Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 103288 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rinaldi Wiriawan
"Aliansi Pelangi Antar Bangsa yang terdiri dari berbagai komunitas perkawinan campuran di dalamnya adalah organisasi masyarakat sipil yang memiliki kepentingan dan misi yang sama untuk memperjuangkan perubahan UU kewarganegaraan khususnya UU No. 62 Tahun 1958 yang dianggap masih mengandung diskriminasi terhadap pelaku perkawinan campuran. Untuk mencapai tujuan ini APAB harus mendapatkan dukungan DPR-RI agar perubahan UU No. 62 Tahun 1958 ini menjadi agenda untuk diubah sesuai proses perubahan UU yang berlaku. Sehingga penelitian ini memfokuskan pada pertanyaan penelitian yaitu bagaimana peran dari APAB dalam mempengaruhi proses pembentukan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut akan dijelaskan dengan menggunakan konsep civil society, civil society organization, kelompok kepentingan, serta mekanisme proses pembentukan undang-undang yang berlaku pada konteks penelitian. Penggunaan konsep tersebut didasarkan pada asumsi bahwa APAB berperan sebagai sebuah kelompok kepentingan, salah satu bentuk dari organisasi masyarakat sipil, dalam mempengaruhi proses pembentukan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Informasi yang diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan narasumber yang memiliki pengalaman dan pengetahuan langsung terhadap proses perubahan UU tersebut. Dalam menjalankan upayanya, APAB menjalankan perannya dengan melakukan direct lobbying, information campaign dan coalition building. Tujuan penelitian ini adalah melihat bagaimana peran APAB dalam mempengaruhi proses pembuatan UU No. 12 Tahun 2006. Dari hasil penelitian terlihat bahwa APAB dengan menjalankan perannya sebagai kelompok kepentingan berhasil mempengaruhi DPR-RI dalam melakukan proses pembentukan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Aliansi Pelangi Antar Bangsa is a civil society organization that consist of many mixed marriage communities with common mission and objective, which is to change the Law No. 62 Year 1958 about citizenship that was considered by them still consisted discriminative aspects toward mixed marriage families. To reach this objective, APAB must attain the support of DPR (Peoples’ Representatives Board) to put this revision of the Law No.62 Year 1958 to be put into an agenda as the law that is to be revised by DPR according to the existing law. In that case, this research focusing on a question on how is the role of APAB in influencing the formation of Law No. 12 Year 2006 making process This research will be using some concepts of civil society, civil society organization, pressure groups, and also the mechanism of law making process that applied in this research context to answer that research question. Using these concepts is based on a assumption that APAB role as a pressure group, one kind of a civil society organization, in influencing the formation of Law No. 12 Year 2006 making process. This research uses qualitative approach to the description. The information was obtained by conducting in depth interviews with the people who were the actors having the direct experience and the direct knowledge about the process of the formation of the new law. In their effort, APAB applies political roles by doing direct lobbying, information campaigning and coalition building. The study aims to observe the role of APAB in influencing the formation of Law No. 12 Year 2006. The research shows that APAB was successful in influencing the formation of Law No. 12 Year 2006."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Rini
"Sebagai sebuah negara besar, Indonesia harus menerima perbedaan dan keragaman sebagai sebuah berkah. Perbedaan fisik dan budaya adalah asset. Keragaman tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk saling menjatuhkan dan melanggar hak asasi manusia. Dalam kurun waktu puluhan tahun, warga etnis Tionghoa selalu menjadi sorotan tajam di negeri ini. Mereka sering dipersulit saat mengurus berbagai dokumen kewarganegaraan, disudutkan, dan dijadikan kambing hitam ketika masalah-masalah berbau rasialis muncul di negeri ini. Melalui Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 lah pertama kalinya SBKRI diatur dan ternyata menjadi kewajiban bagi warga etnis Tionghoa untuk mendapatkan pelayanan publik. Hal ini menjadi suatu perlakuan yang diskriminatif bagi mereka. Ratifikasi Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan pada 11 Juli 2006 oleh DPR dianggap bersejarah karena undang-undang ini menggantikan undang-undang kewarganegaraan yang sudah berumur 48 tahun. Undang-undang kewarganegaraan yang baru dianggap lebih manusiawi dan memuat aspirasi warga etnis Tionghoa untuk diperlakukan sama dengan warga negara yang lain. Memang, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak mengatur mengenai SBKRI sebagai bukti kewarganegaraan secara khusus, akan tetapi bila ditafsirkan dari norma yang terkandung di dalamnya, pemaknaan ?orang-orang bangsa Indonesia asli‟, maka secara jelas undang-undang ini mengandung konsep natural born citizenship. Dengan demikian, warga keturunan Tionghoa merupakan warga Indonesia asli yang tidak memerlukan bukti kewarganegaraan, sebagaimana WNA yang melakukan naturalisasi. Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan menggunakan metode wawancara dan studi dokumen. Studi dokumen tersebut diperoleh dari sejumlah fakta atau keterangan yang terdapat di dalam dokumen, buku-buku, artikel-artikel, dan perundang-undangan yang terkait dengan topik penelitian. Penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa SBKRI tidak lagi valid setelah Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 terbit hanya saja dalam prakteknya masih ada warga etnis Tionghoa yang harus menyertakan SBKRI ketika mengurus dokumen kewarganegaraan dengan berbagai alasan.

As a large country, Indonesia should accept difference and diversity as a blessing. Physical and cultural differences are assets. Diversity should not be used as an excuse to bring down each and violate human rights. In a period of decades, ethnic Chinese have always been under the spotlight in this country. They are often compounded when arranging various documents of citizenship, cornered, and scapegoats when problems arise smelling racist in this country. Through Law No. 62 of 1958, SBKRI for the first time set and turned out to be an obligation for citizens of ethnic Chinese to public service. This becomes a discriminatory treatment to them. Ratification Law No. 12 of 2006 concerning citizenship on July 11, 2006 by the House of Representatives is considered historic because this law replaces legislation citizenship 48 years old. Citizenship legislation recently considered more humane and load aspirations of ethnic Chinese to be treated equally with other citizens. Indeed, Law No. 12 of 2006 on Citizenship of the Republic of Indonesia does not regulate SBKRI as proof of citizenship in particular, but when interpreted from the norms contained in them, meaning 'people of Indonesia native', then clearly the law this contains the concept of natural born citizenship. Thus, an ethnic Chinese Indonesian citizens who do not require the original proof of citizenship, as well as foreigners who commit naturalization. In this study, the writers collected data using interviews and document research. The study documents obtained from a number of facts or information contained in the documents, books, articles, and legislation related to the research topic. The writer can conclude that SBKRI is no longer valid after Law No. 12 of 2006 published, but the reality is there are people who still need SBKRI when issuing citizenship documents with a variety of reasons."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hartoyo
"ABSTRAK
Penelitian ini dengan judul Dinamika Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pemilihan judul tersebut dengan pertimbangan :warganegara merupakan salah satu syarat pembentukan negara, kebijakan di bidang kewarganegaraan merupakan amanat konstitusi, permasalahan kewarganegaraan terkait langsung dengan kepentingan masyarakat, dan merupakan salah satu bentuk pembaruan kebijakan.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif bertipe deskriptif untuk mengetahui 2 hal pokok yaitu dinamika partisipasi masyarakat dalam pembentukan Undang-Undang Kewarganegaraan dan menjelaskan faktor-faktor yang mendorong partisipasi. Data diperoleh dari sumber sekunder dan primer. Sumber sekunder berasal dari dokumentasi dalam bentuk cetakan dan media online, sedangkan data primer diperolah dari hasil wawancara dengan informan. Analisis data dilakukan dengan teknik triangulasi yaitu melakukan pengecekan silang terhadap data yang dikumpulkan. Analisis dilakukan simultan dengan pengumpulan data secara berulang-ulang.
Setelah dilakukan analisis data, maka diperolah simpulan bahwa partisipasi masyarakat dalam pemerintahan diperlukan dalam rangka meningkat kualitas demokrasi. Intensitas dinamika partisipasi masyarakat terjadi pada tahap persiapan, formulasi, dan paska pembentukan Undang-Undang Kewarganegaraan. Proses interaksi partisipasi mengikuti pola siklus kebijakan. Faktor-faktor yang mendorong partisipasi masyarakat adalah aktor, media massa, lobi, soliditas masyarakat, dinamika masyarakat, dan keterbukaan. Partisipasi masyarakat dilaksanakan melalui mekanisme menyampaikan pendapat, memberi masukan, menjawab permasalahan, menyampaikan petisi, sebagai narasumber dalam diskusi, menyusun draft rancangan undang-undang, peserta dengar pendapat dengan DPR, turut membahas rancangan undang-undang di DPR dalam rapat panitia khusus dan dalam rapat panitia kerja, ?mengawal? pembentukan undang-undang secara formal dan informal, maupun sebagai pelobi.
Partisipasi merupakan salah satu unsur dalam good governance, tetapi apabila dikelola dengan baik dapat berperan sebagai pemicu terwujudnya good governance. Partisipasi masyarakat dalam pembentukan Undang-Undang Kewarganegaraan dapat dijadikan acuan/benchmark dalam menciptakan good regulatory governance. Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang diperlukan institusionalisasi partisipasi masyarakat, peningkatan kapasitas masyarakat, dan keterbukaan pembentuk undang-undang.

ABSTRACT
This research with the title of Public Participation in Law Formation Number 12 of 2006 on Citizenship of The Republic of Indonesia. The title selection with the consideration: the citizenship is term and condition of the state establishment, policy in the field of citizenship is also mandate of constitution, the problem of citizenship is directly connected with the public necessity, and it is one of the forms of political renewal.
The research is implemented with qualitative approach in the type of descriptive in knowing 2 main cases, namely: (1) public participation dynamic in law formation of citizenship, (2) to explain the factors encourage participation. Data is required from the source of secondary and primary. The secondary source is coming from documentation in the form of printed matters and online media, while primary data is required from the result of interview with the key informant. Analysis data is implemented by using the triangulation technique, namely to do the cross-check against the collected data. The analysis is implemented simultaneously and to collect data in repetition.
After performing the data of analysis, it is simultaneously required that the public participation in the government is needed in the framework of the enhancement of democracy quality. Intensity of public participation dynamic happened in the stage of preparation, formulation, and after the law formation of citizenship. Interaction process in participation follows policy cycles. The factors that encourage the public participation is an actor, mass media, lobby, public solidity, public dynamic, and transparency. The public participation is implemented through mechanism of public hearing, provide with input, problem response, petition submission, and as the source of information in the discussion is to arrange the draft of regulation structure, the participation in the opinion exchange and take a part in discussing regulation structure in The House of People?s Representative in the special committee session and working committee session, to escort the formation of law either formally or informally, and as a lobbies.
Participation is one of the elements in good governance, but if it is well managed, it will function as a trigger of realization of good governance. The public participation in law formation of citizenship can be created as benchmark in establishment of good regulatory governance. In the framework of public participation enhancement in laws formation is required institutionalization of public participation, public capacity enhancement, and transparency of law formation."
Depok: 2010
D996
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Herlina Julianty
"Perkawinan campuran merupakan perkawinan yang dilakukan antara Warga Negara Asing dengan Warga Negara Indonesia. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan campuran menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan mengatakan bahwa sebelum anak berumur 18 tahun, maka anak tersebut mempunyai kewarganegaraan ganda. Dengan memiliki kewarganegaraan ganda, maka akan mempunyai status yang berbeda dalam kepemilikan tanah. Untuk Warga Negara Indonesia, mereka dapat memiliki tanah dengan status Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Sewa untuk Bangunan. Berbeda dengan Warga Negara Asing yang hanya dapat menggunakan tanah dengan status tanah Hak Pakai dan Hak Sewa untuk Bangunan. Timbul masalah apabila orang tua dengan status Warga Negara Indonesia meninggal dunia dan mereka meninggalkan warisan berupa tanah dengan status Hak Milik. Anak dengan status Warga Negara Asing tidak dapat memiliki tanah dengan status Hak Milik. Dalam membuat akta Pernyataan mengenai warisan dan Akta Jual Bell jika tanah tersebut ingin dijual, pada praktek di lapangan, para Notaris/PPAT menerapkan batas usia dewasa anak dalam hal kewarisan yang berkaitan dengan anak yang berstatus kewarganegaraan ganda. Dalam penulisan tesis ini menggunakan pengumpulan data secara studi kepustakaan dan studi kasus.
Dalam penulisan tesis ini, Penulis dapat mengambil kesimpulan tentang permasalahan yang dibahas adalah anak dengan kewarganegaraan ganda yang mendapatkan warisan tanah dengan status Hak Milik harus melakukan penurunan status tanahnya dari yang semula berstatus Hak Milik menjadi Hak Pakai atau melakukan pengalihan pada tanah Hak Milik tersebut kepada yang berhak dalam jangka waktu satu tahun. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka tanah dengan status Hak Milik tersebut jatuh kepada negara. Penerapan batas usia dewasa anak dilihat dari objek warisan yang didapatkan anak tersebut. Dalam hal pengalihan warisan berupa tanah, maka batas usia dewasanya adalah 21 tahun atau sudah menikah. Dalam hal warisannya bukan berupa tanah, maka batas usia dewasanya adalah 18 tahun atau sudah menikah. Penulis menyarankan agar adanya penyesuaian mengenai status kewarganegaraan dalam hal memiliki tanah Hak Milik dan dibuat satu penerapan dalam hal penentuan batas usia dewasa anak.

Mixture marriage is a marriage between foreigner and Indonesian. The children of this marriage, according to Undang-Undang Number 12 Year 2006 Section 6 about Indonesia Nationality said that before the child was 18 years old, the child had double nationality. By having double nationality, he or she will have a different way of having property. For the Indonesian, they can have the property in the status of Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, and Hak Sewa untuk Bangunan. For the foreigner, they just can have the property with the status of Hak Pakai and Hak Sewa untuk Bangunan. There will be a problem if the parent who is Indonesian was dead and they had inherited a property in the status of Hak Milik. The child with the nationality as foreigner can not own the property with the status of Hak Milik. In the way of making the Akta Pernyataan Warisan and Akta Jual Beli when the property want to be sold, practically, the Notary/PPAT implements the boundary of mature age in the heritage topic which connected with the child with double nationality. In this thesis, the author uses the method of biblical study and case study to collect the data.
In this thesis, the conclusion about the problem that the author can take is the child with double nationality who get heritage of property with the status of Hak Milik must change the status of the property from Hak Milik to Hak Pakai or sell the property to the competent in one year. If this is undone, so the property with the status of Hak Milik will be owned by the government. The implement of the boundary of mature age of the child is set according to the things that will be inherited to the child. In the heritance of property, the boundary of mature age is 21 years old or married. In the heritance of other things, the boundary of mature age is 18 years old or married. The author's suggestions are there will be an adjustment about the nationality to own the property with the status of Hak Milik and have the implement of setting the boundary of the mature age of a child."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19548
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta : Depkominfo, 2007,
R 342.08 Ind k
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
"Indonesian law and and ministerial regulations on citizenship."
s.l.: 2007
323.6 Und
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Dirjen Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM, 2006
R 323.659 8 Und
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Dirjen Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM, 2007
R 323.6598 Und
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>