Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159492 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tyas Pinendita
"Melihat fenomena semakin banyaknya anak-anak yang bermain di ruang luar, selama masa golden age mereka membutuhkan tahap perkembangan yang optimal. Selain kota merupakan tempat yang menarik bagi anak-anak, kota juga memiliki resiko dan tantangan terhadap kesehatan dan perkembangan anak di usia emas. Maka, untuk menciptakan Kawasan Ramah Anak yang inklusif perlu melihat kota melalui mata mereka (Brown et al, 2019). Penelitian ini berfokus kepada dua unsur penting yang dibutuhkan dalam Kawasan Ramah Anak yaitu kemandirian dan kreativitas. Kedua unsur dapat ditunjang dengan metode Montessori sebagai stimulan (Montessori, 1914). Namun, gagasan tersebut mendapatkan kritik dari W.H Kilpatrick (1935) bahwa beliau menilai Montessori membatasi kemampuan kreativitas anak karena tidak semua jenis permainan dapat dilakukan di dalam kelas. Berbagai kritik juga menekankan hal yang serupa bahwa metode tersebut tidak menganjurkan segala jenis aktivitas dapat dilakukan karena sistem yang terstruktur (Beck, 1961). Melihat adanya celah penelitian terkait dengan keterbatasan metode pedagogi Montessori bahwa metode tersebut hanya dilakukan di lingkungan sekolah-sekolah Montessori saja. Sehingga penelitian mencoba untuk mengadopsi pendekatan Montessori ke ranah urban demi mewujudkan Kawasan Ramah Anak yang optimal dan membuka kesempatan bagi mereka dengan mengasah sensory experience, kemampuan sensorik, motorik, kemandirian, serta kreativitas. Penelitian mencoba memahami bagaimana metode Montessori dapat mewujudkan Kawasan Ramah Anak guna menstimulasi perkembangan mereka dan apa arahan yang tepat untuk menyusun guideline Kawasan Ramah Anak yang dapat menstimulasi kemandirian dan kreativitas. Penelitian berlokasi di Kawasan Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Penelitian melihat bahwa pendekatan Montessori dapat mewujudkan Kawasan Ramah Anak melalui 5 unsur penting yaitu (1)sensory experiences, (2)exploratory, (3)collaborative, (4)constructive, dan (5)imaginative. Kelima unsur tersebut berfungsi untuk menstimulasi kemampuan kreativitas dan menciptakan kemandirian untuk mengoptimalkan fungsi ruang sebagai Kawasan Ramah Anak yang interaktif dan atraktif.

Observing the phenomenon where numerous children play outside during the golden age period concludes that they need an optimal development stage. A city is an enticing place for children, but it has risks and challenges against child health and development in the golden age period. Therefore, creating an inclusive Child-Friendly Neighborhood requires a city observation through their eyes (Brown et al., 2019). This study focuses on two fundamental elements necessary in a Child-Friendly Neighborhood, i.e., independence and creativity. Both elements are supported by the Montessori method as a stimulus (Montessori, 1914). However, this notion received a critic from W.H Kilpatrick (1935) where he judged Montessori as limiting child creativity since not all games are playable in class. Various critics emphasize that this method does not include all activities due to the structured system (Beck, 1961). Discovering a study gap regarding the Montessori pedagogic method limitation where the method is only applicable in Montessori school areas, the current study attempted to adopt the Montessori approach to urban areas to realize an optimal Child-Friendly Neighborhood and open an opportunity for them by honing sensory experiences, sensory and motoric abilities, independence, and creativity. The study attempted to understand how the Montessori method can realize a Child-Friendly Neighborhood to stimulate their development and the appropriate direction to arrange the Child-Friendly Neighborhood’s guideline stimulating independence and creativity. The study was located in the Pondok Pinang Neighborhood, South Jakarta. The study examined that the Montessori approach can realize a Child-Friendly Neighborhood through five vital elements: (1) sensory experiences, (2) exploratory, (3) collaborative, (4) constructive, and (5) imaginative. These five elements stimulate creativity and create independence to optimize the space function as an interactive and attractive Child-Friendly Neighborhood."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Najatun
"Anak-anak merupakan kelompok individu yang memiliki perilaku senang bergerak atau bermain. Terutama untuk anak-anak usia sekolah mereka senang bermain di luar ruangan. Saat bermain di luar, ruang-ruang kota seringkali menjadi tempat yang menarik untuk mereka bagi yang tinggal di area perkotaan. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sebuah ruang bermain berupa RPTRA yang ada di dalam lingkungan kota menjadi tempat yang sering mereka gunakan untuk bermain. Elemen-elemen di dalam ruang bermain RPTRA memiliki peran dalam mengakomodasi anak-anak untuk bermain didalamnya. Elemen-elemen tersebut memiliki affordances yang kemudian anak-anak akan menerima affordances itu sesuai karakter masing-masing anak. Affordances-affordances di dalam RPTRA menjadi penting agar anak-anak memiliki ruang bermain yang sesuai dengan karakteristik mereka. Peran-peran elemen ruang di dalam RPTRA dapat dilihat melalui konsep affordances dan hubungannya dengan anak-anak.

Children are a group of individuals who have different behavior from adults. They like to move actively or play. Especially for school age children, they love to play outside. When playing outside, city spaces often become interesting places for them who live in the city. It is influenced by various factors. A play space in the RPTRA of the city environment is a place that they often use to play. The elements in the RPTRA’s layspace have roles in accommodating children to play in it. These elements have affordances which then children will receive the affordances according to the character of each child. Affordances in RPTRA are important.  Children will have play spaces that are appropriate to their characteristics. The role of the space element can we see through affordances theory and the relation with children."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Dewi Lestari
"Pembangunan perkotaan mengakibatkan perubahan penggunaan lahan serta terbatasnya ruang publik untuk kegiatan bermain anak-anak di kawasan permukiman padat. Tujuan penelitian menganalisis tempat bermain anak di permukiman padat dan menyiapkan konsep rancangan ruang publik yang lebih aman dan nyaman untuk anak. Penelitian menggunakan metode gabungan dengan analisis kuantitatif menggunakan analisis deskritpif dan analisis spasial, sedangkan analisis kualitatif dengan Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil analisis anak-anak bermain di ruang publik di sekitar rumah yang masih belum aman dan nyaman dengan pengawasan orang tua, dan konsep ruang publik multi fungsi menjadi alternatif yang terpilih untuk rancangan tempat bermain yang memperhatikan aspek keamanan, keselamatan, dan kenyamanan anak. Kesimpulan penelitian bahwa rancangan ruang publik multi fungsi yang memperhatikan keamanan dan kenyamanan anak-anak menjadikan ruang publik yang lebih ramah sebagai tempat bermain anak.

Urban development have resulted in changes in land use and limited public space for children's play activities in densely populated areas. This research aims to analyze the existence of a children's playing space in densely populated areas and provide a public space design concept that is safer and more convenient for children. This study uses a combined method with quantitative analysis using descriptive and spatial analysis, while qualitative analysis uses the Analytical Hierarchy Process. The results showed that children played in public spaces around the house that were still not safe and comfortable for them with parental supervision. Furthermore, the concept of a multi-functional public space became the chosen alternative for designing a playing area in a public space that considers aspects of security, safety, and convenience for children. This study concludes that the design of a multi-functional public space that pays attention to the safety and convenience of children makes a more friendly public space as a place for children to play."
Depok: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Triarini Indirasari
"Pembentukan peran jenis kelamin mempakan hal yang penting bagi setiap orang, karena mendukung perkembangan konsep diri dan identitas seseorang. Masa penting pembentukan peran jenis kelamin seorang anak adalah pada usia prasekolah (3-6 tahun). Salah satu cara pembentukan peran jenis kelamin seorang anak adalah dengan cara sosialisasi. Ada tiga cara sosialisasi yang dapat dilakukan dalam pembentukan peran jenis kelamin, yakni dengan direct instruction, shaping atau modelling. Agen sosialisasi terpenting dalam pembentukan peran jenis kelamin seorang anak adalah keluarga, terutama orang tua, karena merupakan lingkungan terdekat yang dimiliki anak yang memperkenalkan anak pada lingkungan masyarakat yang Iebih luas. Penelitian di Barat menunjukkan bahwa orang tua dapat mempengaruhi pembentukan peran jenis kelamin anak, khususnya anak usia prasekolah dalam kegiatan bermain. Sebagian besar anak usia prasekolah menghabiskan waktunya dalam bermain. Bermain sendiri merupakan media bagi anak untuk mangembangkan dirinya, baik dari segi fisik, kognitif dan sosial emosional. Selain itu, bermain juga merupakan wadah bagi anak untuk mencoba berbagai peran.
Dalam kegiatan bermain, orang tua menularkan sikap tentang peran jenis kelamin melalui mainan yang diberikan serta interaksi antara anak dan orang tua saat bermain. Penelitian yang dilakukan di Barat menunjukkan bahwa adanya pembedaan pemberian mainan maupun aktivitas bermain pada anak Iaki dan parempuan oleh orang tua menyebabkan peran jenis kelamin yang terbentuk pada anak Iaki dan perempuan berbeda. Di Indonesia sendiri, dengan semakin banyaknya toko mainan yang menyediakan sarana bermain bagi anak, memudahkan orang tua untuk menggunakan mainan sebagai media dalam mensosialisasikan karakteristik tertentu sesuai dengan peran jenis kelamin. Namun, bagaimana gambaran sosialisasi peran jenis kelamin yang dilakukan dalam kegiatan bermain oleh orang tua belumlah terlihat. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan uniuk mendapatkan gambaran sosialisasi peran jenis kelamin yang diiakukan orang tua pada anak usia prasekolahnya khususnya dalam kegiatan bermain.
Ada tiga teori besar yang menjelaskan tentang pembentukan peran jenis kelamin. Pandangan Psikoanalisa yang dipelopori oleh Sigmund Freud menjelaskan bahwa peran jenis kelamin terbentuk karena adanya proses identifikasi yang terjadi akibat ikatan emosional khusus yang didasarkan atas keinginan anak untuk dicintai atau atas ketakutan salah satu orang tua. Teori belajar sosial menjelaskan bahwa anak menampilkan respon atau perilaku sesuai dengan jenis kelaminnya karena mendapat imbalan dan anak menghindari perilaku yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya karena meneka akan dihukum. Teori perkembangan kognitif menganggap bahwa peran jenis kelamin terbentuk sebagai hasil dari sistem kognitif anak. Anak belajar mengkategorisasikan atribut dan informasi yang ada di lingkungan berdasarkan jenis kelamin.
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif yang melibatkan 40 orang tua yang memiliki anak laki dan perempuan usia prasekolah (3-6 tahun). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode non probabilita dan teknik incidental. Alat yang digunakan untuk mengetahui sosialisasi peran jenis kelamin dalam penelitian ini adalah berupa kuesioner yang memuat daftar mainan yang diberikan pada anak beserta orang yang memilihkan mainan, karakteristik yang ingin dikembangkan pada anak laki dan perempuan serta cara orang tua mensosialisasikan karaktenstik yang diinginkan dalam kegiatan bennain. Daftar mainan yang digunakan dibuat oleh peneliti dengan melakukan survei terhadap mainan yang dimiliki anak usia prasekolah. Sedangkan untuk item karakteristik peran jenis kelamin peneliti menggunakan item Bem Sex Role Inventory. Sebelum alat digunakan sepenuhnya, peneliti melakukan uji coba alat terlebih dahulu untuk mengetahui face validity atau uji keterbacaan serta mengukur intterrater reliability. Penelitian dilakukan di 4 Taman Kanak-kanak di Jakarta dan Bogor. Karena penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, maka data yang diperoleh diolah dengan menggunakan statistik deskriptif.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam anak laki lebih banyak memiliki mainan kategori fisik dan kognitif, sedangkan anak perempuan lebih banyak memiliki mainan kategori sosial emosional. Dalam menentukan mainan yang diberikan, anak Iebih besar peranannya dibandingkan dengan orang tua sendiri. Berdasarkan karakteristik yang ingin dikembangkan pada anak laki dan perempuan, antara ayah dan ibu pada umumnya memiliki keinginan yang sama. Bagi anak laki, orang tua Iebih banyak menginginkan karakteristik maskulin terdapat dalam diri anaknya. Sedangkan bagi anak perempuan, ada karakteristik-karakteristik feminin maupun maskulin yang diinginkan orang tua dimiliki anaknya. Untuk karakteristik yang tergolong netral, orang tua menginginkan karakteristik yang sama terdapat pada anak laki dan perempuannya. Dalam mensosialisasikan karakteristik yang diinginkan khususnya dalam bermain, orang tua lebih banyak menggunakan teknik direct instruction dibandingkan teknik shaping, modeling atau campuran."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2641
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syisnawati
"Salah satu terapi yang digunakan untuk menurunkan kecemasan pada anak usia sekolah selama hospitalisasi adalah dengan melakukan terapi bermain all tangled up. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh terapi bermain terhadap kecemasan anak usia sekolah selama hospitalisasi di RSUD Syekh Yusuf Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan. Desain penelitian quasi experimental pre-post test with control group. Sampel berjumlah 68 orang yang meliputi 34 orang kelompok intervensi dan 34 orang kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan penurunan skor tingkat kecemasan pada anak usia sekolah lebih tinggi pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol (p value<0.05). Terapi bermain all tangled up direkomendasikan diterapkan sebagai terapi keperawatan merawat klien anak usia sekolah yang mengalami kecemasan selama hospitalisasi.

One of therapies to decrease anxiety of school-aged children while hospitalized is by playing therapy called all tangled up. The aim of this study was to know influence of playing therapy called all tangled up to school-aged children while hospitalized at Syekh Yusuf Regional Hospital of Gowa, province of South Sulawesi. This study used a Quasi-experimental design with pre-post test and control group. A number of 68 samples including 34 people the intervention group and 34 the control group. The results showed the decrease in the anxiety score of school-aged children in the intervention group was higher than in the control group (p value <0.05). Playing therapy called all tangled up is recommended as a therapy applied in the advanced nursing care for school-aged children clients with anxiety while hospitalized.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
T42015
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widi Rahayu
"Anak-anak harus tumbuh tidak hanya tubuhnya, melainkan jiwanya. Anak perlu didorong secara aktif untuk mengobservasi dan mengeksplorasi. Untuk itu, kualitas pendidikan anak usia dini harus mendapatkan perhatian serius, karena di usia ini seorang anak sangat peka terhadap berbagai stimulasi dan rangsangan dari lingkungannya, akan tetapi realitas dunia pendidikan anak usia dini saat ini masih mengikuti tradisi klasik dengan menjadikan pendidik sebagai subject centered (teacher centered). Teacher centered memfokuskan seluruh proses pembelajaran kepada guru sehingga model pendidikan seperti ini membuat anak didik sulit mengembangkan proses kreativitas dan kemandiriannya. Dengan menggunakan metode refleksi kritis, artikel ini berusaha merefleksikan fungsi pendidikan anak bagi perkembangan anak usia dini secara filosofis. Artikel ini juga memberikan pemahaman pada pentingnya model pendidikan progresif yang menekankan pada kebebasan peserta didik dan mengenalkan tahapan-tahapan pendidikan berdasarkan perkembangan usia anak dan kebebasan anak. Sehingga harapannya model pendidikan yang memberikan kebebasan kepada anak dapat membentuk pribadi anak yang siap mengarungi kehidupan pada masa dewasa nanti sebagaimana yang digagas oleh Maria Montessori.

Children must grow not only in body but in spirit. Children need to be actively encouraged to observe and explore. For this reason, the quality of early childhood education must receive serious attention, because at this age a child is very sensitive to various stimulations and stimuli from his environment, but the reality of the world of early childhood education today still follows the classical tradition by making educators as subject-centered ( teacher-centered). Teacher centered focuses the entire learning process on the teacher so an educational model like this makes it difficult for students to develop their creativity and independence processes. By using the critical reflection method, this article tries to reflect philosophically on the function of children's education for early childhood development. This article also provides an understanding of the importance of a progressive education model that emphasizes the freedom of students and introduces the stages of education based on the child's age development and child's freedom. So it is hoped that an educational model that gives freedom to children can form a child's personality that is ready to navigate life in adulthood, as initiated by Maria Montessori."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia;, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Riviana Dwi Agustina
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Ruang-ruang interaksi di internet memungkinkan terbentuknya relasi-relasi baru termasuk salah satunya adalah praktik hubungan romantis yang disebut sebagai cyberlove. Praktik cyberlove juga terjadi dalam permainan Role-Play, yaitu permainan peran yang dilakukan oleh penggemar selebriti pop Korea di ruang-ruang interaksi maya. Merujuk pada Ben Ze ev 2004, praktik cyberlove merupakan hubungan romantis yang dijalani melalui komunikasi online. Tulisan ini mengeksplorasi wilayah perbatasan antara dunia yang dianggap nyata dengan dunia yang dianggap maya dalam konteks cyberlove dalam permainan Role-Play melalui medium avatar selebriti Korea.
Berdasarkan hasil penelitian ini cyberlove dalam permainan Role-Play merupakan bentuk praktik bermedia dimana terdapat hubungan dialektis dan dialogis antara pasangan pemain Role-Play sebagai audiences dan producer. Berbeda dengan praktik bermedia kelompok penggemar lainnya, dalam praktik ini terdapat ekspresi dan pengalaman romantis baik pengalaman online dan offline. Penelitian ini juga menemukan empat aspek yang memungkinkan pemain Role-Play memutuskan untuk menjalani hubungan romantis di permainan Role-Play, yaitu 1 Permainan Role-Play sebagai ruang eksplorasi imajinasi pengalaman romantis; 2 Medium yang memungkinkan terjadinya interaksi; 3 Ketersediaan medium dalam permainan Role-Play untuk mencari pasangan; 4 Anonimitas yang memungkinkan pemain melindungi privasi diri, tetapi juga memungkinkan pemain mengeksplorasi pengalaman-pengalaman baru yang tidak mungkin dilakukan di dunia nyata.

The interaction spaces on the internet allow for the establishment of new relationships including the practice of romantic relationships called cyberlove. Cyberlove practice also occurs in Role Playing Games, which are the activity of Role Playing performed by Korean pop celebrity fans in virtual interaction spaces. Referring to Ben Ze 39 ev 2004, the practice of cyberlove is a romantic relationship consisting mainly of computer mediated communication. This paper explores the boundary between the real world and the virtual world in the context of cyberlove in the Role Playing Games through the use of Korean celebrity avatar.
Based on the results of this study cyberlove in the Role Playing Games is a form of media practices where there is a dialectical and dialogical relationship between Role Players partners as audiences and producers. In contrast to other mediated fan practices, in this practice, there are romantic expressions and experiences both online and offline experiences. The study also found four aspects that allow Role Players to choose to have romantic relationships in Role Playing Games, namely 1 Role Playing Games as an exploration space of imagination regarding romantic experience 2 Role Playing Games as a medium that enables interactions 3 Availability of medium in Role Playing Games to search for spouse 4 Anonymity that allows players to protect personal privacy, but also allows players to explore new experiences that are not possible in the real world.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Gestivia Hakim
"Skripsi ini membahas peran-peran anggota FOKLA dan kendala-kendala yang dialami selama pengembangan RW Ramah Anak yang dikaitkan dengan konsep pengembangan masyarakat. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa anggota FOKLA memerankan keempat peran community worker, yakni peran memfasilitasi, mengedukasi, representasional, dan teknis. Namun anggota FOKLA masih belum terlalu mampu dalam melakukan peran teknis terutama pada manajemen, penggunaan komputer, dan presentasi verbal. Penelitian ini menyarankan kepada lembaga untuk memperbaiki beberapa peran yang dinilai kurang tersebut melalui pemberian pelatihan kepada pengurus atau merumuskan ulang peran-peran yang dijalankan di masyarakat.

This thesis discusses the roles of FOKLA and the obstacles encountered during the development of child friendly environment that associated with the concept of community development. This research is a qualitative research with descriptive design. The results of the study conclude that FOKLAs member plays four roles of community worker, namely facilitating, educating, representational, and technical. However, FOKLAs member is still not very capable in performing technical roles especially on management, computers, and verbal presentations. This research suggests to the agency to improve some of their roles and skills through training for administrators or reformulate the roles that are need to be executed in the community."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muthiah Muthmainnah
"Penggambaran tentang pustakawan dan perpustakaan dalam budaya media telah banyak dilakukan, namun masih jarang ditemukan penelitian yang menggunakan media game. Salah satu game bergenre RPG atau role playing game yang dapat menggambarkan peran pustakawan dan perpustakaan sekolah adalah game Persona 5 Royal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana peran pustakawan serta fungsi perpustakaan sekolah yang ada di dalam game Persona 5 Royal. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode analisis wacana kritis dari Jager dan Maier. Hasil temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa penggambaran peran student librarian di dalam game Persona 5 Royal sudah sesuai dengan teori dan tujuan sebenarnya dari student librarian, namun profesionalisme karakter student librarian tersebut masih dinilai kurang karena adanya diskriminasi sosial terhadap murid baru yang memiliki reputasi negatif. Di sisi lain, penggambaran fungsi perpustakaan sekolah dalam game ini dinilai sudah cukup sesuai dengan teori dan standar perpustakaan sekolah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa peran student librarian dan fungsi perpustakaan sekolah Akademi Shujin secara tidak langsung memiliki peran penting bagi keberlangsungan alur cerita sejati dari game Persona 5 Royal.

The depiction of librarians and libraries in media culture has been extensively explored, yet research utilizing gaming media still needs to be explored. One role-playing game (RPG) that portrays the roles of librarians and school libraries is Persona 5 Royal. The purpose of this study is to describe the roles of student librarian and the functions of school libraries depicted in Persona 5 Royal. This qualitative research employs the method of critical discourse analysis proposed by Jager and Maier. The findings of this study indicate that the portrayal of student librarians in Persona 5 Royal aligns with the theoretical and actual objectives of student librarians. However, the professionalism of the student librarian character is considered lacking due to instances of social discrimination against new students with negative reputations. On the other hand, the portrayal of the functions of the school library in the game is deemed sufficiently consistent with the theories and standards of school libraries. This research concludes that the role of the student librarian and the functions of the Shujin Academy school library indirectly play a significant role in the actual storyline of the game Persona 5 Royal."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>