRP awal 0,7 ±0,79 mg/dl, CRPjam ke 12 rerata 1,7 ±2, 15 mg/dl dan CRP jam ke 72 rerata 6,8 ± 5,65 mg/dl. Terdapat korelasi yang kuat antara peningkatan nilai CRP awal dengan komplikasi klinis IMA (r-0,6; p-0,0004). CRP jam ke 12 dan jam ke 72 mempunyai korelasi lemah (masing-masing r0,4;p-0,03 dan r0,4; p-0,006) terhadap komplikasi klinis. Peningkatan nilai CRP mempunyai korelasi linier positif terhadap nilai puncak enzim jantung. Peningkatan nilai CRP awal mempunyai hubungan bermakna dengan nilai CK/CKMB puncak (P<0,05) dan berkorelasi positif sedang (r-0,5) Demikian juga dengan nilai CRP ke 72 (CRP puncak) mempunyai hubungan linier positif dengan enzim CK puncak dan CKMB puncak. Komplikasi klinis IMA seperti gagal jantung mempunyai hubungan bermakna dengan nilai CRP awal yang meningkat (87,5% vs 12,5%; p-0,009) dibandingkan nilai CRP awal normal, demikian juga dengan angina paska IMA berbeda bermakna antara nilai CRP yang meningkat dengan nilai CRP normal (85,7% vs 14,3%; p-0,02). Nilai CRP awal yang meningkat mempunyai rasio odd 30,8 (IK 95%: 3,1-303,4) terhadap perjalanan klinis IMA selama perawatan rumahsakit. Kesimpulan: Peningkatan nilai CRP pada saat masuk rumahsakit mempunyai hubungan terhadap perjalanan klinis IMA selama perawatan rumahsakit dan nilai CRP mempunyai nilai prognostik."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57280
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwisetyo Gusti Arilaksono
"

Obesitas selama ini dikenal sebagai faktor risiko tradisional untuk penyakit kardiovaskular. Pada banyak studi tingginya indeks massa tubuh (IMT) justru memiliki efek protektif terhadap luaran klinis pasien dengan penyakit kardiovaskular, termasuk penyakit jantung koroner, khususnya infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) yang menjalani intervensi koroner perkutan (IKP). Namun, beberapa studi belum bisa membuktikan adanya fenomena obesitas paradoks ini pada semua populasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan indeks massa tubuh dengan luaran klinis jangka panjang pada pasien IMA-EST yang menjalani IKP. Studi observasional kohort retrospektif pada 400 pasien IMA-EST yang dilakukan intervensi koroner perkutan (IKP) yang diambil dari registri RSPJPDHK. Dilakukan pencatatan tinggi badan dan berat badan dari telaah rekam medis dan registri. Evaluasi luaran klinis setelah 2 tahun paska IKP dilakukan dengan menghubungi pasien dan keluarga serta penelusuran rekam medis. Analisa statistik dilakukan untuk membandingkan luaran klinis pada kelompok BB kurang-normal dengan BB lebih-obesitas. Dari 400 subyek penelitian, didapatkan jumlah laki-laki lebih banyak dari perempuan di kedua grup. Terdapat perbedaan bermakna rerata klirens kreatinin (65.99 vs 82.28; p <0.0001) dan fraksi ejeksi ventrikel kiri (43.82 vs 46.59; p 0.02) pada kelompok BB kurang-normal dan BB lebih-obesitas. Diameter stent dan usia pasien tidak ditemukan perbedaan bermakna di kedua kelompok. BB lebih-obesitas juga secara bermakna memiliki efek protektif pada MACE (OR 0.477 [95% IK 0.311-0.733]; p 0.001), kejadian infark berulang (OR 0.27 (0.142-0.516 [95% IK 0.142-0.516]; p <0.0001) serta kematian kardiovaskular (OR 0.549 [95% IK 0.3-1.003]; p 0.049). Analisis multivariat menunjukkan BB lebih-obesitas sebagai prediktor independen terhadap luaran klinis MACE dan kejadian infark berulang. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara IMT dengan luaran klinis jangka panjang pasien IMA-EST yang dilakukan IKPP. BB lebih-obesitas memiliki kecenderungan luaran klinis MACE dan kejadian infark berulang setelah 2 tahun yang lebih baik dibandingkan BB kurang-normal

 


Obesity has been known as a traditional risk factor for cardiovascular disease. In many studies the high body mass index (BMI) actually has a protective effect on the clinical outcomes of patients with cardiovascular disease, including coronary heart disease, especially acute myocardial infarction with ST segment elevation (STEMI) underwent percutaneous coronary intervention (PCI). However, several studies have not been able to prove the existence of this paradoxical obesity phenomenon in all populations. This study aims to determine the association between BMI and long-term clinical outcomes in STEMI patients underwent PCI. A retrospective cohort observational study of 400 STEMI patients undergoing percutaneous coronary intervention (PCI) was taken from the RSPJPDHK registry. Height and weight were recorded from a review of medical records and the registry. Evaluation of clinical outcomes 2 years after PCI is done by contacting patients and families and tracking medical records. Statistical analysis was performed to compare clinical outcomes in the underweight-normal group with the overweight-obese. In 400 research subjects, there were more men than women in both groups. There were significant differences in creatinine clearance (65.99 vs 82.28; p <0.0001) and left ventricular ejection fraction (43.82 vs 46.59; p 0.02) in the underweight-normal group with the overweight-obese. No significant differences was found in stent diameter and age of the patients between the two groups. Overweight and obesity also has a significant protective effect on MACE (OR 0.477 [95% CI 0.311-0.733]; p 0.001), recurrent infarction events (OR 0.27 (0.142-0.516 [95% IK 0.142-0.516]; p <0.0001 ) as well as cardiovascular death (OR 0.549 [95% IK 0.3-1.003]; p 0.049) Multivariate analysis shows overweight-obesity as an independent predictor of clinical outcome of MACE and the incidence of recurrent infarction. In conclusion, there is an association between BMI and long-term clinical outcomes of STEMI patients undergoing PPCI. Overweight and obese group showed better outcome in MACE and reinfarction within 2 years compared to Underweight-Normal group.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Birry Karim
"Latar belakang: Inflamasi memegang peranan penting dalam IMA-EST, terutama kejadia cedera reperfusi. Kolkisin merupakan sediaan obat anti inflamasi, yang dapat menekan inflamasi saat terjadi cedera reperfusi. Kami menilai keefektivan dari pemberian kolkisin pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dalam menekan cedera reperfusi.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis, tersamar ganda, dengan plasebo, yang dilakukan multisenter di dua rumah sakit di Jakarta dengan fasilitas IKPP dari Desember 2022 hingga April 2023. Pasien IMA-EST yan menjalani IKPP diberikan dosis muat kolkisin 2 mg, kemudian dosis pemeliharaan 2x0,5 mg selama 2 hari, dan amilum pada kelompok plasebo. Pasien diamati kejadian cedera reperfusi berupa TIMI flow, kejadian aritmai, syok dan aritmia akibat reperfusi.
Hasil: Sebanyak 77 subyek IMA-EST dengan rerata usia 55.2 ± 9.9 tahun menjalani IKPP. 37 subyek mendapat kolkisin, 40 subyek mendapat placebo. Kebanyakan subjek ialah laki-laki (77.5%), menderita 3 vessel disease (44,1%), oklusi di LAD ( 53,2%). Pemberian kolkisin tidak berhasil menurunkan kejadia cedera iskemia reperfusi (51.5% vs. 42.4%; p = 0.437). Analisi komorbiditas ( hipertensi, gagal ginjal, diabetes mellitus, dan obesitas) dan hasil angiografi ( jumlah pembuluh darah coroner yang sakit, diameter pembuluh darah, dan lokasi penyumbatan yang menyebabkan IMA-EST) tidak berhasil menunjukkan kemaknaan secara statistic. Kejadian efek samping sama pada kedua kelompok (21.6% vs. 15%).
Kesimpulan: Pemberian kolkisin pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP tidak berhasil menurunkan kejadian cedera reperfusi.

Background: Inflammation plays a role in ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI), especially in reperfusion injury (RI). Colchicine, an anti-inflammatory drug, can suppress inflammation during RI. We assessed the effectiveness of administering colchicine to STEMI patients undergoing primary percutaneous coronary intervention (PPCI) in suppressing RI events.
Methods: This study was a randomized, double-blind, placebo-controlled clinical trial conducted in a multicenter manner at two hospitals in Jakarta with IKPP facilities from December 2022 to April 2023. STEMI patients that underwent PPCI received 2 g of colchicine as a loading dose and a maintenance dose of 0.5 g every 12 hours for two days or amylum at a similar dose. Patients were observed for RI events (low-flow thrombolysis in myocardial infarction (0–2) during angiography procedure, reperfusion arrhythmia, cardiogenic shock, or persistent chest pain).
Results: Seventy-seven STEMI patients with a mean age of 55.2 ± 9.9 years underwent PPCI. Of these patients, 37 received colchicine, and 40 received a placebo. Most subjects were male (77.5%), suffered three-vessel disease (44.15%), and occlusion in left anterior descending coronary artery (53.24%). Colchicine was found to fail to reduce the incidence of ischemia-RI (51.5% vs. 42.4%; p = 0.437). Analysis of comorbidities (hypertension, chronic kidney disease, diabetes mellitus, and obesity) and angiography results (vessel disease, lesion diameter, and culprit artery) failed to demonstrate a statistical difference in RI. Side effects were similar in the colchicine and placebo groups (21.6% vs. 15%).
Conclusion: Colchicine administration in STEMI patients undergoing PPCI failed to reduce RI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jusup Endang
"ABSTRAK
Latar Belakang : Pada era sebelum tindakan reperfusi, kadar fibrinogen merupakan faktor
independen terhadap mortalitas pada pasien-pasien dengan infark miokard akut dengan elevasi
segmen-ST (IMA-EST) dibandingkan dengan kadar fibrinogen yang normal. Dan kemudian era
reperfusi dikatakan obstruksi mikrovaskular merupakan salah satu faktor menyebabkan kejadian
mayor kardiovaskular. Dengan kemajuan teknologi dibidang kardiologi kejadian dan besaran
MVO dapat di ketahui secara akurat dan pada fase akut. Dari studi terbaru dikatakan bahwa
indeks resistensi mikrovaskular memiliki hubungan positif terhadap MVO dibandingkan dengan
magnetic resonance imaging. Dan diduga faktor hemostasis terutama kadar fibrinogen diduga
memiliki peran yang penting terhadap kejadian obstruksi mikrovaskuler melalui mekanisme
hiperkoagulasi dan embolisasi distal.
Metode: Sebanyak 55 subjek IMA–EST yang menjalani IKPP dipilih secara konsekutif yang
memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sejak 15 Oktober 2013 – 31 Maret 2014. Fibrinogen
diambil saat masuk UGD, penilaian indeks resisten mikrosirkulasi (IMR) diambil segera pasca
IKPP. Perhitungan statistik menggunakan SPSS 17.
Hasil: Dari lima puluh lima pasien yang masuk dalam penelitian didapatkan proporsi laki-laki
87,3%, dengan rerata umur pasien adalah 53,1+8,9 tahun. Faktor risiko penyakit jantung koroner
yang paling besar adalah merokok yaitu 76,36. Semua pasien menjalani IKPP dengan waktu
perfusi 89.04+37.114 menit dan waktu Iskemia 458,69+170,709. Nilai rerata IMR 55,2 + 47,454
dengan nilai rerata fibrinogen 350,80+103,190. Melalui diagram scattered plot didapatkan kadar
fibrinogen memilliki kecenderungan yang terbalik terhadap IMR, dengan kekuatan hubungan
yang lemah dan secara statistik tidak bermakna. ( r = - 0,137 ; p = 0,319 ).
Kesimpulan: Kadar fibrinogen saat admisi tidak memiliki hubungan terhadap IMR pada pasien
pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.

ABSTRAK
Background: In no coronary reperfusion era, fibrinogen is known as an indepndent risk factor
for cardiac mortality in acute myocard infract patient. And in revascularization era,
microvascular obstruction (MVO) is associated with adverse ventricular remodelling and patient
prognosis. With the advanced technology in cardiology, MVO can be detected accurately in the
acute phase. In recent study index microcirculatory resistance (IMR) show a positive correlation
with magnetic resonance imaging while detecting and counting severity of MVO. It is suspected
that hemostatic factor mainly fibrinogen play an important role in MVO due to hypercoagulable
state and distal embolization.
Methode: 55 STEMI patients undergoing primary PCI were consecutively recruited from
October 15th, 2013 to march 31th, 2014. The fibrinogen was withdraw at admission. We evaluate
the IMR immediately after PCI done. Statistical analysis was done by SPSS 17.
Results: From fifty-five patients included in the study, there were 87,3% men, with mean age
53,1±8.9 years old, and smoker show the biggest proportion compare with risk factor for
coronary artery disease. All the patient undergo primary percutaneus coronary intervention with
mean door to ballon time 89.04+37.114 minute and ischemia time 458,69+170,709 minute.
Mean IMR was 55,2 + 47,454 and mean fibrinogen level was 350,8+103,19. From the scaterred
plot fibrinogen prone to had a weak negatif correlation with IMR and statistically non significant
(r = - 0,137 ; p = 0,319)
Conclusion: There is no correlation between fibrinogen level and IMR value in STEMI patients
that undergoing PPCI"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>