Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178584 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wahyunia Likhayati S
"Latar belakang: Hati kelinci yang dideselularisasi sebagai perancah untuk kultur organoid hati telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam meningkatkan viabilitas dan fungsinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan organoid dari kokultur sel yang dapat mendukung fungsi hati. Pemanfaaatan perancah hati yang dideselularisasi untuk mempertahankan viabilitas dan fungsionalitas hepatosit dan mengevaluasi organoid hati manusia yang ditransplantasikan ke model hewan coba dan mengetahui respons yang dimediasi sel imun.
Metode: Sel hepatosit yang berasal dari iPSC manusia dikokultur dengan tiga sel lain untuk membentuk organoid hati. Delapan belas belas kelinci putih berusia 3 bulan digunakan dalam percobaan ini dan dibagi menjadi empat kelompok: Kelompok sham-operated (n = 3), kelompok ligasi duktus biliaris (n = 6), kelompok eksperimen dengan ligasi saluran empedu diikuti oleh transplantasi organoid hati (kelompok jangka pendek, (n=5); kelompok jangka panjang, (n=4).
Hasil: Pada penelitian ini dilakukan analisis survival menggunakan metode Kaplan-Meier (KM) untuk menentukan probabilitas kumulatif kelangsungan hidup dari kejadian kematian pada kedua kelompok dengan dan tanpa transplantasi organoid hati. Hasil tes log-rank menunjukkan bahwa kemungkinan bertahan hidup secara keseluruhan antara kedua kelompok yang menerima perlakuan berbeda. (p=0,003). Kelompok jangka pendek menunjukkan peningkatan fungsi hati seperti albumin, CYP3A, dan tingkat AST yang lebih rendah daripada kelompok jangka panjang. Hati kelompok jangka pendek menunjukkan tingkat deposisi kolagen yang lebih rendah.
Kesimpulan: Transplantasi organoid hati kokultur manusia dalam perancah hati yang dideselularisasi ke hewan yang diligasi duktus biliaris dapat mendukung kelangsungan hidup hewan dan fungsi hati untuk jangka pendek. Studi ini menyoroti potensi transplantasi organoid hati untuk mendukung fungsi hati jangka pendek. Namun, fungsi dan penolakan organoid hati dapat membatasi penggunaan pada jangka panjang.

Background: Decellularized native liver scaffolds as a platform for liver organoid culture have shown promising results in improving their viability and function. This research aims to develop cocultured liver organoids that can recapitulate liver functions, utilize a decellularized native liver scaffold to maintain the viability and functionality of hepatocytes and evaluate human liver organoids transplanted into animal models to support liver function in two periods categories and immune-mediated response.
Methods: The hepatocyte-like cells derived from the human iPSCs were cocultured with three other cells to form liver organoids. Eighteen 3-month-old New Zealand White Rabbits were used in the experiment, divided into four groups: A sham-operated group (n=3), a bile duct ligation group (n=6), an experimental group with biliary duct ligation followed by liver organoid transplantation (short-term group, n=5; long-term group, n=4).
Results: We performed a survival analysis using the Kaplan-Meier (KM) method to determine the cumulative probability of survival from death events in both groups with and without liver organoid transplantation. The log-rank test results indicated a notable variation in the overall likelihood of survival between the two groups receiving different treatments. (p=0.003). The short-term group exhibited improved liver functions such as albumin, CYP3A, and lower levels of AST than the long-term group. The livers of the short-term group showed lower levels of collagen deposition.
Conclusions: Transplanting human coculture liver organoids in decellularized native liver scaffold into bile duct ligated animals could support the animal's survival and hepatic function for the short term. This study highlights the potential of liver organoid transplantation for short-term liver support. However, the functionality and rejection of liver organoids may limit their long-term use.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Pragiwaksana
"Sel punca mesenkim (MSC) dan sel punca pluripoten terinduksi (iPSC) telah dilaporkan mampu berdiferensiasi menjadi hepatosit secara in vitro dengan berbagai tingkat maturasi hepatosit. Sebuah metode sederhana untuk proses deselulerisasi perancah hati telah dikembangkan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi diferensiasi hepatosit dari iPSC dibandingkan dengan MSC dalam perancah hati yang dideselularisasi. Langkah pada penelitian ini adalah mengkultur iPSC dan MSC, mendeselularisasi hati kelinci, menyemai kultur sel ke dalam perancah, dan mendiferensiasikan menjadi hepatosit selama 21 hari dengan protokol Blackford yang dimodifikasi. Pemeriksaan dilakukan dengan pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE), Masson Trichrome (MT), imunohistokimia (IHK) albumin dan cytochrome 3A4 (CYP3A4). Ekspresi gen albumin, cytochrome P450 (CYP450), dan cytokeratin-19 (CK-19) dianalisis menggunakan qRT-PCR. Pemeriksaan scanning electron microscope (SEM) dan immunofluorescence (IF) marker hepatocyte nuclear factor 4 alpha (HNF4-α) dan CCAAT/enhancer-binding protein alpha (CEBPA) dilakukan.
Diferensiasi hepatosit dari iPSC dalam perancah hati yang dideselulerisasi dibandingkan dengan diferensiasi hepatosit dari MSC dalam perancah hati yang dideselulerisasi menunjukkan pembentukan sel tunggal dan kapasitas adhesi pada perancah yang lebih sedikit, dan penurunan tren ekspresi albumin dan CYP450 yang lebih rendah. Jumlah penyemaian sel awal yang lebih rendah menyebabkan hanya beberapa iPSC menempel pada bagian-bagian tertentu dari perancah hati yang dideselularisasi. Injeksi jarum suntik manual untuk reselulerisasi yang tidak merata menciptakan pola pembentukan sel tunggal oleh hepatosit dari diferensiasi iPSC di perancah hati yang dideselulerisasi. Hepatosit dari diferensiasi MSC memiliki kapasitas adhesi lebih tinggi ke perancah hati yang dideselulerisasi yang mengarah pada peningkatan tren ekspresi albumin dan CYP450. Penurunan ekspresi gen CK-19 lebih banyak terjadi pada diferensiasi hepatosit dari iPSC.
Hasil tersebut dikonfirmasi oleh adanya sinyal positif protein HNF4-α dan CEBPA dengan pemeriksaan IF yang menunjukkan hepatosit yang dewasa. Kesimpulan dari penelitian ini adalah diferensiasi hepatosit dari iPSC pada perancah hati yang dideselularisasi lebih dewasa dengan adhesi sel-matriks ekstraseluler lebih rendah, distribusi sel spasial saling berjauhan, dan ekspresi albumin dan CYP450 lebih rendah dibandingkan dengan diferensiasi hepatosit dari MSC pada perancah hati yang dideselularisasi.

Mesenchymal stem cells (MSC) and induced pluripotent stem cells (iPSC) have been reported able to differentiate to hepatocyte in vitro with varying degree of hepatocyte maturation. A simple method to decellularized liver scaffold has been established by Faculty of medicine Universitas Indonesia.
This study aims to evaluate hepatocyte differentiation from iPSCs compared to MSCs in decellularized liver scaffold. iPSCs and MSCs were cultured, rabbit liver were decellularized, cell cultures were seeded into the scaffold, and differentiated into hepatocytes for 21 days with modified Blackford protocol. Haematoxylin-Eosin (HE), Masson Trichrome (MT), immunohistochemistry (IHC) albumin and CYP3A4 was performed. Expression of albumin, cytochrome P450 (CYP450) and cytokeratin-19 (CK-19) genes were analyzed using qRT-PCR. Scanning electron microscope (SEM) and immunofluorescence (IF) examination of hepatocyte nuclear factor 4 alpha (HNF4-α) and CCAAT/enhancer-binding protein alpha (CEBPA) marker was performed.
Hepatocyte differentiated iPSCs compared with hepatocyte differentiated MSCs in decellularized liver scaffold single–cell–formation and lower adhesion capacity in scaffold, and decrease trends of albumin and CYP450 expression. Lower initial seeding cell number causes only a few iPSCs to attach to certain parts of decellularized liver scaffold. Manual syringe injection for recellularization abruptly and unevenly create pattern of single–cell–formation by hepatocyte differentiated iPSCs in the decellularized liver scaffold. Hepatocyte differentiated MSCs have higher adhesion capacity to decellularized liver scaffold that lead to increase trends of albumin and CYP450 expression. CK-19 expression gene diminished more prominent in hepatocyte differentiated iPSCs.
These results were confirmed by the presence of HNF4-α and CEBPA positive signal protein with IF examination, showing mature hepatocyte.The conclusion of this study is hepatocyte differentiated iPSCs in decellularized liver scaffold differentiation is more mature with lower cell-extracelullar matrix adhesion, spatial cell distribution far from each other, and lower albumin and CYP450 expression than hepatocyte differentiated MSCs in decellularized liver scaffold.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meutia Admiralda Andini
"Penelitian mengenai sel punca serta aplikasinya di bidang biomedis telah mengalami perkembangan yang pesat. Namun, penggunaan sel punca embrionik dalam penanganan medis menimbulkan kekhawatiran terkait bioetika penggunaan embrio manusia, penolakan sel punca oleh sistem imun tubuh pasien, dan risiko terbentuknya teratoma. Hal tersebut menimbulkan urgensi untuk membuat sel punca pluripoten dari sel somatik yang telah terdiferensiasi. Metode induced pluripotent stem cells dapat dimanfaatkan untuk membuat sel-sel punca dari sel-sel yang telah terdiferensiasi. vesikel ekstraseluler yang dihasilkan oleh sel-sel iPSC juga menjanjikan dalam inovasi aplikasi iPSC minim risiko. Untuk dapat mengaplikasikan vesikel ekstraseluler iPSC sebagai penanganan medis dengan dosis yang tepat, diperlukan uji sterilitas dan karakterisasi profil metabolit vesikel ekstraseluler dari iPSC. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sterilitas sampel vesikel ekstraseluler iPSC SCTE FKUI dan mengetahui karakteristik profil metabolit dari sampel vesikel ekstraseluler iPSC yang didapatkan di SCTE FKUI. Metode penelitian yang digunakan mencakup uji sterilitas menggunakan Respiratory Flow Chip Kit dan analisis profil metabolit menggunakan Ultra-Performance Liquid Chromatography-Mass Spectrometry yang dilanjutkan dengan analisis menggunakan perangkat lunak MassLynx 4.1. Hasil menunjukkan bahwa sampel vesikel ekstraseluler iPSC koleksi FKUI steril terhadap 23 patogen infeksi saluran pernapasan akut, dan memiliki profil metabolit berupa 12 metabolit dengan karakteristik beragam.

The research on stem cells and their applications in the biomedical field has been advancing, but the usage of embryonic cells had provoked controversies regarding the bioethics of extracting human embryonic tissues and poses a risk of rejection from patients’ immune system and the possibility of teratoma formation. Hence, the urgency to utilize a stem cell derived from terminally differentiated cells comes to surface. The iPSC method can be used to reprogram terminally differentiated cells back into cells with pluripotency. Extracellular vesicles secreted by iPSC are also promising for biomedical treatment. In order to use extracellular vesicles for biomedical treatment with a suitable dosage, it is necessary to confirm the sterility and characterize the extracellular vesicles of iPSC used. This research is aimed to test the sterility and analyze the metabolite profile of vesikel ekstraseluler iPSC samples from SCTE FKUI collection. Respiratory Flow Chip Kit is used as sterility test. Ultra-performance liquid chromatography-mass spectrometry is used to to analyze metabolite profile. The analysis of the metabolite profile is conducted with Masslynx 4.1. Result of the sterility test shows that the vesikel ekstraseluler iPSC collection was sterile from 23 pathogens of acute respiratory infections. Moreover, it is confirmed from LCMS analysis that the sample contains 12 metabolites with various characteristics.

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"This volume looks at induced pluripotent stem (iPS) cells, mature cells that have been genetically reprogrammed so that they return to their embryonic state."
New York: Springer, 2012
e20401549
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Pitt Akbar
"Latar belakang: Frailty merupakan sindrom biologis yang dapat menyebabkan kerentanan terhadap hasil yang lebih buruk terhadap pasien. Penilaian frailty saat ini berkembang pada populasi penyakit lainnya antara lain pada populasi pasien sirosis hati. Modalitas yang dikembangkan dan sudah divalidasi untuk menilai frailty pada populasi sirosis hati adalah dengan Liver Frailty Index (LFI). Prevalensi pasien sirosis hati yang mengalami frail ternyata cukup tinggi. Dipikirkan pasien yang mengalami frail akan meningkatkan mortalitas pada pasien sirosis hati. Tujuan: Menilai apakah frailty berdasarkan Liver Frailty Index dapat menjadi prediktor mortalitas pada pasien sirosis hati Metode: Penelusuran literatur dilakukan melalui basis data daring: PubMed/ MEDLINE, EMBASE, ProQuest, dan EBSCOhost dengan menggunakan kata kunci “sirosis hati” dan “liver frailty index” dalam Bahasa Inggris dan Indonesia. Pencarian manual dilakukan melalui portal data nasional, e-library fakultas kedokteran, dan snowballing. Studi yang dimasukkan ke dalam penelitian adalah studi kohort prospektif dan retrospektif yang mengikutsertakan pasien sirosis hati tanpa keganasan hati dan melaporkan mortalitas pasien berdasarkan status frailty. Hasil: Sebanyak 7 artikel diikutsertakan dalam telaah sistematis ini, 3 diantaranya diikutkan dalam meta-analisis untuk menilai hubungan dengan mortalitas dan 2 studi menilai hubungan dengan kejadian dekompensasi. Risiko mortalitas lebih tinggi pada pasien sirosis dengan frailty (HR 1,68; IK 95% 1,36-2,08; p<0,00001). Frailty berhubungan dengan kejadian asites (OR 1,84 IK 95% 1,41-2,40; p<0,00001). Tidak didapatkan adanya hubungan antara frailty dengan kejadian EH pada pasien sirosis hati (OR 1,57 IK 95% 0,65-3,80; p=0,31). Kesimpulan: Frailty merupakan prediktor mortalitas pada pasien sirosis hati. Pasien sirosis hati dengan frailty memiliki risiko kematian lebih besar dibandingkan pasien sirosis hati tanpa frailty.

Background: Frailty is a biologic syndrome that can lead to susceptibility to poorer outcomes for patients. Frailty assessment is currently developing in other disease populations, including the population of patients with liver cirrhosis. The developed and validated modality to assess frailty in the liver cirrhosis population is the Liver Frailty Index (LFI). The prevalence of liver cirrhosis patients who experience frail is quite high. It is thought that patients who experience frail will increase mortality in patients with liver cirrhosis.
Objective: Assessing whether frailty based on the Liver Frailty Index can be a predictor of mortality in patients with liver cirrhosis.
Methods: Literature search was conducted through online databases: PubMed/MEDLINE, EMBASE, ProQuest, and EBSCOhost using the keywords “cirrhosis of the liver” and “liver frailty index” in English and Indonesian. Manual searches were carried out through national data portals, medical faculty e-libraries, and snowballing. The studies included in the study were prospective and retrospective cohort studies that included patients with liver cirrhosis without liver malignancy and reported patient mortality based on frailty status.
Results: A total of 7 articles were included in this systematic review, 3 of which were included in a meta-analysis to assess the association with mortality and 2 studies assessed the association with the incidence of decompensation. There was a higher risk of mortality in cirrhotic patients with frailty (HR 1.68; 95% CI 1.36-2.08; p<0.00001). Frailty was found to be associated with the incidence of ascites (OR 1.84 95% CI 1.41-2.40; p<0.00001). There was no association between frailty and the incidence of HE in patients with liver cirrhosis (OR 1.57 95% CI 0.65-3.80; p=0.31).
Conclusion: Frailty is a predictor of mortality in patients with liver cirrhosis. Liver cirrhosis patients with frailty have a greater risk of death than patients with liver cirrhosis without frailty.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Oska Mesanti
"Latar Belakang: Kondisi dekompensata tanpa infeksi bakteri pada pasien sirosis hati dapat meningkatkan kadar prokalsitonin (PCT). Belum ada penelitian yang secara khusus membandingkan kadar PCT berdasarkan kompensasi hati dan ada tidaknya infeksi bakteri.
Tujuan: Mengetahui peran PCT dalam membantu menegakkan diagnosis infeksi bakteri pada pasien sirosis hati.
Metode: Studi potong lintang dilakukan terhadap pasien sirosis hati yang berobat jalan dan dirawat inap di RSUPNCM Jakarta dari April sampai Mei 2016. Pada pasien dilakukan pemeriksaan PCT dan penentuan ada tidaknya infeksi bakteri berdasarkan pemeriksaan standar sesuai jenis infeksi yang dicurigai. Dilakukan analisis untuk mengetahui perbedaan rerata kadar PCT pada pasien sirosis hati yang tidak terinfeksi bakteri dan yang terinfeksi bakteri, serta pencarian nilai titik potong PCT untuk mendiagnosis infeksi bakteri pada sirosis hati dekompensata dengan menggunakan receiver operating curve (ROC).
Hasil: Didapatkan 55 pasien sirosis hati, pria sebanyak 65,5%, dengan rerata usia 55,34±1,308 tahun. Sebanyak 38 (69,1%) pasien sirosis hati dekompensata yang 22 (57,9%) diantaranya tidak terinfeksi bakteri dan 16 (42,1%) terinfeksi bakteri. Pada pasien yang tidak terinfeksi bakteri terdapat perbedaan rerata kadar PCT yang bermakna antara pasien dekompensata (0,738ng/mL±1,185) dibandingkan dengan 17 pasien kompensata (0,065ng/mL±0,022). Rerata kadar PCT pasien dekompensata yang terinfeksi bakteri (3,607ng/mL±0,643) lebih tinggi bermakna dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi bakteri(0,738ng/mL±1,185). Dari kurva ROC, kadar PCT pada pasien sirosis hati dekompensata didapatkan area under curve (AUC) 0,933 (IK 0,853-1,014) untuk diagnosis infeksi bakteri. Nilai titik potong kadar PCT untuk mendiagnosis infeksi bakteri pada pasien sirosis hati dekompensata adalah 2,79ng/mL dengan sensitivitas 87,5% dan spesifisitas 86,4%.
Kesimpulan: Pada pasien sirosis hati yang tidak terinfeksi bakteri, kadar PCT pasien dekompensata lebih tinggi dibandingkan dengan yang kompensata. Kadar PCT pasien sirosis hati dekompensata yang terinfeksi bakteri lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi bakteri. Sementara nilai titik potong kadar PCT untuk mendiagnosis infeksi bakteri pada pasien sirosis hati dekompensata adalah 2,79ng/mL.

Background: Liver decompensated without bacterial infection may increase procalcitonin (PCT) level in liver cirrhosis patients. Previous studies did not provide conclusive results about the differences of PCT level due to specific liver compensation and bacterial infection.
Objective: To examine the role of PCT in assisting the diagnosis of bacterial infection in liver cirrhosis patients.
Methods: A cross sectional study was conducted in liver cirrhosis patients who were outpatients and admitted to Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta between April and May 2016. Procalcitonin were examined and bacterial infection were identified using standard criteria for each type of infection being suspected. Analysis were performed to determine differences in the level of PCT among liver cirrhosis patients without bacterial infection and with bacterial infection, also to get cut off point of PCT for bacterial infection diagnosis in decompensated liver cirrhosis patients using receiver operating curve (ROC).
Results: There were 55 patients with liver cirrhosis, 65,5% male, with mean of age 55,34±1,308 years. A total of 38 (69,1%) patients had decompensated liver cirrhosis, while 22 (57,9%) of them without bacterial infection and 16 (42,1%) with bacterial infection. In the absence of bacterial infection, there was significant difference between PCT level in decompensated patients (0,738ng/mL±1,185) and 17 compensated patients(0,065ng/mL±0,022). Decompensated patients with bacterial infection (3,607ng/mL±0,643) had significantly higher PCT levels than those without bacterial infection(0,738ng/mL±1,185). From ROC, level of PCT for bacterial infection in decompensated liver cirrhosis was area under curve (AUC) 0,933 (IK 0,853-1,014). Cut off point of PCT for bacterial infection diagnosis in decompensated liver cirrhosis patients was 2,79ng/mL with a sensitivity of 87.5% and specificity of 86,4%.
Conclusion: In the absence of bacterial infection, PCT levels of decompensated patients was higher than compensated ones. Procalcitonin levels of decompensated liver cirrhosis patients with bacterial infection was higher than those without bacterial infection.Cut off point of PCT for bacterial infection diagnosis in decompensated liver cirrhosis patients was 2,79ng/mL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Sudiro Waspodo
"Pendahuluan
Sirosis hati (SH) telah diketahui merupakan suatu keadaan yang ireversibel di dalam perkembangannya, SH dapat berakhir dengan gagal hati, hipertensi portal, atau dapat menunjukkan aktivitas yang dapat dikelompokkan menjadi kelompok yang mengalami progresi, regresi atau menetap. Keluhan subyektif pada stadium awal penyakit SH biasanya sangat sedikit dan tidak jelas. Sedangkan pemeriksaan jasmani sering tidak dapat dipakai sebagai ukuran kecuali bila telah terjadi tanda dekompensasi. Beberapa hasil pemeriksaan laboratorium dapat dipakai untuk pegangan mengikuti perjalanan penyakit seperti transaminase, bilirubin, kolesterol, BSP, dan Indocyanin green.
Pemeriksaan tersebut mempunyai beberapa kelemahan seperti sifat tidak spesifik pada pemeriksaan transaminase, gambaran bilirubin tidak hanya mencerminkan kerusakan parenkim hati, penurunan kolesterol bare terjadi pada penyakit yang berat, sedangkan pemeriksaan BSP mengandung bahaya alergi.
Akhir-akhir ini telah diperkenalkan kegunaan pemeriksaan kadar garam empedu serum sebagai alat penyaring adanya penyakit hati dan untuk mengikuti perjalanan penyakit hati. Berbagai hasil penelitian telah membuktikan pemeriksaan kadar garam empedu serum post prandial lebih sensitif sebagai alat penyaring adanya penyakit hati bila dibandingkan dengan pemeriksaan kadar garam empedu serum puasa. Namun sebaliknya telah dibuktikan bahwa nilai kadar garam empedu serum puasa lebih spesifik untuk penyakit hati. Juga dibuktikan bahwa tinggi rendahnya nilai rata-rata garam empedu serum puasa sesuai dengan berat ringannya penyakit Sirosis hati, meskipun masih didapatkan adanya angka-angka yang tumpang tindih.
Kegunaan pengukuran kadar garam empedu serum puasa sebagai petanda prognostik penyakit SH telah dilaporkan di luar negeri dan Indonesia, meskipun penelitian di Indonesia memberikan hasil yang berbeda. Penderita SH dengan kadar garam empedu total serum puasa yang tinggi mempunyai risiko mati yang lebih besar pada tahun pertama dibandingkan dengan penderita SH dengan kadar garam empedu total serum puasa, yang rendah.
Bertolak dari hal tersebut di atas ingin dikaji kembali manfaat lebih lanjut dari kadar garam empedu serum puasa sebagai salah satu alat prognostik dan sarana untuk mengikuti perkembangan penyakit sirosis hati."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik Agung Wibowo
"Latar Belakang dan tujuan: Penyakit hati kronik pada pasien pediatrik merupakan salah satu masalah utama kesehatan pada populasi anak-anak dengan angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Penilaian derajat fibrosis hati diperlukan untuk menentukan tatalaksana yang sesuai, menentukan prognosis, dan tindak lanjut pasca pengobatan. Pemeriksaan USG elastografi acoustic radiation force impulse ARFI merupakan metode penilaian derajat fibrosis hati yang bersifat tidak invasif, mudah dan cepat dikerjakan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan nilai titik potong derajat fibrosis USG elastografi ARFI pada pasien pediatrik dengan penyakit hati kronik.
Metode: Pasien pediatrik dengan penyakit hati kronik menjalani pemeriksaan USG elastografi ARFI. Didapatkan nilai shear wave velocity SWV dari pemeriksaan ARFI yang menunjukkan elastisitas jaringan hati pada 18 subjek dan dihubungkan dengan hasil biopsi hati METAVIR . Kurva receiver-operating characteristic ROC dilakukan untuk menentukan titik potong derajat fibrosis hati.
Hasil: Rerata nilai median ARFI pada pasien pediatrik dengan penyakit hati kronik tanpa fibrosis hati 1,21 m/s; fibrosis ringan F1 1,13 m/s; fibrosis signifikan F2 ; fibrosis berat F3 2,76 m/s; dan sirosis F4 3,84 m/s. Kurva ROC menunjukkan titik potong ARFI pada 1,98 m/s memiliki sensitivitas 100 untuk mendeteksi derajat fibrosis ge;F3.
Kesimpulan: USG elastografi ARFI merupakan metode yang dapat diandalkan, cepat, dan non invasif untuk menentukan derajat fibrosis berat dan sirosis pada pasien pediatrik. Hasil pemeriksaan ARFI dapat membantu klinisi dalam tindak lanjut pengobatan dan alternatif biopsi hati pada kondisi tertentu.

Background and objectives: Chronic liver disease in pediatric patients is one of the major health problems with high rates of morbidity and mortality. Assessment of the degree of liver fibrosis is needed to determine appropriate management, determine prognosis, and post treatment follow up. Ultrasound acoustic radiation force impulse ARFI elastography examination is a non invasive, easily and rapidly performed liver fibrosis assessment method. The objective of this study was to obtain the cut off value of fibrosis degree with ARFI examination in pediatric patients with chronic liver disease.
Methods: Pediatric patients with chronic liver disease underwent ARFI ultrasound measurements. Shear wave velocity SWV value obtained from ARFI examination showing elasticity of liver tissue in 18 subjects and associated with liver biopsy results METAVIR . The receiver operating characteristic ROC curve is performed to determine cut off value of degree of liver fibrosis.
Results Mean of SWV value in pediatric patients with chronic liver disease without liver fibrosis 1.21 m s mild fibrosis F1 1.13 m s significant fibrosis F2 severe fibrosis F3 2.76 m s and cirrhosis F4 3.84 m s. The ROC curve shows the cut off at 1.98 m s yielded a 100 sensitivity to detect the degree of fibrosis ge F3.
Conclusions USG elastographic ARFI is a reliable, rapid, and non invasive method for determining the degree of severe fibrosis and cirrhosis in pediatric patients. The results of the ARFI examination may assist the clinician in the follow up of treatment and alternatives of liver biopsy in certain condition.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Ulfiana
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menginvestigasi efektivitas dental pulp stem cells DPSCs dalam menginduksi proses regenerasi jaringan pada defek tulang kelinci New Zealand dengan menilai kadar alkaline phosphatase ALP dan gambaran histologis. Defek kritis dibuat pada tulang femur kelinci dan transplantasi DPSCs dilakukan terhadap kelompok perlakuan, sedangkan defek pada kelompok kontrol dibiarkan kosong. Pada minggu ke-2 dan ke-4 pasca tindakan operatif, dilakukan pengukuran kadar ALP dalam serum menggunakan colorimetric assay. Setelah 4 minggu, kelinci dikorbankan dan dilakukan analisis terhadap gambaran histologis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada minggu ke-2, kelompok kelinci yang diberi perawatan dengan DPSCs memiliki kadar ALP yang lebih tinggi 157,925 ?U daripada kelompok kontrol 155,361 ?U dan peningkatan terjadi di minggu ke-4 dengan nilai yang lebih besar pada kelompok DPSCs 169.750 ?U dibandingkan dengan kelompok kontrol 160.406 . Evaluasi histologis menunjukkan bahwa sejumlah lamela tulang dan osteosit mengisi area defek dari kelompok DPSCs. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa transplantasi DPSCs efektif dalam menginduksi dan mempercepat progresivitas regenerasi jaringan.

This study was aimed to investigate the effectiveness of dental pulp stem cells DPSCs to induce bone regeneration in New Zealand rabbits by assessing the level of alkaline phosphatase ALP and histological view. The critical defect was created in the left femoral bone of the rabbits and transplantation of DPSCs was conducted to the treated group while the defect in the control group was left empty. In 2nd week and 4th week postoperative, ALP level in rabbits serum were measured using colorimetric assay. After 4 weeks, the rabbits were sacrificed and analyzing of histological views were conducted.
The results showed that in the 2nd week, rabbit treated DPSCs group had higher level of ALP 157,925 U than the control group 155,361 U and increasing occured in the 4th week with greater score in DPSCs group 169.750 U compared to the control group 160.406 U . Histological evaluation revealed that the amount of bone lamellae and osteocytes filled the defect area of DPSCs group. Therefore, transplantation of DPSCs are effective to induce and accelerate bone regeneration by raising ALP level and forming new bone tissue.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nababan, Saut Horas Hatoguan
"Latar Belakang: Sirosis hati dengan dekompensasi akut merupakan masalah
kesehatan dengan beban biaya yang besar dan berpengaruh negatif terhadap
produktivitas dan kualitas hidup. Belum diketahui sepenuhnya prediktor mortalitas
dalam perawatan pasien sirosis hati dekompensasi akut di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui proporsi dan prediktor mortalitas dalam perawatan pasien
sirosis hati dekompensasi akut di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode: Studi kohort retrospektif berbasis data rekam medis pasien sirosis hati
dekompensasi akut di RSCM (2016-2019). Analisis bivariat dan multivariat regresi
logistik dilakukan untuk mengidentifikasi prediktor mortalitas dalam perawatan.
Dua sistem skor dikembangkan berdasarkan identifikasi faktor-faktor tersebut.
Hasil: 241 pasien dianalisis, sebagian besar adalah laki-laki (74,3%), menderita
hepatitis B (38,6%) dan Child-Pugh B dan C (40% dan 38%). Perdarahan saluran
cerna ditemukan pada 171 pasien (70,95%) dan 29 pasien (12,03%) meninggal
dalam perawatan. Prediktor independen mortalitas dalam perawatan adalah usia
(adjusted OR:1,09 [1,03–1,14]; p=0,001), infeksi bakterial (adjusted OR: 6,25
[2,31–16,92]; p<0,001), kadar bilirubin total (adjusted OR: 3,01 [1,85– 4,89];
p<0,001) dan kadar kreatinin (adjusted OR: 2,70 [1,20–6,05]; p=0,016). Skor
logistik dan aditif untuk prediksi mortalitas dalam perawatan memiliki nilai
AUROC masing-masing 0,89 dan 0,86.
Simpulan: Proporsi mortalitas dalam perawatan pasien sirosis hati dekompensasi
akut di RSCM adalah 12,03%. Prediktor independen dari mortalitas dalam
perawatan antara lain usia, adanya infeksi bakterial, kadar bilirubin dan kreatinin.
Telah dikembangkan sistem skor prediksi mortalitas dalam perawatan pasien sirosis
hati dekompensasi akut.

Background: Acutely decompensated liver cirrhosis is associated with a high
medical cost and negatively affects productivity and quality of life. Data on the
predictors of in-hospital mortality in acutely decompensated liver cirrhosis patients
in Indonesia is still limited.
Objective: To determine the proportion and predictors of in-hospital mortality in
acutely decompensated liver cirrhosis patients at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: Retrospective cohort study using the hospital database of acutely
decompensated liver cirrhosis at Cipto Mangunkusumo Hospital (2016-2019).
Bivariate and multivariate logistic regression analyses were performed to identify
predictors of in-hospital mortality. Two scoring systems were developed based on
the identified factors.
Results: 241 patients were analyzed, mostly male (74,3%), suffering from hepatitis
B (38.6%) and Child-Pugh B and C (40% and 38%). Gastrointestinal bleeding was
found in 171 patients (70,95%) and 29 patients (12,03%) died during
hospitalization. The independent predictors of in-hospital mortality were age
(adjusted OR: 1,09 [1,03-1,14]; p = 0,001), bacterial infection (adjusted OR: 6,25
[2,31-16,92]; p <0,001), total bilirubin levels (adjusted OR: 3,01 [1,85-4,89]; p
<0,001) and creatinine levels (adjusted OR: 2,70 [1,20-6,05]; p = 0,016). The
logistic and additive scoring system for predicting in-hospital mortality had
AUROC values of 0,89 and 0,86, respectively.
Conclusion: The proportion of in-hospital mortality in acutely decompensated liver
cirrhosis at Cipto Mangunkusumo Hospital was 12,03%. The independent
predictors of in-hospital mortality were age, bacterial infection, bilirubin, and
creatinine levels. The in-hospital mortality prediction scoring systems have been
developed for acutely decompensated liver cirrhosis.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>