Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166428 dokumen yang sesuai dengan query
cover
RR. Tut Wuri Andajani
"Gen Osteokalsin merupakan gen kandidat terjadinya osteoporosis.. Polimorfisme pada gen tersebut menyebabkan densitas tulang menurun. Densitas tulang juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik dan asupan makanan. Faktor-faktor tersebut untuk mendapatkan model prediksi tulang sehingga dapat dilakukan pencegahan. Dengan demikian dilakukan pengukuran densitas tulang, pemeriksaan biokimia darah serta polimorfisme gen osteokalsin digunakan enzim HindIII dengan teknik PCR-RFLP. Diperoleh rataan usia 67,21±9,1; IMT 22,14±4,08; fosfat alkalin 87,26±25; kalsium 8,9±0,82; estradiol 24,8±11,7; osteokalsin 1,75±0,83; mempunyai T-score ≤ - 2,5 dengan varian TT (64,3%) diikuti varian CC (60,6%) dan CT (50%) sehingga diperoleh model yang dapat memprediksi derajat keparahan tulang.

The aim of the research to obtain a model that uses the genetic factors, the environment and nutrient to predict bone density and risk of osteoporotic fracture. Bone mineral density and biochemical markers were determined, as well as the C298T polymorphism status of osteocalcin gene using PCR-RFLP. The subjects had a mean age of 67.2±9.1 years. ; BMD 22.14±4.08; phosphate alkaline 87.26±25; calcium 8.9 ±0.82; estradiol 24.8±11.7; osteocalcin 1.75±0.83; the C298T polymorphic genotypes showed TT (64.3%) CC (60.6 %) and a CT (50%) determine in T-score≤ -2,5. We identified a model of age and the level osteocalcin that can predict severity of bone density."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Rachma Gullianne
"Tujuan: Mengetahui hubungan antara polimorfisme gen Myosin 1H dan P561T dengan pertumbuhan dan perkembangan mandibula pada kasus maloklusi kelas I, II dan III. Metode penelitian: Subjek merupakan pasien dengan dengan kasus maloklusi skeletal kelas I, II dan III berusia 17 - 45 tahun yang sedang dan akan melakukan perawatan ortodonti di klinik ortodonti RSGM-FKGUI, yaitu 50 orang dengan maloklusi skeletal kelas I sebagai kontrol, 50 orang dengan maloklusi skeletal kelas II dan 50 orang dengan maloklusi skeletal kelas III. Penentuan maloklusi kelas I, II dan III berdasarkan analisis radiografis sefalometri awal dengan metode Stainer. Sampel DNA diekstraksi dari potongan kuku dan folikel rambut pada kasus maloklusi skeletal kelas III dan menggunakan sampel yang sudah diekstraksi dari usapan bukal dan sel darah pada pada kasus maloklusi skeletal kelas I dan II. Amplifikasi sekuens DNA dilakukan dengan menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction). Analisis Polimorfisme Genetik gen Myosin 1H dan P561T dengan teknik RLFP (Restriction Fragment Length Polymorphism). Pearson Chi-Square dilakukan untuk menganalisis hubungan antara polimorfisme dan pengukuran kraniofasial pada gen Myosin 1H dan Fisher Exact Test untuk menganalisis hubungan antara polimorfisme dan pengukuran kraniofasial pada gen P561T. Hasil: Terdapat hubungan polimorfisme gen Myosin 1H dengan maloklusi skeletal kelas I, II dan III. Tidak terdapat hubungan polimorfisme gen P561T dengan maloklusi skeletal kelas I, II dan III. Kesimpulan: Polimorfisme gen Myosin 1H merupakan salah satu faktor resiko dari maloklusi kelas I, kelas II dan kelas III. Ekstraksi DNA dari folikel rambut memberikan hasil yang cukup baik dalam hal kualitas DNA dan cara pengambilan sampel yang relatif lebih mudah dibandingkan purifikasi sel darah dan usapan bukal.

Objectives: To determine the relationship between polymorphisms of Myosin 1H and P561T genes and the growth and development of the mandible in Class I, II, and III malocclusion cases. Methods: Subjects were patients aged 17-45 years old with Class I, II, and III skeletal malocclusion cases who were undergoing and/ or would undergo orthodontic treatment at the orthodontic clinic at RSGM-FKG UI, namely 50 people with Class I skeletal malocclusion, 50 people with Class II skeletal malocclusion, and 50 people with Class III skeletal malocclusion. Class I skeletal malocclusion was used as control group. Class I, II and III malocclusion were determined based on radiographic analysis of the initial cephalometry using the Stainer method. DNA samples were extracted from buccal swabs and blood cells in Class I and II malocclusion while nail clippings and hair follicles extracts were used in Class III malocclusion. DNA sequence amplification was carried out using the PCR (Polymerase Chain Reaction), while Genetic Polymorphism Analysis of Myosin 1H and P561T genes was performed with RLFP (Restriction Fragment Length Polymorphism). Pearson Chi-Square was used to analyze the relationship between polymorphism and craniofacial measurements in the Myosin 1H gene, while the Fisher Exact Test was used to analyze the relationship between polymorphism and craniofacial measurements in the P561T gene. Results: There is a relationship between Myosin 1H gene polymorphism and Class I, II, and III skeletal malocclusion. There was no correlation between P561T gene polymorphism and Class I, II, and III skeletal malocclusion. Conclusions: Myosin 1H gene polymorphism is one of the risk factors for Class I, II, and III malocclusion. Extraction of DNA from hair follicles gave good results in terms of DNA quality and was a relatively easier sampling method compared to blood cell purification and buccal swabs."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ninis Yekti Wulandari
"Pendahuluan: Alpha-actinin-3 (ACTN3) merupakan protein pengikat aktin yang mempengaruhi kinerja otot serta proporsi jenis serat otot. Secara spesifik, ACTN3 bertindak sebagai isoform spesifik dari protein fast twitch yang hanya diekspresikan pada serat otot tipe II dan merupakan bagian dari alat kontraktil serat glikolitik pada otot rangka manusia, termasuk otot mastikasi. Penelitian terdahulu telah menghubungkan antara jenis serat otot ke dalam perkembangan kraniofasial yang dapat menyebabkan terjadinya maloklusi. Tujuan: Mengetahui korelasi antara polimorfisme gen ACTN3 R557X dan Q523R terhadap pola skeletal pada sub-populasi Indonesia. Metode: Subyek merupakan pasien dengan maloklusi skeletal kelas I, II dan III yang menjalani perawatan ortodontik di RS Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Amplifikasi sekuens DNA dilakukan pada folikel rambut pasien dengan menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR), sedangkan analisis polimorfisme genetik gen ACTN3 dilakukan dengan Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP). Pola skeletal ditentukan berdasarkan analisis radiografi sefalometri awal menggunakan sudut ANB (Anteroposterior), Facial axis dan Sudut Gonion (Vertikal). Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara polimorfisme gen ACTN3 R557X dan Q523R dengan maloklusi skeletal kelas I, II, dan III, pertumbuhan vertikal wajah serta arah pertumbuhan 1/3 muka bawah. Namun ditemukan bahwa ACTN3 R557X dan Q523R pada sub-populasi Indonesia mengalami linkage disequilibrium.

Background: The protein alpha-actinin-3 (ACTN3) is an actin-binding protein that influences muscle performance and the proportion of muscle fiber types. Moreover, it also acts as a specific isoform of fast twitch protein that is only expressed in type II muscle fibers and forms part of the contractile apparatus of fast glycolytic fibers in human skeletal muscle, including masticatory muscle. Previous study has incorporated muscle fiber type to craniofacial development that may lead to malocclusion. Aim: To determine the correlation between polymorphisms of ACTN3 R557X and Q523R gene on skeletal patterns in Indonesian Sub-Populations. Methods:  Subjects were patients with class I, II and III skeletal malocclusion undergoing orthodontic treatment at the Faculty of Dentistry Hospital, University of Indonesia. DNA sequence amplification was carried out on the patient's hair follicles using Polymerase Chain Reaction (PCR), while genetic polymorphism analysis of the ACTN3 gene was carried out using Restriction Fragment length Polymorphism (RFLP). The skeletal pattern was determined by initial cephalometric radiographic analysis using the ANB angle (Anteroposterior), Facial axis and Gonion angle (Vertical). Conclusion: There is no correlation between the ACTN3 R557X and Q523R gene polymorphisms with skeletal malocclusion class I, II, and III, vertical facial growth and growth direction of the lower third of the face. However, it is found that ACTN3 R557X and Q523R in the Indonesian sub-population experience linkage disequilibrium."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Krisna Bayu
"Aktifitas dan metabolisme selular yang terjadi pada tubuh manusia
menibutuhkan energi yang sebagian besar berasal dari senyawa ATP.
Senyawa ATP disintesis dari senyawa ADP dan Pi melalui reaksi enzimatik
fosforilasi oksidatif (Oxidative phosphorylation; OXPHOS) dalam mitokondria.
Selanjutnya ATP yang dibutuhkan oleh sel, ditranslokasikan dari dalam
rnatriks mitokondria dengan ADP dari sitosol oleh protein Adenine nucleotide
translocator (ANT) yang banyak terdapat di membran bagian dalam
I
mitokondria. Dengan demikian; protein ANT sangat berperan dalam proses
produksi dan penggunaan ATP. Sejak lama telah diketahui bahwa adanya
polimorfisme atau variasi perbedaan sekuens DNA dari suatu gen dapat
mengubah fungsi protein. Polimorfisme dapa~ mempengaruhi Qengaturan
ekspresi dan sifat biokimia protein yang disandi oleh gen tersebut, yang
mung kin juga berkaitan dengan keadaan.patologis tertentu atau resisten
terhadap penyakit tertentu. Jika terjadi perubahan sekuens DNA dari gen
penyandi ANT yang dapat rnengubah struktur ANT, maka keadaan ini
mungkin dapat menyebabkan keadaan patologis tertentu. Analisis deteksi
polimorfisrne yang dilakukan di Laboratorium Lembaga Biologi Molekuler
Eijkman, dengan rnenggunakan metode PCR-RFLP (Polymerase chain
reaction-Restriction fragment length polymorphism) untuk mendeteksi
polimorfisme G332T (transisi basa guanin menjadi timin pada nukleotida
ke-332) sekuens ANT2 ekson 2 yang rnenyebabkan perubahan arginin menjadi leusin pada residu asam amino ke-111 (R111L) pada populasi Batak
Toba dan Mandar. Dari hasil analisis menunjukkan adanya distribusi untuk
varian 332G maupun 332T dengan persentase berturut-turut sebesar 76,6%,
23,4%, dan·s3,9%, 36,1 %. Adanya perbedaan bermakna distribusi varian
G332T pada kedua populasi tersebut dapat dijadikan sebagai referensi bagi
tingkat kerentanan (predisposisi) rnaupun ketaharian (resistensi) terhadap
penyakit yang berasosiasi dengan polirnorfisrne tersebut. Dengan metode
yang sama juga dilakukan deteksi polirnorfisme G332T sekuens ANT2
ekson 2 pada anggota keluarga Leber's hereditary opt~c neuropathy (LHON)
pembawa mutasi patologis mtDNA G11778A dengan dan tanpa manifestasi
klinik. Penyakit LHON ini memiliki karakteristik yang sangat unik dengan
tingkat keparahan manifestasi klinik yang berbeda-beda pada berbagai
anggota keluarga LHON pembawa mutasi mtDNA G 11778A dan
penderitanya banyak terdapat pada laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan
adanya faktor pengubah ekspresi di DNA inti (nuclear modifier), yang
mungkin terdapat pada romosom X. Varian R1 ~ 1 L yang terbentuk dari
polimorfisme G332T sekuens ANT2 ekson 2 yang disandi oleh gen yang
terdapat pada krornosom X, diduga sebagai nuclear modifier yang berperan
memicu timbulnya manifestasi neuropati optik pada anggota keluarga LHON.
Tetapi dari hasil penelitian ini, nampaknya varian 111 L rnerupakan faktor ·
.
yang bersifat melindungi dari manifestasi klinik da~ varian 11_1 R rnerupakan
faktor yang memicu timbulnya manifestasi klinik pada anggota keluarga
LHON "
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2003
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stefani Dewi Widyawati
"Latar Belakang: PRF adalah trombosit generasi kedua yang digunakan untuk mempercepat penyembuhan jaringan lunak dan keras dan merupakan matriks fibrin alami yang mengandung platelet dan leukosit sitokin. Pemberian growth Factor yang cukup lama (TGF β1) dari penambahan PRF pada DPBB dapat mengakibatkan peningkatan regenerasi tulang dibandingkan dengan pemberian DPBB saja. Tujuan: mengevaluasi pengaruh platelet rich fibrin dalam meningkatkan regenerasi tulang yang dilihat melalui konsentrasi TGF β1 dan osteocalcin. Metode: autologous PRF dibuat dengan menggunakan 10 ml darah yang dikumpulkan dari regio antecubital dari relawan. Sampel darah diperlakukan sesuai dengan protokol PRF (Dohan et all.2006). Bekuan fibrin di tengah tabung digunakan sebagai tambahan untuk bahan bone graft (DPBB). Kelompok-kelompok ini sampel PRF diinkubasi pada suhu 370C dan 5% CO2 selama 1 hari, 5 hari dan 7 hari. Semua sampel dipanen pada waktu yang tepat dan disimpan lalu diperiksa Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) analisis untuk TGF β1 tingkat dan tingkat ostecalcin. Hasil: terdapat perbedaan bermakna dari PRF + DPBB dibandingkan dengan DPBB di hari 1, dari PRF dibandingkan dengan kontrol pada hari 5, dari PRF + DPBB dibandingkan dengan kontrol pada hari ke 7, dan dari DPBB dibandingkan dengan kontrol pada hari ke 7 (p <. 05). Terdapat perbedaan bermakna dari PRF + DPBB dibandingkan dengan kontrol pada hari ke 1,5 dan 7, dari DPBB dibandingkan dengan kontrol pada hari 1,5, dan 7, dan dari PRF membandingkan toPRF + DPBB dan DPBB (p <.05). Kesimpulan: Penambahan PRF atau PRF + DPBB dalam kultur osteoblas dapat meningkatkan konsentrasi TGF β1 dan osteokalsin, yang dimulai 1 hari ke hari 7

Background: PRF is a second generation platelet used to accelerate soft and hard tissue healing and is a strictctly autologous fibrin matrix containing a large quantitiy of platelet and leukocyte cytokines. Given prolonged growth factor (TGF β1) from PRF treatment in DPBB might result in increasing bone regeneration compare to those treated with DPBB. Purpose: evaluate the influence of platelet rich fibrin in enhancing natural bone regeneration through the levels of TGF β1 and osteocalcin. Method: Autologous PRF was prepared by using 10 ml of autologous whole blood collected from the antecubital regio of a volunteers. Blood samples were treated according to the PRF protocol (Dohan et all.2006). A fibrin clot in the middle of tube was used as an adjunct to grafting material (DPBB). These groups of PRF samples were incubated at 370C and 5%CO2 for 1 day, 5 days and 7 days. All sample were harvested at the appropriate time and and stored for later Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay (ELISA) analysis for TGF β1 level and osteocalcin level. Result: There are significantly differents from PRF+DPBB compare to DPBB at day 1, from PRF compare to control at days 5, from PRF+DPBB compare to control at day 7, and from DPBB compare to control at days 7 (p<.05). There are significantly differents from PRF+DPBB compare to control at day 1,5 and 7, from DPBB compare to control at days 1,5,and 7, and from PRF compare toPRF+DPBB and DPBB (p<.05). Conclusion: Addition PRF or PRF + DPBB in cultured osteoblasts can increase the concentration of TGF β1 and osteocalcin, which began 1 day to day 7"
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ray Sugianto
"Mencegah terjadinya massa tulang puncak rendah merupakan salah satu dari sekian banyak strategi pencegahan osteoporosis. Suatu penelitian yang melibatkan 25 kasus dengan massa tulang puncak rendah dan 25 kontrol telah dilakukan untuk meneliti faktor risiko yang memengaruhi kejadian tersebut. Kelompok kasus memiliki indeks riwayat kalsium (IRK) yang lebih rendah dibanding kontrol (median 160 (1−2361) vs 965 (19−3185), p =0,001). Seseorang dengan nilai IRK<1000 memiliki risiko lebih tinggi mengalami massa tulang puncak rendah dibanding IRK lebih tinggi (odds ratio10,61, 95% CI: 2,05; 54,95). Riwayat konsumsi teh atau kopi, serta data komposisi tubuh dan aktivitas fisik saat penelitian bukan merupakan faktor risiko. Sehingga, penghitungan IRK dengan nilai batas 300 dan 1000 dapat digunakan untuk mengidentifikasi perempuan yang lebih berisiko dan modifikasi kebiasaan hidup dapat disarankan lebih dini.

Preventing the occurrence of low peak bone mass is one of the many strategies of osteoporosis prevention. A study involving 25 cases with low peak bone mass and 25 controls was conducted to examine the risk factors of low peak bone mass. The cases had a lower historical calcium index (HCI) compared to controls (median of 160 (1-2361) vs. 965 (19-3185), p =0.001). Someone with HCI <1000 had risk of having low peak bone mass compared to those with higher HCI (odds ratio 10.61, 95% CI: 2.05; 54.95), and some with HCI <300 had a higher risk. History of tea or coffee consumption, as well as body composition and physical activity acquired during the study were not known as risk factors. Therefore, HCI calculations with cut-off of 300 and 1000 can be used to identify those at risk and earlier lifestyle modifications should be recommended.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Osteoporosis merupakan penyakit gangguan metabolik tulang yang ditandai dengan penurunan massa tulang, meningkatnya kerapuhan tulang, dan meningkatnya resiko terjadi fraktur. Di dunia, khususnya di Indonesia angka penderita maupun yang beresiko terserang osteoporosis dini cukup tinggi. Tingginya angka tersebut disebabkan oleh perubahan gaya hidup yang makin tidak sehat. Pola hidup yang diterapkan seseorang berawal dari pengetahuan yang dimiliki, karena pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk perilaku seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan motivasi mahasiswi S-1 regular Universitas Indonesia untuk melakukan olahraga dan mengkonsumsi susu secara adekuat sebagai upaya pencegahan dini osteoporosis. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. Adapun sampel pada penelitian ini adalah mahasiswi S-1 regular Universitas Indonesia, Depok sebanyak 68 orang. Tehnik pengambilan sampling yang digunakan adalah stratified sampling. Dari hasil penelitian diperoleh sebanyak 17 (44,7%) mahasiswi dengan tingkat pengetahuan rendah memiliki motivasi tinggi untuk melakukan olahraga dan konsumsi susu secara adekuat, dan sebanyak 15 (50%) mahasiswi dengan tingkat pengetahuan tinggi memiliki motivasi tinggi untuk melakukan olahraga dan konsumsi susu secara adekuat. Nilai P sebesar 0,852 sehingga Ho gagal ditolak (tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan motivasi mahasiswi S-1 regular UI untuk melakukan olahraga dan konsumsi susu secara adekuat sebagai upaya pencegahan dini osteoporosis). Penelitian ini merekomendasikan agar dilakukan pengembangan penelitian yang lebih spesifik untuk mengetahui faktor mana yang lebih dominan mempengaruhi motivasi seseorang dengan metode penelitian yang akurat.
KataKunci : Motivasi, olahraga, osteoporosis, pencegah, pengetahuan, susu."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
TA5630
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Osteoporosis merupakan penyakit yang menyebabkan tulang keropos, disebut sebagai silent disease karena tidak menunjukkan gejala yang jelas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 2 dari 5 penduduk Indonesia berisiko terserang osteoporosis dan 80% lebih banyak menyerang perempuan. Pengetahuan tentang osteoporosis mempengaruhi sikap masyarakat daiam melakukan pencegahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi adanya hubungan antara tingkat pengetahuan masyarakat tentang osteoporosis dengan sikap mereka terhadap upaya pencegahan. Desain penelitian yang digunakan adalah deskripsi korelatif. Responden penelitian ini adalah perempuan berusia 18-30 tahun yang bertempat tinggal di RW 01 Rawa Bebek sebanyak 96 orang. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuesioner. Hasil analisis bivariat pada penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan tentang osteoporosis dengan sikap masyarakat terhadap upaya pencegahan (p value=0,000; α=0,05). Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka peneliti merekomendasikan kepada pemerintah dan instansi kesehatan untuk menggalalckan promosi kesehatan terkait osteoporosis kepada masyarakat melalui media cetak dan Hari Osteoporosis Nasional."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
TA5880
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kathrine Benapia Natandi
"Kanker Kepala Leher KKL berkaitan dengan faktor risiko antara lain merokok, alkohol, virus, dan faktor genetik. Dalam patogenesisnya, salah satu gen yang berperan dalam pembentukkan sel kanker adalah CYP1A1 Cytochrome P450, family 1, subfamily A, polypeptide 1 . Gen tersebut mengkode enzim yang berperan dalam mengaktivasi atau mendetoksifikasi elemen karsinogen pada tembakau.
Tujuan: Melihat pola distribusi polimorfisme gen CYP1A1 antara penderita KKL dan individu sehat pada populasi Indonesia.
Metode: PCR-RFLP dengan digesti menggunakan enzim restriksi MspINuntuk mendeteksi polimorfisme gen CYP1A1 pada penderita KKL dan individu sehat.
Hasil: Frekuensi dari genotip polimorfik tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara penderita KKL dan individu sehat.
Kesimpulan: Tidak ada perbedaan bermakna pada distribusi polimorfisme gen CYP1A1 6235 T/C antara penderita KKL dan individu sehat.

Background: Head and neck cancer HNC is related to several risk factor such as smoking, alcohol, virus, and other genetic factor. In the pathogenesis, one of the genes that play a role in the formation of cancer cells is CYP1A1 gene Cytochrome P450, family 1, subfamily A, polypeptide 1. It codes for enzymes that have an important role in activating or detoxifying carcinogenic elements in tobacco.
Aim: Identify the distribution of CYP1A1 gene polymorphism between HNC patients and healthy controls of Indonesian population.
Method: PCR RFLP with MspI enzyme was used for genotyping SNP of the CYP1A1 rs4646903 in HNC patients and healthy controls.
Result: The frequencies of the polymorphic genotypes did not show significant differences between HNC patients and healthy controls.
Conclusion: There is no significant association of CYP1A1 gene polymorphisms 6236 T C between patients with HNC and healthy controls.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michelle
"Kondisi hiperbilirubinemia pada neonatus dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah polimorfisme genetik, seperti polimorfisme gen terkait, yaitu UGT1A1 dan OATP2/SLCO1B1. Polimorfisme nukleotida tunggal c.388A>G pada gen OATP2/SLCO1B1 mengakibatkan terjadi penurunan aktivitas kerja transporter Organic Anion Transporter Protein 2 OATP2 yang berfungsi memindahkan bilirubin dari darah ke hati dalam tahapan metabolisme bilirubin. Penelitian ini bertujuan untuk melihat profil polimorfisme c.388A>G pada neonatus penderita hiperbilirubinemia risiko rendah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM. Analisis dilakukan terhadap 38 sampel neonatus yang lahir pada periode Januari-Agustus 2017, dengan kadar bilirubin ge-5 mg/dL tetapi G gen OATP2/SLCO1B1 di RSCM ini merupakan studi yang belum pernah dilaporkan sebelumnya, dan hasilnya adalah dominan tipe polimorfisme utama berupa homozigot G/G pada neonatus dengan hiperbilirubinemia risiko rendah.

The condition of hyperbilirubinemia on neonates could be influenced by various factors, one of them is the genetic polymorphism, such as the related gene polymorphisms UGT1A1 and OATP2 SLCO1B1. This single nucleotide polymorphism SNP c.388A G at the OATP2 SLCO1B1 gene causes the decline in the activity of Organic Anion Transporter Protein 2 OATP2, which is responsible in removing bilirubin from the blood to the liver in the stages of bilirubin metabolism. This research aimed to find the polymorphism profile of c.388A G on low risk hyperbilirubinemia neonates at Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM. Analysis was done on 38 neonates rsquo samples who were born during January - August 2017, with bilirubin concentration between 5 mg dL and 12 mg dL, using the Polymerase Chain Reaction ndash Restriction Fragment Length Polymorphism PCR RFLP method with the TaqI restriction enzyme. Analysis results from 38 samples showed that there are 73.69 samples with homozygote type G G , 21.05 samples with heterozygote type A G , and only 5.06 samples with wildtype A A. This is the first report on c.388A G polymorphism study on gene OATP2 SLCO1B1 at RSCM result determined that the major polymorphism with homozygote type G G is the dominant type on neonates with low risk hyperbilirubinemia.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>