Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 205706 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Eka Komarasari
"Latar belakang : Reaksi ENL disebabkan oleh ketidakseimbangan imunitas selular dan humoral. Kortikosteroid merupakan obat standar yang digunaktapi dapat menimbulkan efek samping pada berbagai organ. Sehubungan dengan itu perlu dipikirkan terapi ajuvan yang efektif untuk reaksi ENL. Seng merupakan mikronutrien yang berperan penting pada berbagai fungsi enzimatik, aktivasi sel T, efek antiinlamasi, menghambat pembentukan kompleks imun, dan mempunyai efek antioksidan, dipikirkan dapat digunakan sebagai terapi ajuvan untuk terapi reaksi ENL.
Tujuan : Menilai perbandingan perbaikan klinis reaksi ENL pada pasien kusta yang diberikan ajuvan seng dengan yang diberikan plasebo.
Metode : Penelitian ini merupakan suatu uji klinis acak tersamar ganda menggunakan plasebo dengan desain paralel. Dilakukan randomisasi blok untuk membagi subyek menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan dan kelompok plasebo. Evaluasi dilakukan tiap dua minggu selama enam minggu.
Hasil : Pada akhir perlakuan, perbaikan klinis kelompok perlakuan adalah 79,2% dan kelompok plasebo adalah 72,7%. Perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan : Tidak terdapat perbedaan bermakna pada perbaikan klinis reaksi ENL antara pasien kusta yang diberikan ajuvan seng dengan yang diberikan plasebo.

Background : ENL reaction is caused by imbalance of cellular and humoral immunity. Corticosteroid is the standard drug used to treat ENL, but can cause serious side effects in multiple organs. There for, it is needed to find effective adjuvant drug for ENL. Zinc is essential micronutrient for various enzymatic proceses, T cell activation, antiinflamation effect, inhibiting the formation of immune complexes, and has the effect of antioxidant. Several studies have shown the benefit of addition zinc for ENL reaction.
Objective : To assess the comparative clinical improvement ENL reaction in leprosy patients given adjuvant zinc with placebo.
Methods : Randomized double-blind clinical trial using placebo with parallel design. Block randomization divided the subjects into two groups, namely the treatment group and the placebo group. The evaluation was performed every two weeks for six weeks.
Result : At the end of treatment, the clinical improvement ENL reaction obtained was 79,2% treatment group and the placebo group was 72,7%. The differences were not statistically significant.
Conclusion : There were no significant differences in clinical improvement ENL reaction in leprosy patient treated with adjuvant zinc compared to placebo.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Rizkiyani
"Menurut data WHO,Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan Cina untuk jumlah terbanyak kasus TB di dunia. Pada tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TB karena banyak penderita yang tidak berhasil disembuhkan sehingga pada tahun 1995 program Directlyb served Treatment Shortcourse (DOTS) diberlakukan termasuk di Indonesia dan angka kesembuhan nasional adalah 85%. Berdasarkan laporan tahunan tahun 2006 Suku Dinas Kesehatan Masyarakat Jakarta Barat, angka kesembuhan TB Paru BTA positif masih 69,1% dan di Kecamatan Palmerah baru mencapai 64,6%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor- faktor yang berhubungan dengan kesembuhan penderita TB paru BTA positif di puskesmas wilayah Kecamatan Palmerah tahun 2006.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari kartu pengobatan TB (TB-01) di puskesmas yang ada di Kecamatan Palmerah dengan desain studi crosssectional. Sampel penelitian berasal dari seluruh penderita TB paru BTA positif yang tercatat dalam formulir TB-01 pada tahun 2006. Analisis univariat bertujuan untuk menggambarkan distribusi frekuensi variabel dependen (kesembuhan) maupun variabel independen. Sedangkan analisis bivariat bertujuan untuk menjelaskan besarnya risiko (prevalenceratio) antara variabel independen dengan variabel dependen.
Hasilnyamenunjukkanbahwasebagianbesaradalahpenderitausiaproduktif(87,6%),penderita laki-laki (60,8%), penderitabaru (89,7%), penderita yang teratur berobat (83,5%), penderita yang taat memeriksakan dahak ulang (55,7%), penderita yang memiliki PMO (85,6%), penderita yang PMOnya berasal dari keluarga (96,4%), dan penderita yang jarak tempat tinggalnya dekat dengan puskesmas (91,8%). Sedangkan kekuatan hubungan yang paling besar untuk menentukan besarnya risiko adalah variabel keteraturan berobat (PR=9,9;CI=1,5-66,4).
Peran PMO sangat penting untuk proses kesembuhan seorang penderita TB BTA positif karena hanya TB BTA positif yang dapat menularkan penyakit tuberkulsis ke orang lain. Sehingga penyuluhan yang efektif untuk penderita maupun PMO sangat diperlukan, dan diharapkan petugas kesehatan lebih selektif dalam memilih PMO, jadi pemilihan PMO bukan hanya untuk dijadika nformalitas saja."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pirade, Adolfina
"Salah satu kesepakatan Internasional dalam meningkatkan angka kesembuhan penyakit tuberkulosis paru adalah memberikan pengobatan dengan sistem DOTS. Indonesia telah memulai program DOTS ini sejak tahun 1995 yang dilaksanakan secara bertahap di provinsi, khususnya di DKI Jakarta telah dimulai sejak Juli 1997.
Sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan Program P2TB Paru bahwa seorang penderita dinyatakan sembuh bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada akhir bulan ke-516 dan akhir pengobatan. Berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan di Jakarta Pusat ternyata bahwa 38,4% penderita TB paru yang selesai berobat tidak memeriksakan ulang dahaknya, sampai saat ini belum ada penelitian di DKI Jakarta mengenai faktor yang berhubungan dengan pemeriksaan ulang dahak.
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tidak dilaksanakannya pemeriksaan ulang dahak di puskesmas Jakarta Pusat. Disain penelitian digunakan yaitu kasus kontrol dengan sampel penelitian adalah penderita TB paru baru BTA positif telah selesai pengobatan kategori 1 berumur 15 tahun keatas yang berobat di puskesmas Jakarta Pusat. Besar sampel 150 orang yaitu sampel kasus sebanyak 75 orang dan sampel kontrol 75 orang.
Hasil penelitian dilakukan analisis multivariat dengan logistic regression dengan maksud untuk mengetahui hubungan variabel dependen dengan variabel independen. Berdasarkan hasil analisis bivariat dari 15 variabel maka didapatkan variabel yang nilai p<0,25 ada 9 variabel, ternyata pada analisis multivariat didapatkan hanya 3 variabel yang berhubungan bermakna (p<0,05) yaitu pengetahuan (OR=28,44 95% CI 4,66-173,62), persepsi (DR 13,90 95% CI 3,54-54,57), kemudahan mengeluarkan dahak (OR=7,54 95% CI 3,31-17,18), serta interaksi antara pengetahuan dengan persepsi (0R=0,11 95%CI 0,14-0,81) dan nilai p=0,031.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa dengan pengetahuan rendah, persepsi buruk, sukar mengeluarkan dahak dan interaksi antara pengetahuan kurang dan persepsi buruk secara bersama-sama mempunyai hubungan yang bermakna (p<0,05) dengan tidak dilaksanakannya pemeriksaan ulang dahak penderita TB paru baru BTA positif di puskesmas Jakarta Pusat tahun 2000. Sesuai dengan hasil demikian maka disarankan agar dilakukan penyuluhan kepada penderita sebelum pengobatan dan setiap penderita melaksanakan pengambilan obat oleh petugas program P2TB di puskesmas, sehubungan dengan hal tersebut maka diperlukan petugas kesehatan yang mampu dan mau benar-benar melaksakanan pekerjaan ini tentunya dengan pelatihan, supervisi dan pertemuan yang membahas masalah pelaksanaan Program TB Paru di puskesmas.

Study of Factors Associated With Not to Re-Examine Their Sputum among New Cases with Positive Fast Acid Bacilli Pulmonary Tuberculosis in Health Centers in Central JakartaOne of the International commitments in increasing the cure rate of pulmonary tuberculosis is to give therapy with DOTS system. Indonesia has started the DOTS program since 1995 beginning in some provinces and gradually expanded to the others. Jakarta began the program in 1997.
According to the criteria set by the Pulmonary TB Eradication Program, a patient is cured if laboratory examination of the sputum shows negative result by the end of the 5th or 6th month of therapy and by the end of the therapy. Secondary data collected in Central Jakarta showed that 38.4% of TB patients which have completed their therapy did not re-examine their sputum. So far there was no study in Jakarta which tried to find out factors related to this re-examination rate.
This research was conducted to know what factors that influence TB patients not to re-examine their sputum in Health Centers in Central Jakarta. The research design used is a case control study where samples were taken from new pulmonary TB patients with positive Fast Acid Bacilli having completed their Category I therapy, aged more than 15 years who came to health centers in Central Jakarta. The sample size was 150, consists of 75 cases and 75 controls.
The data were analyzed by multivariate analysis using logistic regression to know the relation between dependent variables with independent variables. Bivariate analysis from 15 variables showed that 9 variables had p value < 0.25, while multivariate analysis showed that only 3 variables had significant relation (p <0.05), knowledge (OR = 28.44 95% CI 4.66-173.63) p = 0.000, perception (OR = 13.90 95% CI 3.54- 54.57) p = 0.000, the ease to produce sputum (OR = 7.54 95% CI 3.31-17.18) p= 0.000 and interaction between knowledge and perception (OR = 0.11 95% CI 0.14- 0.8I) p = 0.031.
The conclusion of this research is that low knowledge, bad perception, difficulties in producing sputum and interaction between lack of knowledge and bad perception have significant relation (p < 0.05) with the unwillingness to re-examine the sputum among new pulmonary TB patients with positive AFB who came to health centers in Central Jakarta in 2000. Therefore it is suggested that TB program officers in health centers give proper information/education to the patients before starting the TB therapy and every time the patients come to get the TB drugs and hence we need to have officers who are capable and willing to do their work and this certainly can be created by training, supervisions and series of meeting which discuss about pulmonary TB program in health centers."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T5783
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Al Khoiru Idrus Muhammad Fitri
"ABSTRAK
Program penanggulangan TB nasional menggunakan strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Shortcourse) telah dilaksanakan sejak tahun 1995. Secara
nasional strategi DOTS telah memberikan perubahan meskipun belum secara
komprehensif. Kondisi diatas diperparah dengan munculnya masalah baru,
diantaranya adalah kejadian TB-HIV. Tipe penderita dan ko-infeksi TB-HIV
menjadi faktor risiko terjadinya putus berobat OAT pada penderita TB Paru BTA
Positif. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan tipe penderita dan koinfeksi
TB-HIV dengan kejadian putus berobat penderita TB Paru BTA positif di
Kota Jakarta Timur.
Desain penelitian kasus kontrol, dilakukan pengamatan pada penderita TB Paru
BTA positif di Kota Jakarta Timur. Analisis multivariat dengan regresi logistic.
Hasil penelitian didapatkan hubungan yang signifikan antara ko-infeksi TB-HIV
dengan kejadian putus berobat pada penderita TB Paru BTA positif di Kota
Jakarta Timur dengan aOR 19,27 setelah dikontrol jenis kelamin dan status PMO
(p value=0,006; 95% CI: 2,36-157,21). Keberadaan infeksi HIV secara bersamaan
dengan infeksi TB semakin mengancam kelangsungan hidup sehingga diperlukan
terapi yang adekuat untuk mengendalikan virus dan membunuh kuman
mycobacterium tuberculosis. Skrining HIV pada penderita TB harus dilakukan
secara intensif untuk tata laksana pengobatan yang adekuat melalui program
kolaborasi TB-HIV sehingga penderita bisa sembuh dari infeksi TB.

ABSTRACT
A national TB control program using the DOTS strategy (Directly Observed
Treatment Shortcourse) has been implemented since 1995. Nationally, the DOTS
strategy has provided changes although not yet comprehensively. The above
conditions are exacerbated by the emergence of new problem, such as the
incidence of TB-HIV. Type of patient and TB-HIV co-infection is a risk factor to
default of anti tuberculosis drugs on positive smear pulmonary tuberculosis
patient. The purpose research is to know relation between patient type and TBHIV
co-infection default of treatment for positive smear pulmonary tuberculosis patients in East Jakarta.
The design of case control research, conducted observation on the patient of smear
positive pulmonary tuberculosis in East Jakarta. Multivariate analysis with logistic
regression.
The result of anti tuberculosis drugs of the research showed significant correlation
between TB-HIV co-infection with default with smear positive pulmonary
tuberculosis patient with aOR 19,27 after controlled sex and drug administer
superviser statue (p value = 0,006; 95% CI: 2,36-157.21). The presence of HIV
infection simultaneously with TB infection is increasingly threatening survival so
that adequate therapy is needed to control the virus and kill the bacteria
mycobacterium tuberculosis. HIV screening of tuberculosis patients should be
intensified for an adequate treatment regimen through a TB-HIV collaboration
program so that people can recover from TB infection."
2017
T48310
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
F.X. Agus Budiyono
"Tuberkulosis merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia, dan tersebar merala di seluruh daerah. Pada tahun 1995, diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baru TB dengan kematian 3 juta orang, sedangkan di negara-negara berkembang kematian akibat TB merupakan 25% dari seluruh kematian, yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara berkembang, 75% penderita TB adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun). (WHO, 1997).
Pemberantasan TB Paru dengan strategi DOTS di Kota Jakarta Timur telah dilaksanakan sejak tahun 1995, tetapi penderita baru tetap ditemukan dan dari tahun ketahun mengalami peningkatan, Penyakit TB Paru menduduki urutan ke-tiga kelompok penyakit menular. Hal ini menunjukkan bahwa TB Paru masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di wilayah Kota Jakarta Timur.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru di Jakarta Timur. Jenis penelitian adalah observasional dengan desain 7 kasus kontrol, Kasus adalah penderita TB Paru BTA (+) dan sebagai kontrol adalah masyarakat yaitu tetangga kasus yang tidak sedang menderita TB Paru atau tidak sedang menderita batuk 3 minggu atau lebih. Jumlah sampel sebanyak 88 kasus dan 88 kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru adalah adalah umur, adanya kontak dengan sumber penular, lamanya kontak, status pengobatan sumber penular, ventilasi kamar dan cahaya matahari masuk rumah.
Dari faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru BTA (+), ternyata adanya sumber penular yang tidak berobat merupakan faktor risiko yang paling erat hubungannya dengan kejadian TB Paru.
Dari hasil penelitian, disarankan penemuan penderita secara dini dan mengobati dengan paduan OAT yang tepat dengan didampingi pengawas menelan obat, meningkatkan pelaksanaan strategi DOTS, memperluas jangkauan pelayanan, melaksanakan pemeriksaan kontak dan pengobatan pencegahan bagi balita.
Daftar pustaka : 36 (1979 - 2002)

Related Factors to Pulmonary Tuberculosis (Tb) in East Jakarta City in year 2003 The tuberculosis (TB) remains a serious public health problem in Indonesia and spread to countrywide. WHO has estimated that 9 million of new cases was occurred yearly, of which some 3 million deaths. In developing countries there are 25% deaths by tuberculosis. It is estimated 95% TB cases were occurred in developing countries, which some 75% cases preventable occurring in the 15-50 age group, the most productive segment of the population.
TB control program activities with DOTS strategy has been implemented since 1995 in East Jakarta City. Due to the increasing of case finding activities the new AFB (+) patients increased, so tuberculosis still remaining as major public health problem.
The objective of the research is to identify the related factors to pulmonary tuberculosis in East Jakarta City. The design of research is case-control. The case is the AFB (+) tuberculosis patients, while the control is the neighbor of cases as community based control, were not coughing for 3 weeks and more at the time of the interview. Total cases are 88 cases, and the control are 88 respondents.
The result of the study reveals that related factors to pulmonary tuberculosis are age, source of infection, duration of contact with source of infection, the source of infection who were not treated, room ventilation, and sunlight into the house.
Based on the result of the study, it is identified that a contact with untreated source of infection is the closely related to the tuberculosis. Therefore, it is recommended to improve the case finding, providing early treatment with patent drugs, increasing of DOTS strategy implementation, program expanding. contact examination and treatment prevention to child.
References: 36 (1979 - 2002)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12715
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pulungan, Anita Masniari
"Penyakit TB lebih berkembang pada masyarakat dengan status sosial ekonomi yang rendah, kelompok terpinggirkan dan populasi rentan lainnya. Salah satu yang termasuk populasi rentan adalah komunitas penderita kusta. Penyakit TB dan kusta banyak ditemukan di daerah beriklim tropis dengan kelembapan udara tinggi, tingkat sosial ekonomi penduduk yang rendah serta status gizi dan higienitas yang buruk. Infeksi kedua penyakit ini dapat terjadi bersamaan pada satu individu dan biasanya terjadi pada pasien imunokompromais. Koinfeksi TB paru pada penderita kusta dapat meningkatkan mortalitas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi TB Paru pada penderita kusta yang berobat di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo serta mengetahui faktor risiko yang dapat memengaruhi. Desain penelitian adalah cross sectional dengan jenis penelitian deskriptif analitik berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, foto toraks dan kuesioner. Penelitian dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin serta Poliklinik Penyakit Dalam – Pulmonologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2022. Sampel penelitian ini adalah pasien kusta baik sedang dalam pengobatan multi drugs therapy (MDT) maupun telah dinyatakan release from treatment (RFT) yang memenuhi kriteria penelitian dan bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian. Besar sampel yang diperlukan untuk penelitian ini adalah 105 orang. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara univariat, bivariat dan multivariat dengan perangkat lunak SPSS.
Dari total 109 subjek, terdapat 3 orang (2,75%) yang didiagnosis TB paru yang mencakup 1 orang TB paru bakteriologis terkonfirmasi TCM dan 2 orang TB paru klinis. Mayoritas subjek dengan TB paru berusia kurang dari 40 tahun (66,7%), didominasi laki-laki (66,7%) dan seluruhnya berpendidikan rendah. Dari subjek yang memberikan informasi, sebanyak 50% memiliki pendapatan kurang dari 3,5 juta per bulan. Seluruh subjek dengan TB paru mengaku tidak pernah mendapat vaksinasi BCG dan mayoritas mengaku memiliki riwayat merokok (66,7%). Sebanyak 66,7% mengaku tidak ada riwayat kontak fisis, tidak pernah menggunakan barang dan berbincang dengan penderita TB paru. Hanya 33,3% penderita koinfeksi TB paru pada kusta yang memiliki status gizi kurang. Seluruh penderita TB paru pada kusta didiagnosis kusta tipe multibasiler. Dari hasil analisis bivariat, faktor pendidikan memiliki hubungan yang bermakna dengan luaran TB paru. Namun pada analisis multivariat tidak dapat mengeluarkan hasil.

TB disease develops more in communities with low socio-economic status, marginalized groups, and other vulnerable populations. One of the vulnerable populations is the leprae community. TB and leprosy are often found in tropical climates with high air humidity, low socio-economic levels of the population, and poor nutritional and hygiene status. Infection with these two diseases can occur simultaneously in one individual and usually occurs in immunocompromised patients. Pulmonary TB coinfection in leprosy sufferers can increase mortality.This study aims to determine the proportion of pulmonary TB in leprosy sufferers who seek treatment at the Skin and Venereology Polyclinic, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, and the risk factors that can influence it. The research design was cross-sectional with a descriptive analytical research type based on the results of laboratory examinations, chest x-rays, and questionnaires. The research was conducted at the Skin and Venereology Polyclinic and the Internal Medicine- Pulmonology Polyclinic, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, in 2022. The sample for this study was leprosy patients who were either undergoing multidrug therapy (MDT) or had been declared released from treatment (RFT) and who met the research criteria and were willing to participate in the research. The sample size required for this research is 105 people. The data obtained was processed and analyzed univariately, bivariately, and multivariately with SPSS software.Of the total 109 subjects, there were 3 people (2.75%) who were diagnosed with pulmonary TB, including 1 person with bacteriological pulmonary TB confirmed by TCM and 2 people with clinical pulmonary TB. The majority of subjects with pulmonary TB were less than 40 years old (66.7%), dominated by men (66.7%), and all had low education. Of the subjects who provided information, 50% had an income of less than 3.5 million per month. All subjects with pulmonary TB admitted that they had never received BCG vaccination, and the majority admitted to having a history of smoking (66.7%). As many as 66.7% admitted that they had no history of physical contact, had never used items, or talked to pulmonary TB sufferers. Only 33.3% of people with pulmonary TB co-infection with leprosy have poor nutritional status. All patients with pulmonary TB in leprosy were diagnosed with multibacillary-type leprosy. According to the results of the bivariate analysis, educational factors have a significant relationship with pulmonary TB outcomes. However, multivariate analysis could not produce results."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Merry Ambarwulan
"

Latar Belakang : Infeksi intraabdomen (IIA) merupakan respons inflamasi peritoneum oleh mikroorganisme penyebab sepsis dan kematian kedua terbanyak di ruang intensive care unit (ICU).1,2Complicated intra-abdominal infection worldwide observational study (CIAOW) menunjukkan angka kematian infeksi intraabdomen komplikata sebesar 10,5%. Terapi antimikroba atau antibiotik merupakan hal penting dalam penanganan IIA. Dalam mendukung keberhasilan penanganan kasus IIA dibutuhkan informasi akurat mengenai karakteristik dan pola kepekaan terhadap antibiotik yang dapat digunakan sebagai acuan penggunaan antibiotik pada kasus IIA. Tujuan: Mendapatkan karateristik mikrobiologis dan klinis pada kasus IIA dan mengetahui hubungan antara faktor klinis dan mikrobiologi dengan luaran klinis pasien.

Metode: Data diambil secara prospektif  dengan desain pontong lintang. Sampel penelitian berupa jaringan intraabdomen dan darah yang diambil saat pembedahan. Uji identifikasi dan uji kepekaan dilakukan untuk deteksi bakteri aerob dan bakteri anaerob. Hasil:. Infeksi intraabominal komplikata lebih banyak dibandingkan IIA non-komplikata (63,63%), kasus sepsis (63,63%) dan peritonitis (45,45%). Infeksi intraabominal terkait rumah sakit lebih banyak dibanding IIA komunitas yaitu 56,36%). Patogen yang paling sering ditemukan adalah Eschericia coli (34,78%), Klebsiella pneumoniae (10,86%) dan Enterococcus faecalis ((8,69%). Pola kepekaan terhadap amikasin, meropenem, ertapenem dan tigesiklin adalah 100% pada isolat E. coli, sementara piperasilin/tazobaktam lebih rendah (90,62%), seftazidim dan sefepim (68,75%). Ditemukan E. coli resisten multiobat  (62,5%), K. pneumoniae resisten multiobat (50%) dan E. faecalis resisten multi obat (50%). Terdapat hubungan antara faktor klinis sepsis dengan luaran klinis. Pemberian terapi antimikroba sebaiknya mengacu kepada rekomendasi yang dibuat berdasarkan pola kuman dan pola kepekaan setempat.

Kesimpulan: Bakteri Gram negatif masih merupakan bakteri yang paling sering ditemukan pada kasus IIA. Dengan tingginya temuan bakteri resisten multiobat makan pemberian antimikroba harus mempertimbangkan cakupan antimikroba terhadap patogen penyebab.

<

Background: Intraabdominal infection (IAI) is the peritoneum inflammatory process due to microorganisms, the leading cause of sepsis, and the second cause of death in the intensive care unit (ICU). Complicated intra-abdominal infection worldwide observational study (CIAOW) showed the mortality rate of complicated IAI of 10.5%. Antimicrobial therapy or antibiotics is important in managements of IAI. Accurate information is needed to improve IAI management; regarding the characteristics and patterns of sensitivity of antibiotics as a reference for antibiotics use in IAI.

Aim: This study aims to obtain microbiological and clinical pictures in IAI and the correlation between clinical and microbiological factors with the patient’s clinical outcomes.

Method: Data were collected prospectively using a cross-sectional design. The sampel in this study is intraabdomen tissue and blood that was taken during surgery. Identification and antimicrobial sensitivity testing was carried out to detect aerob and anaerob bacteria.

Result: Complicated cases is larger in number more than non-complicated IAI (63.63%), sepsis (63.63%) and peritonitis (45.45%). Hospital-related IAI much more than community IAI (56.36%). The most common pathogens are Eschericia coli 34.78%), Klebsiella pneumoniae (10.86%) and Enterococcus faecalis (8.69%). The sensitivity of amikacin, meropenem, ertapenem and tigesycline was 100% in E. coli, while piperacillin/ tazobactam was lower (90.62%), ceftazidime and cefepime (68.75%). It was found that multi-drug E. coli was (62.5%), multi-drug resistant K. pneumoniae (50%) and multi-drug resistant E. faecalis (50%). There is correlation between sepsis clinical factors with patient’s outcome. The administration of antimicrobial therapy should refer to recommendations made based on local microba and sensitivity patterns. 

Conclusion: Gram-negative bacteria are still the most common bacteria found in patient intraabdominal infections. With the high findings of multi-drug resistant bacteria, antimicrobial administration must consider the antimicrobial coverage of the causative pathogen.

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rima Nadya Widyanti
"Skizofrenia merupakan salah satu kelainan jiwa berat yang juga dialami sebagian penduduk kota besar termasuk Jakarta. Hal ini bisa menimbulkan berbagai macam masalah bagi anggota keluarga pasien, terutama orang yang merawatnya atau caregiver. Permasalahan yang dialami caregiver ketika merawat anggota keluarga dengan skizofrenia dapat memengaruhi tingkat kebahagiaan yang mereka rasakan. Seligman (2005) menyatakan kebahagiaan terbagi ke tiga masa, yaitu masa lalu, masa kini, dan masa depan. Adanya karakteristik positif yang dimiliki caregiver serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam perannya sebagai caregiver juga turut memengaruhi tingkat kebahagiaan yang dirasakan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran kebahagiaan dan karakteristik positif pada wanita dewasa madya yang menjadi caregiver informal skizofrenia. Peneliti menggunakan metode kualitatif, yaitu metode wawancara dan observasi untuk menganalisis hasil. Penelitian ini dilakukan terhadap empat wanita berumur 40-65 tahun yang menjadi caregiver informal penderita skizofrenia. Berdasarkan penelitian, wanita dewasa madya yang menjadi caregiver informal skizofrenia memiliki tingkat kebahagiaan yang berbeda-beda. Tingkat kebahagiaan yang dirasakan bergantung pada emosi positif yang mereka rasakan pada masa lalu, masa kini, dan masa depan. Kebahagiaan caregiver skizofrenia juga bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan ketergantungan care-receiver. Selain itu, karakteristik positif yang menonjol membuat para subjek bisa bertahan menghadapi berbagai macam tanggung jawab dan peran baik sebagai caregiver maupun peran lain.

Schizophrenia is one of the severe mental illnesses which a lot of citizen in big city suffered from it including Jakarta. Schizophrenia can cause a lot of problems for the family`s patient especially the patient`s caregiver. These problems can affect the caregiver`s happiness. Seligman (2005) state that happiness is consists of positive emotions that individual feels in her past, present, and future. Positive characteristics which caregiver possessed and applied in her daily life especially in her role as a caregiver also affects her happiness. This research was conducted to see the dynamics of happiness and positive characteristic of middle age woman who become an informal caregiver for people with schizophrenia. The researcher used qualitative method which consists of interview and observation method. The subjects of this research are four women aged 40-65 years old who is an informal caregiver for people with schizophrenia. The result showed that these caregivers are different in their happiness. Their happiness depends on positive emotions that they feel in their past and present and toward their future. Their happiness also depends on the patient`s severity and dependability. Then, positive characteristic which they possessed and applied make them survive when dealing with their responsibilities as well as their role as caregiver or other role."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
155.2 RIM g
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yusmaidi
"Latar Belakang. Pemberian kemoterapi oxaliplatin sebagai salah satu modalitas terapi kanker kolorektal telah terbukti memperbaiki angka kesembuhan, ketahanan hidup maupun masa bebas penyakit dan kualitas hidup penderita. Namun, juga memberikan berbagai efek samping toksisitas hematologi anemia, leukopenia, dan trombositopenia yang paling sering ditemukan.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan rancangan hysterikal kohort. Penelitian dilakukan di Departemen Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Divisi Bedah Digestif RSCM, periode Januari 2016 - Desember 2016. Populasi sasaran adalah 65 pasien kanker kolorektal yang mendapat kemoterapi oxaliplatin adjuvan.
Hasil. Usia pasien kanker kolorekta berkisar antara 18 tahun sampai dengan 73 tahun rata-rata 50,8 tahun, perbandingan pria 32 49,2 dan wanita33 50,8. dari 65 pasien kanker kolorektal distribusi lokasi tumor terbanyak pada rektum 39 60, sigmoid 11 16,9, kolon desenden 7 10,8, kolon tranversum 5 7,7, kolon asenden 2 3,1, dan pada caecum 1 1,5. Stadium terbanyak adalah stadium II dan tindakan pembedahan berupa Low Anterior Resction atau Anterior Perineal Resection. Terdapat penurunan rerata kadar hemoglobin yang bermakna dengan p

Background. The administration of oxaliplatin chemotherapy as one of the therapeutic modalities of colorectal cancer has been shown to improve the rate of cure, survival and disease free and quality of life of patients. However, it also provides the most common side effects of hematologic toxicity anemia, leukopenia, and thrombocytopenia.
Methods. This research is an observational using hysterical cohort design. It was conducted in Department of Surgery Faculty of Medicine, University of Indonesia Division of Digestive Surgery RSCM, periode January 2016 December 2016. The target population is 65 patients of colorectal cancer receiving adjuvant oxaliplatin chemotherapy.
Results The age of colorectal cancer patients ranged from 18 to 73 years mean 50.8 years, male 32 49.2 and female 33 50.8. 65 patients of colorectal cancer distributed the most tumor sites in the rectum 39 60, sigmoid 11 16.9, descending colon 7 10.8, tranversum colon 5 7.7, ascending colon 2 3.1, and at caecum 1 1.5. Most stages are stage II and the operate type of Low Anterior Resction or Anterior Perineal Resection. There was a significant decrease in mean hemoglobin level with p
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T57665
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>