Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 93423 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cut Badriah
Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran, 2011
T56062
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Lamria
"Bum our merupakan kondisi kelelahan kerja yang dialami oleh perawat, yang disebabkan oleh Factor personal dan lingkungan kerja. Jika terjadi burn out, maka asuhan keperawatan tidak dapat terlaksana dengan baik, karena bum out member dampak terhadap mutu pelayanan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian burn out pada perawat pelaksana di RS PGI Cikini. Dari 175 responden perawat pelaksana yang memberikan asuhan keperawatan di RS PGI Cikini yang mengalami bum out 5,1%.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Pada kejadian burn out terbanyak, bahwa sebagian besar responden berusia 26 sampai dengan 33 tahun yaitu sebanyak 125 orang (71,4%), dari pengelompokan berdasarkan karakteristik pendidikan didapatkan responden paling banyak adalah D3 sebanyak 130 orang (74,3%), berdasarkan beban kerja terlihat bahwa responden yang beresiko sebanyak 102 orang (58,3%), kepemimpinan beresiko yaitu berjumlah 69 orang (39,4%) dan hubungan interpersonal beresiko sebanyak 89 (50,9%).
Hasil uji statistik menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat usia dengan Kejadian bum out pada perawat pelaksana (p=0,5l5 ; p > 0,05), tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan Kejadian bum out pada perawat pelaksana (p=1,092 ; p > 0,05), tidak ada hubungan antara beban kerja responden dengan Kejadian burn out pada perawat pelaksana. (p=0,082), tidak ada hubungan antara kepemimpinan dengan Kejadian burn out pada perawat pelaksana. (p=0,157), tidak ada hubungan antara hubungan interpersonal dengan Kejadian burn out pada perawat pelaksana (p=0,169).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat resiko terjadinya burn
out pada perawat pelaksana di RS PGI Cikini. Hasil ini menjadi perhatian bagi
pimpinan RS PGI Cikini dan kepala bidang keperawatan.

Burn out a working fatique condition suffered by nurses, caused by personal and working environment factors. If bum out happend the nursing care would not be carried out well, because a burn out affect the quality of service. This research is carried out to find out what factors influence the burn out incident to charge nurses at PGI Cikini hospital. From 175 respondents from the nurses on duty who provide nursing care at PGI Cikini hospital, 5,1 % suffered from burn out.
This is a correlative descriptive research with cross sectional approach. The highest incident of burn out are on respondent aged between 26 to 33 years old, amounted to 130 people (71,4%); on respondent grouped based on educational back ground is D3, amounted to 130 people (74,3%); on respondent grouped based on work load, 102 people (58,3%) at risk on respondent based on leadership, 69 people (39,4 %) at risk and on respondent based on interpersonal relationship, 89 people (50,9%) at risk.
The statistic test result showed that there are no relationship between the age level and the bum out incident on charge nurses (p=0,515; p>0,05); between educational back ground and the bum out incident on the nurses on duty (p=l,092; p>0,05); between work load of the respondent and the burn out incident on charge nurses (p=0,082); between leadership and the bumout incident on the nueses on duty (p=0,157); between interpersonal relationship and the burn out incident on charge nurses (p=O,`69).
Based on the reaarch result to show that there is the burn out risk occur for charge nurses in PGI Cikini hospital. The result to be care for Director and the Clinical Nurse Manager PGI Cikini hospital.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
TA5743
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jerry Nasarudin
"Pasien HIV berisiko 20-37 kali lipat terinfeksi TB dan TB merupakan penyebab kematian tertinggi pada HIV. Resistensi OAT menjadi masalah utama pengobatan TB pada pasien HIV yang menyebabkan peningkatan mortalitas dan biaya. Rifampisin merupakan OAT utama sehingga perlu diketahui prevalensi resistensi rifampisin dan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada pasien TB-HIV.
Tujuan: Mengetahui prevalensi resistensi rifampisin pada pasien TB-HIV dan faktor-faktor yang mempengaruhi.
Metode: Studi potong lintang terhadap 196 pasien TB-HIV yang menjalani pemeriksaan Xpert MTB-RIF di poli pelayanan terpadu HIV RSUPN-CM selama tahun 2012-2015. Analisa bivariat untuk mengetahui hubungan faktor-faktor terkait dengan kejadian resistensi rifampisin. Analisa multivariat menggunakan uji regresi logistik.
Hasil: Didapatkan prevalensi resistensi rifampisin sebesar 13,8%. Usia, jenis kelamin, riwayat penggunaan ARV, dan TB ekstraparu tidak berhubungan dengan kejadian resistensi rifampisin pada pasien TB-HIV. Jumlah CD4<100 memiliki hubungan dengan kejadian resistensi rifampisin (OR 2,57; 95% IK 0,99-6,69), namun secara statistik tidak bermakna. Riwayat pengobatan TB memiliki hubungan signifikan dengan kejadian resistensi rifampisin (OR 3,98; 95% IK 1,68-9,44).
Simpulan: Prevalensi resistensi rifampisin TB-HIV di RSUPN-CM sebesar 13,8%. Riwayat TB memiliki hubungan signifikan dengan kejadian resistensi rifampisin pada pasien TB-HIV."
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Cahyaningrum
"ABSTRAK
Filariasis semakin menjadi perhatian masyarakat karena cukup meresahkan dengan akibat yang ditimbulkan berupa cacat permanen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji faktor-faktor risiko yang mempengaruhi kejadian filariasis di Papua Barat tahun 2015. Penelitian ini menggunakan desain case control. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-Mei 2015 di Papua Barat. Penduduk di Papua Barat yang berusia 13-50 tahun dan telah diperiksa antigenaemia filariasis dipilih sebagai populasi studi. Analisis yang dilakukan dengan regresi logistik model prediksi. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh hasil: terdapat hubungan bermakna pada variabel pembagian wilayah urban-rural, daerah rural lebih berisiko (OR=6,3; 95%CI 3,659-10,615), jarak rumah-puskesmas, jarak ≥ 1 km lebih berisiko (OR=2,2; 95%CI 1,343-3,575), dan berobat ke puskesmas sebagai faktor protektif (OR=0,6 95%CI 0,323-0,962). Faktor pemanfaatan pelayanan kesehatan pada variabel pembagian wilayah urban-rural merupakan faktor risiko dominan yang mempengaruhi kejadian filariasis di Papua Barat. Perlunya dilakukan penentuan status endemisitas filariasis dan evaluasi POPM lebih banyak pada masyarakat rural, untuk mengeliminasi filariasis.

ABSTRACT
Filariasis increasingly to public attention because it is quite disturbing to the impact in the form of permanent disability. The purpose of this study was to assess the risk factors that affect the filariasis in West Papua 2015. The research using a case control design. This study was conducted in february-may 2015 in West Papua. Residents in West Papua were aged 13-50 years and have been examined antigenaemia filariasis chosen as the study population. The analysis with logistic regression prediction model. the sample consisted of 113 as cases and 452 controls. Based on the analysis results, results obtained: variable urban-rural zoning, rural areas are more at risk (OR=6,3; 95%CI 3,659-10,615), distance home-health centers, distance ≥ 1 km is more at risk (OR=2,2; 95%CI 1,343-3,575), and go to the health center as a protective factor ((OR=0,6 95%CI 0,323-0,962). Health care utilization factor on the variable urban-rural zoning is the dominant risk factor affecting the filariasis in west papua. The need for the determination of the status of filariasis endemicity and evaluation POPM more on rural communities, to eliminate filariasis."
2015
S60160
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tony Wibowo
"Air minum yang aman merupakan kebutuhan hidup yang essensial dan menjadi hak azasi setiap rnanusia, namun dalam keberadaannya air minum juga berperan sebagai transmisi penyakit. Diare, salah satu penyakit yang timbul akibat air minum yang terkontaminasi menjadi penyebab utama kematian terutama pada bayi dan balita. Di Indonesia angka kematian akibat diare pada balita 15,3% dan angka kesakitan 26,13% per 1000 penduduk pertahun. Disisi lain jangkauan penyediaan air minum bersih bagi masyarakat masih memprihatinkan karena lebih dari 60% rumah tangga balita masih mengambil dan mengolah sendiri air yang tidak memenuhi syarat dan sumbernya. Angka cakupan ledeng dan air kemasan hanya sebesar 19% dan 1,4%.
Mengkaji permasalahan di atas diduga adanya keterkaitan erat antara kondisi air minum dengan kejadian diare pada bayi dan balita di Indonesia. Berpedoman kepada beberapa literatur yang menyatakan bahwasanya diare disebabkan oleh multifactor maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian diare pada Bayi dan Anak Balita di Indonesia. Analisis menggunakan sumber data sekunder dari Hasil Susenas 2001 yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan.
Studi dengan rancangan cross-sectional, meneliti faktor-faktor risiko kesehatan lingkungan (air minum, sarana pembuangan tinja, kepadatan hunian, sarana pembuangan limbah, sampah) terhadap kejadian diare pada anak balita di Indonesia.
Variabel lain seperti pendidikan ibu, status ekonomi, umur, jenis kelamin, ASI dan makanan pendamping ASI juga turut dianalisis. Analisis dibedakan 2 tahap yaitu untuk kelompok bayi 0-11 bulan dan kelompok anak balita 11-59 bulan. Total sampel penelitian sebanyak 26011 anak (5174 bayi dan 20837 balita) dari seluruh Indonesia dan diperoleh melalui tahapan stratifikasi, klaster dan blok sensus dengan cara linier sistematik sampling. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dan multivariat.
Dari 11 variabel yang diuji pada bayi 0-11 bulan ditemukan 4 faktor yang berkorelasi signifikan dengan kejadian diare yaitu umur (4-11 bulan OR=3,10), jenis kelamin (laki-laki OR=1,42), makanan pendamping ASI (bila diberi 2,13 kali) dan ASI (tidak eksklusif OR=3,08). Analisis multivariat di identifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian diare adalah umur, jenis kelamin dan makanan pendamping ASI (biskuit dan makanan lainnya). Umur bayi merupakan faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian diare pada bayi.
Hasil penelitian pada balita dibuktikan faktor-faktor yang terkait signifikan dengan kejadian diare adalah faktor umur (12-23 bulan OR=1,87), faktor pendidikan ibu (rendah 2,095 kali), faktor air minum (tidak memenuhi syarat OR=1,37), faktor sarana pembuangan tinja (tidak memenuhi syarat OR=1,43), faktor kepadatan human (padat OR=1,20), faktor sampah (tidak memenuhi syarat OR=1,20). Hasil analisis multivariat diperoleh faktor risiko terkait signifikan terhadap diare adalah faktor umur, pendidikan ibu dan air minum. Uji statistik menempatkan faktor umur paling dominan pengaruhnya terhadap kejadian diare pada balita.
Faktor lingkungan terkait signifikan dengan kejadian diare pada balita, sebaliknya tidak bermakna pads bayi. Efek protelctif ASI terbukti positif melindungi bayi dari diare, tapi bersifat tidak permanen dan dapat dipengaruhi faktor lain. Pendidikan ibu mempengaruhi prilaku dan hygiene balita terhadap tingkat risiko menderita diare. Anak berusia 5-23 bulan lebih rentan menderita diare dan pada usia ini kualitas air minum menjadi faktor risiko yang perlu lebih diperhatikan.

Risk-Factors that Associated with Diarrhea Diseases among Baby and Children Age Under Five Years in IndonesiaSafe drinking water is essential for life and declared as a fundamental human right. On the other hand drinking water also had a role in the transmission of diseases, such as Diarrhea which remain a leading high rate of the illness and death among children. In Indonesia, annual mortality and morbidity rate from diarrhea for children under age 5 years (per 1000 population) are 15.3% and 26.13%. At the other side lack of provide safe water supply indicated only 19% people served with pipe, the others 1.4 % drink from hotted water and 60% people have no access to safe water.
Looking at a wide range of drinking water problems and distribution of diarrhea diseases in communities, assumed there were association between the water and the diseases. Based on theory that diarrhea can be caused by multifactors, the research is looking forward to identify risk factors that influenced Diarrhea diseases among chidren age under 5 years in Indonesia Secondary source data of Susenas 2001 (National Social Economic Survey) is taken from National Institute Health Research Development of Ministry of Health of Republic of Indonesia.
Cross sectional-analysis study has been carried to investigate the association of the environmental health risk factors (drinking water, excreta disposal and wastewater facilities, family size and domestic waste) with diarrhea case among children age under 5 years in Indonesia. The other variables such maternal education, economic-status, age, sex, breast-feeding and baby supplement food are also investigated as risk factors of diarrhea. Stratified, cluster and bloc-sensus methods with systematic tinier sampling was used to get sample Total sample are 26011 people (5174 babies and 20837 children) from all area in Indonesia.. Data was carried out in univariate, bivanate and multivariate analysis The same analysis is applied on two different groups. First analysis is for population of babies age 0-11 months and the other is young children age 12-23 months.
Of the 11 variables tested on group of babies 0-11 months, the result of the study had indicated 4 risk factors (age (5-7 months OR-3.10), sex (man-OR-I.42), breast-feeding (ungiven-OR 3.08) and baby's supplement-food (given-OR-2.13) significantly correlated with diarrhea Furthermore, multivariate analysis had shown that the age of the baby is the most dominant factor, together with sex and supplement food factors are statistically has significant association with diarrhea.
On young children population, the study had identified that risk factors significantly associated with diarrhea are drinking water (unhealthy-OR-1.37), excreta disposal facilities (unhealthy-OR= 1.43), family density (crowded-OR-1.20), domestic-waste (unhealthy-OR-I.26), maternal-education (low-OR=2.095) and age (12-23 months-OR-1.87). Multivariate Analysis had determined that drinking water, maternal-education and age risk factors are statistically influenced diarrhea diseases. The most dominant factor is age.
Finally the study had identified environment risk factors is significant associated to diarrhea among the children, but not for the newborn-babies. Breast-feeding protection effect are identified positive preventing baby from diarrhea diseases, but it is not permanently and can be influenced by the other factors. Maternal-education factor had a role to influence children behavior and hygiene that related to risk possibility of suffering diarrhea. Children, who are age between 5-23 months, has been indicated more sensitive of suffering diarrhea diseases.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T13110
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kholidah Hanum
"LATAR BELAKANG: Para penerbang helikopter yang terpajan terhadap bising intensitas tinggi dalam jangka tertentu dan beberapa faktor lainnya meningkatkan risiko tuli akibat bising (TAB). TAB dapat menyebabkan kecelakaan. Oleh karena itu perlu diteliti faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan TAB.
METODE: Desain penelitian adalah nested case-control. Data diekstrak dari rekam medik penerbang helikopter TNI AU yang melaksanakan indoktrinasi latihan aerfisiologi (ILA) di Lakespra Saryanto Jakarta tahun 1980 sampai Maret 2004. Kasus ialah penerbang dengan gambaran audiogram terdapat takik pada intensitas 40 dB atau lebih pada frekuensi 4000 Hertz pada salah satu atau dua telinga. Seorang kasus dipadankan dengan dua orang kontrol (yang tidak menderita TAB sampai tahun 2004) menurut tahun kasus didiagnosis.
HASIL: Rekam medik yang tersedia sebanyak 187. Kasus yang diperoleh sebanyak 32 orang, dan 64 orang kontrol. TAB berkaitan dengan total jam terbang, masa kerja, dan tekanan darah. Subjek dengan total jam terbang 500 jam atau lebih mempunyai risiko TAB hampir 2,5 kali lipat (95% interval kepercayaan (CI) = 0,66-9,29; p=0,180). Jika dilihat dui masa kerja, subjek dengan masa kerja 11-24 tahun mempunyai risiko TAB sebesar 2,7 !tali Iipat (rasio odds suaian = 2,71; 95% CI = 0,90-8,10; p=0,075). Sedangkan subjek dengan prahipertensi dan hipertensi stage 1 mempunyai kecenderungan kenaikan moderat risiko TAB.
KESIMPULAN: TAB berkaitan dengan total jam terbang, masa kerja, dan tekanan darah.

Risk Factors Related To Noise Induced Hearing Loss Among Indonesian Air Force Helicopter PilotsBACKGROUND: Helicopter pilots exposed to high intensity noise for a given period and other risk factors had increased risk to be noise induced hearing loss (NIEL). Therefore, it is beneficial to study several risk factors related to NIHL.
METHODS: This study was a nested case-control. Data was extracted from available medical records among helicopter pilots who performed aerophysiology training indoctrination (ILA) during 1980 through March 2004 at Lakespra Saryanto. Case was a subject who had audiogram with a notch at 40 dB or more and at 4000 Hertz on one site or bilateral ears. A case was matched by 2 controls free from NTHL up to 2004 by the year of respective case was diagnosed.
RESULTS: There were 187 medical records available for this study. A number of 32 cases and 64 controls were identified. The final model reveals that NIHL was related to total duration of works, flight hours, and blood pressure. Those who had 500 hours or more than less 500 hours had moderate increased risk for 2.5 to be NIHL [95% confidence intervals (CI) 0.66-9.29; p=0.180]. Those who had total duration works 11-24 years had a moderate increased to be NIHL for 2.7 times (adjusted OR = 2.71; 95% CI=0.90-8.10; p=0.075). Furthermore, prehypertension and hypertension stage I subjects than normal blood pressure had moderate trend increased risk to be NIHL.
CONCLUSION: Total flight hours for 500 hours or more, total duration works 11-24 years, or prehypertension and hypertension stage 1 increased risk for NIHL."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13655
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wisnu Nuraga
"Dermatitis kontak akibat kerja merupakan salah satu penyakit kelainan kulit yang sering timbul pada industri dimana dapat menurunkan produktifitas pekerja. Dermatitis kontak akibat kerja terjadi oleh karena pekerja kontak dengan bahan kimia termasuk Iogam sehingga menimbulkan kelainan kulit yaitu dermatitis kontak akibat kerja. Tujuan utama penulisan ini adalah untuk diketahuinya factor-faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak akibat kerja pada pekerja yang terpajan bahan kimia di PT Moric Indonesia Cibitung Jawa Barat tahun 2006. Penelitian bersifat deskriptif. Subyek penelitian diambil secara acak dengan stratified random sampling yang berjumlah 54 responden. Hasil dari penelitian yang semuanya kontak dengan bahan kimia termasuk logam, 74,07% (40 pekerja) mengalami dermatitis kontak akibat kerja : akut 25,92% 14 pekerja, sub akut 38,9% (21 pekerja), dan kronik 9,25% (5 pekerja) adalah subyek penelitian yang mengalami dermatitis kontak. Berdasarkan analisis statistic multivariat terdapat 3 faktor yang sangat mempengaruhi kejadian dermatitis kontak ini yaitu: lama kontak, frekuensi kontak, dan yang paling dominan adalah penggunaan alat pelindung diri (APD). Kesimpulan dari penelitian ini adalah insidensi rate 64,81% per seratus pekerja, dan prevalensi rate 74,07% per seratus pekerja, Untuk meminimalisasi dermatitis kontak dengan meningkatkan kesadaran pekerja dengan penggunaan sarung tangan yang tepat, berdasar pengetahuan pekerja yang baik.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19028
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasnani
"Penyakit kusta merupakan masalah kesehatan di Indonesia, karena dapat menyebabkan kecacatan. Pada tahun 2001 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai prevalensi kusta 1,8110.000 penduduk, dengan jumlah penderita terdaftar sebanyak 704 penderita yang meliputi tipe Pausibasiler (P13) berjumlah 135 penderita dan tipe Multibasiler (MB) berjumlah 569 penderita, dengan carat tingkat II 12,0%. Kecacatan kusta merupakan problem besar dan serius terhadap ekonomi, sosial dan mempunyai konsekuensi terhadap psikologis penderita dan keluarga.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kecacatan pada penderita kusta. Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan jumlah sampel 528 orang yang tersebar di sembilan Kabupaten/Kota yang belum mencapai eliminasi (PR > 1110,000), sampel dalam penelitian ini adalah penderita yang mempunyai kartu dan mendapat pengobatan Multi Drug Therapy.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian cacat tingkat II sebesar 28.4%, umur yang banyak dijumpai diatas 14 tahun yaitu sebesar 93.4% dan untuk tipe penyakit banyak dijumpai tipe MB sebesar 82.6%. Berdasarkan analisis multivariat didapatkan variabel yang berhubungan dengan kejadian kecacatan adaiah kelompok umur dengan OR=4.981 (95% Cl 1.132-21.919), lama sakit dengan OR-3.211 (95% CI 1.954 -5.275), status imunisasi BCG dengan OR-2.046 (95% CI I.128-3.710), tipe penyakit dengan OR-1992 (95% CI 1.1.070-3.707) dan riwayat keteraturan berobat dengan OR=2.595 (95% CI I.295-5.202).
Dengan hasil penelitian ini disarankan kepada Puskesmas/petugas agar lebih meningkatkan pada penemuan penderita, pendekatan khusus terhadap tipe MB dengan cacat tingkat I dan II, dapat memotivasi penderita untuk minum obat teratur dan menjelaskan akibat yang ditimbulkan bila tidak berobat teratur. Bagi pengelola program imunisasi untuk meningkatkan cakupannya. Untuk bidang pendidikan guru perlu diberikan pengetahuan tentang kusta dan pencegahan cacat bagi guru UKS sebagai penanggungjawab disekolah. Diharapkan ada penelitian lanjutan dengan rancangan yang berbeda.

Leprosy is considered a health problems in Indonesia, because it could result to physical handicap. In 2001 in the province of Nanggroe Aceh Darussalam, the prevalence of leprosy was 1,8110.000 population. The registered victim numbers were 704 people. They included Pausibasiler (PB), which were 135 sufferers, Multibasiler (MB) were 569 sufferers, with level II of physically handicapped was 12.0%. Physical defect due to leprosy was a main and serious problem to the economic, social, and has consequency to the sufferers' physichology and their family.
This research aimed to know factors related to physical defect in the leprosy sufferer in the province of Nanggroe Aceh Darussalam. The research design used was cross sectional where the number of samples were 528 people that spread in nine districts/cities that didn't reach elimination (PR > 1110.000), samples were the victims that had card and received treatment of Multi Drug Therapy.
The result of the study showed that the second degree handicap is 28.4%. The average age of the sufferer was 14 as much 93.4%. The most types of the disease found were MB as much 82.6%. The result of multivariate analysis showed that the variables related to the physical defect were: age group with OR=4.981 (95% CI 1,132-21.919), sickness period with OR=3.211 (95% CI 1.954-5.275), BCG immunization status with OR=2.045 (95% CI 1.128-3.710), type of disease with OR=1.9992 (95% CI 1.1.070-3.707) and history of regular medicine taking with OR-2.595 (955 CI 1.295-5.202).
According to the result of the study, it is suggested to Public Health Centers/Personnel to increase the findings of sufferers, to make special approach to MB category with level of physically handicap of level I and II, to motivate sufferers to take medicine regularly and explain the effects due to medicine irregular having. To the coordinator of immunization, it is to increase the coverage of immunization. It is necessary to provide knowledge about leprosy and physically handicap for the teacher of health school efforts (UKS) as the health coordinator at schools. It is expected to carry out further studies in the same topic with different designs.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Sugiarto
"Tuberkulosis paru adalah salah satu penyakit yang muncul sebagai pembunuh yang disebabkan oleh salah satu jenis kuman yaitu Mycrobucterium tuberculosis. Delapan juta penduduk dunia diperkirakan mengidap penyakit TB Paru dengan tingkat kematian penderita sekitar tiga juta orang (33,3 %). Penyakit ini 75 % menyerang kelompok usia produktif (15-50 tahun) dan kematian yang diakibatkannya merupakan 25 % dan seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah.
Indonesia pada tahun 1999 menempati peringkat ketiga sebagai negara yang jumlah penderita TB Paru terbanyak setelah India dan Cina. Peningkatan kasus tuberkuliosis, dari hasil beberapa penelitian yang teiah dilakukan selama ini, dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan diantaranya adalah lingkungan fisik, karakteristik ,individu dan lingkungan sosial yang ada disekilar pemukinnan atau perumahan penduduk.
Di Kabupaten Bengkulu Utara telah dilaksanakan upaya penemuan kasus secara terus-menerus, upaya ini mampu menemukan suspek TB Paru. Tahun 2001 dari 1307 suspek, diperiksa 5,121 specimen dan ditemukan penderita BTA (+) sebanyak 220 orang. Periode bulan Januari 2002 sampai dengan Desember 2002, jumlah specimen diperiksa sebanyak 5.343 specimen dari 1.781 orang dan ditemukan BTA (+) sebanyak 261 orang, sedangkan periode tahun 2003 dari 1687 suspek dan 5.061 specimen yang diperiksa ditemukan 258 orang dengan BTA (+).
Penelitian ini menggunakan desain case control dengan menggunakan data primer dan sekunder, penelitian dilakukan di 16 (enam helas) Puskesmas wilayah Kabupeten Bengkulu yaitu Puskesmas Penimnas, Kota Arga Makmur, Air Lais, Air Bintunan, Lubuk Durian, Pekik Nearing, Lubuk Pinang, Sebelat, Napa] Putih, Ketahun, D6 Ketahun, Karang Pulau, Kerkap, Karang Tinggi, Taba Penanjung dan Puskesmas Kembang Seri, Pengambilan sampel dilakukan dengan Cara random sederhana sebanyak 182 sampel yang terdiri dari 91 sampel kasus dan 9I sampel bukan kasus.
Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan tahapan analisis univariat, bivariat dan multivariate. Variabel independen dalam penelitian adalah karakteristik individu (usia, jenis'kelamin, kontak penderita, riwayat imunisasi, perilaku, status gizi), lingkungan fisik (ventilasi, suhu, pencahayaan, kclembaban), lingkungan social (kepadatan penghuni, pendidikan, pengetahuan, penghasi]an).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penghuni rumah kebun yang pcrnah kontak dengan penderita TB paru BTA (+) mcmpunyai risiko 5,09 kali, status gizi yang kurang mempunyai risiko 2,26 kali, kelembaban tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 3,56 kali, kepadatan hunian tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 2,716 kali, tingkat pengetahuan tentang penyakit TBC yang kurang mempunyai risiko 2,37 kali untuk terkena TB paru BTA (+).
Saran yang dapat disampaikan, agar kegiatan program terkait di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu Utara dapat melakukan penanganan masalah TB paru di rumah kebun ini melalui kegiatan pendataan dan pemetaan rumah kebun yang ada di tiap wilayah Puskesmas sehingga diperoleh gambaran populasi yang berisiko, penempatan fasilitas pelayanan kesehatan terdekat dengan rumah kebun,. melakukan koordinasi program gizi, P2M dan kesehatan Iingkungan serta promosi kesehatan.

Pulmonary tuberculosis (TB) is a severe disease caused by the bacterium Mycobacterium tuberculosis. Around 8 million people suffer from pulmonary TB with a death rate of 3 million people (3,3 %). Approximately 75 % of the pulmonary TB cases occur in the productive age group (15-50 year old) and 23 % of deaths are actually preventable.
Indonesia in 1999 occupy the third rank as a country that have the most cases of pulmonary TB after India and China. From previous studies, there are several environmental factors that influence the increase of pulmonary TB cases, such as physical environment, individual characteristics, and the social environment surrounding the residences.
In north Bengkulu, continuous efforts have yielded new cases suspected as being pulmonary TB sufferer. In 200], out of 1,707 people suspected, 5,121 specimens were examined and those with BTA (+) were 220 people. During January to December 2002, there were 5,343 specimens examined from 1,78I people, end there were 261 of of those with BTA (+). In 2003, of of 1687 suspected, 5,061 specimens were examined and those with BTA (+) were 258 people.
Design of this studying case control study using primary an d secondary data, and was undertaken in 16 public health centers in Bengkulu district, namely Perumnas, Kota Arga Makmur, Air Lais, Air Bintunan, Lubuk Durian, Pekik Nyaring, Lubuk Pinang, Sebelat, Napa! Putih, Ketahun, D6 Ketahun, Karang Pulau, Kerkap, KarangTinggi, Taba Penanjung and Kembang Seri. Samples were collected using a sample random method, and there are 91 case 91 case samples and 91 control sample.
Hypothesis testing was done through univariate, bivariate. and multivariate analysis. Independent variables of this study include individual characteristics (age, sex, Ievel of education, knowledge, contact with TB sufferer, history of immunization, behavior, and nutritional status), physical environment (ventilation, temperature, the amount of light entering the house, and humidity), and social environment (density of house occupants, and income).
The result of the study show that occupant of plantation house that have had contact with a pulmonary TB BTA (-i) sufferer are 5.09 times more likely to suffer from pulmonary TB BTA (t]. There are risks 2,26 times more for those with poor nutritional status, 3.56 times for poor humadity, 2.72 times for high density of occupants, and 237 times for a lack of knowledge about pulmonary TB.
Recommendations that can be derived from this study are the implementation of programs by the district health service of North Bengkulu that include data recording of plantation houses in the areas around various public health centers, thus enabling the District Health Service to determine the population at risk for pulmonary TB. as well as building several several health service facilities that can be easily accessed from the plantation houses, coordinating programs on nutrition, control of infectious diseases, environment health and health promotion.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T12916
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>