Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 117696 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alfiyyah Siti Zainab
"Pasien bayi dan anak-anak di bawah 8 tahun, dosis maksimum dihitung berdasarkan berat badan dengan perhitungan menggunakan formula Clark dari dosis dewasa yang telah ditetapkan. Aturan Clark adalah persamaan yang digunakan untuk menghitung dosis obat pediatrik berdasarkan berat badan pasien yang diketahui dan dosis obat dewasa yang diketahui untuk digunakan (Delgado, 2022). Perhitungan dosis harus diperhatikan agar tidak kurang dari dosis lazim (underdose) dan melebihi dosis maksimal (overdose) dalam pemakaian sekali dan sehari. Pemberian dosis yang tidak sesuai berupa underdose menyebabkan pengobatan tidak optimal dan pemberian obat melebihi dosis maksimal dapat menyebakan efek toksik yang termasuk kejadian Drug Related Problem (DRP).
Ketidaktepatan dosis dapat terjadi akibat kesalahan dalam menghitung dosis ketika penyiapan obat (human error) khususnya pada pasien anak. Sempitnya waktu perhitungan, penyiapan, dan penyerahan resep menjadi salah satu penyebab terjadinya human error pada pemberian obat. Maka untuk meminimalisir ketidaktepatan dosis obat, QR Code dibuat untuk menganalisis kesesuaian dosis secara otomatis berdasarkan formula Clark agar memudahkan peracik mengetahui dosis lazim dan maksimum dan memastikan obat yang diberikan tepat dosis.

the established adult dose. Clark's rule is an equation used to calculate the pediatric drug dose based on the patient's known weight and the known adult drug dose to be used (Delgado, 2022). Dose calculation must be considered so as not to be less than the usual dose (underdose) and exceed the maximum dose (overdose) in one-time and daily use. Giving an inappropriate dose in the form of underdose causes treatment to not be optimal and giving drugs exceeding the maximum dose can cause toxic effects which include Drug Related Problem (DRP) events.
Dosage inaccuracy can occur due to errors in calculating doses when preparing drugs (human error), especially in pediatric patients. The narrow time for calculation, preparation, and submission of prescriptions is one of the causes of human error in drug administration. So to minimize the inaccuracy of drug doses, a QR Code was created to automatically analyze the suitability of doses based on Clark's formula to make it easier for compounders to know the usual and maximum doses and ensure that the drugs given are dosed correctly.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aimee Detria Arianto
"Kegagalan terapi akibat ketidaksesuaian dosis antibiotik masih banyak ditemukan di fasilitas kesehatan di Jakarta. Ketidaksesuaian ini karena tidak adanya pertimbangan terhadap berat badan, tinggi badan, atau umur pasien. Permasalahan tersebut seharusnya dapat diatasi oleh apoteker dengan memastikan kembali dosis obat sebelum diserahkan ke pasien pada saat pengkajian resep. Namun, banyaknya jumlah pasien yang melebihi kapasitas tenaga kesehatan dapat meningkatkan kerentanan terhadap kesalahan dan memperlambat proses pelayanan. Analisis dosis obat dapat dipermudah dengan menggunakan spreadsheet yang sudah dilengkapi dengan rumus secara otomatis. Spreadsheet tersebut terdiri dua bagian, antara lain sheet basis data dan pendeteksi dosis obat. Basis data memuat informasi mengenai nama obat, indikasi, kategori kehamilan, kekuatan sediaan, dosis maksimum harian dewasa dan anak yang mengacu pada formularium Puskesmas Kecamatan Pulogadung serta referensi lain. Sementara sheet pendeteksi obat terdiri dari tabel pengisian resep dan pengecekan dosis. Pada sheet tersebut dosis pada resep dapat dibandingkan dengan dosis dari hasil perhitungan menggunakan rumus Clark. Perhitungan dosis berdasarkan rumus Clark secara otomatis terlihat setelah informasi pada resep dimasukkan ke dalam tabel. Dengan demikian, ketidaksesuaian dosis akan terdeteksi secara langsung. Antibiotik yang digunakan sebagai basis data untuk analisis, antara lain amoksisilin, sefadroksil, doksisiklin, dan kotrimoksazol karena merupakan antibiotik yang paling sering diresepkan. Selain itu, spreadsheet yang sudah dibuat dapat diakses melalui QR Code untuk mempermudah penggunaan.

Medication error due to over or underdose is still commonly found in health facilities in Jakarta. This discrepancy is due to the absence of consideration for the patient's weight, height, or age. The pharmacist should be able to overcome this problem by reconfirming the dosage of the drug before it is handed over to the patient during the prescription assessment. However, the dosage analysis is an error-prone process, especially with a large number of patients that exceeds the capacity of health workers. A spreadsheet complete with a specific formula will help the assessment process significantly. The spreadsheet consists of a database sheet and a drug dose detector. The database contains information regarding drug names, indications, pregnancy categories, dosage strengths, and maximum daily adult and child doses referring to the Pulogadung Subdistrict Health Center formulary and other references. On the second sheet, the drug dose detector consists of a fill-out prescription table and a dosage checker. The dosage calculation is based on Clark's formula and will be automatically displayed after the fill-out table has been filled based on the prescription. Thus, the dose discrepancies can be detected immediately. The antibiotics used in the database include amoxicillin, cefadroxil, doxycycline, and co-trimoxazole due to the highest frequency amongst other prescribed antibiotics. In addition, a QR Code that directs users to the spreadsheet was generated for easier access."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shannon, Michael W.
Philadelphia: Saunders , 2007
615.908 SHA h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Shannon, Michael W
Philadelphia: Saunders, 2007
615.908 SHA h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Shannon, Michael W.
Philadelphia: Saunders, 2007
615.908 SHA h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhsan Amran
"Latar Belakang : Penanganan nyeri pascabedah merupakan tantangan bagi dokter anestesi dan merupakan penyebab tersering pemanjangan lama rawatan pasien di ruang rawat. Pemantauan oleh tim Acute Pain Service (APS) dan penggunaan metoda analgesia modern sudah terbukti dapat mengurangi kejadian nyeri pascabedah. Masalah baru manajemen nyeri pada masa peralihan analgesia dari metoda modern ke analgesik dasar. Peningkatan nyeri akibat kesenjangan pada periode transisi ini disebut dengan analgesia gap. Saat ini faktor resiko kejadian analgesia gap belum jelas. Peneliti ingin mengetahui pengaruh jenis operasi, lama pemberian epidural, jenis obat analgesik dan kepatuhan pemberian obat analgesik sebagai faktor risiko terjadinya analgesia gap pada pasien pascabedah di RSCM.
Metode : Penelitian ini uji kohort prospektif prediktif pada pasien pasca-APS di RSCM. Subjek penelitian 220 sampel. Semua sample diambil data kejadian analgesia gap, selain itu dicatat status data demografis, jenis operasi, lama pemberian epidural, jenis obat analgesik yang diberikan dan kepatuhan pemberian obat berdasarkan waktu pemberian.
Hasil : Angka kejadian analgesia gap di RSCM sebesar 26.6%. Faktor jenis operasi dan lama pemberian epidural tidak memiliki hubungan bermakna terhadap kejadian analgesia gap (p 0.057 dan p 0.119). Faktor jenis obat analgesic yang diberikan dan kepatuhan waktu pemberian obat analgesic di ruangan bermana secara statistic bermakna secara statistik terhadap kejadian analgesia gap (p 0.016 dan p 0.00). Pemberian gabungan opioid dan OAINS/asetaminofen dapat menurunkan kejadian analgesia gap. Pemberian obat analgesik sesuai waktu pemberian dapat menurunkan kemungkinan terjadinya analgesia gap sebesar 4,5x dibandingkan dengan tidak diberikan obat (RR 0.22) dan menurunkan sebesar 3,33x dibandingkan dengan tidak diberikan obat (RR 0.3).
Simpulan : Angka kejadian analgesia gap di RSCM sebesar 26.6%. Jenis obat analgesik dan kepatuhan waktu pemberian obat analgesik di ruang rawat berhubungan terhadap kejadian analgesia gap. Pemberian obat analgesik sesuai waktu pemberian dapat menurunkan terjadinya analgesia gap sebesar 4,5x dibandingkan dengan tidak diberikan obat dan menurunkan sebesar 3,33x dibandingkan dengan tidak diberikan obat.

Background : Post-operative pain management has been a challenged for anesthesiologist for decades and causes prolonged hospital stays for patients. The monitoring by acute pain service team and use of advanced analgesia clearly can reduce of analgesia pain. New challenge of post-operative pain managements is the management transition from advanced analgesic support to analgesic drugs. Increased pain during transition from post-epidural analgesia to oral analgesic, is defined as analgesic gap. Risk factors of analgesic gap are not clearly known. This study aims to observe the prediction of analgesia gap in RSCM based on type of surgery, duration of epidural, type of analgesic drugs and drugs administration adherence.
Method : This study is a predictive prospective cohort in post-APS patients in RSCM. This research subjects were 220 samples. Samples were selected based on the analgesia gap occurrence data, as well as demographic data, type of surgery, duration of epidural analgesia, type of analgesic drugs, timing of drugs administration.
Result : The Incidence of analgesic gap in RSCM is 26.6%. Types of operation and duration epidural analgesia administration are not statistically related to incidence of analgesic gap (p 0.057 and p 0.119). However, types of analgesic drugs in ward and timing of drugs administration are related to incidence of analgesic gap (p 0.016 and p.00). Combining opioid and NSAID/asetaminofen are recommended to reduce analgesic gap. Administering drugs on scheduled lowers the incidence of analgesic gaps 4.5 times un-administered (RR 0.22) and 3.3 times than if administering not on schedule (RR 0.3).
Conclusion : The incidence of analgesic gap in RSCM is 26.6%. Types of analgesic drugs and timing of drugs administration are related to incidence of analgesic gap. Combining opioid and NSAID/asetaminofen and administering drugs on scheduled lower incidence of analgesic gap.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Gusno Rekozar
"Nyeri pasca bedah adalah sesuatu yang sangat mengganggu bagi pasien. Kenyamanan pasien adalah hal yang utama sehingga analgetik yang adekuat sangat dibutuhkan pada periode pasca bedah. Penatalaksanaan nyeri pasca bedah yang tidak adekuat menyebabkan terjadinya perubahan fisiologi tubuh; berupa peningkatan aktivitas simpatis, gangguan neuroendokrin dan metabolisme, mobilisasi yang terhambat, kecemasan, takut dan gangguan tidur.
The Agency for Health Care Policy and Research dari Departement of Health and Human Services Amerika Serikat mempublikasikan panduan praktis penatalaksanaan nyeri akut, di mana bila tidak didapatkan kontraindikasi, terapi farmakologi untuk nyeri pasca bedah ringan-sedang harus dimulai dengan Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs. NSAID menurunkan kadar mediator-mediator inflamatori pada daerah trauma, tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernafasan, dan tidak mempengaruhi fungsi usus dan kandung kemih.
Pemberian obat untuk mengatasi nyeri dapat diberikan dalam berbagai cara seperti oral, suppositoria, transmukosa, intramuscular, intravena (intermitten atau kontinyus), dan regional analgesia, serta blok saraf perifer. Analgesia balans adalah cara pengelolaan nyeri pasca bedah yang bersifat multidrug di mana proses nyeri ditekan pada tiga tempat yaitu, transduksi dengan obat NSAID, transmisi dengan anestesi lokal dan modulasi dengan opioid.
Ketorolac adalah salah satu analgetik NSAID yang sering diberikan kepada pasien pasca operasi dengan tingkat nyeri yang tinggi. Hasil yang dicapai dengan pemberian analgetik ini memuaskan. Efek analgetik ketorolac sama baiknya dengan morfin dengan dosis yang sebanding, tanpa takut terjadinya depresi pemapasan. Hal inilah salah satu sebab dipilihnya ketorolac sebagai analgetik pasca operasi Ketorolac juga bersifat anti inflamasi sedang, Paul F White melaporkan bahwa pemberian ketorolac menurunkan tingkat kebutuhan fentanil pasta operasi sampai 32 %.
Dalam peneltian Etches disebutkan bahwa pemberian ketorolac menghilangkan nyeri dengan baik dan menurunkan tingkat kebutuhan morfin sampai 35 % dibandingkan plasebo. Terdapat suatu kepercayaan bahwa obat yang pertama kali keluar (launching), yang biaya disebut original product, adalah yang terbaik. Sebaliknya ada pula yang berpendapat obat sejenis yang dikeluarkan kemudian, me too drug, adalah yang terbaik. Di lain pihak seringkali original product jauh lebih mahal dibanding obat yang dikeluarkan berikutnya. Dalam hal ketorolac yang akan dibandingkan ini, harga ketorolac original tiga kali sampai empat kali lipat obat me too drug-nya. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan keefektifan antara keduanya, maka penelitian ini akan menjawabnya."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junaidi Baharudin
"Telah dilakukan penelitian untuk memperpanjang efek analgesia pasca operasi dengan memakai obat neostigmin 50 yang dicampurkan kedalam bupivakain 0,5% isobarik dan disuntikkan kedalam rongga subarakhnoid pada operasi abdominal bagian bawah, dalam hal ini operasi saesar, operasi hernia dan operasi appendiks di Instalasi Gawat Darural dan Instalasi Bedah Pusat Rumah Sakit Ciptomangunkusumo Jakarta Pusat. Pasien yang diteliti sebanyak 40 penderita dan dibagi menjadi 2 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 20 penderita Kelompok satu mendapat bupivakain 0,5% isobarik dan kelompok dua mendapat bupivakain 0,5% isobarik yang ditambah neostigmin 50p. Dari hasil perbandingan kedua kelompok didapatkan hasil dimana nyeri pasca operasi yang timbul sesuai dengan skala visual analog 6 pada kelompok dua lebih lambat daripada kelompok satu dan secara statistik berbeda bermakna. Efek samping dari neostigmin seperti mual, muntah pada kelompok perlakuan tidak dijumpai. Efek penurunan tekanan darah, frekuensi nadi ditemukan perbedaan diantara kedua kelompok, namun secara statistik perbedaan ini tidak bermakna. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57278
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"This book discusses recent advances in biology, chemistry, and pharmacology at both the preclinical and clinical stage of transient receptor potential vanilloid subtype 1 (TRPV1) drug discovery research. Chapters explore the impact and drug targeting of TRPV1 in inflammation, migraine, arthritis, and cancer; as well as the development of analgesic drugs. The TRPV1 receptor is not limited to pain only, and the book covers its role in chronic cough, bladder disorders, and asthma. The book features data relevant to the therapeutic potential of TRPV1 and the medicinal chemistry involved in designing TRPV1 antagonists.
"
Hoboken: John Wiley & Sons, 2010
e20395185
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
"Drugs stagnation is an effect of poor logistics systems in the health services industry, partycularly at the Public Health Centre. This was evident as drug stagnation at the "Puskesmas Mentikan KOta Mojokerto" for the 2005 year is stated at 15,44%...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>