Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179396 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harahap, Nofria Rizki Amalia
"Pandemi Coronavirus disease-19 (COVID-19) telah secara drastis mempengaruhi kesehatan global. Salah satu komplikasi COVID-19 yang berbahaya adalah pneumonia. Berbagai jenis antibiotik telah digunakan untuk pencegahan dan pengobatan pneumonia pada pasien COVID-19. Pemberian antibiotik yang tidak sesuai dapat memicu resistensi antibiotik sehingga berdampak pada peningkatan mortalitas pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kesesuaian pemberian antibiotik berdasarkan diagram alir Gyssen terhadap luaran klinis pasien terkonfirmasi COVID-19 dengan pneumonia. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional. Sampel penelitian adalah 72 pasien rawat inap yang mendapat diagnosis COVID-19 terkonfimasi dan pneumonia di RSUP Fatmawati Jakarta pada periode Maret hingga Desember 2020 yang memenuhi kriteria inklusi. Pasien terkonfirmasi COVID-19 dengan pneumonia memiliki rerata usia 53,13 ± 12,61 tahun. Pasien dengan derajat penyakit COVID-19 berat atau kritis (66,7%) lebih banyak dibandingkan non-berat (33,3%). Jumlah pasien meninggal yang dilaporkan dalam penelitian ini adalah 36 (50%). Berdasarkan evaluasi antibiotik menggunakan diagram alir Gyssen diperoleh hasil sejumlah 11 dari 72 (15,3%) pasien menggunakan regimen antibiotik yang tidak sesuai. Karakteristik ketidaksesuaian antibiotik, meliputi: ketidaktepatan pemilihan antibiotik (2,8%) dan durasi antibiotik (12,5%). Kesesuaian pemberian antibiotik berdasarkan diagram alir Gyssen tidak berpengaruh secara bermakna terhadap luaran klinis pasien terkonfirmasi COVID-19 dan pneumonia.

The COVID-19 pandemic affected global health drastically. COVID-19 becomes more dangerous if pneumonia attacks COVID-19 patients as a complication. Numerous types of antibiotics were used for the prevention and treatment of pneumonia in COVID-19 patients. Inappropriate administration of antibiotics caused antibiotic resistance and influenced patient mortality. This research aims to analyze the effect of appropriate antibiotics administration according to Gyssen flowchart on clinical outcomes of confirmed COVID-19 patients with pneumonia. This research was conducted using a cross-sectional design. A total of 72 COVID-19 confirmed inpatients with pneumonia diagnosis from March to December 2020 at Fatmawati Hospital Jakarta whose met inclusion criteria were included in our study. The mean age of all patients was 53.13 ± 12.61 years. The percentage of critical or severe ill patients (66.7%) was higher than those who were having noncritical diseases (33.3%). 36 (50%) death were reported in our patient population. 11/72 (15.3%) antibiotic regimens were found to be inappropriate. Characteristics of inappropriate antibiotics included: incorrect choice (2.8%) and duration of antibiotics (12.5%). We conclude that appropriate administration of antibiotics based on the gyssen flowchart was not significantly associated with the clinical outcomes of confirmed COVID-19 with pneumonia patients."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jason Nathanael Adhimulia
"Latar belakang: Saat ini, pasien Coronavirus Disease-19 (COVID-19) derajat sedang dan berat umumnya menerima antibiotik secara dini (<24 jam) dengan pertimbangan kemungkinan infeksi sekunder atau ko infeksi bakteri yang merupakan faktor risiko kematian. Hal ini mengakibatkan pengunaan antibiotik yang berlebihan karena proporsi rendah infeksi sekunder dan ko-infeksi bakteri pada pasien COVID-19 yang meninkatkan risiko resistensi antibiotik. Pemeriksaan penunjang untuk membuktikan keberadaan infeksi sekunder dan ko-infeksi bakteri dapat mengarahkan pemberian antibiotik pada pasien yang tepat. Pada studi ini, pengaruh pemberian antibiotik dini terhadap mortalitas pasien COVID-19 derajat sedang dan berat akan diteliti. Metode: Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik observasional dengan desain retrospektif kohort. Data penelitian diperoleh melalui rekam medis elektronik pasien COVID-19 yang diadmisi mulai Desember 2020 sampai Maret 2021. Pasien yang menerima antibiotik dini adalah pasien yang menerima antibiotik >24 jam setelah admisi. Analisis data dilakukan dengan program SPSS versi 20. Hasil: Dari 180 pasien rawat inap dengan COVID-19, 72 pasien dieksklusi karena tidak memenuhi kriteria eligibilitas sampel. Dari 108 pasien yang terinklusi, 74 (68.5%) pasien memiliki COVID-19 derajat sedang dan 34 pasien (31.5%) memiliki COVID-19 derajat berat. Antibiotik dini diberikan pada 79 (73.1%) pasien dengan median waktu mulai antibiotik 2 hari pada pasien yang tidak menerima antibiotik dini. Hasil analisis univariat tidak menemukan pengaruh signifikan pemberian antibiotik dini pada pasien COVID-19 sedang dan berat (p=0.42). Analisis sub-group berdasarkan derajat penyakit juga tidak menemukan hasil yang signifikan. Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan pemberian antibiotik dini terhadap mortalitas pasien COVID-19 derajat sedang dan berat.

Introduction: Currently, moderate and severe Coronavirus Disease-19 (COVID-19) patients receive early antibiotic (<24 hours) considering the possibility of bacterial secondary infection or co-infection which is a risk factor for mortality. This practice results in overuse of antibiotic because of low proportion of  bacterial secondary infection or co-infection in COVID-19 patients. Evaluation of patients to establish the bacterial infection before antibiotic administration could reduce the use of antibiotic in COVID-19 patients. However, there is no evidence that has proven the safety of delaying the antibiotic administration in moderate and severe COVID-19 patients. Method: This study is an observational study with retrospective cohort design. The study data came from electronic health record of Ciptomangunkusumo hospital from December 2020 to March 2021. Patients that receive antibiotic at the day of admission is categorized as early antibiotic and those who don’t is categorized as not early antibiotic. Data analysis is done by using SPSS ver.20. Result: Out of 180 inpatients with COVID-19, 72 patients were excluded because of ineligibility. From 108 included patients, 75 (68.5%) had moderate COVID-19 and 34 (31.5) had severe COVID-19. Early antibiotic was administered in 79 (73.1%) patients with 2 days median time of antibiotic administration in patients who did not receive early antibiotic. Univariate analysis did not find significant association between early antibiotic administration with mortality (p=0.42). Subgroup analysis of COVID-19 severity also did not show any significant association. Conclusion : Early antibiotic administration does not impact mortality of moderate and severe COVID-19 patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mareoza Ayutri
"Wabah COVID-19 yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 (severe acute respiratory syndrome coronavirus 2) telah menjadi pandemi di seluruh dunia. Para peneliti berupaya untuk mengetahui dan mengembangkan obat-obatan yang berpotensi dalam melawan penyakit ini dengan mengevaluasi kembali obat yang kemungkinan dapat melawan virus ini. Oseltamivir dan favipiravir merupaka obat yang disetujui untuk pengobatan dan menunjukkan aktivitas ampuh melawan SARS-CoV-2. Namun, pengobatan definitif dari wabah ini belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efek oseltamivir dan favipiravir pada pasien terkonfirmasi COVID-19 terhadap luaran klinis dan lama rawat. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dan retrospektif dengan menggunakan data rekam medis pasien rawat inap periode Maret hingga Oktober 2020. Penelitian dilakukan di RSUP Fatmawati Jakarta. Total sampel 114 pasien dengan 98 pasien (86%) menerima terapi oseltamivir dan 16 pasien (14%) menerima favipiravir. Proporsi pasien dengan luaran klinis sembuh adalah 101 pasien (88,6%) sedangkan 11 pasien meninggal (11,4%). Sebagian besar pasien memiliki lama rawat ≤ 14 hari (58,8%) sedangkan pasien dengan lama rawat > 14 hari sebanyak 41,2%. Efek antivirus (oseltamivir dan favipiravir) terhadap luaran klinis tidak signifikan secara statistik (p=0,690, OR=0,478, IK95% 0,058-3,950). Hubungan antara antivirus terhadap lama rawat juga tidak signifikan secara statistik (p=0,852, OR=0,767, IK95% 0,251-2,342). Variabel independen lain yang mempengaruhi luaran klinis ialah derajat keparahan (p=0,004) dan komorbid (p=0,009) sedangkan variabel lain yang mempengaruhi lama rawat ialah usia (p=0,005). Pada studi ini dengan data Maret hingga Oktober 2020 menunjukkan bahwa oseltamivir dan favipiravir tidak memiliki hubungan bermakna terhadap luaran klinis maupun lama rawat pasien terkonfirmasi COVID-19. Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat tetapi studi lebih lanjut tetap diperlukan.

The outbreak of COVID-19 caused by SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2) is a worldwide pandemic. It has led researchers to develop drugs to fight against this ailment. Repurposed drugs have been evaluated to accelerate the treatment of COVID-19 patients. Oseltamivir and Favipiravir are drugs approved for the treatment of influenza. Both drugs have shown potent activity against SARS-CoV-2. Nevertheless, definitive treatment of this outbreak has not been confirmed yet. This study aims to evaluate the effect of oseltamivir and favipiravir in patients with confirmed COVID-19 on clinical outcomes and length of stay. It is a retrospective cross-sectional study using medical record data. The study was conducted at Fatmawati General Hospital Jakarta between March to October 2020. In this study, 98 patients (86.0%) received oseltamivir, while 16 patients (14.0%) received favipiravir. The mortality rate was 11.4% (13 patients), while the recovered was 88.6% (103 patients). Most of the patients had LoS (Length of Stay) of ≤ 14 (58.8%), while patients with LoS > 14 days were 41.2%. Antivirals (oseltamivir and favipiravir) effect on clinical outcome was not statistically significant (p = 0.690; OR = 0.478; CI95% 0.058-3.950) .Likewise, the association between antivirals and LoS was not statistically significant (p = 0.852; OR = 0.767; CI95% 0.251-2.342). Other independent variables that affect the clinical outcome are the degree of severity (p=0.004) and comorbidities (p=0.009), while another variable that affects the length of stay is age (p=0.005). In conclusion, oseltamivir and favipiravir were not significantly associated with clinical outcomes and length of stays in COVID-19 patients on March to October 2020. We hope this study will provide useful information about COVID-19 therapy. However, further study needs."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Aisyah
"Latar Belakang: The Coronavirus disease 2019 (COVID-19) merupakan infeksi oleh severe acute respiratory syndrome Coronavirus 2 (SARS-COV-2) yang menjadi perhatian internasional pada Januari 2020. Manifestasi kasus ringan terjadi sekitar 81%, kasus berat sebanyak 14%. Mortalitas akibat pneumonia COVID-19 meningkat secara global akibat transmisi cepat dan gejala awal yang atipikal. Usia ≥ 60 tahun, jenis kelamin laki-laki dan komorbiditas merupakan faktor risiko untuk menjadi berat dan kematian sehingga dibutuhkan kontrol ketat pada pasien berisiko.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan studi potong lintang. Sampel penelitian merupakan pasien yang datang ke IGD dan terkonfirmasi pneumonia COVID-19 yang masuk dalam kriteria inklusi. Sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 299 pasien.
Hasil Penelitian: Pada penelitian ini didapatkan subjek penelitian adalah 299 dari 336 pasien yang masuk dalam kriteria inklusi. Jenis kelamin laki-laki sebanyak 162 orang (54,18%), nilai IMT obesitas I (29,77%) dan diikuti IMT normal (28,76%), paling banyak tidak memiliki komorbid dengan derajat pneumonia berat (60,2%) dan luaran pasien sebanyak 69,2% adalah hidup. Komorbid terbanyak yaitu hipertensi (30,77%), Diabetes mellitus (24%) dan kardiovaskular (14%). Usia median hidup pasien pneumonia COVID-19 di RS Persahabatan adalah 52 th (20-84) dan median usia meninggal adalah 59 th (28-92). Terdapat hubungan bermakna antara derajat klinis, HT, IMT dan DM terhadap luaran pasien pneumonia COVID-19 di RS Persahabatan.
Kesimpulan: Usia median hidup pasien pneumonia COVID-19 di RS Persahabatan adalah 52 th (20-84) dan median usia meninggal adalah 59 th (28-92). Terdapat hubungan bermakna antara derajat klinis, HT, IMT dan DM terhadap luaran pasien pneumonia COVID-19 di RS Persahabatan.

Background: The Coronavirus disease 2019 (COVID-19) is an infection by severe acute respiratory syndrome Coronavirus 2 (SARS-COV-2) which became international attention in January 2020. The manifestation of mild cases occurred about 81%, severe cases as much as 14%. Mortality of COVID-19 pneumonia increasing globally due to rapid transmission and atypical symptoms. Age of 60 years, male gender and comorbidities are risk factors for severe and death so that strict control is needed.
Methods: This study is retrospective cross-sectional study, which samples were patients who came to emergency room and confirmed of COVID-19. The samples are 299 patients who included of inclusion criteria.
Results: The sample of this study were 299 patients out of 336 patients who were include in inclusion criteria. Male (54.18%) are the most common, Obesity class I was the most common (29.77%) followed by normal BMI (28,76%) and didn’t have comorbid with severe (60.2%) and outcome are survived (69.2%). Hypertension (30,77%) is the most comorbid, followed by diabetes melitus (24%) and cardiovascular (14%). The median age of survivor is 52 (20-84) years old and median age of non survivor is 59 (28-92) years. There was relationship between severe pneumonia to respiratory rate and peripheral oxygen saturation. Gender, number of comorbidities and BMI were not related to the outcome. There is a relationship between the severity of pneumonia, obesity, diabetes and hypertension to the outcome.
Conclusion: The median age of survivor is 52 (20-84) years old and median age of non survivor is 59 (28-92) years. There was relationship between severe pneumonia to respiratory rate and peripheral oxygen saturation. Gender, number of comorbidities and BMI were not related to the outcome. There is a relationship between the severity of pneumonia, obesity, diabetes and hypertension to the outcome.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Khairuna Maniar
"Pada akhir tahun 2019 ditemukan sekelompok kasus pneumonia tanpa diketahui penyebabnya di Kota Wuhan, Cina, yang akhirnya disebut dengan COVID-19. Sejak itu penyakit menular ini tersebar ke seluruh dunia dengan sangat pesat dan berujung menjadi pandemi. Dari data WHO menyebutkan, bahwa pada tanggal 29 Juni 2020 sudah tercatat angka positif COVID-19 sebanyak 10 juta kasus lebih dan kematian hampir menyentuh angka 500 ribu kasus. Untuk jumlah kasus positif di Indonesia terdapat 54 ribu lebih kasus dan kematian sebanyak 2,7 ribu lebih kasus. WHO menyatakan bahwa, salah satu kunci dari suksesnya respon gawat darurat kesehatan adalah komunikasi risiko dan hubungan dengan komunitas, maka dibutuhkan sekali edukasi kepada masyarakat mengenai COVID-19 demi mengakhiri pandemi ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui gambaran pengetahuan, sikap dan perilaku tenaga kependidikan Fakultas Kesehatan dengan Fakultas Non Kesehatan Univeritas Indonesia terhadap pencegahan COVID-19 tahun 2020. Desain studi yang digunakan adalah studi cross-sectional dengan data primer. Sampel yang digunakan pada penelitian ini ialah tenaga kependidikan dari Fakultas kesehatan dengan Fakultas Non Kesehatan Univeritas Indonesia. Total sampel pada penelitian ini, yaitu sebesar 83 sampel. Hasil penelitian ini menunjukkan Fakultas Kesehatan mendapatkan nilai pengetahuan (83,33%), sikap (59,52%) dan perilaku (97,61%) baik lebih tinggi dibandingkan dengan Fakultas Non Kesehatan. Sumber informasi yang paling banyak diakses oleh responden untuk mendapatkan informasi mengenai COVID-19 adalah Media Elektronik (TV, Radio, Media Sosial, dll). Serta didapatkan bahwa pengaruh tinggi oleh teman lebih banyak didapatkan oleh responden dari Fakultas Kesehatan (83,33%). Diharapkan dari hasil penelitian ini pihak berwenang bisa terus menegakkan kebijakan dan mengedukasi semua warga universitas untuk meningkatkan pengendalian COVID-19.

At the end of 2019 a group of pneumonia cases with unknown cause was found in Wuhan City, China, which was finally referred to as COVID-19. Since then, this infectious disease spread throughout the world very fast and led to a pandemic. Data from WHO, states that on June 29th 2020, number of positive cases were recorded more than 10 million cases and deaths almost reached 500 thousand cases. For the number of positive cases in Indonesia there are 54 thousand more cases and 2.7 thousand more deaths. WHO states that, one of the keys to the success of the health emergency response is risk communication and community relations, therefore it is necessary to educate the public about COVID-19 to end this pandemic. This study aims to observe the overview in knowledge, attitudes and practice of the educational personnel of the Health Faculty and Non-Health Faculty of the University of Indonesia towards the prevention of COVID-19 in 2020. The study design used was a cross-sectional study with primary data. The sample used in this study was educational personnel from Health Faculty and Non-Health Faculty of the University of Indonesia. The total sample in this study was 83 samples. The results of this study indicate that the Health Faculty got a better score of knowledge (83.33%), attitude (59.52%) and behavior (97.61%) than the Non-health Faculty. The source of information most accessed by respondents to get information about COVID-19 is electronic media (TV, Radio, Social Media, etc.). And it was found that high influence by friends was more obtained by respondents from the Faculty of Health (83.33%). It is hoped that from the results of this study the authorities can continue to enforce policies and educate all university residents to improve COVID-19 control."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Shintya Dewi Paramanindi
"Pneumonia selalu menduduki peringkat atas penyebab kematian anak di Indonesia dari tahun ke tahun. Pneumonia juga selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya di fasilitas kesehatan. Tingginya faktor risiko pneumonia yang terdapat di perkotaan membuat pneumonia menjadi salah satu masalah kesehatan di perkotaan. Karya ilmiah ini bertujuan untuk memberi gambaran asuhan keperawatan yang telah diberikan pada anak dengan bronkopneumonia di RSUP Fatmawati dan menganalisa tindakan fisioterapi dada sebagai terapi non farmakologi untuk masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas. Hasil yang diperoleh setelah melakukan fisioterapi dada pada anak dengan bronkopneumonia yaitu terjadi peningkatan status pernapasan yang ditandai dengan berkurangnya hasil scoring WCSSS.

Pneumonia is always ranked top cause of child deaths in Indonesia from year to year. Pneumonia also always be on the list of 10 biggest disease each year in health care facilities. The high pneumonia risk factors contained in the urban make pneumonia became one health problem in urban areas. This paper aims to give an overview of nursing care that has been given to children with bronchopneumonia in Fatmawati chest physiotherapy and analyze actions as nonpharmacological therapy for nursing problems ineffectiveness airway clearance. The results obtained after chest physiotherapy in children with bronchopneumonia is an increase in respiratory status characterized by reduced WCSSS scoring results.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rossalyn Andromeda
"Latar Belakang: Pandemi COVID-19 telah menjadi ancaman kesehatan global dengan tingginya kasus dan kematian di seluruh dunia. Untuk membantu dokter dan pasien dalam mengambil keputusan terkait perawatan dan tindak lanjut, skor prognosis telah digunakan untuk memprediksi risiko kematian pasien dengan COVID-19. Saat ini terdapat beberapa skor prognostik dan mortalitas yang digunakan untuk COVID-19 yang bervariasi dalam pengaturan, ukuran hasil yang diprediksi dan parameter klinis yang disertakan. Penelitian membandingkan akurasi aplikasi prediksi luaran Clinical Assessment Tool (CAT) COVID dan Coronavirus Clinical Characterisation Consortium (4C) Mortality Score Pada Pasien COVID-19 Terkonfirmasi Pada Perawatan Di Rumah Sakit Universitas Indonesia: Tinjauan Hubungan Status Vaksinasi. Metode: Penelitian ini adalah suatu penelitian observasional dengan metode potong lintang menggunakan data rekam medis pasien COVID-19 di RS Universitas Indonesia Depok. Proses pengumpulan data dimulai sejak Oktober 2023. Pasien dengan status vaksin COVID-19 yang datang ke RSUI dengan keluhan mengarah ke COVID-19 pada periode Januari - Desember 2022 dengan kriteria subjek berusia >18 tahun diambil secara consecutive sampling sebanyak 344 subjek. Hasil: Jumlah subjek pada penelitian ini sebanyak 91. Aplikasi prediksi 4C lebih baik yaitu dengan nilai AUC 73.5% (sensitivitas 78.9% dan spesifisitas 68%) dibandingkan CAT COVID dengan AUC 52.1% (sensitivitas 74% dan spesifisitas 30%). Nilai kesesuaian antara aplikasi CAT COVID dengan aplikasi 4C mortality score dengan uji kappa adalah sebesar 0.094. Bila dinilai dari jumlah subjek, kedua aplikasi prediksi memiliki penilaian prediksi dengan hasil yang sama pada 47 subjek dan terdapat perbedaan prediksi pada 44 subjek. Kesimpulan: Aplikasi prediksi kematian 4C mortality score terjangkau dan mudah untuk digunakan pada fasilitas kesehatan dalam memprediksi kematian sehingga tenaga kesehatan bisa menentukan perawatan dan tindak lanjut untuk pasien serta edukasi mengenai prognosis kepada pasien dan keluarga pasien. Aplikasi 4C mortality score memiliki variabel yang sederhana dengan hasil berupa tingkatan kelompok prediksi risiko kematian ringan, sedang, berat dan sangat berat.

Background: The corona virus disease 19 (COVID-19) pandemic has become a significant global health threat, with cases and deaths increasing in the worldwide. To assist doctors and patients in making decisions regarding treatment and follow-up, prognosis scores have been used to predict the risk of death in patients with COVID-19. Currently, there are several prognostic and mortality scores used for COVID-19 that vary in setting, predicted outcome measures, and included clinical parameters. Research comparing the accuracy of outcome prediction applications, such as the Clinical Assessment Tool (CAT) COVID, and the Coronavirus Clinical Characterisation Consortium (4C) Mortality Score in Confirmed COVID-19 Patients Under Treatment at Universitas Indonesia Hospital: A Review on Vaccination Status Relationship. Method: This study is an observational research employing a cross-sectional method utilizing medical record data of COVID-19 patients at Universitas Indonesia Hospital in Jakarta. The data collection process commenced in October 2023. Patients with COVID-19 vaccine status presenting to RSUI with complaints suggestive of COVID-19 during the period of January to December 2022, with the criteria of subjects aged > 18 years, were consecutively sampled, totalling 344 subjects. Results: The total number of subjects in this study was 91. The 4C mortality score application performed better, with an accuracy of 73.5% (sensitivity 78.9% and specificity 68%) compared to CAT COVID with an AUC of 52.1% (sensitivity 74% and specificity 30%). The concordance value between CAT COVID application and 4C mortality score application with kappa test was 0.094. When assessed by the number of subjects, both prediction applications had the same prediction outcome in 47 subjects, and there was a difference in prediction in 44 subjects. Conclusion: The 4C mortality score prediction applications are accessible and affordable in healthcare facilities for predicting mortality, allowing healthcare professionals to determine treatment and follow-up for patients as well as provide prognosis education to patients and their families. The 4C mortality score application has simple variables with prediction results in the form of risk group prediction levels low, intermediate, high and very high."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maryati
"Penumonia menjadi penyebab utama kematian balita. Penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners ini bertujuan memberi gambaran asuhan keperawatan pada balita dengan pneumonia. Berdasarkan hasil pengkajian pada klien dengan pneumonia didapatkan tanda dan gejala demam, batuk, pilek, sesak, pernafasan cuping hidung, frekuensi pernafasan meningkat, hasil laboratorium leukositosis, serta gambaran foto thorak terkesan gambaran pneumonia. Intervensi tepid water sponge adalah salah satu tindakan mandiri perawat untuk menurunkan gejala demam. Evaluasi menunjukan bahwa tindakan tepid water sponge yang disertai dengan pemberian antipiretik adalah tindakan efektif untuk menurunkan demam pada anak. Karya ilmiah ini memberikan saran bagi perawat rumah sakit agar mengoptimalkan tindakan tepid water sponge untuk menurunkan demam pada anak dan penerapanya dapat melibatkan keluarga.

Pneumonia is to be the main cause of infant death. Final Scientific Writing nurses aims to give an overview of nursing care in children with pneumonia. Based on the results of the assessment on a client with pneumonia found the signs and symptoms of fever, cough, cold, breathless, nostril breathing, increased respiratory rate, leukocytosis laboratory results, as well as an overview of photos thoracic impressed pneumonia. Intervention tepid water sponge is one nurse independent action to reduce fever. Evaluation shown that tepid water sponge action coupled with antipyretic treatment is effective measures to reduce fever in children. This paper provided advice to nurses in order to optimize tepid water sponge action to reduce fever on children and their applicability can involve the family.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Juwita
"Latar Belakang: Pneumonia berat adalah infeksi saluran napas yang masih memiliki angka mortalitas yang tinggi. Pasien pneumonia berat sering kali memerlukan intubasi untuk mencapai ventilasi yang adekuat. Terjadinya kegagalan ekstubasi dapat meningkatkan komplikasi dan mortalitas pada pasien, sehingga pasien dengan risiko gagal ekstubasi perlu dikenali sedini mungkin.
Tujuan: Mengetahui faktor yang dapat memprediksi kegagalan ekstubasi pada pasien pneumonia berat
Metode: Studi ini merupakan studi kohort retrospektif yang melibatkan pasien dengan pneumonia berat yang terintubasi dan dirawat di ICU/HCU RSCM pada tahun 2015-2019. Data pasien dan hasil pemeriksaan laboratorium diambil dari rekam medis. Analisis bivariat dilakukan dengan uji Chi-square atau uji Fischer, sementara analisis multivariat dilakukan dengan uji regresi cox.
Hasil: Sebanyak 192 subjek pasien pneumonia berat dilibatkan dalam penelitian ini. Insidensi kegagalan ekstubasi pada pasien pneumonia berat di RSCM adalah 70,3%, dengan angka mortalitas pada pasien yang mengalami gagal ekstubasi adalah sebesar 85,2%. Dari analisis bivariat, didapatkan usia >60 tahun, merokok, Charlson Comorbidity Index sedang-berat, tidak adanya penyakit neuromuskular, terapi pengganti ginjal, prokalsitonin > 2 ng/mL, dan skor APACHE II ≥25 sebagai variabel yang berhubungan signifikan dengan kegagalan ekstubasi. Selanjutnya, analisis multivariat menemukan bahwa Charlson Comorbidity Index sedang-berat (p=0,002, HR 2,254, IK95% 1,353-3,755), dan prokalsitonin > 2 ng/mL (p<0,001, HR 1,859, IK95% 1,037-3,333) merupakan prediktor independen terhadap kegagalan ekstubasi pada pasien pneumonia berat.
Kesimpulan: Faktor-faktor yang secara independen merupakan prediktor kegagalan ekstubasi pada pasien pneumonia berat adalah Charlson Comorbidity Index sedang-berat, dan kadar prokalsitonin > 2 ng/mL.

Background: Severe pneumonia is a lower respiratory tract infection still presenting with a high a mortality rate. Patients with severe pneumonia often require intubation in order to achieve adequate ventilation. Extubation failure, however, is associated with increased complications and mortality. Therefore, it is crucial to recognize risk factors associated with extubation failure as soon as possible.
Objective: To determine the predictors associated with extubation failure in patients with severe pneumonia
Methods: A retrospective cohort study was conducted, which included patients with severe pneumonia who were intubated in ICU/HCU of Ciptomangunkusumo General Hospital over the period of 2015-2019. Patient characteristics and laboratory values were obtained from medical records. Bivariate analysis was performed with Chi-square or Fischer test, whereas multivariate analysis was performed with cox regression model.
Results: A total of 192 subjects with severe pneumonia was included in this study. Incidence of extubation failure among patients with severe pneumonia was 70,3%, with a mortality rate of 85,2%. Bivariate analyses found that age of >60 years, smoking history, moderate-to-severe Charlson Comorbidity Index, procalcitonin > 2 ng/mL, not having neuromuscular disease, renal replacement therapy, and APACHE II score of ≥25 were significantly associated with extubation failure. In multivariate analysis, moderate-to-severe Charlson Comorbidity Index (p=0,002, HR 2,254, 95% CI 1,353-3,755) and procalcitonin > 2 ng/mL (p<0,001, HR 1,859, 95% CI 1,037-3,333) were found to be independent predictors of extubation failure in patients with severe pneumonia.
Conclusion: Moderate-to-severe Charlson Comorbidity Index and procalcitonin level of > 2 ng/mL were independent predictors of extubation failure in patients with severe pneumonia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jaswin Dhillon
"Latar belakang dan tujuan: Dari berbagai literatur, salah satu penyebab kegagalan respons klinis pasien pneumonia komunitas adalah akibat pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat. Pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko kematian dan resistensi antibiotik di kemudian hari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik dengan menggunakan metode Gyssens yang merupakan alat penilaian kualitatif yang dipakai oleh PPRA di Indonesia serta membandingkannya dengan luaran pasien pneumonia komunitas.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Data diambil dari rekam medis pasien berusia di atas 18 tahun yang didiagnosis pneumonia komunitas dan dirawat inap selama periode Januari- Desember 2019. Penelitian ini menganalisis pemberian antibiotik empiris pada saat pasien pertama kali didiagnosis pneumonia komunitas.
Hasil: Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 108 subjek. Proporsi pasien yang diberikan antibiotik empiris tidak tepat berdasarkan metode Gyssens adalah 58,3% dan yang diberikan antibiotik empiris telah tepat adalah 41,7%. Pasien yang mendapatkan terapi antibiotik empiris tidak sesuai dengan pedoman PDPI memiliki risiko meninggal sebesar 2,875 kali lipat (IK 95% 1,440 – 5,739, p=0,004). Pasien yang diberikan antibiotik empiris dalam waktu setelah 8 jam didiagnosis pnemunia komunitas memiliki risiko meninggal sebesar 3,018 kali lipat (IK 95% 1,612 – 5,650, p=0,002). Dari analisis multivariat, faktor prediktor independen yang berhubungan dengan kejadian mortalitas pasien pneumonia komunitas dalam 30 hari adalah kejadian pneumonia berat dengan risiko sebesar 7,3 kali lipat (IK 95% 2,24-23,88, p=0,001), penyakit CVD dengan risiko sebesar 5,8 kali lipat (IK 95% 1,28-26,46, p=0,023), dan ketidaktepatan pemberian antibiotik empiris dengan risiko sebesar 4,2 kali lipat (IK 95% 1,02-17,74, p=0,048).
Kesimpulan: Pada penelitian ini terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan antibiotik empiris tidak tepat berdasarkan metode Gyssens dengan luaran pasien yaitu kejadian mortalitas 30 hari (p=0,001).

Background and Purpose: From many literatures, one of the causes of clinical response failure in community-acquired pneumonia patients is due to the inappropriate empirical antibiotics use. Improper administration of empirical antibiotics can increase the risk of death and antibiotic resistance later in life. The purpose of this study is to evaluate the appropriateness of the empirical antibiotics use using the Gyssens method which is a qualitative assessment tool used by the antibiotic stewardship program in Indonesia and to compare it with the outcome of community-acquired pneumonia patients.
Method: This study is a retrospective cohort study at the Persahabatan General Hospital. Data is taken from the medical records of patients over the age of 18 who are diagnosed with community-acquired pneumonia and hospitalized during the January- December 2019 period. This study analyzes the administration of empirical antibiotics when the patient is first diagnosed with community-acquired pneumonia.
Results: The number of samples in this study were 108 subjects. The proportion of patients who were given empirical antibiotics incorrectly based on the Gyssens method was 58.3% and those given empirical antibiotics were appropriate was 41.7%. Patients who received empirical antibiotic therapy not in accordance with PDPI guidelines had a 2.875-fold risk of death (95% CI 1.440 - 5.739, p = 0.004). Patients who were given empirical antibiotics after 8 hours of being diagnosed by the community-acquired pneumonia had a risk of death of 3,018-fold (95% CI 1.612 – 5.650, p = 0,002). From a multivariate analysis, independent predictors related to the mortality of community- acquired pneumonia patients within 30 days were the incidence of severe pneumonia with a risk of 7.3-fold (95% CI 2.24-23.88, p = 0.001), CVD with a risk of 5.8-fold (95% CI 1.28-26.46, p = 0.023), and inappropriate empirical antibiotics use with a risk of 4.2 fold (95% CI 1.02-17.74, p = 0.048).
Conclusion: In this study there was a significant relationship between the use of inappropriate empirical antibiotics use based on the Gyssens method and the outcome of community-acquired patients, which was the 30-days mortality (p = 0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>