Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159821 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Felix Firyanto Widjaja
"Latar Belakang: Hubungan antara hepatitis C dan penyakit ginjal kronik (PGK) sudah semakin jelas. Sirosis hati dan kadar virus pada hepatitis C dikatakan berhubungan dengan PGK, namun hal ini masih menjadi kontroversi.
Tujuan: Mengetahui prevalensi PGK serta hubungannya dengan sirosis hati dan kadar virus pada pasien hepatitis C.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong-lintang yang dilakukan pada Agustus 2018 sampai Januari 2019 di Poliklinik Hepatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Indonesia. Subjek dipilih secara konsekutif pasien dengan antiHCV positif dan ditanyakan kesediannya. Subjek dengan HIV, hepatitis B, riwayat hemodialisis, dan batu ginjal dieksklusi. Data diambil melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, elastrografi transien, pemeriksaan darah dan urin. Pasien didiagnosis PGK bila terdapat kelainan laju filtrasi glomerolus at au albuminuria atau hematuria persisten selama tiga bulan. Analisis statistik menggunakan kai kuadrat untuk data kategorik dan menggunakan regresi logistik untuk mengendalikan variabel perancu.
Hasil: Dari total 185 subjek yang mengikuti penelitian ini didapatkan prevalensi PGK sebesar 23,2% dengan 95% IK 17,12-29,28% pada subjek dengan hepatitis C. Sirosis hati berhubungan dengan terjadinya PGK pada hepatitis C dengan crude OR 2,786 (1,276-6,081) dan adjusted OR 2,436 (1,057-5,614) setelah mcngendalikan diabetes melitus, usia, dan jenis kelamin. Tidak didapatkan hubungan antara kadar virus dengan PGK (p=0,632).
Simpulan: Terdapat hubungan antara sirosis hati dengan PGK dan tidak terdapat hubungan antara kadar virus dengan PGK pada pasien dengan hepatitis C."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59185
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Okto Dewantoro
"ABSTRAK
Latar Belakang : Hepatocyte Progenitor Cell(HPC) merupakan stem cell dari hati yang akan muncul bila terjadi kerusakan hati yang kronis hingga sirosis hati seperti pada penderita hepatitis B kronik. Aktifnya HPC sebagai usaha untuk meregenerasi sel hati akan diikuti oleh migrasi dari Haematopoietic Stem Cell(HSC) ke sel hati dengan tujuan membantu proses regenerasi sel hati
Tujuan : Penelitian ini bertujuan mengetahui adakah korelasi antara HPC dan HSC pada derajat Metavir baik nekroinflamasi ataupun fibrosis sebagai dasar untuk melakukan terapi stem cell pada penderita hepatitis B kronik dengan menggunakan HPC dan HSC.
Metode : Penderita hepatitis B kronik yang sudah memenuhi kriteria inklusi dan sudah menjalani biopsi hati diperiksa parafin bloknya kemudian dibagi berdasarkan derajat metavirnya yaitu ringan-sedang dan berat. Kemudian dilakukan pewarnaan immunohistokimia untuk HPC dengan CK-19 dan HSC dengan CD34+. setelah itu dihitung jumlah HPC dan HSC dan kemudian dianalisis datanya.
Hasil : Didapatkan 17 penderita dengan fibrosis ringan-sedang dan 13 dengan fibrosis berat, serta 21 dengan nekroinflamasi ringan-sedang dan 9 dengan nekroinflamasi berat. Pada fibrosis ringan-sedang dan berat didapatkan perbedaan kadar HPC yang signifikan dgn p=0.003 dan perbedaan kadar HSC yang signifikan dengan p=0.001. Pada nekroinflamasi ringan-sedang dan berat didapatkan perbedaan kadar HPC yang signifikan dengan p=0.014 dan perbedaan kadar HSC yang signifikan dengan p=0.012. Hanya korelasi antara HPC dan HSC pada fibrosis ringan-sedang yang signifikan dengan p=0.003
Kesimpulan : Rerata HPC dan HSC pada nekroinflamasi berat lebih tinggi dibandingkan pada nekroinflamasi ringan-sedang. Rerata HPC dan HSC pada fibrosis berat lebih tinggi dibandingkan pada fibrosis ringan-sedang Tidak didapatkan korelasi antara HPC dan HSC pada nekroinflamasi ringan- sedang dan berat. Terdapat korelasi antara HPC dengan HSC pada derajat fibrosis ringan-sedang. Tidak didapatkan korelasi antara HPC dan HSC pada derajat fibrosis berat.

ABSTRACT
Background :
Hepatocyte progenitor Cell (HPC) is a stem cell from the liver that will arise in the event of chronic liver damage such as chronic hepatitis B to cirrhosis of the liver. HPC as an active attempt to regenerate liver cells followed by migration of Haematopoietic Stem Cell (HSC) to liver cells with the goal of helping the regeneration of liver cells.
Aims :
This study aims to determine the correlation between HPC and HSC as the basis for the conduct of stem cell therapy in patients with chronic hepatitis B by using the HPC and HSC.
Methods:
Patients with chronic hepatitis B who meet the inclusion criteria which had undergone liver biopsies examined paraffin blocks which divided by degrees of metavir as mild and severe. Then performed immunohistochemical staining for HPC with CK-19 and HSC with CD34+ .After the calculated amount of HPC and HSC and then analyzed the data.
Results:
There were 17 patients with mild-moderate fibrosis and 13 with severe fibrosis, and 21 with mild-moderate nekroinflamasi and 9 with severe nekroinflamasi. In mild- moderate and severe fibrosis obtained mean significant HPC with p = 0.003 and mean significant HSC with p = 0.001. In nekroinflamasi obtained mean mild- moderate and severe HPC significant with p = 0.014 and the mean HSC significant with p = 0.012. There is a statistically significant correlation between HPC and HSC on mild-moderate fibrosis with p = 0.003.
Conclusions:
Average of HPC and HSC in severe nekroinflamasi is higher than in mild - moderate nekroinflamasi . Average of HPC and HSC in severe fibrosis is higher than in mild - moderate fibrosis There were no correlation between HPC and HSC on nekroinflamasi mild- moderate and severe . There is a correlation between HSC and HPC in the mild - moderate fibrosis . There were no correlation between HPC and HSC on the degree of severe fibrosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisda Tenka
"Ruang lingkup dan cara penelitian : Telah dilakukan studi retrospektif terhadap 20 karsinoma adenoid kistik hasil operasi dari Bagian Patologi Anatomik FKUI / RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo selama 8 tahun (1991-1998) dengan melihat tipe histologik, derajat histologik dan invasi perineural serta melakukan penghitungan AgNOR. Selanjutnya dicari hubungan antara AgNOR dengan tipe histologik, derajat histologik dan invasi perineural karsinoma adenoid kistik kelenjar liur mayor dan minor. Hasil dan kesimpulan : Dari 20 kasus karsinoma adenoid kistik kelenjar liur mayor dan minor, diperoleh 4 kasus dengan satu tipe histologik (20%) dan 16 kasus dengan tipe campuran (80%). Berdasarkan kriteria derajat histologik menurut Szanto dkk didapatkan 6 kasus dengan tumor derajat I (30%), 10 kasus dengan tumor derajat II (50%) dan 4 kasus dengan tumor derajat III (20%). Invasi perineural ditemukan 11 kasus (55%). Nilai AgNOR meningkat berurutan pada tipe tubular, kribriform dan solid. Nilai AgNOR juga meningkat berurutan pada KAK derajat I, Il dan III. Nilai AgNOR menunjukkan perbedaan bermakna antara KAK derajat IIl dengan derajat I dan II. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara nilai AgNOR dengan lokasi tumor (kelenjar liur mayor dan minor) atau ada tidaknya invasi perineural. Dari penelitian retrospektif ini dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan bermakna jumlah AgNOR antara tumor derajat III dengan derajat I dan II, sehingga dengan demikian nilai AgNOR dapat digunakan dalam meramalkan prognosis KAK kelenjar liur mayor dan minor."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57283
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anthony Japnanto
"Astrositoma ialah tumor primer pada bagian intrakranial yang muncul dari sel astrosite otak. Penelitian ini menggunakan metodologi studi retrospective cohort yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara usia dan indeks proliferasi AgNOR pada pasien astrositoma. Dengan menganalisa data dari 48 pasien pada penelitian ini, dan menggunakan metodologi Spearman’s rho test, data data tersebut dianalisa. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa indeks proliferasi AgNOR dan usia menunjukan korelasi satu sama lain (p < 0.01). Akan tetapi hubungan antara 2 variabel tersebut tidak kuat (koefisien korelasi = 0.504). Insiden tersering untuk kasus astrositoma ialah pada pasien pasien yang berusia diantara 41-50 tahun.

Astrocytoma is a primary intracranial tumor arised from astrocytes cells of the brain and is the most common infiltrating glioma. The research design in this study is retrospective cohort study that aim is about finding relationship of Age and prognostic factor of astrocytoma. There were 48 participants included in this study, and by using Spearman’s rho correlation test statistical analysis, the data were analyzed. The result showed that both AgNOR proliferation index and age in astrocytoma patients showed a significant correlation each other (p <0.01). However, the relation between both variables was not strong (correlation coefficient = 0.504). Further, the most common incidence for astrocytoma case is in 41-50 age group patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heriawaty Hidajat
"Liposarkoma jaringan lunak diklasifikasikan ke dalam lima subtipe histologik yaitu berdiferensiasi baik, miksoid, sel bulat, pleomorfik dan dediferensiasi. Liposarkoma miksoid dan berdiferensiasi baik tergolong derajat keganasan rendah serta mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan subtipe lainnya. Tetapi penentuan subklasifikasi tersebut ternyata tidak selalu mudah dilakukan oleh karena ditemukannya berbagai tipe campuran antara subtipe yang berderajat rendah dengan yang tinggi. Selain itu penentuan grading histologik juga bergantung pada berbagai keadaan sehingga dapat menjadi kurang objektif nilainya.

Soft tissue liposarcoma is classified into five histological subtypes, namely well-differentiated, mycoid, spherical cell, pleomorphic and dedifferentiated. Mixid and well-differentiated liposarcoma is classified as low malignancy and has a better prognosis compared to other subtypes. However, the determination of these subclassifications is not always easy to do because of the discovery of various mixed types between low-degree subtypes with a high one. In addition, the determination of histological grading also depends on various circumstances so that the value can be less objective."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwit Ade Fidiawati
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Karsinoma ovarium merupakan salah satu keganasan yang sangat penting karena menempati urutan ke empat penyebab kematian pada wanita. Di Indonesia dari tahun 1989-1992 terdapat 13% karsinoma ovarium dalam 1.726 kasus. Diagnosis histopatologik memegang peranan penting dalam penanganan tumor ovarium. Saat ini yang masih sering menimbulkan masalah diagnostik adalah membedakan antara tumor borderline dengan kistadenokarsinoma padahal penanganan dan prognostiknya berbeda. AgNOR merupakan salah satu cara penilaian proliferasi dengan menghitung nucleolar organizer region (NOR) yang merupakan lengkung DNA ribosom yang ditranskripsikan menjadi RNA ribosomal dengan bantuan RNA polimerase. Jumlah dan ukuran AgNOR berkorelasi dengan aktivitas proliferasi sel. Peningkatan nilai AgNOR mencerminkan peningkatan aktivitas proliferasi sel atau ploidi. Pada penelitian ini, nilai AgNOR digunakan untuk melihat hubungannya dengan derajat histopatologik tumor ovarium musinosum. Penghitungan nilai AgNOR dilakukan pada 20 kasus kistadenoma, 20 kasus tumor borderline dan pada 20 kasus kistadenokarsinoma dengan dua cara, yaitu rata-rata jumlah AgNOR per nukleus (mAgNOR) dan persentase nukleus dengan AgNOR>1, >2, >3 dan >4 (pAgNOR).
Hasil dan kesimpulan: Dari penelitian ini diperoleh nilai mAgNOR dan pAgNOR meningkat dan kistadenoma, tumor borderline dan kistadenokarsinoma (masing-masing 2,14; 3,55 dan 5,18). Nilai pAgNOR pada karsinoma lebih tinggi daripada nilai pAgNOR pada kistadenoma dan pada tumor borderline (pAgNOR>1 pada kistadenoma 69,55%; pada tumor borderline 964% dan pada kistadenokarsinoma 99,95%). Dengan menggunakan analisis varian didapatkan perbedaan bermakna di antara ke tiga jenis tumor tersebut (p=0,00). Dan dengan uji korelasi diperoleh hubungan yang sangat kuat antara nilai AgNOR dan derajat histopatologik tumor ovarium musinosum. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai AgNOR dapat digunakan untuk membedakan antara kistadenoma ovarium musinosum, tumor borderline dan kistadenokarsinoma.

Ovarian carcinomas are one of the most important malignant tumors because it had become the fourth most common cause of female cancer death. In Indonesia from 1989 to 1992, more than 13 % of 1.726 cancer cases were ovarian carcinomas. Histopathologic diagnostic become an important role in treatment of ovarian tumors. However, the main problem in histopathologic diagnostic the difficulties in differentiating ovarian cystadenocarsinomas and borderline tumors. Application of objective method is therefore necessary for the differential diagnosis. Nucleolar organizer region (NOR) are loops of DNA on the short arms of acrocentric chromosomes that presumably are associated with ribosomal RNA activity, protein synthesis and cellular proliferation. NOR are readily demonstrated by means of argyrophilia of their associated proteins, using the so-called AgNOR technique. Increased number of AgNOR may reflect increased proliferative activity of cell or ploidy, i.e., the count of AgNOR per nudeus was higher in malignant than in benign tissues. In this study, the authors tested AgNOR counting method for their ability to discriminate between benign tumour, borderline tumor and carcinoma and to see correlation between histopathologic grades of mutinous ovarian tumors with AgNOR counts. Selective cases of 20 cases cystadenomas, 20 cases of borderline tumors and 20 cases of cystadenocarsinomas were evaluated by 2 AgNOR counting method: 1) the mean number of AgNORs per nucleus (mAgNOR) and 2) the percentages of nuclei with >1, >2, >3 and >4 AgNORs (pAgNOR>1, pAgNOR>2, pAgNOR>3 and pAgNOR>4, respectively).
Result and conclusion: mAgNOR counts demonstrated a progressive increase from cytadenomas to borderline tumours and to cystadenocarcinomas (2,14; 3,55 and 5,18, respectively). pAgNOR counts were higher in carcinoma than in cystadenoma and in borderline tumors (in adenoma, 69.55% have pAgNOR>1, while in borderline and in carcinoma were 96,1% and 99,55%, respectively). Using analysis of variance, both AgNOR counts enabled significant discrimination between cystadenoma, borderline tumours and carcinoma (13=0, 00). The AgNOR counts show statistically significant correlation with histopathological grade of mucinous ovarian tumors. The result indicates that the AgNOR counting procedure may be useful in distinguishing borderline tumours from cytadenocarcinoma and cystadenoma mutinous of ovary.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T 11303
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Karsinoma ovarium merupakan salah satu keganasan yang sangat penting karena menempati urutan ke empat penyebab kematian pada wanita....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Andy Janitra
"Latar belakang dan tujuan: Fibrosis hepar merupakan hal yang perlu diketahui untuk memulai terapi antiviral pada pasien hepatitis C kronik. Pemeriksaan USG Doppler yang bersifat non invasif, tersedia luas dan relatif murah dipertimbangkan sebagai metode alternatif untuk menentukan derajat fibrosis di daerah yang tidak memiliki fibroscan. Parameter splenic artery pulsatility index (SAPI) dipikirkan dapat digunakan sebagai indikator derajat fibrosis. Namun saat ini belum ditemukan nilai titik potong SAPI untuk populasi di Indonesia.
Metode: Studi observasional potong lintang dilakukan pada 34 pasien dengan hepatitis C kronik di Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam kurun waktu Desember 2015 hingga Februari 2016. Indeks dan parameter Doppler lainnya merupakan data primer. Subjek dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok fibrosis non signifikan dan kelompok fibrosis signifikan. Uji komparatif dilakukan untuk membandingkan rerata indeks dan parameter Doppler lainnya diantara kedua kelompok tersebut. Analisis kurva receiver operating characteristic (ROC) dilakukan pada SAPI untuk mendapatkan nilai sensitifitas dan spesifisitasnya.
Hasil: Median SAPI pada kelompok fibrosis signifikan adalah 1.02 dengan range 0.7-1.8 sedangkan median SAPI pada kelompok fibrosis non signifikan adalah 0.89 dengan range 0.7-1.3 dengan nilai p=0.021. Dengan analisis ROC didapatkan titik potong indeks 0.96 yang memberikan sensitifitas 73.9% dan spesifisitas 81.8% untuk membedakan kelompok fibrosis signifikan dan fibrosis non signifikan.
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara indeks SAPI secara USG dengan derajat fibrosis yang didapat dari fibroscan dan indeks tersebut dapat digunakan sebagai indikator fibrosis signifikan dengan akurasi yang cukup tinggi.

Background and Objective: Liver fibrosis needs to be evaluated in order to begin anti viral therapy in chronic hepatitis C patients. Doppler ultrasound which is non invasive, widely available and relatively cheap is being considered as an alternative method to determine the degree of fibrosis in areas which do not have a fibroscan available. Splenic artery pulsatility index (SAPI) can be used as an indicator of significant fibrosis, however the cut off value for Indonesian population has yet to be determined.
Method: A cross-sectional observational study is conducted in 34 patients with chronic hepatitis C in the Hepatology Division Department of Internal Medicine Cipto Mangunkusumo Hospital during December 2015 to February 2016. The index and other Doppler parameters are primary data. Subjects are divided into two groups: significant fibrosis group and non significant fibrosis group. Comparative test is conducted to compare the mean index and other Doppler parameters among the two group. Analysis of receiver operating characteristic (ROC) curve was performed on parameters that are statistically significant in order to obtain the sensitivity and specificity value.
Results: Median SAPI in significant fibrosis group is 1.02 with a range of 0.7-1.8 while the median SAPI in non significant group is 0.89 with a range of 0.7-1.3, p=0.021. From ROC curve analysis, we obtained the optimal cutting point index 0.96 which gives 73.9% sensitivity and 81.8% specificity to differentiate significant fibrosis group and non significant fibrosis group.
Conclusion: There is a significant association between SAPI which is obtained by Doppler and the degree of fibrosis obtained from fibroscan which can be used as an indicator for significant liver fibrosis with quite high accuracy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Yudha Rahman
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T56466
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Yudha Rahman
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T56466
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>