Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145784 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siahaan, Hendriek
"Pendahuluan
Kaki Diabetik merupakan penyebab utama amputasi ekstremitas non traumatik. Pengenalan dan manajemen awal terhadap faktor-faktor predisposisi amputasi dapat mencegah tindakan amputasi.
Metode
Kami mengumpulkan data klinis dan laboratorium, data komplikasi-komplikasi diabetes, dan data riwayat komorbiditas pada 242 pasien yang dirawat dengan permasalahan kaki diabetik untuk menilai faktor-faktor predisposisi amputasi. Kami membagi pasien-pasien ini menjadi 2 grup (amputasi dan tidak amputasi) dan melakukan anasisis komparatif menggunakan variabel faktor-faktor predisposisi amputasi pada kedua grup.
Hasil
Dari dua buah grup dibandingkan apakah terdapat hubungan yang signifikan dengan faktorfaktor predisposisi amputasi sebagai variabel independen.Secara analisis univariat didapatkan pada grup amputasi terdapat insidens yang lebih tinggi signifikan (p<0,05) pada faktor predisposisi sepsis, ketoasidosis, neuropati perifer dan iskemia diabetik. Didapatkan odds ratio 2,57 untuk sepsis (95% CI:1,44-4,60; P=0,001); 2,67 untuk ketoasidosis (95% CI:1,16-2,58;
P=0,018); 1,79 untuk iskemia diabetik (95% CI:0.970-3,37; P=0,041); dan 4,30 untuk neuropati perifer (95% CI:0.95-19,2; P=0,030).
Kesimpulan
Sepsis, ketoasidosis, neuropati perifer dan iskemia diabetik merupakan faktor-faktor predisposisi amputasi yang signifikan pada pasien-pasien kaki diabetik.

Introduction
Diabetic foot is the main cause of nontraumatic lower extremity amputation. Early recognition and management of predisposing factors for amputation may prevent amputations.
Method
We collected clinical and laboratory data, details of diabetes complications and history of comorbidities in 242 patients who were admitted for management of diabetic foot to determine the predisposing factors of amputation in these patients. We devided these patients into two groups, those whose treatment included amputation and those who were treated conservatively
and carried out a comparative analysis of the variables in the two groups.
Result
From the two groups we compared if there is significant relationship with the predisposing factors for amputation as independent variable. In univariat analysis we found higher incidence (p<0,05) of sepsis, ketoacidosis, peripheral neuropathy and diabetic ischemia on amputated group. Univariat adjusted odds ratios was 2,57 for sepsis (95% CI:1,44-4,60; P=0,001); 2,67 for
ketoacidosis (95% CI:1,16-2,58; P=0,018); 1,79 for diabetic ischemia (95% CI:0.970-3,37; P=0,041); and 4,30 for peripheral neuropathy (95% CI:0.95-19,2; P=0,030).
Conclusion
Sepsis, ketoacidosis, peripheral neuropathy and diabetic ischemia are significant predisposingfactors for amputation in patients hospitalized for diabetic foot lesions.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2103
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yonathan Adi Purnomo
"Infeksi kaki diabetik adalah faktor predisposisi utama amputasi ekstremitas bawah pada penyebab non trauma. Namun baru sedikit studi yang menyelidiki faktor - faktor risiko spesifik. Metode penelitian studi kohort retrospektif sampel besar dengan melakukan observasi data rekam medik 201 pasien dengan diagnosis infeksi kaki diabetic di RS Dr. Cipto Mangunkusumo antara tahun 2008 hingga tahun 2010. Faktor - faktor risiko kami lakukan analisis univariat, bivariat serta multivariat kemudian dilakukan model regresi logistik dan mengkonversi koefisien model ke risk score numerik. Pada hasil sebanyak 25.7% menjalani amputasi ekstremitas bawah diperoleh persamaan dengan kalibrasi Hosmer and Lemeshow Test yang baik dan nilai AUC adalah sebesar 82%. Penelitian pendahuluan ini menghasilkan sistem skoring yang sederhana dan mudah digunakan untuk mengetahui risiko amputasi ekstremitas bawah pada pasien yang menderita infeksi kaki diabetik.

Diabetic foot infection is the primary predisposition for lower extremity amputation in non-trauma etiology. There were only few studies that has determined specific risk factors. This pilot study methods used large sample retrospective cohort study by observing 201 medical records of patients with diabetic foot infection diagnosis in Cipto Mangunkusumo Hospital for 2008 to 2010. We did univariate, bivariate, multivariate analysis continue with logistic regression model and converting coefficient model to numeric risk score. Result, there were 27.7% had lower extremity amputation, logistic regression with good equation result on Hosmer and Lemeshow test and AUC score were 82%. This pilot study produce a simple scoring system and easy to use to identify lower extremity amputation risks on diabetic foot infection patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Affandi
"Diabetes melitus merupakan penyakit kronik dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Salah satu komplikasi yang ditakuti adalah kaki diabetik. Berdasarkan data di RSCM pada tahun 2011 sebanyak 1,3% dari pasien kaki diabetik harus menjalani amputasi. Borkosky dkk (2013) menunjukkan tingginya insidens re-amputasi pada pasien kaki diabetik sebesar 19,8%. Amputasi berulang membutuhkan biaya pengobatan yang tidak murah, selain itu dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui faktor-faktor risiko terjadinya re-amputasi pada pasien kaki diabetik.
Penelitian ini adalah deskriptif analitik, didapatkan adanya kecenderungan penurunan jumlah kasus amputasi kaki diabetik di RSCM dari tahun 2009-2015. Level amputasi terbanyak yang dilakukan pada pasien kaki diabetik adalah amputasi minor pada level Ray. Trauma, neuropati perifer, nilai ABI ≤0,9, dan kadar HbA1c ≥7% merupakan faktor risiko terjadinya re-amputasi pada pasien kaki diabetik. trauma merupakan faktor risiko terbesar terjadinya reamputasi pada pasien kaki diabetik (p=0,000; OR 73,842; 95%CI 19,236-283,457). Jika semua faktor risiko tersebut dimiliki oleh pasien maka risiko kumulatif untuk dilakukan re-amputasi sebesar 100%.

Diabetic mellitus is one of chronic diseases with high morbidity and mortality. One of complications of diabetic mellitus is foot diabetic. Based on data in Cipto Mangunkusumo General hospital, in 2011, prevalence of amputation for foot diabetic patients was 1,3%. Borkosky et al (2013) showed high incidence of reamputation among foot diabetic patients 19,8%. Re-amputation is highly cost and can increase morbidity and mortality in diabetic patients. Thus research needs to be done to find out risk factors of re-amputation among foot diabetic patients.
This research showed that foot diabetic amputation cases in RSCM had been decreased from 2009-2015. The most common amputation level was Ray amputation. Foot trauma, peripheral neuropathy, ABI score ≤0,9 and HbA1c level ≥7% are risk factors for re-amputation in foot diabetic patients. Foot trauma was the biggest risk factor for re-amputation in foot diabetic patients (p=0,000; OR 73,842; 95% CI 19,236-283,457). The cummulative risk factor for re-amputation for those who have all the risk factors is 100%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Yani
"Dengan mengetahui patogenesis terjadinya tukak diabetik, maka masalah KD yang mempunyai gambaran sangat Iuas dapat dilakukan usaha pencegahan yang tepat agar tidak terjadi tukak. Aspek neuropati berperan besar dalam terjadinya tukak, sedangkan aspek vaskular lebih berperan dalam usaha revaskularisasi dan penyembuhan tukak yang sudah terjadi. Kelainan vaskular yang didapat sebagai komplikasi dari penyakit DM rnasih tetap merupakan suatu tantangan ilmu hedah, seorang ahli bedah sebaiknya mengetahui pertumbuhan patologik apa yang terjadi pada dinding pembuluh darah seorang pasien DM, untuk dapat merencanakan suatu perawatan I tindakan bedah yang paling menguntungkan pasien.

By knowing the pathogenesis of diabetic ulcers, KD problems that have a very good picture can be prevented so that ulcers do not occur. The neuropathy aspect plays a big role in the occurrence of ulcers, while the vascular aspect plays a greater role in the efforts to revascularize and heal ulcers that have occurred. Vascular abnormalities acquired as a complication of fixed DM disease is a scientific challenge, a surgeon should know what pathological growths occur in the walls of a DM patient's blood vessels, to be able to plan a treatment I surgical procedure that is most beneficial to the patient."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hardi Siswo Soedjana
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T58981
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Fitria
"Tujuan: Membuktikan kesahihan dan keandalan Foot and Ankle Ability Measure (FAAM) dalam versi Bahasa Indonesia
Metode: Desain uji potong lintang. Penelitian dilakukan pada 42 orang tentara pasukan khusus dengan instabilitas pergelangan kaki. Setiap responden mengisi kuesioner FAAM versi Bahasa Indonesia yang sudah diujicobakan terlebih dahulu. Kemudian dilakukan pengisian kuesioner SF-36 sebagai baku emas kuesioner kualitas hidup untuk menilai kesahihan konvergen. 2 minggu dari pengisian pertama dilakukan pengisian kembali kuesioner FAAM untuk menilai keandalan test-retest.
Hasil: Didapatkan korelasi bermakna dengan nilai korelasi sedang untuk antara FAAM subskala aktivitas keseharian dengan skor komponen mental dan skor komponen fisik terhadap dengan nilai r secara berurutan 0,417, dan 0,458. Didapatkan korelasi bermakna dengan nilai korelasi sedang untuk antara FAAM subskala olahraga dengan skor komponen fisik dan fungsi fisik terhadap dengan nilai r secara berurutan 0,430 dan 0,464. Didapatkan konsistensi internal dengan cronbach alpha 0,917 dan 0,916 untuk subskala aktivitas keseharian dan subskala olahraga. Didapatkan nilai korelasi interkelas sedang untuk subskala olahraga sebesar 0,78.
Kesimpulan: FAAM versi Bahasa Indonesia memiliki kesahihan dan keandalan yang baik.

Objective: to assess validity and realibility of Foot Ankle Ability Measure in Indonesia version .
Method : design of this study is cross sectional study. This research was to 42 special force army personal with ankle instability. Every subject was asked to fill out Indonesian version of Foot and Ankle Ability Measure quetionairre. And SF-36 quetionairre as gold standard of quality of life to assess validity. After 2 weeks, subject is asked to fill FAAM quetionairre again to assess test-retest realibility.
Result : There was significant correlation with moderate value between FAAM-I activity daily living subscale and mental component summary and physical component summary with r 0,417 and 0,458 respectively. There was also significant correlation with moderate value between FAAM-I sport subscale with r 0,430 and 0,464 respectively. The internal consistency with cronbach alpha was 0,917 and 0,916 for ADL subscale and sport subscale. Interclass correlation for sport subscale was 0,78.
Conclusion : Indonesian version of FAAM have good validity and realibility.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58755
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vincent Pratama
"Infeksi kaki diabetik (IKD) menjadi masalah utama secara global untuk pasien dan sistem pelayanan kesehatan. Selain mempertimbangkan efektivitas antibiotik, beban biaya medis pengobatan juga menjadi perhatian utama dalam penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah analisis efektivitas-biaya antara ampisilin/sulbaktam dan non-ampisilin/sulbaktam pada pasien IKD rawat inap. Desain penelitian ini kohort retrospektif dengan menggunakan data rekam medis dan data biaya pengobatan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Perbaikan klinis infeksi kaki dinilai pada periode 5-7 hari dan dihitung total biaya medis langsung. Total 135 pasien IKD rawat inap teriklusi terdiri dari 93 pasien kelompok ampisilin/sulbaktam dan 42 pasien kelompok non-ampisilin/sulbaktam. Tidak ada perbedaan signifikan dalam efektivitas perbaikan klinis IKD pada kedua kelompok (55,9% vs 64,3%; p = 0,361). Pada analisis bivariat, derajat infeksi luka ringan 1,63 kali lebih berpeluang mencapai perbaikan klinis infeksi dibandingkan dengan pasien derajat sedang-berat (p = 0,026). Tidak ada perbedaan signifikan pada total biaya medis langsung antara ampisilin/sulbaktam dengan non-ampisilin/sulbaktam (Rp30.645.710 vs Rp32.980.126; p = 0,601). Pada perhitungan ACER dan model decision-tree, kelompok non-ampisilin/sulbaktam lebih cost-effective dibandingkan ampisilin/sulbaktam. Pada perhitungan ICER non-ampisilin/sulbaktam, untuk penambahan 1% perbaikan klinis IKD, dibutuhkan biaya tambahan sebesar Rp 277.907.

Diabetic foot infections (DFI) is a major problem globally and health system services. In addition to considering effectiveness of antibiotics, the burden of medical treatment costs is also a major concern in this study. This study aimed to analyze cost-effectiveness between ampicillin/sulbactam and non-ampicillin/sulbactam in hospitalized DFI patients. The design of this study was a retrospective cohort using medical record data and medical cost data at Dr. Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital. Assessment of clinical improvement of foot infections in 5-7 days and calculated total direct medical costs. A total of 135 inpatients with DFI, consisting of 93 patients in the ampicillin/sulbactam group and 42 patients in the non-ampicillin/sulbactam group. There was no significant difference in the effectiveness of clinical improvement between two groups (55.9% vs. 64.3%; p = 0.361). In bivariate analysis, mild infection had a 1.63 times probability of clinical improvement compared to moderate-severe infection (p = 0.026). There was no significant difference in total direct medical costs (IDR 30,645,710 vs IDR 32,980,126; p = 0.601). In ACER and decision-tree models, non-ampicillin/sulbactam group was more cost-effective. In ICER of non-ampicillin/sulbactam, for an additional 1% of clinical improvement in DFI, an additional fee of IDR 277,907 is required."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Prabowo Wirjodigdo
"Latar belakang: Diperkirakan sekitar 15% penderita diabetes akan mengalami diabetic foot ulcer (DFU) dalam masa hidupnya. Negative Pressure Wound Therapy (NPWT) terbukti lebih efektif dibandingkan dengan perawatan konvensional. NPWT menciptakan lingkungan luka yang lembab, peningkatan aliran darah lokal dan merangsang jaringan granulasi sehingga mempercepat penyembuhan luka. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor risiko yang memengaruhi lama rawat DFU dengan NPWT.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan desain cross sectional analitik pada 105 subjek yang dirawat pada Januari 2016 sampai Desember 2018 di RS dr. Cipto Mangunkusumo. Karakteristik dan demografi pasien dan faktor risiko diambil dari rekam medik. Durasi perawatan dari aplikasi pertama NPWT hingga luaran sebagai hasil, kemudian dianalisis terhadap faktor risiko yang memengaruhinya.
Hasil Penelitian: Lama rawat DFU dengan NPWT adalah 19,9 ± 19,3 hari. Faktor risiko yang mempengaruhi lama rawat adalah riwayat ulkus (r = 0,01; p = 0,034), kedalaman luka (r = 0,292; p = 0.003), Hb (r = 0,05; p = 0,039), HbA1c (r = 0,06; p = 0,033), albumin (r = 0,06; p = 0,017), PCT (r = 0,10; p = 0,035), dan lama menderita DM (r = 0,193; p = 0,009).
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa lama rawat DFU dengan NPWT dipengaruhi oleh faktor sitemik (lama menderita DM, Hb, HbA1c, albumin, dan PCT) dan faktor lokal (riwayat ulkus sebelumnya dan kedalaman luka). Kedalaman luka merupakan faktor yang paling berhubungan positif terhadap lama perawatan DFU pasca NPWT (r = 0,292, p = 0,003). Intervensi pada faktor risiko yang dapat diperbaiki sebelum penggunaan NPWT patut dilakukan untuk memaksimalkan penggunaan NPWT dan mengurangi lama perawatan.

Background: It is estimated that around 15% of diabetic patients will experience diabetic foot ulcer (DFU) in their lifetime. Negative Pressure Wound Therapy (NPWT) is proven to be more effective than conventional treatments. NPWT creates a moist wound environment, increases local blood flow and stimulates tissue granulation thereby accelerating wound healing. This study was conducted to determine the risk factors that affect the length of stay of DFU with NPWT. Knowing this risk factors may be helpful for optimizing management strategy.
Methods: This research is a retrospective study with a cross-sectional analytic design in 105 subjects treated in January 2016 to December 2018 at RS. dr. Cipto Mangunkusumo. Patient characteristics, demographics and risk factors were taken from medical records. The length of stay of the patient from the first application of NPWT to its outcomes was the main result, then the correlation to the risk factors that influence it was analyzed.
Results: The length of stay of DFU with NPWT was 19.9 ± 19.3 days. Risk factors affecting the length of stay were history of ulcers (r = 0.01; p = 0.034), wound depth (r = 0.292; p = 0.003), Hb (r = 0.05; p = 0.039), HbA1c (r = 0.06; p = 0.033), albumin (r = 0.06; p = 0.017), PCT (r = 0.10; p = 0.035), and duration of DM (r = 0.193; p = 0.009).
Conclusions: This study showed that the length of stay of DFU with NPWT was influenced by systemic factors (duration of DM, Hb, HbA1c, albumin, and PCT) and local factors (history of previous ulcers and wound depth). The depth of the wound was the most positively related factor to the length of stay in DFU post NPWT (r = 0.292; p = 0.003). Interventions on the risk factors that can be corrected before the application of NPWT may amplify the result of NPWT and reduce the length of treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Wijaya
"Latar Belakang: Sindrom renal-retinal diabetes (SRRD) merupakan koinsidensi nefropati dan retinopati diabetik yang menimbulkan komplikasi serius berupa penurunan kualitas hidup dan peningkatan mortalitas dengan risiko kardiovaskular sebesar 4,15 kali lipat. Sementara itu, angka deteksi dini retinopati dan nefropati masih rendah dan faktor-faktor yang berhubungan dengan SRRD pada penyandang DMT2 di Indonesia belum diketahui.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan sindrom renal-retinal diabetes pada DMT2 di RSCM.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional potong lintang yang dilakukan pada 157 subjek DMT2 berusia > 18 tahun. Data karakteristik subjek didapat dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan foto fundus retina, dan pengambilan sampel darah dan urin. Hubungan antara faktor-faktor yang berhubungan dengan SRRD dianalisis secara bivariat dengan chi square dan multivariat dengan regresi logistik menggunakan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 21.0.
Hasil: Sebanyak 157 pasien terlibat dalam penelitian ini. Prevalensi SRRD adalah 28,7%, dengan rerata usia 56 (27-76) tahun, rerata IMT 25,7 (21,3-33,8) kg/m, median durasi DM 12 (1-25) tahun dengan HbA1c 8,6 (4,8-15,8) %, prevalensi hipertensi 86,7%, prevalensi dislipidemia 91%, 76,4% pasien tidak merokok, 33,3% pasien albuminuria derajat A2 dan 66,7% derajat A3. Pada SRRD, prevalensi derajat nefropati berdasarkan klasifikasi adalah 0% risiko rendah, 13,3% risiko sedang, 20% risiko tinggi, dan 66,7% risiko sangat tinggi dan prevalensi derajat retinopati diabetik adalah 42,2% NPDR, 55,6% PDR, 24,2% DME, dengan angka deteksi dini retinopati dan nefropati adalah sebesar 20% dan 17,8%. Analisis bivariat dan multivariat menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara durasi DM (p=0,001) dan albuminuria (p=0,008) dengan kejadian SRRD.
Simpulan: Proporsi SRRD pada penyandang DMT2 cukup tinggi (28,7%) dan pada studi ini, faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian SRRD pada DMT2 adalah durasi DM dan albuminuria.

Backgrounds: Diabetic renal-retinal syndrome (DRRS) is a coincidence of diabetic nephropathy and retinopathy that cause serious complications as decreased quality of life and increased mortality with cardiovascular event risk 4,15 times higher. Meanwhile, early detection rate of retinopathy and nephropathy are still low and associated factors of DRRS among Indonesian type 2 diabetes mellitus (T2DM) patients has not been known.
Objective: To obtain the factors related to DRRS among T2DM patients in Cipto Mangunkusumo hospital.
Methods: This was a cross-sectional study involving 157 T2DM subjects aged 18 characteristics were obtained from anamnesis, physical examination, retinal fundus, and blood and urine sample. Bivariate and multivariate analysis using statistical package for the social sciences (SPSS) version 21.0 was used to analyze the factors related to DRRS.
Results: 157 patients were included in this study. The prevalence of DRRS was 28,7% with median age was 56 (27-76) year old, mean BMI was 25,7 (21,3-33,8) kg/m2, median duration of DM was 12 (1-25) year old and HbA1c 8,6% (4,8-15,8%), prevalence of hypertension was 86,7%, prevalence of dyslipidemia was 91%, 76,4% patients were not smoker, 33,3% patients with albuminuria grade A2 and 66,7% patients with grade A3. In DRRS, the prevalence of nephropathy was classified as 0% low risk, 13,3% moderate risk, 20% high risk, and 66,7% very high risk and the the prevalence of diabetic retinopathy was 42,2% NPDR, 55,6% PDR, 24,2% DME with early detection rate of retinopathy and nephropathy were 20% and 17,8%. Bivariate and multivariate analysis showed significant correlation with duration of DM (p=0,001) and albuminuria (p=0,008) with DRRS.
Conclusions: DRRS proportion in T2DM was high (28,7%) and this study showed that duration of DM and albuminuria were correlated with DRRS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58926
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margaretta Limawan
"ABSTRAK
Latar belakang. Diabetes mellitus DM merupakan salah satu penyakit kronis yang komplikasinya masih menjadi masalah besar di Indonesia. Salah satu komplikasi DM yang paling sering dan sering berakhir dengan kecacatan adalah kaki diabetik. Angka amputasi di Indonesia khususnya di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo RSCM masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara lain di Asia. Salah satu faktor predisposisi amputasi kaki diabetik adalah perfusi jaringan yang dapat diukur dengan ankle brachial index ABI . Studi sebelumnya menunjukkan hubungan signifikan antara ABI dengan kejadian amputasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan nilai ABI dengan besarnya risiko terjadinya amputasi minor dan mayor pada penderita kaki diabetic dalam populasi kami.Metode. Kami melakukan studi retrospektif pada 84 subjek dengan kaki diabetik yang diamputasi di RSCM selama periode 1 Januari 2013 sampai dengan 31 Desember 2014. Karakteristik subjek dan vaskular termasuk diantaranya ABI dianalisa secara statistik.Hasil. Kami dapatkan sepsis dengan adjusted OR 95 CI : 0,023 0,004 sampai 0,157 dan nilai ABI yang memiliki adjusted OR 95 CI : 2,89 1,33 sampai 6,29 merupakan variabel yang bermakna dengan kejadian amputasi pada pasien kaki diabetik.Kesimpulan. Subjek dengan nilai ABI 1,3 secara independen.
AbstractBackground
hr>
ABSTRACT
. Diabetes mellitus is one of the chronic diseases in which the complication is still a major problem in Indonesia. One of the most frequent complications of diabetes mellitus and often ends up with a disability is diabetic foot. The number of amputation in Indonesia, especially in dr. Cipto Mangunkusumo Hospital RSCM is quite high compared to other countries in Asia. One of predisposing factors of diabetic foot amputation is the tissue perfusion that can be measured by the ankle brachial index ABI . All the studies carried out abroad and in RSCM show a significant relationship between ABI and the incidence of amputation. This study aims to determine the relationship of ABI score with the magnitude of minor and major amputation risks in patients with diabetic foot.Method. The retrospective study was conducted in 84 patients with diabetic foot that were amputated at the RSCM during the period of January 1, 2013 to December 31, 2014. Samples were taken consecutively. Statistical analysis is done to find out a relationship between predisposing factors with the incidence of minor and major amputations in patients with diabetic foot. Chi Square test or Fisher, as well as multivariate analysis using logistic regression is used. The significance if p was "
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>