Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 79419 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rafinus Arifin
"Pendahuluan: Beberapa penelitian melaporkan bahwa injeksi PGE2 pada mukosa bukal yang dikombinasikan dengan tekanan ortodonti dapat mempercepat pergerakan gigi, namun mempunyai kekurangan berupa resorpsi yang besar pada tulang alveolar dan akar gigi, serta rasa sakit karena penggunaan jarum suntik. Gel dipilih untuk menggantikan bentuk injeksi. PGE2 dalam bentuk gel dibuat untuk mengatasi kekurangan pemberian PGE2 secara injeksi. Tujuan: untuk melihat kedalaman penetrasi pada lapisan mukosa mulut tikus dan membuktikan bahwa gel PGE2 dapat berpenetrasi pada mukosa mulut tikus berdasarkan observasi hitung jumlah sel-sel PMN.
Metode: Desain penelitian adalah eksperimental laboratorik in vivo. Uji efek penetrasi menggunakan 36 ekor tikus Sprague Dawley yang terdiri atas 16 tikus kelompok pengolesan gel PGE2, 16 tikus kelompok pengolesan gel tanpa PGE2 yang dibagi menjadi 1 jam, 2jam, 4 jam dan 8 jam pengolesan (setiap kelompok terdiri atas 4 tikus), serta 4 tikus tanpa perlakuan (normal) untuk validitas kelompok kontrol. Gel PGE2 dosis 25 µg/mL dan gel tanpa PGE2 dioleskan pada mukosa mulut rahang bawah selama 2 menit. Tikus di sacrifice setelah 1 jam, 2 jam, 4 jam dan 8 jam pengolesan. Kemudian dibuat sediaan histologi dengan pewarnaan Hematoxylin dan Eosin. Foto preparat diambil menggunakan OptiLab View. Hitung jumlah sel-sel PMN menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 100x untuk melihat kedalaman penetrasi pada lapisan mukosa dan pembesaran 400x untuk hitung jumlah PMN.
Hasil: Penetrasi gel PGE2 setelah 1jam, 2 jam, 4 dan 8 jam pengolesan telah mencapai lapisan sub mukosa, di tandai dengan peningkatan jumlah sel-sel PMN. Berdasarkan uji oneway ANOVA menunjukkan tidak ada perbedaan jumlah sel PMN yang bermakna pada mukosa rahang bawah tikus antara kelompok gel tanpa PGE2 dan normal. Terlihat peningkatan jumlah sel-sel inflamasi PMN secara bermakna antara kelompok pengolesan gel PGE2 dengan gel tanpa PGE2. (p=0,001).
Kesimpulan : Gel PGE2 dapat berpenetrasi ke mukosa mulut tikus. Kedalaman penetrasi gel PGE2 dapat mencapai submukosa. Efek penetrasi gel PGE2 pada mukosa mulut menunjukkan adanya peningkatan sel-sel PMN setelah 1 jam, 2 jam, 4 jam dan 8 jam pengolesan gel PGE2 dibandingkan kontrol.

Introduction: Several researchs reported that orthodontic force combined with PGE2 injection on buccal mucosa could accelerate tooth movement. But, it has a adverse effect such as over resorption of alveolar bone and root, also a pain due to needle infiltration. Gel was chosen to substitute injection. PGE2 in a form of gel is made to overcome the negative effects of PGE2 injection. Purpose: The aim of this study was to know the depth of the mucosal layer after PGE2 gel application and to prove that PGE2 gel could penetrate into oral mucosa based on the observation of PMN cells in rats.
Methods: The design is laboratory experience in vivo. Penetration test was using 36 rats Sprague Dawley that were divided into 16 rats with topical PGE2 gel , 16 rats with topical gel without PGE2 with 1 hour, 2 hours, 4 hours, and 8 hours of application (each group consists of 4 rats) and 4 rats with no interference (normal) to the validity of the control group. Gel with 25 µg/mL of PGE2 and gel without PGE2 were applied on oral mucosa for 2 minutes. Then, the rats were sacrificed after 1 hour, 2 hours, 4 hours, and 8 hours application. After that, the samples were prepared for histological examination with Hematoxyllin and Eosin. The picture were taken with OptiLab View and PMN cells –count with light microscope, set 100 times of magnification for observation the depth of PGE2 gel penetration and 400 times of magnification for count of PMN cells.
Results: It was shown the increase of PMN cells at all blasting in submucosa layer after 1 hour, 2 hour, 4 hour, and 8 hour of PGE2 gel application. ANOVA one-way test showed that there was no significant difference of the amount of PMN cells-count of mandible mucosa of rats between non-PGE2 gel and normal. However, there was significant difference of the amount of PMN cells-count between gel with PGE2 and gel without PGE2 ( p=0,001 ).
Conclusion : PGE2 gel could penetrate into rats oral mucosa. The depth of PGE2 gel penetration had reach the submucosa layer. The effect of PGE2 gel in oral mucosa showed PMN cells, 1 hour, 2 hour, 4 hour and 8 hour of topical application of PGE2 gel. The amount of PMN cells-count was significantly increased compared to control.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herlia Nur Istindiah
"Pendahuluan : Beberapa penelitian melaporkan bahwa injeksi prostaglandin pada mukosa bukal dikombinasikan dengan tekanan ortodonti telah terbukti dapat meningkatkan kecepatan pergerakan gigi. Namun sediaan dalam bentuk injeksi mempunyai kekurangan yaitu resorpsi tulang alveolar dan akar gigi yang besar, serta rasa sakit. Penggunaan PGE2 dalam bentuk gel diharapkan dapat mengatasi kekurangan pemberian PGE2 secara injeksi tersebut. Dalam kedokteran gigi belum ada gel PGE2 dan belum diketahui efek penetrasinya pada tulang alveolar.
Tujuan : Untuk membuktikan gel PGE2 dapat berpenetrasi ke tulang alveolar tikus berdasarkan hitung jumlah sel osteoklas.
Metode : Desain penelitian adalah eksperimental laboratorik in vivo. Penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus Sprague Dawley jantan, dibagi menjadi 12 tikus kelompok : perlakuan (rahang bawah sisi kanan) dan kontrol (rahang bawah sisi kiri) serta 12 tikus kelompok normal. Gel PGE2 dioleskan pada mukosa bukal rahang bawah kanan selama 2 menit dan gel tanpa PGE2 (gel CMC) dioleskan pada mukosa bukal rahang bawah kiri selama 2 menit. Pengolesan gel dilakukan berulang dengan interval jam ke 0, 4 dan 8 pada hari ke 0, 1, 2, 3 dan 4. Tikus disacrifice pada hari ke 1, 3 dan 5. Jumlah osteoklas dihitung pada sediaan histologi dengan pewarnaan Hematoxycillin – Eosin (H&E), menggunakan mikroskop cahaya pembesaran 100X.
Hasil : Pada uji one way ANOVA, terdapat peningkatan jumlah osteoklas yang bermakna pada hari ke 1, 3 dan 5 pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol dan normal. Terdapat perbedaan jumlah osteoklas yang bermakna pada hari ke 1, 3 dan 5 pada kelompok perlakuan. Peningkatan jumlah osteoklas tertinggi terdapat pada hari ke 3 pengamatan. Pada hari ke 5, terdapat penurunan jumlah osteoklas yang bermakna namun masih lebih tinggi dibandingkan hari ke 1.
Kesimpulan : Gel PGE2 dapat berpenetrasi mencapai tulang alveolar. Efek penetrasi gel PGE2 pada tulang alveolar menunjukkan adanya peningkatan jumlah osteoklas setelah pengolesan berulang pada hari 1, 3 dan 5 pada kelompok perlakuan dibandingkan kontrol.

Introduction: Several studies have reported that injection of prostaglandin on the buccal mucosa combined with orthodontic pressure could increase the speed of tooth movement. But PGE2 injection has disadvantages effect, such as pain, high resorption of alveolar bone and tooth root. PGE2 in form of gel is used to overcome the negative effect of PGE2 injection. In dentistry, until recently there is no PGE2 in form of gel and it’s penetration effect on alveolar bone is still unknown.
Objective: To proved that PGE2 gel could penetrate into rat alveolar bone based on osteoclast cell-count.
Methods: The study design is an experimental laboratory in vivo. This study, using 24 male Sprague Dawley that were divided into 12 rats with topical PGE2 gel on mandibular right buccal mucosa as a experiment group and mandibular left buccal mucosa with topical gel without PGE2 as a control group. Rats with no interference as a normal group. PGE2 gel and gel without PGE2 were applied on mandibular buccal mucosa for 2 minutes, with interval at 0 hour, 4 hour, and 8 hour of application on days 0, 1, 2, 3 and 4. Then, rats were sacrificed on days 1, 3 and 5. After that, the samples were prepared for histological examination with Hematoxyllin and Eosin (H&E). Osteoclasts cell-count using a light microscope, set 100x magnification.
Results: ANOVA one way test showed that there was a significant difference of osteoclasts cell-count on days 1, 3 and 5 in the experiment group compared to control and normal. In experiment group, there were significant differences of osteoclasts cell-count on days 1, 3 and 5. The highest of increasing of osteoclast cell-count were on day 3 observations. On day 5, there was a significant decrease of osteoclasts cell-count, but still higher than day 1.
Conclusion: PGE2 gel can penetrate into rats alveolar bone. The effects of topical application of PGE2 gel in alveolar bone showed an increased number of osteoclasts cellcount after repeated applications on days 1, 3 and 5 in the treatment group compared to controls.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Arifiani
"Latar Belakang: White spot merupakan salah satu efek samping perawatan ortodonti dengan piranti cekat. Keberadaan lesi ini setelah debonding menimbulkan masalah estetik.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai perubahan warna white spot paska debonding setelah aplikasi fluor dan CPP-ACP.
Metode: Pada penelitian ini digunakan empat puluh dua gigi premolar atas yang telah diekstraksi guna perawatan ortodonti, lalu dipasang braket, kemudian spesimen direndam dalam larutan demineralisasi untuk membentuk lesi white spot artifisial, dan selanjutnya braket dilepas. Sampel dibagi menjadi 3 kelompok (n= 14) secara acak untuk diberi perlakuan: (1) Aplikasi gel 1.23% APF; (2) Aplikasi pasta 10% CPP-ACP, dan (3) kontrol. Pengukuran perubahan warna dengan menggunakan spektrofotometer dilakukan pada 3 waktu yaitu pada sebelum dan setelah white spot artifisial dibentuk, dan setelah white spot diberi perlakuan.
Hasil: Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat perbedaaan warna white spot yang bermakna secara statistik sesudah perlakuan pada seluruh kelompok sampel. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada banyaknya perubahan warna white spot setelah aplikasi gel 1.23% APF dan pasta 10% CPP-ACP.
Simpulan: CPP-ACP memberikan hasil perubahan warna white spot yang lebih baik secara visual, namun tidak berbeda bermakna secara statistik dengan fluor.

Background: White spot are common side effect in orthodontic treatment. The presence of the lesions after the removal of orthodontic aplliances still remains an esthetic problem.
Objective: The aim of this study was to quantify color changes in post-debonding white spot lesions after fluor and CPP-ACP aplication.
Methods: Forty-two upper premolars which were extracted for orthodontic reasons, were selected as the sample teeth. Universal premolar brackets were bonded to the facial surfaces of the sample and the sample were exposed to demineralization solution to create artificial white spot lesions, and then brackets were debonded. The sample were randomly allocated into 1 of 3 groups (n= 14) and were assigned to this following treatment: (1) 1.23% APF gel; (2) 10% CPP-ACP paste, and (3) control group. Then all groups were assigned to pH cycling for 14 days. Color change measurements were determined using a spectrophotometer 3 times: before and after production of the artificial white spot lesions, and after the artificial white spot lesions were treated.
Results: This study showed that there was significant difference in the color of the artificial white spot lesions after treatment in all groups. There was not significant difference in the result of color changes between after aplication with 1.23% APF gel and 10% CPP-ACP paste.
Conclusions: CPP-ACP were giving better result in changing the color of white spot lesions, but it was not significantly different from the fluoride.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tinnie Effendy
"Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan persepsi ortodontis dan orang awam Indonesia terhadap posisi bibir pada profil wajah orang Indonesia ras Deutero-Malayid.
Metode: Posisi bibir pada foto profil wanita ras Deutero-Malayid dimodifikasi secara digital dalam arah anteroposterior terhadap garis E Ricketts sehingga diperoleh tujuh posisi bibir. Ketujuh foto ini kemudian dinilai oleh 24 ortodontis dan 24 orang awam wanita ras Deutero-Malayid berusia 25-55 tahun. Penilaian dilakukan dengan metode Visual Analogue Scale (VAS) dan pemilihan satu posisi bibir yang paling disukai.
Hasil: Perbedaan persepsi ortodontis dan orang awam yang bermakna dapat ditemukan pada penilaian VAS posisi bibir atas -2 mm dan posisi bibir bawah 0 mm; posisi bibir atas +4 mm dan posisi bibir bawah +6 mm; sertaposisi bibir atas +6 mm dan posisi bibir bawah +8 mm. Baik ortodontis maupun orang awam memilih posisi bibir atas -2 mm dan posisi bibir bawah 0 mm sebagai posisi bibir yang paling disukai.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan persepsi ortodontis dan orang awam terhadap posisi bibir pada profil wajah dalam hal kekritisan penilaian namun terdapat kesamaan pemilihan posisi bibir.

Aim: The aim of this study was to compare the perception of Indonesian orthodontists and laypersons to various lip positions in Indonesian Deutero-Malayid facial profile.
Method: The lip position in a female Deutero-Malayid profile photo was digitally adjusted in anteroposterior direction from Ricketts' E-line to obtain seven lip positions. These seven photos were then assessed by 24 female orthodontists and 24 female laypersons (25-55 years). Assessment were done with Visual Analogue Scale (VAS) and selection of the most preferred lip position.
Result: Significant differences between perception of orthodontists and laypersons were found for upper lip -2 mm and lower lip 0 mm; upper lip +4mm and lower lip +6 mm; upper lip +6 mm and lower lip +8 mm. Orthodontists and laypersons selected upper lips -2 mm and lower lips 0 mm as the most preferred lip position.
Conclusion: There were significant differences between orthodontists' and laypersons' perception regarding evaluation criticality toward lip positions in facial profile. However, both groups show same preference for lip position.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Anie Lestari
"Tujuan perawatan ortodonsi diantaranya mendapatkan profil wajah yang optimal. Para ortodontis berpendapat bahwa posisi bibir merupakan faktor yang sangat penting dalam menilai estetika wajah seseorang . Dalam upaya menegakkan diagnosa pada faktor estetika dan rencana perawatan ortodonsi sering timbul keraguan, karena saat ini masih dipakai norma standar ras Kaukasoid yang mungkin saja tidak sesuai untuk bangsa Indonesia. Seperti diketahui penilaian wajah cantik menarik sifatnya subjektif dan banyak dipengaruhi oleh perasaan, akan tetapi hasil perawatan yang diharapkan seharusnya bersifat subjektif dan objektif. Dengan demikian penilaian yang objektif dari masyarakat umum perlu sekali. Sebagai sampel, masyarakat Jawa dipilih secara acak oleh penulis dalam penelitian ini.
Tujuan penelitian ini mendapatkan nilai posisi bibir pada wanita yang dipandang balk terhadap garis E dari sudut pandang orang Indonesia suku Jawa dan untuk mengetahui apakah nilai posisi tersebut sama dengan standar Kaukasoid yang diteliti oleh Chaconas.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menanyakan kepada 76 responden suku Jawa terhadap penilaian 25 serf gambar profil wajah tentang posisi bibir yang dianggap baik.
Hasil penelitian menunjukkan 52.7 % responden memilih profil dengan posisi bibir atas - 0.58 mm dan bawah 0 mm dari garis E. 23.7 % memilih profil dengan posisi bibir atas - 0.58 mm bibir bawah + 1.4 mm .
Penulis menyimpulkan bahwa posisi bibir yang dianggap baik dari sudut pandang orang Indonesia suku Jawa terhadap garis E Chaconas adalah - 0.58 mm untuk bibir atas dan 0 mm untuk bibir bawah . Posisi tersebut berbeda dengan standar Chaconas yaitu posisi bibir atas berada di depan nilai standar."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1995
T-4018
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrati Tjiptobroto
"Pengukuran tinggi muka bawah (TMB) dari beberapa pasien anak-anak yang mempunyai gigitan dalam dengan rasio "upper face height terhadap lower face height" (rasio UFH/LFH) didapatkan nilai yang bervariasi. Padahal TMB merupakan salah satu faktor dalam tata laksana gigitan dalam dan pemilihan jenis alat retensi. Maka penelitian ini bertujuan apakah pada gigitan dalam tidak selalu dijumpai TMB yang menurun dan apakah sudut palatomandibular (sudut PP-MP) yang lebih kecil dari normal menunjukkan TMB yang menurun.
Penelitian ini berdasarkan analisa vertikal dari sefalometri ronsenografik lateral, yang dilakukan pada anak-anak Indonesia yang datang di Klinik Pasca Sarjana FKG-Ul. Kriteria sampel adalah anak-anak dengan tumpang gigit lebih dari 50%, hubungan molar satu K1. I Angle dan belum pernah dirawat ortodonsi.
Uji statistik terhadap rasio UFH/LFH dan sudut PP-MP dengan chi kuadrat didapatkan nilai xa sebesar 0,51 dan 0,183 pada p=0,05 dan df=1. Pengujian terhadap kelompok sudut yang normal dan menurun dimana masing--masing kelompok didapati nilai rasio UFH/LFH normal dan meningkat didapatkan nilai x2' sebesar 15,384 dan 9,782 pada p.=:0,05 dan df=1.
Hasil penelitian menunjukkan pada gigitan dalam didapati TMB yang 'normal dan menurun. Penafsiran TMB menurut rasio UFH/LFH selalu sama dengan sudut PP-MP. Dan sudut PP-MP yang kurang dari normal menunjukkan TMB yang menurun. Kedua parameter ini cukup sensitif dan konsisten dalam menggambarkan TMB. Dengan penggunaan kedua parameter ini diharapkan pengukuran TMB lebih akurat."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1995
T-9365
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Atika Zairina
"Pendahuluan: Braket ortodonti merupakan komponen penting dalam piranti ortodonti cekat karena menghantarkan gaya dari kawat ke struktur gigi dan jaringan pendukungnya sehingga terjadi pergerakkan gigi. Komposisi logam dan proses manufaktur braket Stainless Steel mempengaruhi sifat fisik dan mekanis, salah satunya kekerasan dan kekuatan. Tetapi, beberapa pabrik mengurangi biaya produksi dengan mengabaikan proses manufaktur yang sesuai dengan standarisasi. Hal ini dapat menyebabkan deformasi slot braket khususnya saat diaplikasikan gaya torque. Deformasi slot braket dapat mengurangi besar gaya torque yang akan dihantarkan ke gigi dan jaringan pendukungnya sehingga hasil perawatan tidak efektif dan efisien. Beberapa braket Stainless Steel yang beredar dipasaran masih diragukan kualitasnya dalam perawatan ortodonti.
Tujuan: Untuk membandingkan besar gaya torque akibat sudut puntir 300dan 450 kawat Stainless Steel serta deformasi slot permanen akibat gaya torque tersebut antara kelompok merk braket (3M, Biom, Versadent, Ormco dan Shinye).
Metode Penelitiian: Lima puluh braket Stainless Steel edgewise dari 5 kelompok merk braket (n=10) di lem ke akrilik. Masing-masing braket dilakukan pengukuran tinggi slot dengan mikroskop stereoskopi, lalu diaplikasikan puntiran kawat melalui alat yang sudah dibuat pada penelitian ini sehingga diperoleh besar gaya torque. Setelah uji torque, dilakukan kembali pengukuran tinggi slot braket. Deformasi slot pemanen dihitung dari selisih dua tahapan pengukuran tinggi slot yaitu sebelum dan sesudah aplikasi gaya torque.
Hasil: Analisis statistik menunjukkan perbedaan bermakna besar gaya torque pada sudut puntir 300 dan 450 antara Biom dan Shinye dengan Omrco. Gaya torque paling besar yaitu pada merk braket 3M (300= 442,12 gmcm dan 450= 567,99 gmcm), sedangkan yang terkecil adalah Biom (300= 285,50 gmcm, 450=361,38 gmcm). Perbedaan deformasi slot braket terjadi hampir pada semua kelompok merk braket. Deformasi slot braket hanya terjadi pada merk braket Biom (2,82 µm) dan Shinye (2,52 µm).
Kesimpulan: Bentuk geometri slot, komposisi, proses manufaktur braket Stainless Steel dan sudut puntir kawat mempengaruhi besar gaya torque. Komposisi AISI 303 dan 17-4 PH serta proses manufaktur melalui MIM menghasilkan deformasi slot braket yang kecil dan secara klinis tidak signifikan.

Introduction: Orthodontic bracket is an important component in fixed orthodontic appliances for distributing force to the structure of the tooth and its supporting tissues, causing tooth movement. Alloy composition and manufacturing process Stainless Steel bracket affects the physical and mechanical properties, one of which hardness and strength. However, some manufacturers reduce costs at the manufacturing process in accordance with standards. This can cause deformation of the bracket slot especially when applied torque force. In addition, slot deformation can reduce the torque force that will be transmitted to the tooth and its supporting tissues so that the treatment is ineffective and inefficient. Therefore, some Stainless Steel brackets quality in the market is still questionable for orthodontic treatments.
Objective: To determine the deformation of the bracket slot of five brands (3M, Biom, Versadent, Ormco and Shinye) due to the force Stainless Steel wire with torsional angle of 45° and the amount of torque force with torsional angle of 30° and 45°.
Methods: Fifty Stainless Steel Edgewise brackets from five bracket groups brands (n = 10) is attached onto an acrylic. Each bracket slot height was measured with a microscope stereoscopy, then applied torsion wire through torque apparatus that has been made for this study to obtain the amount of torque force. Once the torque test has been done, then the width of bracket slot is re-measured. Deformation slot calculated from measurements of height difference between before and after the torque test.
Results: Statistical analysis shows differences in slot bracket deformation in all group of bracket brands. But, clinically permanent slot deformation deformation occurs only on Biom (2.82 µm) and Shinye (2.52 µm). Repeated measure ANOVA comparison showed significant differences in the amount of torque at torsion angle of 300 and 450 between Biom and Shinye with Omrco. The 3M transmitted highest load (300 = 442,12 gmcm and 450 = 567,99 gmcm), while the lowest is Biom (300 = 285,50 gmcm and 450 = 361,38 gmcm).
Conclusion: Stainless Steel bracket slot deformation is influenced by several factors specifically geometry bracket slot, the composition of the metal, manufacture and torsional angle wire. Alloy composition of AISI 303 and 17-4 PH and manufacture by the method of metal injection molding (MIM) has the smallest deformation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Krisnawati
"Pencabutan gigi untuk keperluan perawatan ortodonti telah menjadi perdebatan selama bertahun-tahun. Berkaitan dengan hal tersebut, maka telah dilakukan studi pendahuluan untuk melihat "Kecenderungan perawatan ortodonti dengan pencabutan gigi ditinjau dari faktor usia, jenis kelamin dan maloklusi " pada pasien ortodonti di Jakarta periode tahun 1993 - 1995.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawatan ortodonti dengan pencabutan cenderung meningkat pada periode tersebut, meskipun prosentasenya masih dalam rentangan 25 % - 85 % . Pasien perempuan jumlahnya lebih banyak daripada laki-laki. Pada penelitian ini terlihat bahwa kelompok umur 13-17 tahun adalah yang terbanyak mendapat perawatan ortodonti dan maloklusi yang terbanyak dijumpai adalah maloklusi klas I.
Angka prevalensi dan data-data yang diperoleh memperlihatkan bahwa pencabutan cukup sering menjadi pilihan dalam melakukan perawatan ortodonti, meskipun pasien masih berusia muda dan maloklusi bersifat dental."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1996
T-3747
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuri Deswita
"Tujuan: Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan besar friksi kinetik antara kombinasi braket Stainless Steel (SS) Edgewise slot .018 dan kawatSS .017X.025, dengan kombinasi braket slot .022 dan kawat SS.019X.025 pada saat pergerakan sliding gigi kaninus.
Metode: Penelitian laboratoris ini terdiri dari 96 sampel yang terbagi atas dua kelompok slot braket, dan setiap kelompok slot braket terbagi atas empat kelompok beban tahanan. Besar friksi kinetik diukur dengan Universal Testing Machine merk ChatillonTM pada kedua kelompok slot braket saat pergerakan sliding gigi kaninus yang diberi beban tahanan 0, 50 gr, 100 gr, dan 150 gr.
Hasil: Friksi kinetik pada kelompok braket slot .018 lebih besar daripada slot .022 secara bermakna pada kelompok beban tahanan 0, 50 gr, dan 100 gr, namun tidak bermakna pada kelompok beban tahanan 150 gr. Besar friksi kinetik meningkat secara bermakna seiring peningkatan besar beban tahanan 50 gr, 100 gr, dan 150 gr pada kedua kelompok slot braket.
Kesimpulan: Friksi kinetik pada kombinasi braket SS Edgewise slot .018 dan kawat SS .017X.025 terjadi lebih besar daripada kombinasi braket slot .022 dan kawat SS .019X.025.

Objectives: The objective of this study was to compare kinetic frictional force of Stainless Steel (SS) Edgewise bracket between .018 slot coupled with .017X.025 SS wire and .022 slot coupled with .019X.025 SS wire in simulated sliding canine movement.
Methods: This in-vitro study was done to measure kinetic frictional force of 96 samples, divided into two bracket slot groups and each of bracket slot groups was divided into four retarding force groups. Kinetic frictional force was measured byChatillonTM UniversalTesting Machine for both bracket slot groups, in simulated sliding canine movement using 0, 50 gr, 100 gr, and 150 gr retarding forces.
Results: Kinetic frictional force was significantly greater for the .018 than .022 bracket slot in the 0, 50 gr, and 100 gr retarding force groups, but it was not significant in the 150 gr retarding force group. Frictional force increased with the increasing of the 50 gr, 100 gr, and 150 gr retarding forces for both bracket slot groups.
Conclusions: Kinetic frictional force of the .018 SS Edgewise bracket slot coupled with .017X.025 SS wire is greater than the .022 bracket slot coupled with .019X.025 SS wire.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cinta Nurindah Sari
"ABSTRAK
Latar Belakang: Psikososial merupakan kondisi yang meliputi aspek psikis dan sosial. Estetika wajah dapat menentukan perlakuan sosial yang diterima seorang individu dari lingkungannya. Gigi-geligi merupakan komponen penting dalam estetika wajah. Susunan gigi-geligi buruk dapat mengakibatkan berbagai masalah terkait fungsi maupun psikososial, namun dapat diatasi oleh perawatan ortodonti. Meskipun demikian, seringkali individu belum sadar akan kebutuhan perawatan ortodontinya. Ditemukan kontradiksi pada berbagai hasil penelitian sebelumnya mengenai hubungan status psikososial dan kebutuhan perawatan ortodonti, terutama pada usia remaja. Tujuan: Mengetahui hubungan status psikososial dengan kebutuhan perawatan ortodonti menggunakan PIDAQ dan IOTN pada siswa SMAN 27 Jakarta Pusat. Metode: Dilakukan penelitian potong lintang pada 95 remaja. Diberikan kuesioner PIDAQ untuk mengetahui status psikososial dan IOTN-AC untuk mengetahui kebutuhan perawatan ortodonti secara subjektif, serta digunakan IOTN-DHC untuk mengetahui kebutuhan perawatan ortodonti secara objektif. Hasil: Nilai signifikansi uji chi-square antara status psikososial dengan kebutuhan perawatan ortodonti berdasarkan IOTN-AC yaitu p = 0,001 dan nilai signifikansi uji chi-square antara status psikososial dengan kebutuhan perawatan ortodonti berdasarkan IOTN-DHC yaitup = 0,140. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara status psikososial berdasarkan PIDAQ dengan kebutuhan perawatan ortodonti berdasarkan IOTN-AC dan tidak terdapat hubungan antara status psikososial berdasarkan PIDAQ dengan kebutuhan perawatan ortodonti berdasarkan IOTN-DHC pada siswa SMAN 27 Jakarta Pusat.

ABSTRACT
Background: Psychosocial is a condition involves psychological and social aspects. Facial aesthetics affects how someone is treated by their surrounding. Teeth arrangement is an important component in facial aesthetics. Misaligned teeth often cause various problems, but can be overcome by orthodontic treatment. However, individuals are often not aware of their orthodontic treatment needs. Previous studies show contradictory results on association of psychosocial status and orthodontic treatment need. Objective: To determine whether psychosocial status associated with orthodontic treatment need using PIDAQ and IOTN in students of SMAN 27 Jakarta.Methods: This cross-sectional study comprised 95 adolescents. PIDAQ was given to assess psychosocial status and IOTN-AC was given to assess subjective treatment need. IOTN-DHC was used to assess objective treatment need. Results: The significance value of chi-square test between psychosocial status and orthodontic treatment need based on IOTN-AC is p = 0.001 and the significance value of chi-square test between psychosocial status and orthodontic treatment need based on IOTN-DHC is p = 0.140. Conclusion: There is an association between psychosocial status based on PIDAQ and orthodontic treatment need based on IOTN-AC and no between psychosocial status based on PIDAQ and orthodontic treatment need based on IOTN-DHC in students of SMAN 27 Jakarta."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>