Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 131814 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Karin Patricia
"Esports telah mengalami perkembangan pesat dalam hal jumlah penonton, terutama selama masa pandemi COVID-19. Tayangan pertandingan esports kini dapat dilihat melalui berbagai media mulai dari platform live streaming hingga televisi digital. Keterlibatan masyarakat dalam esports yang semakin meningkat dapat memicu masalah terkait perjudian atau esports betting. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi niat pemain game esports terhadap intensi untuk melakukan esports betting. Model penelitian ini disusun dengan menggunakan kerangka S-O-R dan diuji menggunakan PLS-SEM dengan bantuan perangkat lunak SMARTPLS 3.0. Data yang digunakan untuk pengujian berasal dari 234 responden valid yang dikumpulkan melalui survei secara online. Hasil pengujian menunjukan bahwa baik subjective norms maupun information publicity memiliki pengaruh signifikan terhadap knowledge dan excitement. Selanjutnya, knowledge dan excitement ditemukan memiliki pengaruh signifikan terhadap loot boxes purchases. Terakhir, knowledge dan loot boxes purchase diketahui memiliki pengaruh signifikan terhadap intention to esports betting.

Esports has experienced rapid growth in terms of audience size, especially during the COVID-19 pandemic. Broadcasts of esports matches can now be viewed through various media, from live streaming platforms to digital television. Increase of community involvement in esports can trigger gambling related problems or esports betting. This study aims to determine the factors that influence the intention of esports game players to the intensity to make esports bets. This research model was prepared using the S-O-R framework and tested using PLS-SEM with the help of SMARTPLS 3.0 software. The data used for testing came from 234 valid respondents who were collected through an online survey. The test results show that both subjective norms and information publicity have a significant effect on knowledge and excitement. Furthermore, knowledge and excitement were found to have a significant influence on loot box purchases. Lastly, loot box knowledge and purchases are known to have a significant influence on intentions to bet on esports."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brian Azeri
"Skripsi ini membahas mengenai ketenagakerjaan dari professional gamer dalam industri Electronic sports eSports di Indonesia. Keberadaan New media di era kapitalisme informasi telah menciptakan komodifikasi kegiatan berbasis leisure menjadi bentuk ndash; bentuk kerja. Salah satu contoh diantaranya adalah berkembang pesatnya industri eSports, yaitu industri hiburan kompetitif yang berbasis pada permainan daring. Industri ini memunculkan lsquo;okupasi rsquo; baru dalam masyarakat yaitu Professional Gamer, atau seseorang yang mendapatkan penghasilan dari keahliannya berkompetisi di eSports. Studi ndash; studi sebelumnya terkait professional gamer dan eSports, terbagi menjadi dua perspektif, yaitu yang memiliki perspektif konflik-eksploitatif dan positif-aktualisasi diri. Peneliti lebih condong kepada perspektif konflik, yang melihat adanya eksploitasi yang dirasakan oleh Professional Gamer, namun studi ndash; studi sebelumnya memiliki beberapa batasan; 1 konteks penelitian di negara maju dengan industri eSports yang sudah mapan, 2 terlalu berfokus pada perdebatan teoritis tanpa melihat kondisi empiris, 3 tidak melihat aspek regulasi dan legal-formal terkait ketenagakerjaan professional gamer dalam industri eSports. Berdasarkan hal tersebut, peneliti berargumen bahwa professional gamer di Indonesia memiliki kondisi yang sangat rentan sebagai tenaga kerja, hal ini karena tidak adanya regulasi sama sekali dan aspek eksploitatif dalam kaburnya kegiatan lsquo;leisure rsquo; dan lsquo;bekerja rsquo; sebagai playbour. Studi ini merupakan studi terhadap pro gamer yang berkompetisi dalam turnamen League of Legends Garuda Series LGS sebagai pelopor eSports di Indonesia. Metode dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pengumpulan data melalui wawancara mendalam dengan aktor ndash; aktor yang terlibat di dalam LGS dan studi dokumen.

This thesis discusses about the labour of professional gamer in Electronic Sports eSports industry in Indonesia. The context of New Media in Informational Capitalism has created commodification leisure activities into type of work. One of the example is the expanding industry of eSports, which competitive entartainment industry based by online games. This industri created new occupation in society, which is professional gamer, or someone who get paid by his ability to compete in eSports. Recent studies about professional gamer and eSports, divided by two perspectives, conflict exploitative and positive self actualisation. Researcher supports conflict perspective, which argue that professional gamer is exploited, but recent studies have few limitations 1 the context in developed countries with good industry, 2 too focused on theoritical debates without examining the empirical evident, 3 not examining regulation and legal formal about labour of professional gamer in eSports. From that, researcher argues that professional gamer in Indonesia is in really precarious condition as labour, this because there are no regulation and the exploitative aspect of the blurring activity between leisure and work as playbour. This thesis research about professional gamer that compete in League of Legends Garuda Series LGS tournament. The method in this thesis is qualitative with data collection with indepth interview from actors within LGS."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogi Perdana
"Laju pertumbuhan esports sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Namun masih terdapat banyak tantangan pada ekosistem esports, salah satunya regenerasi pemain. Masalah regenerasi tersebut terjadi karena kurangnya ruang kompetitif pada kelas amatir ataupun pelajar. Padahal pemain-pemain amatir sangat dibutuhkan guna menemukan bakat-bakat baru mengingat regenerasi di dunia esports berjalan dengan sangat cepat karena usia emas atlet esports hanya berkisar dari 18 hingga 22 tahun. Peran komunitas sebagai support system diperlukan untuk mendukung ekosistem esports agar tumbuh lebih baik dan mengurangi kesenjangan dunia amatir dan profesional serta pemerataan esports ke daerah-daerah guna membantu proses regenerasi dan kemajuan industri esports di Indonesia. Penelitian ini bertujuan merancang Knowledge Sharing Systems (KSS) berbasis gamifikasi untuk komunitas esports. Banyak penelitian yang membahas tentang KSS. Namun penelitian yang secara spesifik membahas tentang KSS pada komunitas esports masih belum banyak ditemukan. Selain itu, penelitian KSS terdahulu kebanyakan berfokus pada fitur KS yang bersifat asynchronous dan pengetahuan eksplisit. Penelitian ini menggunakan metode User-Centered Design untuk merancang KSS untuk mendapatkan desain interaksi KSS yang sesuai dengan kebutuhan pengguna. Selain itu, pendakatan gamifikasi diterapkan guna meningkatkan motivasi pengguna dalam berbagi pengetahuan. Pendefinisian kebutuhan desain dilakukan dengan melakukan wawancara ekploratif menggunakan pendekatan Player-Centered Design yang akan menghasilkan elemen gamifikasi berdasarkan persona, misi, dan motivasi pengguna. Selanjutnya elemen gamifikasi diterjemahkan ke dalam bentuk fitur dan di evaluasi menggunakan metode feature inspections. Sebanyak 15 elemen gamifikasi berhasil diidentifikasi dan diturunkan menjadi fitur-fitur untuk kebutuhan berbagi pengetahuan baik pengetahuan tacit maupun eksplisit. Fitur yang memfasilitasi berbagi pengetahuan tacit adalah ruang pertemuan, siaran langsung, dan panggilan pribadi. Sementara itu fitur yang memfasilitasi perubahan pengetahuan tacit ke eksplisit adalah dokumentasi diskusi sinkronus yang dapat berupa audio dan video. Dan fitur yang memfasilitasi berbagi pengetahuan eksplisit adalah percakapan, pesan pribadi, komentar, dan edit postingan. Hasil evaluasi menunjukan bahwa penerapan elemen gamifikasi terbukti dapat membantu dan mendorong partisipan dalam menggunakan KSS dan berbagi pengetahuan. Adapun fitur yang mengandung elemen gamifikasi yang dimaksud adalah Onboarding (pop-up petunjuk), Signposting (pop-up petunjuk), Points (sistem poin), Voting / Voice (Polling), dan Badge (lencana pengguna terverifikasi, lencana reputasi, lencana keaktifan, dan bintang ulasan).

The rate of growth of esports has been very rapid in recent years. However, there are still many challenges in the esports ecosystem, one of which is player regeneration. The regeneration problem occurs because of the lack of competitive space in the amateur or student class. Even though amateur players are really needed to find new talents, considering that the regeneration in the world of esports is going very fast because the golden age of esports athletes only ranges from 18 to 22 years. The role of the community as a support system is needed to support the esports ecosystem to grow better and reduce the gap between the amateur and professional world as well as the distribution of esports to the regions to help the regeneration process and the progress of the esports industry in Indonesia. This study aims to design a gamification-based Knowledge Sharing Systems (KSS) for the esports community. Many studies discuss KSS. However, there are still not many studies that specifically discuss KSS in the esports community. In addition, previous KSS research mostly focused on KS features that are asynchronous and explicit knowledge. This study uses the User-Centered Design method to design KSS to get a KSS interaction design that suits the needs of users. In addition, a gamification approach is applied to increase user motivation in sharing knowledge. The definition of design requirements is carried out by conducting exploratory interviews using a Player-Centered Design approach which will produce gamified elements based on the persona, mission, and motivation of the user. Furthermore, the gamification elements are translated into features and evaluated using the feature inspections method. A total of 15 elements of gamification have been identified and reduced to features for the need to share knowledge, both tacit and explicit knowledge. Features that facilitate the sharing of tacit knowledge are meeting rooms, live broadcasts, and private calls. Meanwhile, the feature that facilitates the change of tacit knowledge to explicit is synchronous discussion documentation which can be in the form of audio and video. And features that facilitate explicit knowledge sharing are conversations, private messages, comments, and post edits. The evaluation results show that the application of gamification elements is proven to be able to help and encourage participants to use SSC and share knowledge. The features that contain elements of gamification in question are Onboarding (pop-up hints), Signposting (pop-up hints), Points (point system), Voting / Voice (Polling), and Badges (verified user badge, reputation badge, activity badge, and star rating)."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faishal Majid
"Studi tentang sportscapes telah diteliti dalam banyak literatur, terutama dalam konteks persepsi konsumen terhadap stimuli sportscapes. Studi yang telah ada tentang sportscapes belum menghubungkan tanggapan atas stimuli yang dihasilkan dari olahraga nyata dan eSports dengan pembentukan pengalaman konsumen. Literatur ini dimaksudkan untuk mengamati dan mengintegrasikan pengaruh beberapa faktor dengan pembentukan pengalaman konsumen. Beberapa faktor sportscapes yang teridentifikasi yaitu estetika fasilitas, tata ruang, suasana, dan dimensi eSports dari estetika dan hiburan diduga memiliki pengaruh dalam pengalaman konsumen. Oleh karena itu, kontribusi konseptual dalam penelitian ini diberikan untuk mengidentifikasi pengaruhnya terhadap pengalaman konsumen dan bagaimana hal itu dapat dieksplorasi di dunia akademis dan dunia praktik.

The study of sportscapes has been highlighted in many literatures, especially in the context of consumers perceive of sportscapes stimuli. Existing studies of sportscapes has not yet linked the responses generated from the real sports and eSports with the formation of consumer experiences. This literature is intended to observe and integrate the influence of several factors with the formation of consumer experiences. Several identified factors of sportscapes which are facility aesthetics, spatial layout, ambience, and eSports dimensions of aesthetics and entertainment suggested to have an influence in consumer experience. Therefore, the conceptual contributions in this study is provided to identify the influence on consumer experiences and how it can be explored in the academia and practical world. "
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Bianka Adya Aurelia
"Seperti atlet olahraga tradisional, atlet Esports mampu mengalami kecemasan kompetitif yang dapat menganggu performa mereka dalam bermain saat menjalani pertandingan. Kecemasan tersebut merupakan hasil interpretasi terhadap situasi kompetitif yang dianggap sebagai ancaman. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kontrol seperti self-efficacy untuk mencegah meningkatnya tingkat kecemasan kompetitif pada seorang atlet Esports. Namun terdapat dugaan bahwa terdapat peran kepribadian neuroticism yang mengakibatkan atlet memiliki kecenderungan untuk mengalami kecemasan kompetitif. Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran neuroticism sebagai moderator dari hubungan self-efficacy dan kecemasan kompetitif pada atlet Esports Valorant. Kecemasan kompetitif diukur menggunakan Competitive State Anxiety Inventory-2R ID (CSAI-2RID), self-efficacy diukur menggunakan Athlete Self-Efficacy Scale (ASES), dan neuroticism diukur menggunakan International Personality Item Pool-Big FiveMarkers-25 (IPIP-BFM-25). Penelitian ini memperoleh 150 partisipan yang merupakan pemain gim Valorant (usia 18-25 tahun, 64.7% laki-laki). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat efek moderasi neuroticism yang signifikan pada hubungan self-efficacy dan kecemasan kompetitif. Dalam arti lain, baik tinggi atau rendah skor neuroticism tidak dapat memperkuat atau memperlemah self-efficacy terhadap kecemasan kompetitif secara signifikan.

Like traditional sports athletes, Esports athletes can experience competitive anxiety that can interfere with their performance in a competition. This anxiety is the result of interpreting competitive situations as threatening. Therefore, a type of control such as self-efficacy is needed to prevent competitive anxiety levels from rising in an Esports athlete. However, it is suspected that there is a role of neuroticism that results in athletes tending to experience competitive anxiety. This study aims to examine the role of neuroticism as a moderator of the relationship between self-efficacy and competitive anxiety in Esports athletes. Competitive anxiety was measured using the Competitive State Anxiety Inventory-2R ID (CSAI-2Rid), self-efficacy was measured using the Athlete Self-Efficacy Scale (ASES), and neuroticism was measured using the International Personality Item Pool-Big FiveMarkers-25 (IPIP-BFM-25). This study obtained 150 participants who were Valorant players (18-25 years old, 64.7% male). The results showed that there was no significant moderating effect of neuroticism on the relationship between self-efficacy and competitive anxiety. In other words, either high or low neuroticism scores could not significantly strengthen or weaken self-efficacy against competitive anxiety."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosyarbi Alkaromi
"Tingginya populasi gamers di Indonesia yakni sebanyak 34 juta jiwa,serta pencapaian prestasi esports di Indonesia menjadikan esports di Indonesia layak untuk dijadikan olahraga prestasi. Pemerintah Indonesia melalui Kemenpora bersama Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) meresmikan esports sebagai cabang olahraga prestasi di Indonesia, dan menunjuk Pengurus Besar Esports Indonesia (PB ESI) sebagai induk cabang olahraga esports. Kebijakan keolahragaan secara umum memuat kebijakan-kebijakan terkait dukungan dana, kelembagaan olahraga, partisipasi, pembinaan prestasi, dan penyediaan fasilitas yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tentang Keolahragaan Tahun 2022, dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tentang Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) Tahun 2021. Kebijakan-kebijakan keolahragaan tersebut dilakukan sebagai upaya membenahi permasalahan keolahragaan yang salah satu diantaranya adalah pembinaan prestasi belum dilakukan secara sistematis, dan penyediaan fasilitas menjadi masalah utama yang dihadapi berbagai cabang olahraga. Dalam pelaksanaan keolahragaan pencapaian maupun kendala yang muncul dalam keolahragaan akan dapat dilihat dengan mengkaji pelaksanaan kebijakan keolahragaan pada cabang olahraga esports yang relatif masih baru, namun telah memberikan prestasi terukur dalam waktu relatif singkat. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan implementasi kebijakan keolahragaan bidang esport sebagai cabang olahraga prestasi di Indonesia ditinjau dari faktor determinannya yakni teori Edward III tentang implementasi kebijakan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah post-positivist, Teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam untuk mendapatkan data primer, studi literatur sebagai, dan dokumentasi sebagai data skunder serta teknik analisis yang digunakan menggunakan illustrative methode. Hasil dalam penelitian ini adalah secara normatif Kemenpora, PB ESI, dan KONI telah mengimplementasikan kebijakan keolahragaan, kendati demikian olahraga esports masih dalam tahap proses adaptasi menjadi olahraga prestasi. Adapun faktor determinan yang paling memberpengaruh terimplementasinya kebijakan keolahragaan di bidang esports yakni partisipasi stakeholders yang berada di ekosistem esports yang sangat mendukung.

The population of gamers in Indonesia reach 34 million people and the achievement of esports in Indonesia has made esports as performance sports in Indonesia. The Government of Indonesia with Ministry of Youth and Sports (Kemenpora) and National Comitee of Sports Indonesia (KONI) decided esports as performance sports and choose PB ESI as the association who handle esports in Indonesia. The sports policy generally contain some policy related to financial support, sports institutions, participation, and performance development, and facilities as contained in Undang-Undang Nomor 11 Tentang Keolahragaan Tahun 2022, and Peraturan Presiden Nomor 86 Tentang Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) Tahun 2021. These sports policies are carried out as an effort to solved sports problem, which is that performance sportst hasn’t yet been carried as systematically, and the provision of facilities is the main problem that various sports faced. In the implementation of sports, the achievement and an obstacles that arise in sports can be seen by examining the implementation of sports policies in esports, that which are relatively new, but has measureable achievement in a relatively short time. This study aims to explain the implementation of sports policies in the field of esports as a performance sports in Indonesia that analayze by the determinant factor that Edward III told about theory of policy implementation. The method that used in this research is post-positivist approach, data collection techniques with in-depth interviews to obtain primary data, literature studies and documentation as secondary data, and analysis technique used illustrative method. The results in this reseach showed that normatively Kemenpora, PB ESI, and KONI have implemented sports policies, even though esports are still in the process of adaptation to performance sports. The determinant factor that most influences the implementation of sports policies in esports is the participation of stakeholders is very supportive as esports ecosystem."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Defashah
"Sejak awal waktu, sudah menjadi sifat manusia untuk menemukan hiburan yang merangsang sistem indera manusia untuk mengisi kehidupan sehari-hari mereka. Salah satu bentuk hiburan yang paling umum adalah hiburan yang merangsang kesenangan pendengaran. Ada banyak catatan yang membuktikan keberadaan musik sejak peradaban manusia awal, bahkan sejak masyarakat Sumeria (c. 4500 – c. 1900 SM) (Farmer, H., 1939). Hal ini menunjukkan bahwa musik adalah bagian penting dari kehidupan. Di dunia modern, beberapa individu paling terkenal berasal dari industri musik, semakin menunjukkan seberapa besar industri ini. Dengan perkembangan teknologi, muncul perkembangan media melalui mana musik dinikmati. Akhir abad ke-19 melihat manifestasi pertama musik dalam bentuk fisik dengan lahirnya vinyl (Osborne, 2012). Sejak saat itu bentuk fisik musik berkembang menjadi berbagai jenis medium. Vinyl mencapai puncaknya pada 1950-an, kaset diperkenalkan pada 1960-an, dan CD mengambil alih pasar musik fisik pada 1990-an. Datang milenium baru dan digitalisasi massal barang-barang konsumen, media baru untuk konsumsi musik juga diperkenalkan. Napster adalah platform pertama yang memungkinkan konsumen mengunduh musik ke komputer pribadi mereka (Lee et al., 2020), memelopori digitalisasi musik . Berkaitan dengan itu, mengikuti gelombang perkembangan musik digital yang menjadikan layanan online streaming sebagai cara paling efisien untuk menikmati musik saat ini (Aguiar, 2017). Pada 2017 pendapatan industri musik digital adalah US$17,10 Miliar (Brand Essence Market Research, 2021).
Ada beberapa cara di mana musik digital dapat dikonsumsi. Salah satu parameter dalam mengkategorikan konsumsi musik digital adalah kepemilikan. Ada platform yang memungkinkan kepemilikan musik digital melalui konten yang dapat diunduh, ini dapat dianggap sebagai konsumsi berbasis kepemilikan. Perusahaan seperti Napster menyediakan layanan ini. Saat ini, Bandcamp adalah platform paling terkenal yang memungkinkan konsumsi musik digital berbasis kepemilikan. Ini dimulai sebagai bentuk perintis konsumsi musik digital. Namun, kategori kedua yang tumbuh pada akhir 2000-an telah mengambil alih pasar musik digital, yang didefinisikan sebagai konsumsi berbasis akses. Platform ini memungkinkan konsumen membayar biaya berlangganan untuk mendapatkan akses ke perpustakaan musik online. Dengan cara ini, konsumen tidak memiliki kepemilikan atas musik, yang juga dikenal sebagai konsumsi berbasis akses (Lee et al., 2020). Perusahaan terbesar yang menawarkan layanan ini adalah Spotify dan Apple.
Konsumsi musik telah berkembang dan mengambil banyak bentuk. Sebelum musik mengambil bentuk fisik apa pun, musik hanya dapat dinikmati melalui pertunjukan langsung. Pada abad ke-20 bentuk fisik musik mengambil alih industri, dan cara paling umum untuk mengkonsumsi musik adalah melalui berbagai platform digital online yang, seperti disebutkan sebelumnya, memiliki dua jenis kategori. Sebagai perbandingan, pada 2017 pendapatan Bandcamp adalah US$318 Juta (Diamond, 2018), dibandingkan Spotify yang menutup tahun dengan pendapatan US$4,9 Miliar. Perbedaan pendapatan sangat mengejutkan. Orang mungkin mempertanyakan alasan di balik perbedaan pendapatan tersebut. Meskipun sangat besar, konsumsi musik digital adalah industri yang relatif baru. Oleh karena itu, tidak ada banyak penelitian seputar dimensi dalam industri. Perbedaan antara pendapatan Bandcamp dan Spotify mungkin disebabkan oleh motivasi niat beli terhadap berbagai bentuk konsumsi musik digital. Tesis ini diharapkan dapat mengisi kesenjangan pengetahuan dalam industri. Untuk itu, tesis ini akan melakukan penelitian yang akan membedah berbagai aspek yang mempengaruhi konsumsi dalam musik digital.
Fenomena ini terjadi di seluruh dunia, dan di Indonesia ada beberapa entitas yang berupaya keras untuk berkiprah di industri musik digital, salah satunya adalah The Store Front. Sebuah website berbasis di Jakarta yang berfokus pada konsumsi musik digital berbasis kepemilikan. The Store Front merupakan platform terdepan di Indonesia yang menyediakan layanan ini bagi konsumen (Singh, 2021). Penciptaan Store Front juga dilatarbelakangi oleh dorongan untuk mendukung musisi independen dari Indonesia dan negara tetangga lainnya. Arahan utama situs web ini adalah untuk menyediakan platform bagi musisi independen dan label rekaman dan membantu mereka mendistribusikan musik mereka secara digital dan fisik dalam skala besar, di mana artis kemudian akan menerima 90% dari pendapatan. Tidak seperti perusahaan besar yang menyediakan layanan streaming, di mana metode share mereka dikritik oleh komunitas musik. Sebagai sebuah entitas, The Store Front dapat didefinisikan sebagai toko musik online sederhana, tetapi bagi musisi lokal, ini adalah platform di mana musik dibagikan secara adil dan legal. Dengan lahirnya The Store Front, hadir pasar baru bagi konsumen untuk membeli musik, dan dengan itu muncul pula perilaku baru dalam mengonsumsi musik digital untuk pasar Indonesia.
Alasan penulis memilih topik ini karena penulis melihat hal ini sebagai fenomena baru di Indonesia yang memiliki potensi pertumbuhan, baik bagi industri musik maupun bagi perekonomian. Dengan munculnya platform musik digital berbasis kepemilikan, pasar kini memiliki platform baru untuk mengakses musik, di mana mereka juga dapat secara langsung mendukung para musisi. Pendekatan ini telah menarik banyak musisi dan penggemar, untuk terus mendukung musisi lokal secara langsung daripada menggunakan platform musik digital berbasis akses yang, seperti yang telah dibahas sebelumnya, telah dikritik karena skema keuntungannya. Dengan fenomena baru muncul perilaku konsumen baru (Chandel et al., 2016). Dengan memahami perilaku konsumen, proses dimana konsumen membeli dan menggunakan barang dan jasa untuk memuaskan keinginan, keinginan, dan kebutuhan (Chandel et al., 2016), melalui niat beli dan bagaimana nilai yang dirasakan berpengaruh terhadapnya. Untuk lebih memahami fenomena platform musik berbasis kepemilikan pada perilaku konsumennya, variabel-variabel yang secara teori berpengaruh pada nilai nilai yang dirasakan yaitu kenikmatan yang dirasakan, manfaat yang dirasakan, teknis dan biaya yang dirasakan dapat dipelajari dengan cermat dengan mengkorelasikan setiap nilai variabel. pengukuran dan penerapannya pada perilaku konsumen dalam mengkonsumsi musik online (Wang et al., 2013). Ini karena keputusan pembelian konsumen didasarkan pada beberapa faktor yang, dalam banyak kasus, menyangkut evaluasi konsumen atas kepuasan yang akan mereka terima dengan membeli barang tertentu. Evaluasi tentang bagaimana hal itu dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka, melalui layanan yang diberikan secara efisien dan seberapa mudah bagi mereka untuk mencapai barang-barang tertentu. Karena penulis menggunakan toko musik online sebagai subjek utamanya, penting untuk diingat bahwa penelitian harus dilakukan dengan sudut pandang toko musik online untuk lebih memahami bagaimana berbagai aspek yang ditemukan pada toko online pada akhirnya dapat menjadi perhatian konsumen. keputusan untuk membeli di toko tersebut. Dengan memahami bagaimana masing-masing variabel dapat mendefinisikan nilai kepuasan yang berbeda bagi konsumen penulis berharap dapat memberikan data dan saran yang dapat lebih mengembangkan pertumbuhan musik digitalnya di Indonesia.

Ever since the beginning of time, it is within the nature of human beings to find entertainment that stimulates the human sensory system to fill their everyday lives. One of the most common forms of entertainment is one that stimulates the hearing pleasure. There are numerous records that prove the existence of music since early human civilization, even dating back to the Sumerian society (c. 4500 – c. 1900 BC) (Farmer, H., 1939). This demonstrates that music is a salient part of life. In the modern world, some of the most famous individuals are from the music industry, further evincing how big the industry is. With the development of technology, comes the development of the medium through which music is enjoyed. The late 19th century saw the first manifestation of music in a physical form with the birth of vinyl (Osborne, 2012). Since then the physical form of music has evolved into various types of mediums. Vinyl peaked in the 1950s, cassette tapes were introduced in the 1960s , and CDs took over the physical music market in the 1990s. Come the new millennium and the mass digitalization of consumer goods, a new medium for music consumption was also introduced. Napster was the first platform that allowed consumers to download music to their personal computers (Lee et al., 2020), pioneering the digitalization of music . Pertaining to that, a wave of development within digital music followed which led to online streaming services as the most efficient way to consume music today (Aguiar, 2017). As of 2017 the digital music industry’s revenue is US$17.10 Billion (Brand Essence Market Research, 2021).
There are several ways in which digital music can be consumed. One of the parameters in categorizing digital music consumption is ownership. There are platforms that allow for ownership of digital music through downloadable content, this can be considered as ownership-based consumption. Companies like Napster provide this service. Nowadays, Bandcamp is the most renowned platform that allows for ownership- based digital music consumption. This started out as the pioneering form of digital music consumption. However, the second category that sprouted in late 2000s has taken over the digital music market, defined as access-based consumption. These platforms allow consumers to pay a subscription fee in order to gain access to an online music library. This way, consumers do not have ownership over the music, also known as access-based consumption(Lee et al., 2020). The biggest companies that offer this service are Spotify and Apple.
Music consumption has evolved and taken many forms. Before music took any physical form it could only be enjoyed through live performances. In the 20th century the physical form of music took over the industry, and the most common way to consume music is through various online digital platforms that, as mentioned before, have two types of categories. For comparison, in 2017 Bandcamp’s revenue was US$318 Million (Diamond, 2018), compared to Spotify who closed the year with a revenue of US$4.9 Billion. The difference in revenue is astounding. One might question the reason behind such difference in revenue. Albeit gigantic, digital music consumption is a relatively new industry. Hence, there is not an abundance of research surrounding the dimensions within the industry. The difference between Bandcamp and Spotify’s revenues might be attributable to the motivation of purchase intention towards the different forms of digital music consumption. This thesis hopes to fill in the gaps of knowledge within the industry. In doing so, this thesis will conduct a research that will dissect the various aspects affecting the consumption in digital music.
This phenomenon is happening worldwide, and in Indonesia there are several entities that has made great efforts to take part in the digital music industry, one of which is The Store Front. A website based in Jakarta that focuses on ownership-based digital music consumption. The Store Front is the leading platform in Indonesia that provides this service for consumers (Singh, 2021). The Store Front’s creation is also motivated by the urge to support independent musicians from Indonesia and other neighbouring countries. The website’s prime directive is to provide a platform for independent musicians and record labels and help them distribute their music digitally and physically on a large scale, where the artist will then receive 90% of the revenue. Unlike large companies that provide streaming services, where their share method has been criticized by the music community. As an entity, The Store Front can be defined as a simple online music store, but for local musicians alike, it is a platform where music is shared fairly and legally. With the birth of The Store Front, comes a new marketplace for consumers to purchase music, and with that comes a new behaviour towards consuming digital music for the Indonesian market.
The reason the author chose this topic is because the author sees this as a new phenomenon in Indonesia that has potential growth, both for the music industry and for the economy. With the rise of ownership-based digital music platforms the market now has a new platform to access music, where they can directly support the musicians as well. This approach has attracted many musicians and fans alike, to keep supporting local musicians directly instead of using access-based digital music platforms that, as discussed before, has been criticised for its profit schematics. With a new phenomenon comes a new consumer behaviour (Chandel et al., 2016). By understanding the consumer behaviour, the process of which consumers purchases and use goods and services to satisfy desires, wants, and needs (Chandel et al., 2016), through purchase intention and how perceived value has an effect on it. To better understand the phenomenon of ownership-based music platforms on its consumers behaviour, variables that on theory have an effect on the value of perceived value which are perceived enjoyment, perceived usefulness, technicality and perceived fee can be studied carefully by correlating each variables value of measurement and applying it to the consumers behaviour on consuming online music (Wang et al., 2013). This is because a consumer’s’ purchase decision is based on several factors which, on most cases, concerns the consumer’s evaluation on the satisfaction they will receive by purchasing a specific good. An evaluation on how it can satisfy their needs and wants, through efficient services provided and how easily it is for them to attain specific goods. As the author uses an online music store as its main subject, it is important to remember that the research must be done with the point of view of the online music store to better understand how different aspects found on an online store can ultimately be a consumer’s decision to purchase on said store. By understanding the how each variable can define different values of satisfaction for consumer’s the author hopes to provide data and suggestion that could further develop the growth of digital music her in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clara Puspita Ningrum
"Perkembangan dunia esports (electronic sports) atau olahraga elektronik dalam skema kompetitif sangatlah pesat. Jumlah penonton esports mencapai 397,8 juta di tahun 2019 lalu dan diperkirakan akan mencapai 577,2 juta di tahun 2024 mendatang. Jumlah penghasilan para atlit esports mencapai 1,5 miliar USD dari sponsor dan hadiah kompetisi profesional. Pasar global esports diperkirakan akan mencapai 2,89 miliar USD pada tahun 2025. Banyak para atlit yang menjadikan esports sebagai pekerjaan utama mereka. Para atlit tersebut berlatih selama 3 hingga 8 jam dalam sehari demi meningkatkan performa saat bertanding di kompetisi profesional. Potensi risiko kerja yang dialami altit esports tersebut hampir sama dengan risiko kerja yang dialami oleh atlit olahraga. Risiko yang dialami termasuk risiko muskuloskeletal, ergonomis, biologis dan psikososial. Penulis bermaksud untuk merancang fasilitas yang ergonomis yang dapat digunakan oleh para atlit esports untuk mendukung mereka dalam melakukan latihan berdasarkan pendekatan ergonomi. Perancangan fasilitas ini disesuaikan dengan postur kerja dan antropometri atlit esports di Indonesia. Fasilitas pendukung yang dirancang berupa kursi gaming ergonomis yang dapat digunakan oleh para atlit mobile esports yang ada di Indonesia. Fasilitas ini dapat membantu memperbaiki postur kerja dari para atlit mobile esports sehingga mengurangi risiko terjadinya gangguan muskuloskeletal.

The development of the world of esports (electronic sports) in a competitive scheme is very rapid. The number of esports viewers reached 397.8 million in 2019 and is expected to reach 577.2 million in 2024. The total income of esports athletes reaches 1.5 billion USD from sponsorships and professional competition prizes. The global esports market is expected to reach 2.89 billion USD by 2025. Many athletes make esports their main job. The athletes train for 3 to 8 hours a day to improve their performance when competing in professional competitions. The potential work risk experienced by esports athletes is almost the same as the work risk experienced by sports athletes. Risks include musculoskeletal, ergonomic, biological and psychosocial risks. The author intends to design ergonomic facilities that can be used by esports athletes to support them in performing exercises based on ergonomic approaches. The design of this facility is adjusted to the working posture and anthropometry of esports athletes in Indonesia. Supporting facilities designed in the form of ergonomic gaming chairs that can be used by mobile esports athletes in Indonesia. This facility can help improve the working posture of mobile esports athletes so as to reduce the risk of musculoskeletal disorders."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitepu, Ferry Novary
"Sepakbola adalah olahraga yang paling populer di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya. Pada awalnya sepakbola mulai berkembang di Inggris dengan peraturan yang sederhana, sejak tanggal 26 Oktober 1863 dengan dibentuknya Football Ascotiation (FA) dibuatlah peraturan-peraturan permainan yang selalu diperbaiki dari tahun ke tahun agar permainan ini lebih menarik dan mengasyikan untuk pare pemain maupun penontonnya. Peraturan-peraturan yang dibuat semakin ditambah tahun demi tahun seperti tentang jumlah pemain yang dibatasi untuk setiap tim yang berada di lapangan hanya sebelas orang. Pakaian pada saat bermain harus memakai celana pendek, tidak diperkenankan menghentikan bola dengan tangan kecuali penjaga gawang. Wasit dibantu oleh dua orang penjaga garis, bentuk dan ukuran gawang yang telah ditentukan secara baku.
Kemudian pada tahun 1904 dibentuklah organisasi sepakbola Federation International Football Amateur ( FIFA ) yang tetap dipertahankan sampai sekarang, dimana organisasi ini juga melakukan perbaikan-perbaikan peraturan-peraturan permainan seperti perpanjangan waktu, peraturan offside, dibuat aturan ukuran daerah penalti, beserta aturan-aturan saat pelaksaan tendangan penalti seperti seorang penjaga gawang tidak boleh bergerak sebelum bola ditendang oleh eksekutor, diijinkan adanya pergantian untuk pemain yang cedera (Bauer.G 1993).
Perkembangan sepakbola di Indonesia ditandai dengan lahirnya perkumpulan-perkumpulan sepakbola seperti: Indonesia Muda di Solo, PSIM Mataram di Jogja, VIJ di Jakarta, Persis Solo dll, yang awalnya diutamakan sebagai alat perjuangan. Setelah itu diadakan konggres yang bermaksud membentuk wadah persatuan sepakbola nasional pada 30 April 1930 yang dinamakan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia ( PSS1).
Sepakbola merupakan cabang olahraga yang dipertandingkan di Pekan Olahraga Nasional I (PON) di Surakarta, Selanjutnya PSSI banyak menyelenggarakan kompetisi-kompetisi bersifat nasional maupun yang berskala Internasional. Perkembangan sebakbola di Indonesia begitu pesatnya dan begitu diminati, sehingga olahraga ini menjadi olahranga rnasyarakat baik di desa maupun di kota, baik tua maupun muda.
Sepakbola menjadi begitu populer dan menjadi olahraga masyarakat Indonesia namun demikian untuk urusan prestasi Indonesia belum pemah menjadi juara untuk tingkat Asia. Apalagi bila dibandingkan dengan Korea, Jepang, Kuwait, Arab Saudi , Iran maupun RRC prestasi Tim sepakbola Indonesia masih tertinggal. Bahkan di tingkat regional Asia Tenggarapun prestasi tim sepakbola Indonesia belum begitu membanggakan. Kurang berhasilnya tim sepakbola Indonesia kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya kurang optimalnya pembinaan fisik dan teknis terhadap para pemain, kurangnya pembibitan dari sekolah formal, minimnya pembinaan psikis dan spiritual pemain, dan masih banyak penyebab yang lain.
Sepakbola merupakan permainan tim, setiap tim berjumlah sebelas pemain, sehingga tim sepakbola disebut jugs dengan kesebelasan. Dalam setiap kesebelasan pemain dibagi dalam beberapa lini, setiap lini lapangan pemain mendapat tugas yang berbeda seperti penjaga gawang, pemain belakang, pemain tengah, dan pemain depan atau penyerang. (Coerver, 1985).
Sebagai permainan tim, kehebatan suatu tim sepakbola sangat ditentukan oleh kemampuan individual anggota tim, apabila kemampuan individual pemain bagus maka permainan tim akan bagus pula. Kemampuan individual pemain akan dikatakan bagus bila masing-masing pemain mempunyai stamina yang prima, kemampuan teknis bermain bola yang bagus, dan kemampunan pemain dalam mengelola emosi serta mentalitasnya.
Untuk membentuk pemain sepakbola yang mempunyai stamina prima, langkah yang paling tepat adalah dengan melatih fisik pemain dengan sistem pembinaan fisik yang baik dan pemberian gizi yang cukup. Sedang untuk membentuk pemain yang mempunyai kemampuan teknis yang baik dalam bermain sepak bola, perlu adanya latihan teknis bermain bola yang terarah dengan mendatangkan pelatih yang berkualitas.
Pelatih yang berkualitas diharapkan mampu melatih kemampuan pemain dalam menendang bola sehingga pemain dapat menendang bola dengan akurasi passing yang tepat. Karena akurasi passing dalam permainan sepakbola memegang peran utama dalam pertandingan sepakbola. Coever (1985) berpendapat bahwa ketepatan menendang bola pada sasaran, baik dekat maupun jauh digunakan dalam mengoper bola pada teman dalam satu regu, mengumpan maupun menendang ke gawang."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagas Brahmantyo
"ABSTRACT
Olahraga Sepak Bola merupakan olahraga nomor satu di dunia dalam hal popularitas maupun dalam hal pengembangan teknologi. Popularitas dan perkembangan pesatnya mengubah sepak bola menjadi sebuah industri besar, di mana kemenangan merupakan tujuan paling penting dalam olahraga tersebut. Persaingan yang ketat membuat semua tim ingin meraih kemenangan. Kompetisi sepak bola kini telah menyentuh tingkat amatir yang bertujuan untuk mencari bakat-bakat terpendam dalam permainan sepak bola. Oleh karena itu, investasi untuk penelitian di bidang sains dan teknologi di perdalam dalam mendukung kebutuhan untuk mencari strategi dalam meningkatkan performa atlet sepak bola amatir demi meraih hasil tersebut. Beberapa adaptasi perubahan pada sepak bola terjadi seiring berkembangnya teknologi, perubahan jenis lapangan, jenis pelatihan hingga jenis peralatan. Perubahan-perubahan ini digunakan para pelatih dan analis dalam dunia persepakbolaan untuk mencari celah pengembangan performa dari pemain sepak bola yang ada. Salah satu perubahan yang paling terlihat adalah banyaknya sepatu sepak bola dengan jenis desain yang berbeda, dari jenis desain permukaan hingga jenis desain pul sepatu. Sepatu sepak bola dianggap alat yang paling berperan penting dalam kinerja atlet selama pelatihan dan pertandingan. Dengan meningkatnya jumlah desain model yang tersedia di pasar, peninjauan pengaruh interaksi sepatu sepak bola berjenis pul yang berbeda pada kinerja atlet menjadi hal yang penting. Peninjauan ini ditujukan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi jenis sepatu bola yang paling baik menanggapi kebutuhan tim yang didasari oleh posisi yang berbeda-beda dalam peningkatan kinerja atlet sepak bola amatir. Dalam penelitian kali ini digunakan analisis performa dengan tahapan yang didasari oleh ergonomi dalam berolahraga dan penilaian performa oleh pelatih, hasil yang didapatkan adalah bentuk rekomendasi jenis sepatu yang paling sesuai digunakan di lapangan sintetis Stadion Universitas Indonesia bagi pemain sepak bola amatir, lalu rekomendasi jenis sepatu sepak bola yang paling sesuai per posisi dan analisis lanjutan mengenai Key Performance Index yang diberikan oleh pelatih.

ABSTRACT
Football is the world 39 s number one sport in terms of popularity and technology development. Football Culture and rapid development are making Football to be global industry in the world. Football competition is encouraging to make all the teams want to win. The football competition has now produced an amateur level that aims to find the hidden talents in the game of football. Therefore, investing for research in technology and environment in support of need to find the best performance in amateur football for the results of the test. Some adjustments have been made with emerging technologies, both for the type of work, the type of training to the type of equipment. These changes will be use by coaches and analysts in the world of football to look for loopholes from the existing soccer performance. One of the most visible change is the shoes with different design types. Football shoes are the most useful tool for training athletes during training and matches. By the increasing design models available on the market, this research becomes one of urgent research that people needs. The invention is used to identify and evaluate what different teams need in different positions. In the present study, the performance principles undertaken by ergonomics in sports and performance by trainers, the results obtained are the most appropriate forms of shoes that used well in the field of synthetic grass. The research will be given the analysis of shoes per level and position, and will be check by the Key Performance Index provided by the trainer."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>