Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108679 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agatha Grace
"Latar Belakang: Penyakit Parkinson (PD) merupakan penyakit neurodegeneratif dengan jumlah penderita yang banyak, namun tatalaksana penyakit ini tidak banyak berkembang. Aktivasi sistem nuclear factor erythroid-derived-2-like 2 (Nrf2) telah dibuktikan mampu menghambat patogenesis PD. Penelitian ini bertujuan untuk melihat potensi neuroprotektif andrografolida sebagai salah satu aktivator Nrf2 paling poten pada model PD in vivo yang diinduksi 1-metil-4-fenil-1,2,3,6-tetrahidropiridin (MPTP)
Metode: Mencit C3H jantan diinduksi dengan MPTP melalui injeksi subkutan 12 mg/kgBB/kali sebanyak 4 kali dengan jarak 2 jam antar injeksi. Terapi selegilin 10 mg/kgBB/hari dan andrografolida dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dan 5 mg/kgBB/hari diberikan per oral mulai satu hari setelah induksi selama 14 hari. Pada hari ke-15, pemeriksaan perilaku dilakukan kemudian hewan coba diterminasi dan organ otak diambil. Pemeriksaan lanjutan yang dilakukan adalah imunohistokimia terhadap tirosin hidroksilase (TH) dan Nrf2.
Hasil: Selegilin dan andrografolida memperbaiki dengan signifikan defisit motorik akibat induksi MPTP. Perbaikan ini diikuti peningkatan jumlah rerata sel TH-positif di substansia nigra yang signifikan terhadap kontrol. Pemeriksaan ekspresi Nrf2 menunjukkan bahwa kelompok andrografolida memiliki rerata sel Nrf2-positif yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya. Hasil ini menunjukkan bahwa andrografolida memiliki aktivitas neuroprotektif yang mampu memperbaiki gangguan motorik pada mencit model PD yang dibuktikan dengan perbaikan gambaran histopatologi berupa peningkatan ekspresi TH. Aktivitas neuroprotektif ini dimediasi kerja andrografolida sebagai aktivator Nrf2.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa andrografolida memiliki aktivitas neuroprotektif pada mencit model PD yang diinduksi MPTP melalui sistem yang melibatkan Nrf2.

Background: Parkinson’s disease (PD) is a neurodegenerative disease with abundant number of sufferers but without any progress in therapeutics development. Activation of nuclear factor erythroid-derived-2-like 2 (Nrf2) system has been proven to halt PD pathogenesis. This study aims to discover the neuroprotective potential of andrographolide as one of the most potent Nrf2 activator in in vivo PD model induced by 1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-tetrahydropyridine (MPTP).
Methods: Male C3H mice were induced using MPTP 12 mg/kgBW/injection via 4 subcutaneous injections 2 hours apart. Selegiline 10 mg/kgBW/day, andrographolide 50 mg/kgBW/day and andrographolide 5 mg/kgBW/day were given orally starting from the day after induction for 14 days. On the 15th day, behavior analysis was done then study animlas were sacrificed and brains collected. Further analyses done were immunohistochemistry using antibodies against tyrosine hydroxylase (TH) and Nrf2
Results: Both selegiline and andrographolide ameliorates the MPTP-induced motoric deficits. This amelioration was followed by significant increase of number of TH-positive cells in the substantia nigra. Nrf2 expression examination revealed that both of the andrographolide groups had significantly higher number of Nrf2-positive cells compared to other groups. These results showed that andrographolide has neuroprotective activities which are capable of ameliorating motoric deficits in PD mice model, proven by improvement of histopathologic results of TH-expression. This neuroprotective activity was mediated by andrographolide mechanism of action as an Nrf2 activator.
Conclusion: This study showed that andrographolide has neuroprotective activities in MPTP-induced PD mice model via Nrf2-involving system.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arden Gabrian
"Gangguan otonom pada penyakit Parkinson lebih banyak dialami dan berdampak pada kualitas hidup dan mortalitas pasien dibandingkan gejala motoriknya. Namun, hal tersebut jarang mendapat perhatian klinis dan data mengenai karakteristiknya masih minim di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk menggambarkan karakteristik gangguan otonom pada pasien penyakit Parkinson serta faktor yang memengaruhinya menggunakan instrumen SCOPA-AUT INA (Scale for Outcome in Parkinson`s Disease - Autonomic bahasa Indonesia) di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Penelitian ini dilakukan di RSCM pada Mei 2021 hingga September 2022 dengan desain potong lintang dan melibatkan 31 pasien penyakit Parkinson sebagai subjek. Data diambil melalui wawancara menggunakan SCOPA-AUT INA dan melihat rekam medis. Uji statistik yang digunakan adalah uji univariat, chi-square, dan U Mann-Whitney. Ditemukan bahwa 100,0% subjek mengalami gangguan otonom yang terdistribusi dalam domain gastrointestinal (96,8%), urin (93,5%), termoregulasi (67,7%), seksual (51,6%), kardiovaskular (48,4%), dan pupil (12,9%). Ditemukan hubungan bermakna antara faktor usia ≥60 tahun dengan peningkatan gangguan urin, jenis kelamin laki-laki dengan peningkatan gangguan seksual, terapi levodopa dengan peningkatan gangguan gastrointestinal, dan terapi triheksifenidil dengan peningkatan gangguan pupil. Tidak ditemukan hubungan bermakna antara gangguan otonom dengan durasi dan keparahan penyakit Parkinson. Studi ini menyimpulkan bahwa gangguan otonom ditemukan pada seluruh subjek dengan penyakit Parkinson di RSCM dan dipengaruhi oleh faktor demografis dan klinis, khususnya usia, jenis kelamin, dan jenis terapi anti-Parkinson.

Autonomic dysfunctions in Parkinson’s disease are often undiagnosed or untreated and the current data regarding its profile is still limited in Indonesia despite it being more common and having more impact on their quality of life and mortality rate compared to motor symptoms of Parkinson’s disease. Therefore, research is needed on the profile and affecting factors of autonomic dysfunction in Parkinson’s disease patients using the SCOPA-AUT INA (Scale for Outcome in Parkinson`s Disease - Autonomic – Indonesian version) in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). This cross-sectional study is done in RSCM from May 2021 to September 2022 with 31 Parkinson’s disease patients enrolled as subjects. The results are taken from interviews using the SCOPA-AUT INA questionnaire and from the subjects’ medical records. Univariable, chi-square test, and U Mann-Whitney statistical tests are used in data analysis. This study found that 100,0% of the subjects reported having autonomic dysfunctions categorized into gastrointestinal (96,8%), urinary (93,5%), termoregulatory (67,7%), sexual (51,6%), cardiovascular (48,4%), and pupillomotor (12,9%). There is a statistically significant correlation between subject age of 60 or above and increase in urinary dysfunction, male sex with increase in sexual dysfunction, levodopa therapy with increase in gastrointestinal dysfunction, and trihexyphenidyl therapy with increase in pupillomotor dysfunction. No correlation is found between autonomic dysfunctions and Parkinson’s disease duration or clinical staging. Autonomic dysfunctions are found in all of the Parkinson’s disease patients enrolled as subjects in this study and are affected by demographic and clinical characteristics, especially age, sex, and anti-Parkinson therapy."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Alyaa Salma Ghozali
"Pengetahuan mengenai PD memainkan peran penting dalam mempengaruhi sikap pengasuh. Diketahui bersama bahwa meningkatkan taraf pengetahuan dapat membantu pengasuh mengatasi beban tertentu yang berkaitan dengan perawatan Pasien PD. Penelitian ini membahas tentang mengidentifikasi hubungan antara pengetahuan dan perilaku di antara para perawat pasien PD. Delapan belas sampel diambil dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Setiap individu telah diwawancara melalui panggilan suara dan pembagian kuesioner. Di awal pengambilan survei, pihak yang diwawancara diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan biodata pengasuh dan informasi pasien; usia, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, hubungan dengan pasien, stadium PD Hoehn & Yahr, dan tanggal diagnosis PD. Diikuti dengan 10 pertanyaan benar atau salah tentang pengetahuan dasar PD dan diakhiri dengan 10 pertanyaan empat-skala Likert yang mencakup sikap dari para perawat pasien PD. Secara keseluruhan, para pengasuh mendapatkan hasil yang cukup tinggi (> 40%) di kedua kuesioner yang telah diberikan. Tidak ada signifikansi statistik dalam kaitannya dengan hubungan antara pengetahuan dan sikap. Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap pengasuh. Namun, hal itu bertentangan dengan penelitian lain. Perbedaannya mungkin karena ukuran sampel. Diperlukan studi lebih lanjut untuk mengidentifikasi hubungan dan dampak Pendidikan.

Knowledge may play an important role in influencing the caregivers’ attitudes and the overall quality of care towards PD patients. It was known that improving knowledge can help caregivers overcome certain burdens, relative to PD care. This study identifies and discusses the relationship between knowledge and the attitude amongst caregivers of PD patients in RSCM. 18 samples were collected from Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital. Individuals were interviewed with a questionnaire via voice call. Caregivers were initially asked for their biodata and patient’s information; age, gender, occupation, education level, relationship to the patient, patient’s Hoehn & Yahr PD stage, and date of onset PD diagnosis. Afterward, they have given 10 true or false questions about basic PD knowledge and 10 four-point Likert Scale questions that covered the attitudes of the caregivers. Caregivers overall mostly achieved “moderate-high” (>40%) levels from both attitude and knowledge questionnaires given. It was found that there no statistical significance in the relationship between knowledge and attitude (p=0.316). The study shows that there is no significant relationship between knowledge and attitude of caregivers. The distinction may be due to the sample size. Further studies in regards to identifying the relationship and well the impact of education are needed."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saffanah Zahra
"ABSTRAK
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus Parkinson rsquo;s disease telah bertambah banyak, dengan teori patologis yang turut berkembang. Salah satu teori patologis yang paling dikenal adalah teori inflamasi yang melibatkan aktivasi mikroglia dan ekspresi sitokin proinflamatori. Studi sebelumnya telah mengkonfirmasi efek andrografolida terhadap karakter anti-inflamatorinya. Sangatlah penting untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang efek andrografolida dalam berbagai dosis sebagai agen neuroprotektif pada model Parkinson yang disebabkan oleh MPTP. 5 jenis perlakuan diberlakukan terhadap 5 kelompok tikus C57bl/6. Perlakuan yang dimaksud adalah 1 kontrol normal, 2 positif MPTP, 3 positif MPTP dan selegiline, 4 positif andrografolida pada dosis 5 mg/kgbb, dan 5 positif andrografolida pada dosis 50 mg/kgbb. Analisis imunohistokimia digunakan untuk menentukan level TNF?. Analisa statistik menghasilkan perbedaan level TNF? yang tidak signifikan antara kelompok andrografolida dan kelompok kontrol. level TNF? adalah 10.0000 3.50999 pada kelompok normal, 8.3600 2.89275 pada kelompok selegilin, 12.8000 7.78203 pada kelompok MPTP, 5.4000 2.43311 pada kelompok andrografolida 50 mg/kgbb, dan 5.8000 1.61864 pada kelompok andrografolida 5 mg/kgbb . Hasil studi ini menunjukkan bahwa tidak ada pengurangan TNF? yang signifikan setelah diberikan andrografolida pada dosis 5 dan 50 mg/kgbb pada model Parkinson yang telat diberikan MPTP. Maka tidak disimpulkan adanya efek neuroprotektif dari andrografolida.

ABSTRACT
Parkinson rsquo s disease has overgrown cases in the last few years, with emerging pathological theories have also been developing. One of the most acknowledged pathological theories is the neuroinflammation theory involving microglial activation and proinflammatory cytokines expression. Previous studies have confirmed andrographolide effect on anti inflammatory characteristics. It is important to acquire better understanding on the effect of andrographolide as a neuroprotective agent in MPTP induced Parkinsonism model in several dose. 5 types of treatment were enacted on 5 groups of C57bl 6 mice. Treatments include 1 normal control, 2 MPTP treated, 3 MPTP and selegiline treated, 4 Andrographolide treated at 5 mg kgbw, and 5 Andrographolide treated at 50 mg kgbw. Immunohistochemical analysis was used to determine TNF level. Statistical analysis result showed no significant differences of TNF level between the groups treated with andrographolide and the control groups. TNF level was 10.0000 3.50999 for normal group, 8.3600 2.89275 for selegiline treated group, 12.8000 7.78203 for MPTP treated group, 5.4000 2.43311 for andrographolide treated group at 50mg kgbw, and 5.8000 1.61864 for andrographolide treated group at 5 mg kgbw . This study suggests that there is no significant reduction of TNF level after treated with andrographolide at doses of 5 and 50 mg kgbw in MPTP treated Parkinsonism model, thus showing no neuroprotective effect of andrographolide. "
2016
S70433
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamalia Layal
"Latar Belakang: Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan penyakit progresif dan ireversibel yang mempunyai berbagai komplikasi serius serta belum ada terapi yang dapat memperbaiki kerusakan ginjal yang telah terjadi. Beberapa studi menunjukkan stres oksidatif berperan dalam patogenesis penyakit ini. Stres oksidatif terjadi akibat ketidakseimbangan produksi ROS dan pertahanan antioksidan. Nrf2 merupakan faktor transkripsi yang terlibat dalam mekanisme pertahanan sel dalam mengatasi stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas kuersetin sebagai aktivator Nrf2 dalam menghambat progresivitas penyakit ginjal yang diinduksi nefrektomi 5/6.
Metode: Tikus Sprague-Dawley jantan dikelompokkan secara acak dalam kelompok kontrol normal (C), kontrol nefrektomi 5/6 (Nx), nefrektomi 5/6 yang diberi kuersetin dengan dosis 100 mg/kgbb/hari/p.o. (NxQ), nefrektomi 5/6 dan diberi kaptopril dengan dosis 10 mg/kgbb/hari/p.o. (NxK). Hewan coba diterminasi diakhir perlakuan untuk diambil darah, urin, dan organ ginjalnya. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan proteinuria, kreatinin urin dan plasma, ureum plasma, kadar MDA plasma dan jaringan, aktivitas glutation peroksidase (GPx), kerusakan jaringan (histopatologi) dan ekspresi Nrf2 (imunohistokimia).
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa nefrektomi 5/6 dapat menimbulkan peningkatan proteinuria, ureum plasma, dan derajat fibrosis ginjal secara signifikan. Nefrektomi 5/6 cenderung meningkatkan kreatinin plasma, kadar MDA ginjal, aktivitas GPx, dan menurunkan MDA plasma serta ekspresi Nrf2. Kuersetin tidak mempengaruhi proteinuria, ureum dan kreatinin plasma, dan derajat fibrosis ginjal. Kuersetin cenderung menurunkan kadar MDA dan meningkatkan aktivitas enzim GPx serta ekspresi Nrf2.
Kesimpulan: Kuersetin tidak mempengaruhi proteinuria, ureum dan kreatinin plasma serta kerusakan struktur jaringan atau fibrosis ginjal. Kuersetin cenderung menurunkan kadar MDA dan meningkatkan aktivitas enzim GPx serta cenderung meningkatkan ekspresi Nrf2.

Background: Chronic Kidney Disease (CKD) is a progressive and irreversible condition that has several serious complications and currently there has no single therapy that can repair kidney damage was occurred. Some studies suggest a role of oxidative stress in the pathogenesis of this disease. Oxidative stress is caused by an imbalance of ROS production and antioxidant defenses. Nrf2 is a transcription factor involved in cell defense mechanisms againts oxidative stress. This study was aimed to determine the quercetin activity as Nrf2 activator in inhibit the progression of 5/6 nephrectomy induced CKD in male rats.
Method: Sprague-Dawley rats were randomly divided into normal control group (C), untreated 5/6 nephrectomy (Nx), quercetin-treated 5/6 nephrectomy, NxQ (100 mg / kg / day orally), captopril-treated 5/6 nephrectomy, NxK (10 mg / kg / day orally). Animal models was sacrificed at the end of intervention to take blood to measure creatinine, urea, and MDA, urine to measure protein and creatinine, and kidney organ to measure levels of MDA, glutathione peroxidase (GPx) activity, and renal damage (histopathology) and Nrf2 expression (immunohistochemistry).
Results: The results showed that 5/6 nephrectomy may cause an increased of proteinuria, plasma urea, and grade of renal fibrosis significantly. 5/6 nephrectomy has trend to increased plasma creatinine, renal MDA levels, GPx activity, and decreased plasma MDA and Nrf2 expression. Quercetin did not decrease proteinuria, plasma urea and creatinine, and renal fibrosis grading. Quercetin tend to reduced levels of MDA, increased GPx enzyme activity, and expression of Nrf2.
Conclusion: Quercetin does not affect proteinuria, plasma urea,plasma creatinine, and tissue damage or kidney fibrosis. Quercetin tend to reduced levels of MDA and increased the activity of GPx and Nrf2 expression.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Octaviany
"Latar Belakang. Disfungsi otonom merupakan salah satu gejala penyakit parkinson yang sering ditemukan clan berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas penderita penyakit parkinson. Disfungsi otonom memberikan gejala klinis yang seringkali tidak disadari penderita. Tujuan penelitian adalah mengetahui gambaran disfungsi otonom penyakit Parkinson menggunakan pemeriksaan Sympathetic Skin Response.
Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang deskriptif dengan populasi semua penderita penyakit parkinson yang memenuhi kriteria inklusi. Dilakukan pencatatan berupa identifikasi karakteristik penderita dan riwayat perjalanan penyakit, anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mencari gejala klinis-penyakit parkinsnn, gejala disfungsi otonom, jenis obat anti parkinson yang dipakai dan respon pengobatan . Diagnosis disfungsi otonom ditegakkan melalui pmeriksaan Sympathetic Skin Response (SSR). Data dianalisis menggunakan tes chi-square, fisher's exact dan t test dengan memakai program STATA.
Hasil. Pada penelitian ini didapatkan 34 pasien penyakit parkinson. Sebagian besar subyek berjenis kelamin pria (67,8%), dengan usia rata-rata 61.11+_10.01 tahun dan terbanyak pada kelompok usia 60-69 tahun ( 41.2%). Sebanyak 22 subyek (64.7%) mengalami gejala disfungsi otonom, dengan gejala yang tersering adalah disfagia (44%) ,diikuti gejala konstipasi (38.2%), dan hipersalivasi (35.3%). SSR abnormal dijumpai pada 23 subyek (67.6%). Rata-rata subyek dengan nilai SSR abnormal lebih tua dibandingkan dengan subyek dengan SSR normal. Rata-rata lama menderita parkinson untuk SSR abnormal adalah 6.52+_3.64 . Abnormalitas SSR dijumpai pada seluruh subyek yang menderita penyakit parkinson lima tahun atau lebih (p=0.0x4) dan pada semua subyek dalam periode non honeymoon (p=0.000). SSR cenderung abnormal dengan meningkatnya derajat keparahan penyakit berdasarkan skala Hoehn & Yahr. SSR abnormal lebih sexing ditemukan path subyek yang mengalami instabilitas postural clan subyek dengan skor bradikinesia, tremor dart rigiditas dari UPDRS yang lebih tinggi. Subyek yang mengalami gejala hipotensi postural simptomatik (p=0.023), konstipasi (p=0.402), hipersalivasi (p=0.043) dan disfagia (p=0.000) menunjukkan nilai SSR abnormal. Semua subyek yang mengalami dua (p-0.04) atau lebih gejala otonom (p=0,0001). Tiga subyek (13%) yang tidak mengalami gejala disfungsi otonon ternyata menunjukkan nilai SSR abnormal.
Kesimpulan. Disfungsi otonom penyakit parkinson ditemukan pada 67.6% penderita. SSR cenderung abnormal dengan meningkatnya derajat keparahan penyakit berdasarkan skala Hoehn & Yahr maupun berdasarkan skor UPDRS untuk tremor, rigiditas, bradikinesia dan stabilitas postural. Subyek yang mengalami gejala hipotensi postural simptomatik, konstipasi, hipersalivasi dan disfagia menunjukkan nilai SSR abnormal. Nilai SSR abnormal juga ditemukan pada semua subyek yang mengalami dua atau lebih gejala otonom.

Background. Autonomic dysfunction is one of the signs that is frequently found in PD, which influences the patient's morbidity and mortality. It also comprises some frequently neglected clinical manifestations.
Aim. The aim of this study is to review autonomic dysfunction in PD, using Sympathetic Skin Response test.
Methods. This is a descriptive cross-sectional study. Population of this study is PD patients that meet the inclusion criteria. Patient's characteristic was identified. History of illness was recorded and physical examination was done to indentify patient's signs and symptoms, autonomic dysfunctions, medications used, and the responses. Diagnosis of autonomic dysfunction was confirmed by using Sympathetic Skin Response (SSR) test. Chi-Square test, fisher's exact test, and t were used to analyze the data, using the STATA program.
Results. There were 34 PD patients identified. Most of the subjects are men (67,8%) with the mean age of 61,1+10,01 year-old and mostly within 60-90 year-old group age (41,2%). Twenty two subjects (64,7%) had autonomic dysfunction with the most presenting symptoms are dysphagia .04,8%), constipation (38,2%), and hypersalivation (35,3%). Abnormal SSR was found in 23 subjects (67,6%). Most subjects with abnormal SSR are older than subjects with normal SSR. The duration of PD in subjects with abnormal SSR is 6,52+3,64 years. Abnormal SSR was found in all subjects that have had PD for five years or more (p=0,004) and all subjects were in non-honeymoon period (p=0,000), SSR tends to be abnormal when the severity of the disease is higher, based on the Hoehn & Yahr scale. Abnormal SSR is more often found in subjects who suffer postural instability and whose IJPRDS score of bradikinesia, tremor, and rigidity is high. Subjects with symptomatic postural hypotension (p=0,023), constipation (p=0,002), hypersalivation (p=0,003) and dysphagia (p=0,000) show abnormal SSR. Every subject shows two or more autonomic symptoms (p=0,0001). Three subjects (13%) that didn't show autonomic dysfunction symptoms, however, had abnormal SSR
Conclusions. Autonomic dysfunction in PD was found in 67,6% subjects. SSR tends to be abnormal when the severity of the PD is high, based on the Hoehn & Yahr scale, UPRDS score of bradikinesia, tremor, and rigidity, and the presence of postural hypotension. Subjects with symptomatic postural hypotension, constipation, hypersalivation, and dysphagia show abnormal SSR. Abnormal SSR was also found in all subjects who had two or more autonomic symptoms.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iqbal Mochtar
"Latar Belakang: Hingga saat ini masih terdapat kontroversi tentang hubungan antara penyakit Parkinson dan pekerjaan welding. Tujuan studi ini adalah untuk mendapatkan informasi berdasar bukti terkait hubungan antara penyakit Parkinson dengan pekerjaan welding melalui laporan kasus berbasis bukti yang diperoleh lewat studi literatur.
Tujuan : Untuk menjawab pertanyaan terfokus : apakah penyakit Parkinson berhubungan dengan pekerjaan welding?
Metode: Studi literatur dilakukan melalui metode ‘pencarian’ dan ‘pemilihan’ artikel pada database Pubmed, Cochrane Library and JSTOR untuk menjawab pertanyaan fokus. Proses pencarian menggunakan kata kunci "Welding" atau "Welder" dan "Parkinson". Pemilihan artikel dilakukan menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan.
Result: Saat penelusuran awal didapatkan 117 artikel dari ketiga database. Setelah dilakukan proses pemilahan dan pemilihan, hanya tiga artikel yang tersisa, yang terdiri atas satu artikel berbasis analisis sistematis dan dua artikel berbasis studi pengamatan.
Kesimpulan: Berdasar sumber berbasis bukti yang terpilih, penyakit Parkinson tidak berhubungan dengan pekerjaan welding. Namun pekerjaan welding dapat menimbulkan keluhan dan tanda klinis yang menyerupai penyakit Parkinson yang dikenal sebagai manganism.

Background: Up to present, there has been a controversy on the relationship between Parkinson’s disease and welding job. The aim of this study was to obtain evidence-based information regarding the relationship between Parkinson's disease and welding job through an evidence-based case report derived from a literature review.
Objective : To answer the focused question : is Parkinson’s disease related to welding job?
Method: A literature review was conducted through a method of search and selection of articles in the Pubmed, Cochrane Library and JSTOR database aimed at answering the study question. The process of searching articles utilized the keywords of "Welding" OR "Welder" AND "Parkinson". Article selection was performed using defined inclusion and exclusion criteria.
Result: At the initial search, 117 articles were retrieved from the three databases. Following the selection process, three articles remained, which consisted of one systematic review and 2 observational studies.
Conclusion: Based on the selected evidence-based resources, Parkinson's disease was not related to welding job. The welding job, however, may cause clinical symptoms and signs resembling Parkinson's disease, known as manganism.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Duvoisin, Roger C.
Philadelphia: Lippincott-Raven, 1996
616.833 DUV p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Basle: Editiones Roche, cop , 1985
616.833 7 PAR (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Arasen
"ABSTRAK
Latar Belakang. Gangguan otonom merupakan gejala yang cukup sering dialami
oleh pasien Parkinson. Gangguan ini sudah dapat ditemukan sejak awal stadium
penyakit. Gangguan otonom meliputi gangguan gastrointestinal, urologi,
kardiovaskular, seksual dan termoregulasi. Untuk mendeteksi gangguan otonom
dapat digunakan kuesioner SCOPA-AUT (Scale for Outcomes in Parkinson’s
Disease for Autonomic Symptoms). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran gangguan otonom pada pasien Parkinson di Poliklinik
Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUPN Fatmawati.
Metode. Penelitian dilakukan dengan menggunakan desain potong lintang.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan April hingga Juni 2012.
Hasil. Sebanyak 54 subyek penelitian yang terdiri dari 33 (61,1%) pria dan 21
(38,9 %) wanita diikutsertakan dalam penelitian ini. Pasien Parkinson pada
penelitian ini berusia antara 45-79 tahun. Sebagian besar pasien memiliki durasi
sakit kurang dari 5 tahun (63%), stadium Hoehn & Yahr 1-2 (63%) dan memakai
terapi kombinasi levodopa dengan agonis dopamin (79,6%). Gangguan otonom
didapatkan pada seluruh subyek penelitian. Gangguan otonom yang paling sering
dialami pasien Parkinson adalah masalah urologi berupa nokturia (79,6%) dan
urinary frequency (57,3%), serta masalah gastrointestinal yaitu sialorea (51,9%)
dan mengejan kuat saat buang air besar (50%) Tidak ada pasien yang mengalami
inkontinensia feses atau jatuh pingsan.
Kesimpulan. Seluruh pasien Parkinson pada penelitian ini mengalami gangguan
otonom. Telah diketahui proporsi gangguan otonom pada pasien Parkinson di
Poliklinik Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUPN Fatmawati.

ABSTRACT
Background. Autonomic symptoms are quite often reported by Parkinson’s
disease patients. These symptomps are found already in early stage of disease.
Autonomic symptomps comprise gastrointestinal, urinary, cardiovascular, sexual
and thermoregulation symptomps. SCOPA-AUT (Scale for Outcomes in
Parkinson’s Disease for Autonomic Symptoms) questionnaire can detect
autonomic dysfunctions. The purpose of this study is to obtain profile of
autonomic symptomps in Parkinson’s disease patients in neurology clinic in
RSUPN Cipto Mangunkusumo and RSUPN Fatmawati.
Methods: a cross sectional study was conducted between April and June 2012
Results: A total of 54 patients, i.e. 33 (61,1%) man and 21 (38,9 %) woman, were
recruited in this study. The age of patients was between 45 and 79 years. Most
patients have illness duration less than 5 years (63%), Hoehn & Yahr stage 1-2
(63%) and use combination therapy (levodopa with dopamine agonist) (79,6%).
Autonomic symptoms are complained by all patients. Most frequent autonomic
symptomps reported by Parkinson’s disease patients are nocturia (79,6%), urinary
frequency (57,3%), sialorea (51,9%) and strain hard when pass stools (50%).
There are no patients who complained involuntary loss of stools or fainted.
Conclusion. All Parkinson’s disease patients in this study reported autonomic
symtomps. Autonomic symptomps profile has been known in Parkinson’s disease
patients in neurology clinic in RSUPN Cipto Mangunkusumo and RSUPN
Fatmawati"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>