Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 146101 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rona Laras Narindra
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui viabilitas sel punca sum-sum tulang manusia setelah dipapar larutan ekstrak scaffold HA/alginat (30/70) atau scaffold HA/alginat/kitosan (30/50/20) selama 24, 48, atau 72 jam. Larutan ekstrak scaffold diuji dengan MTT. Hasil viabilitas sel pada pemaparan 24, 48, atau 72 jam scaffold HA/alginat secara berurutan 78,3±7,90%, 69,4±10,63%, 80,6±10,89%, sedangkan pada scaffold HA/alginat/kitosan secara berurutan 94,2±10,55%, 81,8±13,91%, 96,7±16,28%. Pada waktu pemaparan 24 jam, viabilitas sel antara scaffold HA/alginat dan scaffold HA/alginat/kitosan berbeda bermakna (p<0,05). Viabilitas sel scaffold HA/alginat/kitosan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan viabilitas sel scaffold HA/alginat pada waktu pemaparan 24 jam.

This study aims to determine the viability of human bone marrow stem cells after exposed to the extract solution of HA/alginate (30/70) or HA/alginate/chitosan (30/50/20) scaffolds. The cell viability was evaluated by MTT assay. The cell viability of HA/alginate scaffold on 24, 48, or 72 hour is 78.3±7.90%, 69.4±10.63%, and 80.6±10.89%, respectively, while the cell viability of HA/alginate/chitosan scaffold is 94.2±10.55%, 81.8±13.91%, and 96.7±16.28%, respectively. The cell viability obtained from the HA/alginate and HA/alginate/chitosan scaffold in 24 hour is significantly different (p<0.05). The cell viability of HA/alginate/chitosan scaffold is significantly higher than that of the HA/alginate scaffold in 24 hour."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunanda Maindra
"ABSTRACT
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama perendaman terhadap degradasi scaffold HA/alginat 30/70 dan scaffold HA/alginat/kitosan 30/50/20 . Degradasi ditentukan melalui selisih berat sebelum dan setelah perendaman selama 3, 6, 9, 12, atau 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa degradasi scaffold HA/alginat selama 3, 6, 9, 12, atau 24 jam secara berurutan 17,6 1,33; 21,3 0,66; 24,2 1,01; 26,2 1,19 atau 27,6 0,31 dan degradasi scaffold HA/alginat/kitosan dengan lama perendaman yang sama secara berurutan 30,2 0,81; 39,4 0,67; 43,7 0,66; 48,1 0,94; atau 51,5 0,39. Degradasi scaffold HA/alginat dan HA/alginat/kitosan berbeda bermakna.

ABSTRACT
The aim of this study was to determine the effect of immersion time on degradation of HA alginate 30 70 and HA alginate chitosan 30 50 20 scaffolds. Degradation of the scaffold is determined by the difference of weight before and after immersion for 3, 6, 9, 12, or 24 hours. The result showed that degradation of HA alginate scaffold with 3, 6, 9, 12 or 24 hours of immersion time were 17,6 1,33 21,3 0,66 24,2 1,01 26,2 1,19 or 27,6 0,31 and degradation of HA alginate chitosan scaffold with the same immersion time were 30,2 0,81 39,4 0,67 43,7 0,66 48,1 0,94 or 51,5 0,39. HA alginate and HA alginate chitosan scaffolds has significantly different."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Aprilya
"

Laminoplasti merupakan teknik dekompresi medulla spinalis dengan rekonstruksi lamina. Beberapa teknik telah diusulkan untuk mengisi defek lamina dengan menggunakan spacer. Perancah dirancang tiga dimensi sebagai pengisi celah/spacer untuk mengurangi potensi penolakan jaringan atau transmisi penyakit seperti pada penggunaan allograft serta mengurangi morbiditas yang ditimbulkan akibat pengambilan donor jaringan dari tempat lain di tubuh pasien (autograft). Penelitian pendahuluan telah dilakukan oleh peneliti dengan hasil perancah dari PLA terbukti biokompatibel secara invitro. Penelitian ini bertujuan untuk melanjutkan uji biokompatibilitas in vivo pada perancah PLA dan mengetahui pengaruh terhadap penambahan injeksi HA/Alginat serta seeding sel punca mesenkimal (SPM). Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan desain pre-test dan post-test control group untuk mengetahui efek aplikasi dari perancah menggunakan uji biokompatibilitas perancah in vivo pada hewan coba. Model laminoplasti dibuat pada 15 kelinci yang dibagi menjadi 5 kelompok berdasarkan jenis perancah yang dipakai untuk mengisi defek laminoplasti: Autograft, PLA, PLA+HA/alginat, PLA+ SPM, PLA+HA/Alginat+SPM. Secara umum tidak ditemui tanda inflamasi (derajat 1) pada sebagian besar sampel (47%) serta tidak ada sampel (0%) dengan area nekrosis (derajat 5). Penilaian mikroarsitektur perancah dengan Scanning Electrone Microscope menunjukkan integrasi jaringan yang baik ke dalam perancah. Tidak ada perbedaan bermakna pada hasil penilaian mikroskopis histopatologi dan mikrostruktur antara kelima kelompok. Hal ini menunjukan perancah sintetis sama baiknya dengan penggunaan autograft dan dapat direkomendasikan untuk penelitian translasional ke manusia agar seterusnya dapat diaplikasikan sebagai biomaterial yang biokompatibel untuk mengisi defek tulang.

 

Kata Kunci:  Perancah, PLA, Sel Punca Mesenkimal, Laminoplasti, Biokompatibilitas

 


Laminoplasty is a spinal decompression technique by lamina reconstruction. Several techniques have been proposed to fill the bone gap and maintaining widened canal by using spacers.  A 3-dimensional perancah is used as spacer to reduce the potential for tissue rejection or disease transmission as in the use of allograft and reduce the risk of donor site morbidity as seen in autograft. A preliminary study has been conducted by author to prove the PLA biocompatibility in vitro. This study aims to evaluate biocompatibility of PLA scaffold in vivo and see whether the addition of alginate / HA and mesenchymal stem cell (MSCs)injections can improve the biocompatibility and tissue-perancah integration in vivo. This study is an experimental study with a pre-test and post-test control group design. A total of 15 laminoplasty rabbit model were divided into 5 groups based on type of spacer used: Autograft, PLA, PLA+HA/alginate, PLA+ MSc, PLA+HA/Alginate+MSc. perancah. In general, there were no signs of inflammation (grade 1) in most samples (47%) and there were no samples (0%) with areas of necrosis (grade 5). From the microarchitectural study using Scanning Electrone Microscope (SEM) most sample shown a decrease in porosity which indicates a good tissue-perancah integration. There were no significant differences in the histopathological results and microstructural assessment between the five groups. This result showed that synthetic scaffold has similar tissue reaction and tissue integration profile as autograft. Thus, we can recommend for further translational study to human so that this biocompatible fabricated perancah can be used to fill bone defect. 

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"[Latar Belakang: Perawatan endodontik regeneratif merupakan perawatan yang bertujuan untuk mencapai kesembuhan biologis yaitu regenerasi jaringan pulpa. Aspek penting dari perawatan ini adalah disinfeksi dengan bahan irigasi dan obat saluran akar. Umumnya, obat saluran akar yang digunakan adalah triple antibiotic paste (TAP), kalsium hidroksida (Ca(OH)2), dan Ledermix®. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk dapat mengetahui efek TAP, Ca(OH)2, dan Ledermix® terhadap sel punca mesenkim pulpa (DPSC) Metode: DPSC dikultur dan sel yang positif terhadap STRO-1 melalui uji imunofluoresens, diberi perlakuan kontak langsung dengan TAP, Ca(OH)2, dan Ledermix berkonsentrasi 0.1 mg/ml dan 1 mg/ml. Viabilitas DPSC dihitung dengan uji MTT. Hasil: Viabilitas sel pada kelompok perlakuan menunjukkan penurunan yang bermakna secara statistik, dan yang paling toksik adalah Ledermix. Kesimpulan: Ketiga obat saluran akar dapat menyebabkan penurunan viabilitas sel punca mesenkim pulpa. Namun, obat saluran akar yang memiliki efek paling tidak toksik adalah TAP dan Ca(OH)2. , Background: The goal for regenerative endodontic therapy is biological healing of pulp tissue. The procedure consists of disinfection with irrigants and medicaments. Medicaments that used recently today is triple antibiotic paste (TAP), calcium hydroxide (Ca(OH)2), dan Ledermix®. Therefore, the purpose of this study is to evaluate the effect of TAP, Ca(OH)2, and Ledermix® on viability of dental pulp stem cells (DPSC) Methods: Primary cultures of DPSC taken from immature third molars. DPSC was detected by STRO-1 marker using immunofluorescence assay. Cells were exposed to TAP, Ca(OH)2, and Ledermix® with concentration of 0.1 mg/ml dan 1 mg/ml. Cell viability was analyzed using MTT assay. Results: There were significant differences from the viability of group with medicaments that demonstrated decreased viability compared to controls (P < 0.05). Conclusion: All of the medicaments causes decreased viability on DPSC. Medicaments that have the most toxic effect is Ledermix®. ]"
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Asyila Vianda
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kuat tekan scaffold HA/Alginat dan HA/Alginat/Kitosan. Setiap sediaan scaffold HA/Alginat 30/70 dan HA/Alginat/Kitosan 30/50/20 di uji kuat tekan dengan beban maksimum 100 N, hingga deformasi 50 menggunakan Universal Testing Machine, dan nilai kuat tekan dihitung dengan persamaan S = Fmax/A. Hasil menunjukkan bahwa kuat tekan scaffold HA/Alginat 30/70 dan HA/Alginat/Kitosan 30/50/20 , secara berurutan, yaitu 0,15 0,053 dan 0,05 0,031 MPa, yang keduanya berbeda bermakna p < 0,05 . Disimpulkan bahwa scaffold HA/Alginat/Kitosan 30/50/20 memiliki kuat tekan lebih rendah dibandingkan scaffold HA/Alginat 30/70 .

ABSTRACT
The aim of this study was to identify the compressive strength of HA Alginate and HA Alginate Chitosan scaffolds. All HA Alginate 30 70 and HA Alginate Chitosan 30 50 20 scaffolds were compressed with 100 N load maximum up to 50 deformation using the universal testing machine and the value of compressive strength was calculated by S Fmax A. Compressive strength values of HA Alginate 30 70 and HA Alginate Chitosan 30 50 20 scaffolds are 0,15 0,053 and 0,05 0,031 MPa, respectively, which is significantly different p 0,05 . It was concluded that HA Alginate Chitosan 30 50 20 scaffold had lower compressive strength than HA Alginate 30 70 scaffold. "
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqa Inayati
"Diferensiasi osteogenik dari Sel punca mesenkim (MSC) menjadi osteoblas memiliki signifikansi klinis yang sangat penting untuk mengobati cedera tulang. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meneliti faktor-faktor yang dapat meningkatkan diferensiasi osteogenik, termasuk pengembangan perancah untuk kultur MSC. Perancah Polivinil Alkohol (PVA)/ Fibroblast-derived Matrix (hFDM) asal manusia menjadi salah satu kandidat perancah yang diduga dapat mendukung diferensiasi osteogenik MSC. Keberadaan matriks ekstraseluler (ECM) pada perancah dapat meregulasi berbagai aktivitas seluler melalui komponen protein matriks yang terdapat pada ECM. Protein matriks berperan sebagai sekuesterasi berbagai faktor pertumbuhan. Faktor pertumbuhan seperti BMP2 dan chordin diketahui dapat meregulasi diferensiasi osteogenik. Proses terjadinya diferensiasi osteogenik dapat diamati melalui akumulasi mineral kalsium yang terdeposit pada matriks ekstraseluler. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui metode optimum dalam pembuatan perancah PVA/hFDM, danmengetahui peran perancah PVA/hFDM dalam mempengaruhi diferensiasi osteogenik MSC dengan mengukur ekspresi gen BMP2, dan chordin, serta ekspresi kadar kalsium relatif pada matriks ekstraseluler. Optimasi pembuatan perancah PVA hFDM dimulai dengan optimasi medium kultur, waktu kultur, preparasi, dan teknik deselulerisasi. hFDM dikarakterisasi menggunakan pewarnaan Hematoxylin, Masson Trichrome, dan Imunohistokimia untuk mengetahui keberadaan protein matriks. MSC dikultur pada perancah PVA/hFDM untuk uji diferensiasi osteogenik selama 21 hari. Sampel RNA diisolasi pada hari ke-7,14, dan 21. Ekspresi gen BMP2 dan chordin dianalisis menggunakan metode qRT-PCR. Adapun ekspresi kadar kalsium relatif dianalisis dengan uji kualitatif dan kuantitatif pewarnaan Alizarin Red. Hasil penelitian ini menunjukkan protokol pembuatan perancah PVA/hFDM telah dioptimasi, dan karakterisasi hFDM memperlihatkan keberadaan protein matriks berupa kolagen dan biglycan. Ekspresi gen BMP2 menurun pada kelompok MSC yang dikultur pada perancah PVA/hFDM baik di hari ke-7, 14, dan 21. Sedangkan ekspresi gen chordin meningkat pada kelompok MSC yang dikultur pada perancah PVA/hFDM di hari ke 7, dan 14, kembali menurun di hari ke-21. Ekspresi kadar kalsium relatif cenderung meningkat pada kelompok MSC yang dikultur pada perancah PVA/hFDM dengan gambaran mikroskopis berupa bercak merah pada permukaan perancah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah perancah PVA/hFDM cenderung dapat mendukung diferensiasi osteogenik MSC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan perancah PVA/hFDM dapat menurunkan ekspresi gen BMP2, dan meningkatkan ekspresi gen chordin, serta cenderung meningkatkan ekspresi kadar kalsium relatif yang terdeposit pada matriks ekstraseluler.

Osteogenic differentiation from Mesenchymal Stem Cell (MSC) to osteoblasts has great clinical significance for treating bone injury. Various studies have been conducted to investigate factors that can enhance osteogenic differentiation, including scaffold development for MSC culture. Scaffold Polyvinyl Alcohol (PVA) / human Fibroblast-derived Matrix (hFDM) is a scaffold candidate assumed to support osteogenic differentiation of MSCs. The extracellular matrix (ECM) presence on the scaffold can regulate various cellular activities through the matrix protein components contained in the ECM. Matrix protein plays a role in sequestering multiple growth factors. Growth factors such as BMP-2 and chordin are to regulate osteogenic differentiation. The process of osteogenic differentiation can be observed by accumulating calcium minerals in the extracellular matrix. The purpose of this study was to determine the optimal method for making PVA / hFDM scaffold and to determine the role of the PVA / hFDM scaffold in affecting MSC osteogenic differentiation by measuring the expression of BMP2 and chordin genes, as well as the expression of relative calcium levels in the extracellular matrix. Optimization of making hFDM PVA scaffold begins with the optimization of culture medium, culture time, preparation, and decellularization techniques. hFDM was characterized using Hematoxylin, Masson Trichrome, and Immunohistochemical staining to determine matrix proteins' presence. MSCs were cultured on the PVA / hFDM scaffold for osteogenic differentiation assay for 21 days. RNA samples were isolated on day 7,14 and 21. Expression of BMP2 and chordin genes were analyzed using the qRT-PCR method. The expression of relative calcium levels was analyzed by qualitative and quantitative tests of Alizarin Red staining. The results of this study indicate that the PVA / hFDM scaffold preparation protocol has been optimized, and the hFDM characterization shows the presence of matrix proteins in the form of collagen and biglycan. BMP-2 gene expression decreased in the MSC group cultured on the PVA / hFDM scaffold on days 7, 14, and 21. In contrast, the chordin gene expression increased in the MSC group cultured on the PVA / hFDM scaffold on days 7, and 14, back down on day 21. The expression of relative calcium levels tended to increase in the MSC group cultured on the PVA / hFDM scaffold with a microscopic appearance of red spots on the scaffold surface. This study concludes that Scaffold PVA / hFDM tends to support osteogenic differentiation of MSCs. The results showed that the use of the PVA / hFDM scaffold could decrease the expression of the BMP2 gene, and increase the expression of the chordin gene, and tended to increase the expression of the relative calcium levels deposited in the extracellular matrix.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Pragiwaksana
"Sel punca mesenkim (MSC) dan sel punca pluripoten terinduksi (iPSC) telah dilaporkan mampu berdiferensiasi menjadi hepatosit secara in vitro dengan berbagai tingkat maturasi hepatosit. Sebuah metode sederhana untuk proses deselulerisasi perancah hati telah dikembangkan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi diferensiasi hepatosit dari iPSC dibandingkan dengan MSC dalam perancah hati yang dideselularisasi. Langkah pada penelitian ini adalah mengkultur iPSC dan MSC, mendeselularisasi hati kelinci, menyemai kultur sel ke dalam perancah, dan mendiferensiasikan menjadi hepatosit selama 21 hari dengan protokol Blackford yang dimodifikasi. Pemeriksaan dilakukan dengan pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE), Masson Trichrome (MT), imunohistokimia (IHK) albumin dan cytochrome 3A4 (CYP3A4). Ekspresi gen albumin, cytochrome P450 (CYP450), dan cytokeratin-19 (CK-19) dianalisis menggunakan qRT-PCR. Pemeriksaan scanning electron microscope (SEM) dan immunofluorescence (IF) marker hepatocyte nuclear factor 4 alpha (HNF4-α) dan CCAAT/enhancer-binding protein alpha (CEBPA) dilakukan.
Diferensiasi hepatosit dari iPSC dalam perancah hati yang dideselulerisasi dibandingkan dengan diferensiasi hepatosit dari MSC dalam perancah hati yang dideselulerisasi menunjukkan pembentukan sel tunggal dan kapasitas adhesi pada perancah yang lebih sedikit, dan penurunan tren ekspresi albumin dan CYP450 yang lebih rendah. Jumlah penyemaian sel awal yang lebih rendah menyebabkan hanya beberapa iPSC menempel pada bagian-bagian tertentu dari perancah hati yang dideselularisasi. Injeksi jarum suntik manual untuk reselulerisasi yang tidak merata menciptakan pola pembentukan sel tunggal oleh hepatosit dari diferensiasi iPSC di perancah hati yang dideselulerisasi. Hepatosit dari diferensiasi MSC memiliki kapasitas adhesi lebih tinggi ke perancah hati yang dideselulerisasi yang mengarah pada peningkatan tren ekspresi albumin dan CYP450. Penurunan ekspresi gen CK-19 lebih banyak terjadi pada diferensiasi hepatosit dari iPSC.
Hasil tersebut dikonfirmasi oleh adanya sinyal positif protein HNF4-α dan CEBPA dengan pemeriksaan IF yang menunjukkan hepatosit yang dewasa. Kesimpulan dari penelitian ini adalah diferensiasi hepatosit dari iPSC pada perancah hati yang dideselularisasi lebih dewasa dengan adhesi sel-matriks ekstraseluler lebih rendah, distribusi sel spasial saling berjauhan, dan ekspresi albumin dan CYP450 lebih rendah dibandingkan dengan diferensiasi hepatosit dari MSC pada perancah hati yang dideselularisasi.

Mesenchymal stem cells (MSC) and induced pluripotent stem cells (iPSC) have been reported able to differentiate to hepatocyte in vitro with varying degree of hepatocyte maturation. A simple method to decellularized liver scaffold has been established by Faculty of medicine Universitas Indonesia.
This study aims to evaluate hepatocyte differentiation from iPSCs compared to MSCs in decellularized liver scaffold. iPSCs and MSCs were cultured, rabbit liver were decellularized, cell cultures were seeded into the scaffold, and differentiated into hepatocytes for 21 days with modified Blackford protocol. Haematoxylin-Eosin (HE), Masson Trichrome (MT), immunohistochemistry (IHC) albumin and CYP3A4 was performed. Expression of albumin, cytochrome P450 (CYP450) and cytokeratin-19 (CK-19) genes were analyzed using qRT-PCR. Scanning electron microscope (SEM) and immunofluorescence (IF) examination of hepatocyte nuclear factor 4 alpha (HNF4-α) and CCAAT/enhancer-binding protein alpha (CEBPA) marker was performed.
Hepatocyte differentiated iPSCs compared with hepatocyte differentiated MSCs in decellularized liver scaffold single–cell–formation and lower adhesion capacity in scaffold, and decrease trends of albumin and CYP450 expression. Lower initial seeding cell number causes only a few iPSCs to attach to certain parts of decellularized liver scaffold. Manual syringe injection for recellularization abruptly and unevenly create pattern of single–cell–formation by hepatocyte differentiated iPSCs in the decellularized liver scaffold. Hepatocyte differentiated MSCs have higher adhesion capacity to decellularized liver scaffold that lead to increase trends of albumin and CYP450 expression. CK-19 expression gene diminished more prominent in hepatocyte differentiated iPSCs.
These results were confirmed by the presence of HNF4-α and CEBPA positive signal protein with IF examination, showing mature hepatocyte.The conclusion of this study is hepatocyte differentiated iPSCs in decellularized liver scaffold differentiation is more mature with lower cell-extracelullar matrix adhesion, spatial cell distribution far from each other, and lower albumin and CYP450 expression than hepatocyte differentiated MSCs in decellularized liver scaffold.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
William Chandra
"Pendahuluan. Sel punca mesenkimal merupakan jawaban untuk berbagai penyakit, termasuk orthopedi. Meskipun jumlah terbatas, prosedur invasif, nyeri, dan sel yang relatif sedikit, sumsum tulang masih menjadi sumber utama. Adiposa menjadi alternatif menjanjikan dengan kemampuan sebanding. Dengan meningkatnya harapan hidup, jumlah pasien tua meningkat dan menjadi sangat potensial untuk aplikasi sel punca. Namun, timbul kontroversi mengenai kualitas sel punca pada penuaan.
Metode Penelitian. Penelitian dilakukan di Unit Pelayanan Terpadu Teknologi Kedokteran Sel Punca Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta sejak Oktober 2015 - Maret 2016. 12 subjek dibagi menjadi tiga kelompok usia; 15-30 tahun, 31-40 tahun, dan 41-55 tahun dan dilakukan pengambilan sumsum tulang krista iliaka posterior dan adiposa, kemudian dilakukan isolasi dan kultur sel punca mesenkimal. Peneliti melakukan analisis karakteristik biologis, waktu penggandaan populasi, diferensiasi osteogenik, dan pewarnaan Alizarin. Seluruh data dianalisis dengan SPSS 20.
Temuan Penelitian. Karakteristik biologis dan pewarnaan Alizarin Red menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna sel punca mesenkimal sumsum tulang dan adiposa pada kelompok usia sama(p>0,05). Waktu penggandaan populasi menunjukkan adanya perbedaan signifikan sel punca mesenkimal sumsum tulang dan adiposa pada kelompok 31-40 tahun(p=0,028) dan 41-55 tahun(p=0,035).
Kesimpulan. Sel punca mesenkimal adiposa menunjukkan karakteristik biologis, waktu penggandaan populasi, dan diferensiasi osteogenik yang konstan. Sel punca mesenkimal sumsum tulang menunjukkan waktu penggandaan populasi yang menurun seiring usia, berbeda dengan karakteristik biologis dan diferensiasi osteogenik. Adiposa dapat menjadi pilihan sumber sel punca mesenkimal pada setiap golongan usia.

Introduction. Mesenchymal stem cell is the answer of many medicine problems, including orthopaedic. Bone marrow is still the main source. Because of limited source, invasive procedure, pain, and relative less cell, adipose will be promising source with equal regenerating and differentiating ability. Along with increasing life expectancy, geriatric population is increasing as well as the potential need for stem cell application. Yet there is still controversy about stem cell quality in aging.
Methods. This study was conducted in Stem Cell Medical Technology Integrated Service Unit Cipto Mangunkusumo General Hospital-Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Jakarta, October 2015 - March 2016. 12 patients were divided into 3 age group; 15-30 year, 31-40 year, and 41-55 year. Bone marrow from posterior iliac crest and adipose tissue were collected, mesenchymal stem cell isolation and culture were done subsequently. Biological characterization, Population Doubling Time, osteogenic differentiation, and alizarin red assay were carried out. All data was analyzed using SPSS 20.
Results. No significant difference was observed in biological characteristic and Alizrin red assay of bone marrow and adipose mesenchymal stem cell among age group (p>0.05). There is significant difference in Population Doubling time in 31- 40 year group(p=0.000) and 41-55 year group(p=0.000).
Conclusions. Adipose mesenchymal stem cell had steady biological characteristic, Population Doubling Time, and osteosteogenic differentiation. Bone marrow mesenchymal stem cell had increasing population doubling time in increasing age, apart from biological characteristic and osteogenic differentiation. Adipose could be the source of choice in harvesting mesenchymal stem cell at any age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Pramantha Putra Wijaya
"Pendahuluan: Penelitian in vitro menggambarkan inferioritas osteogenesis SPM adiposa dibandingkan dengan SPM sumsum tulang. Sebaliknya, penelitian in vivo menunjukkan kemiripan potensi osteogenik keduanya. penelitian ini mencoba mengetahui perbedaan kapasitas osteogenik antara keduanya dengan mengukur ekspresi Bone Morphogenetic Protein (BMP)-2 dan BMP Reseptor II, juga proses penyembuhan tulang dengan pengukuran histomorfometri.
Metode: Delapan belas tikus Sprague dawley (SD) dilakukan defek tulang femur 5mm. Tikus dibagi tiga kelompok yang terdiri dari kontrol, implantasi SPM sumsum tulang + Hydroxypatite, dan implantasi SPM adiposa + Hydroxypatite. Tikus dikorbankan pada minggu kedua kemudian penilaian histomorfometri kuantitatif dilakukan dengan Image-J. Paramater yang diukur adalah luas total kalus, % area penulangan, % area kartilago, dan % area fibrosis. Dilakukan penilaian imunohistokimia menggunakan intensitas pewarnaan dan skor Imunoreaktivitas (IRS).
Hasil: Kelompok SPM sumsum tulang menunjukkan ekspresi BMPR II lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya. Ekspresi BMPR II dianalisis dan didapatkan hasil yang signifikan (p= 0,04) dengan median 4.00 ± 2.75. Kelompok SPM sumsum tulang dan adiposa juga menunjukkan proses penyembuhan tulang yang lebih baik dibandingkan kelompok kontrol (p = 0,001). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara SPM sumsum tulang dan SPM adiposa yang diukur pada % total area kalus (p = 1.000),% area penulangan (p = 1.000),% kartilago (p = 0,493) dan % fibrosis (p = 0,128).
Diskusi: SPM adiposa memiliki kemampuan penyembuhan tulang yang serupa dengan SPM sumsum tulang. Growth factor dan reseptornya penting namun bukan satu-satunya faktor penyembuhan tulang.

Introduction: In vitro studies describe inferior osteogenesis of Adiposes to Bone Marrow Mesenchymal Stem Cell (MSC). Contrary, in vivo studies showing the resemblance of osteogenic potential between both groups. This study tries to investigate the difference of osteogenic capacity between BMSCs and ASCs by quantifying the expression of Bone Morphogenetic Protein (BMP)-2 and BMP receptor (BMPR) II also the bone healing process by histomorphometry measurement.
Methods: Eighteen Sprague dawley (SD) rats were induced with 5mm femoral bone defect, then divided into three groups that consist of Control, Implementation of BMSC+Hydroxypatite, and Implementation of ASC+Hydroxypatite. They were sacrificed after 2 weeks, then performed histomorphometry assessment with Image-J. The measured paramater were total area of callus, % of osseous area, % of cartilage area, and % of fibrotic area. The immunohistochemistry measurement performed by staining intensity and immunoreactivity score (IRS).
Results: The BMSC group showed higher expression of BMPR II compare to others. The expression of BMPR II was analyzed statistically and showed significant result (p=0.04) with median 4.00 ± 2.75. Both BMSC and ASC group have significantly better bone healing process compared with control group (p=0,001). There are no significant differences between ASC and BMSC measured in %total callus area (p=1.000), %Osseous area (p=1.000), %Cartilage area (p=0.493) and % Fibrous area (p=0.180).
Discussions: ASC bone healing ability are similar to BMSC. Growth factor and its receptor are important but not sole contributing factor for bone healing."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Ramadhian Noor
"Breast cancer stem cells (BCSCs) dengan petanda Aldehida dehidrogenase 1-positif (ALDH1+) merupakan populasi minor dari sel-sel tumor dengan kemampuan tumorigenik yang tinggi dan bertahan terhadap stres oksidatif. Manganese superoksida dismutase (MnSOD) merupakan pertahanan utama terhadap superoksida yang diekspresikan spesifik di mitokondria, yang merupakan salah satu sumber utama stres oksidatif di dalam sel.  Sejauh ini, belum diketahui peranan MnSOD terhadap ketahanan hidup dan kepuncaan BCSC. Transfeksi in vitro pada BCSC (ALDH1+) dilakukan dengan menggunakan siRNA MnSOD spesifik dalam kondisi kultur standar. Total RNA dan protein diekstraksi dengan menggunakan TriPure® Isolation Reagent dan RIPA® lysis buffer. Viabilitas sel diukur dengan menggunakan trypan exclusion assay. Ekspresi relatif mRNA MnSOD dan OCT4 dianalisis dengan menggunakan one-step qRT-PCR. Aktivitas MnSOD diukur dengan menggunakan uji inhibisi xantin oksidase (RanSOD® kit). Kadar superoksida sel diukur dengan menggunakan uji dihidroetidium dan tumorigenik diukur dengan menggunakan mammosphere-forming unit. Setelah diinkubasi selama 48 jam dengan menggunakan siRNA dengan menggunakan dosis 80 pmol. Ekspresi relatif mRNA MnSOD mengalami penekanan sejumlah 0,17-kali (p<0,01), penurunan aktivitas spesifik MnSOD sebesar 70,4 %, peningkatan kadar superoksida sel menjadi 1,13-kali, penurunan ekspresi OCT4 menjadi 1,08-kali (p<0,05) dan penurunan mamosphere forming unit efficiency menjadi 36,5 % (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol negatif. Viabilitas BCSC (ALDH1+) menurun sebanyak 75 %(p<-0,05) dibandingkan kontrol negatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penekanan ekspresi MnSOD dapat menjadi target yang menjanjikan untuk menurunkan kepuncaan dan tumorigenitas BCSC (ALDH1+).

Aldehyde dehydrogenase 1-positive (ALDH1+) breast cancer stem cells (BCSCs) are a small population of tumor cells with high capacity of tumorigenicity and oxidative stress. Manganese superoxide dismutase (MnSOD) is specifically expressed in mitochondria as the primary defense against superoxides, which are one of the causes of oxidative stress in cells. The aim of this study was to determine the impact of suppressing MnSOD expression using small interfering RNA (siRNA) on the stemness, tumorigenicity, and viability of BCSCs. In vitro transfection of ALDH1+ BCSCs was performed using 33 and 66 µM specific MnSOD siRNA under standard culture conditions. Total RNA and protein were extracted from the transfected cells using TriPure® Isolation Reagent and RIPA® lysis buffer. Cell viability was measured using a trypan blue exclusion assay. The relative expression of MnSOD and OCT4 mRNAs was analyzed by one step qRT-PCR. MnSOD activity was determined by xanthine oxidase inhibition assay (RanSOD® kit). Cellular superoxides were measured using a dihydroethidium assay and tumorigenicity was observed with mammosphere-forming unit.  After siRNA incubation for 48 hours, MnSOD was suppressed by 0.176-fold (p<0.01), MnSOD enzyme specific activity was reduced 70.4%, cellular superoxide levels increased by 1.13-fold, OCT4 expression was suppressed by 1.98-fold (p<0.05), and mammosphere-forming unit decreased by 36.5% (p<0.05) compared with the corresponding negative controls. The viability of the ALDH1+ BCSCs was reduced 75% (p< 0.05). Our results suggest that suppression of MnSOD expression may be a promising target to reduce stemness and tumorigenicity of ALDH1+ BCSCs."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58908
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>