Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95401 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rinaldi Wiriawan
"Aliansi Pelangi Antar Bangsa yang terdiri dari berbagai komunitas perkawinan campuran di dalamnya adalah organisasi masyarakat sipil yang memiliki kepentingan dan misi yang sama untuk memperjuangkan perubahan UU kewarganegaraan khususnya UU No. 62 Tahun 1958 yang dianggap masih mengandung diskriminasi terhadap pelaku perkawinan campuran. Untuk mencapai tujuan ini APAB harus mendapatkan dukungan DPR-RI agar perubahan UU No. 62 Tahun 1958 ini menjadi agenda untuk diubah sesuai proses perubahan UU yang berlaku. Sehingga penelitian ini memfokuskan pada pertanyaan penelitian yaitu bagaimana peran dari APAB dalam mempengaruhi proses pembentukan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut akan dijelaskan dengan menggunakan konsep civil society, civil society organization, kelompok kepentingan, serta mekanisme proses pembentukan undang-undang yang berlaku pada konteks penelitian. Penggunaan konsep tersebut didasarkan pada asumsi bahwa APAB berperan sebagai sebuah kelompok kepentingan, salah satu bentuk dari organisasi masyarakat sipil, dalam mempengaruhi proses pembentukan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Informasi yang diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan narasumber yang memiliki pengalaman dan pengetahuan langsung terhadap proses perubahan UU tersebut. Dalam menjalankan upayanya, APAB menjalankan perannya dengan melakukan direct lobbying, information campaign dan coalition building. Tujuan penelitian ini adalah melihat bagaimana peran APAB dalam mempengaruhi proses pembuatan UU No. 12 Tahun 2006. Dari hasil penelitian terlihat bahwa APAB dengan menjalankan perannya sebagai kelompok kepentingan berhasil mempengaruhi DPR-RI dalam melakukan proses pembentukan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Aliansi Pelangi Antar Bangsa is a civil society organization that consist of many mixed marriage communities with common mission and objective, which is to change the Law No. 62 Year 1958 about citizenship that was considered by them still consisted discriminative aspects toward mixed marriage families. To reach this objective, APAB must attain the support of DPR (Peoples’ Representatives Board) to put this revision of the Law No.62 Year 1958 to be put into an agenda as the law that is to be revised by DPR according to the existing law. In that case, this research focusing on a question on how is the role of APAB in influencing the formation of Law No. 12 Year 2006 making process This research will be using some concepts of civil society, civil society organization, pressure groups, and also the mechanism of law making process that applied in this research context to answer that research question. Using these concepts is based on a assumption that APAB role as a pressure group, one kind of a civil society organization, in influencing the formation of Law No. 12 Year 2006 making process. This research uses qualitative approach to the description. The information was obtained by conducting in depth interviews with the people who were the actors having the direct experience and the direct knowledge about the process of the formation of the new law. In their effort, APAB applies political roles by doing direct lobbying, information campaigning and coalition building. The study aims to observe the role of APAB in influencing the formation of Law No. 12 Year 2006. The research shows that APAB was successful in influencing the formation of Law No. 12 Year 2006."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Rini
"Sebagai sebuah negara besar, Indonesia harus menerima perbedaan dan keragaman sebagai sebuah berkah. Perbedaan fisik dan budaya adalah asset. Keragaman tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk saling menjatuhkan dan melanggar hak asasi manusia. Dalam kurun waktu puluhan tahun, warga etnis Tionghoa selalu menjadi sorotan tajam di negeri ini. Mereka sering dipersulit saat mengurus berbagai dokumen kewarganegaraan, disudutkan, dan dijadikan kambing hitam ketika masalah-masalah berbau rasialis muncul di negeri ini. Melalui Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 lah pertama kalinya SBKRI diatur dan ternyata menjadi kewajiban bagi warga etnis Tionghoa untuk mendapatkan pelayanan publik. Hal ini menjadi suatu perlakuan yang diskriminatif bagi mereka. Ratifikasi Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan pada 11 Juli 2006 oleh DPR dianggap bersejarah karena undang-undang ini menggantikan undang-undang kewarganegaraan yang sudah berumur 48 tahun. Undang-undang kewarganegaraan yang baru dianggap lebih manusiawi dan memuat aspirasi warga etnis Tionghoa untuk diperlakukan sama dengan warga negara yang lain. Memang, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak mengatur mengenai SBKRI sebagai bukti kewarganegaraan secara khusus, akan tetapi bila ditafsirkan dari norma yang terkandung di dalamnya, pemaknaan ?orang-orang bangsa Indonesia asli‟, maka secara jelas undang-undang ini mengandung konsep natural born citizenship. Dengan demikian, warga keturunan Tionghoa merupakan warga Indonesia asli yang tidak memerlukan bukti kewarganegaraan, sebagaimana WNA yang melakukan naturalisasi. Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan menggunakan metode wawancara dan studi dokumen. Studi dokumen tersebut diperoleh dari sejumlah fakta atau keterangan yang terdapat di dalam dokumen, buku-buku, artikel-artikel, dan perundang-undangan yang terkait dengan topik penelitian. Penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa SBKRI tidak lagi valid setelah Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 terbit hanya saja dalam prakteknya masih ada warga etnis Tionghoa yang harus menyertakan SBKRI ketika mengurus dokumen kewarganegaraan dengan berbagai alasan.

As a large country, Indonesia should accept difference and diversity as a blessing. Physical and cultural differences are assets. Diversity should not be used as an excuse to bring down each and violate human rights. In a period of decades, ethnic Chinese have always been under the spotlight in this country. They are often compounded when arranging various documents of citizenship, cornered, and scapegoats when problems arise smelling racist in this country. Through Law No. 62 of 1958, SBKRI for the first time set and turned out to be an obligation for citizens of ethnic Chinese to public service. This becomes a discriminatory treatment to them. Ratification Law No. 12 of 2006 concerning citizenship on July 11, 2006 by the House of Representatives is considered historic because this law replaces legislation citizenship 48 years old. Citizenship legislation recently considered more humane and load aspirations of ethnic Chinese to be treated equally with other citizens. Indeed, Law No. 12 of 2006 on Citizenship of the Republic of Indonesia does not regulate SBKRI as proof of citizenship in particular, but when interpreted from the norms contained in them, meaning 'people of Indonesia native', then clearly the law this contains the concept of natural born citizenship. Thus, an ethnic Chinese Indonesian citizens who do not require the original proof of citizenship, as well as foreigners who commit naturalization. In this study, the writers collected data using interviews and document research. The study documents obtained from a number of facts or information contained in the documents, books, articles, and legislation related to the research topic. The writer can conclude that SBKRI is no longer valid after Law No. 12 of 2006 published, but the reality is there are people who still need SBKRI when issuing citizenship documents with a variety of reasons."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herlina Julianty
"Perkawinan campuran merupakan perkawinan yang dilakukan antara Warga Negara Asing dengan Warga Negara Indonesia. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan campuran menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan mengatakan bahwa sebelum anak berumur 18 tahun, maka anak tersebut mempunyai kewarganegaraan ganda. Dengan memiliki kewarganegaraan ganda, maka akan mempunyai status yang berbeda dalam kepemilikan tanah. Untuk Warga Negara Indonesia, mereka dapat memiliki tanah dengan status Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Sewa untuk Bangunan. Berbeda dengan Warga Negara Asing yang hanya dapat menggunakan tanah dengan status tanah Hak Pakai dan Hak Sewa untuk Bangunan. Timbul masalah apabila orang tua dengan status Warga Negara Indonesia meninggal dunia dan mereka meninggalkan warisan berupa tanah dengan status Hak Milik. Anak dengan status Warga Negara Asing tidak dapat memiliki tanah dengan status Hak Milik. Dalam membuat akta Pernyataan mengenai warisan dan Akta Jual Bell jika tanah tersebut ingin dijual, pada praktek di lapangan, para Notaris/PPAT menerapkan batas usia dewasa anak dalam hal kewarisan yang berkaitan dengan anak yang berstatus kewarganegaraan ganda. Dalam penulisan tesis ini menggunakan pengumpulan data secara studi kepustakaan dan studi kasus.
Dalam penulisan tesis ini, Penulis dapat mengambil kesimpulan tentang permasalahan yang dibahas adalah anak dengan kewarganegaraan ganda yang mendapatkan warisan tanah dengan status Hak Milik harus melakukan penurunan status tanahnya dari yang semula berstatus Hak Milik menjadi Hak Pakai atau melakukan pengalihan pada tanah Hak Milik tersebut kepada yang berhak dalam jangka waktu satu tahun. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka tanah dengan status Hak Milik tersebut jatuh kepada negara. Penerapan batas usia dewasa anak dilihat dari objek warisan yang didapatkan anak tersebut. Dalam hal pengalihan warisan berupa tanah, maka batas usia dewasanya adalah 21 tahun atau sudah menikah. Dalam hal warisannya bukan berupa tanah, maka batas usia dewasanya adalah 18 tahun atau sudah menikah. Penulis menyarankan agar adanya penyesuaian mengenai status kewarganegaraan dalam hal memiliki tanah Hak Milik dan dibuat satu penerapan dalam hal penentuan batas usia dewasa anak.

Mixture marriage is a marriage between foreigner and Indonesian. The children of this marriage, according to Undang-Undang Number 12 Year 2006 Section 6 about Indonesia Nationality said that before the child was 18 years old, the child had double nationality. By having double nationality, he or she will have a different way of having property. For the Indonesian, they can have the property in the status of Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, and Hak Sewa untuk Bangunan. For the foreigner, they just can have the property with the status of Hak Pakai and Hak Sewa untuk Bangunan. There will be a problem if the parent who is Indonesian was dead and they had inherited a property in the status of Hak Milik. The child with the nationality as foreigner can not own the property with the status of Hak Milik. In the way of making the Akta Pernyataan Warisan and Akta Jual Beli when the property want to be sold, practically, the Notary/PPAT implements the boundary of mature age in the heritage topic which connected with the child with double nationality. In this thesis, the author uses the method of biblical study and case study to collect the data.
In this thesis, the conclusion about the problem that the author can take is the child with double nationality who get heritage of property with the status of Hak Milik must change the status of the property from Hak Milik to Hak Pakai or sell the property to the competent in one year. If this is undone, so the property with the status of Hak Milik will be owned by the government. The implement of the boundary of mature age of the child is set according to the things that will be inherited to the child. In the heritance of property, the boundary of mature age is 21 years old or married. In the heritance of other things, the boundary of mature age is 18 years old or married. The author's suggestions are there will be an adjustment about the nationality to own the property with the status of Hak Milik and have the implement of setting the boundary of the mature age of a child."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19548
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta : Depkominfo, 2007,
R 342.08 Ind k
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Dirjen Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM, 2006
R 323.659 8 Und
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Indonesian law and and ministerial regulations on citizenship."
s.l.: 2007
323.6 Und
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Dirjen Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM, 2007
R 323.6598 Und
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Daisy Irani
"Menurut Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bahwa Perkawinan Campuran adalah perkawinan antara 2 (dua) orang yang ada di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia Negara Indonesia tidak membatasi lingkup pergaulan warga negaranya maka dari itu peluang terjadinya perkawinan campuran antar warga negara yang berbeda semakin terbuka. Dampak nyata dari perkawinan campuran adalah mengenai status kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran tersebut. Sebelum Undang Undang Kewarganegaraan No. 12 tahun 2006 berlaku maka peraturan perundangan Kewarganegaraan yang berlaku di Indonesia adalah Undang Undang Kewarganegaraan No. 62 tahun 1958, undang undang ini menganut azas ius sanguinis, dimana jika terjadi perkawinan antara pria warga negara asing dengan wanita warga negara Indonesia maka anak hasil dari perkawinan campuran tersebut berkewarganegaraan asing mengikuti warga negara ayahnya. Keberadaan Undang-Undang Kewarganegaraan No.62 tahun 1958 ini dinilai tidak adil dari segi kesetaraan gender karena anak tersebut yang masih mempunyai darah Indonesia dari ibunya dianggap sebagai orang asing . Oleh karena itu pada tanggal 1 Februari 2006 dalam Pembahasan Rancangan Undang-undang Kewarganegaraan, Dewan Perwakilan Rakyat menerima usulan dua kewarganegaraan terbatas bagi anak-anak yang lahir datam perkawinan campuran, ini berarti, anak-anak tersebut mendapatkan dua kewarganeganaan sekaligus pada waktu ia dilahirkan, yaitu kewarganegaraan ayah dan ibunya sampai ia berumur 18 (delapan belas) tahun. Setelah itu mereka akan menentukan kewarganegaraan yang akan dipilihnya. Kemudian pada tanggal 11 July 2006 dalam Pembahasan Rancangan Undang-undang Kewarganegaraan, Dewan Pertimbangan Agung mensahkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan dan sekaligus menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 62 Tentang Kewarganegaraan dinyatakan sudah tidak relevan dan tidak bertaku lagi bagi kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini.

In this era of globalization, with advances in technology and world travel, it’s becoming easier and easier for people to travel and integrate with other nationalities and ethnic groups often resulting in relationships and marriage between citizens of different countries. Problems which arise in marriages between people with different citizenships will also affect their children. One of the side effects of mixed marriages is the citizenship problem of the children resulting from such a marriage. Before the recentiy applied Act No. 12/2006 regarding citizenship, Indonesia previously used Act No. 62/1958 to regulate citizenship - based on “IUS SANGUINIS", meaning that when a marriage occurs between a male foreigner and an Indonesian woman, their children would automatically become foreigneis - following the citizenship of the father - something which many felt unfair and discriminatory. As well as using a Juridical Normatif for the research, I also undertook several interviews with couples of mixed marriages in Jakarta to obtain accurate Information and suggestions regarding the application of regulation No. 12/2006 regarding citizenship."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26407
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>