Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133778 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muh. Aldhyansah Dodhy Putra
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implikasi perubahan jangka waktu perlindungan hak cipta yang tercantum dalam Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) 2014 terhadap karya-karya yang telah menjadi domain publik. Melalui UUHC 2014, terjadi peningkatan dari jangka waktu pelindungan hak cipta sebelumnya dari 50 tahun setelah kematian pencipta menjadi 70 tahun setelah kematian pencipta. Perubahan tersebut berdampak pada jenis-jenis ciptaan tertentu yang telah menjadi domain publik pada rezim UUHC 2002, tetapi kemudian dapat kembali dilindungi hak ekonominya berdasar UUHC 2014. Hal ini menimbulkan perbedaan pemahaman tentang implementasi jangka waktu perlindungan hak cipta antara masyarakat umum dan penerbit. Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini yaitu, pertama, bagaimana public domain diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta?; dan kedua, bagaimana implikasi hukum yang timbul akibat perubahan jangka waktu perlindungan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta? Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pertama, domain publik diatur melalui ketentuan tentang jangka waktu perlindungan UUHC, yang berdampak pada perubahan status hak ekonomi dan sebagian hak moral Pencipta. Kedua, tidak ada larangan bagi siapa pun untuk memanfaatkan ciptaan yang menjadi domain publik, bahkan jika terjadi perubahan jangka waktu perlindungan sekali pun.

This research aims to analyze the implications of changes in the copyright protection term stipulated in the Copyright Law 2014 on works that have turned into public domain. Under Copyright Law 2014, there has been an extension of the previous copyright protection term from 50 years after the death of the creator to 70 years after the death of the creator. These changes affected certain types of works that have become public domains in the 2002 UUHC regime, but then their economic rights can again be protected under the 2014 UUHC. This has led to different understandings regarding the implementation of the copyright protection period between the general public and publishers. The research questions addressed in this study are: first, how is the public domain regulated in Copyright Law Number 28 of 2014?; and second, what are the legal implications arising from the changes in the protection term in Copyright Law Number 28 of 2014? The findings of the research conclude that, first, the public domain is regulated through provisions regarding the duration of UUHC protection, which has an impact on changing the status of economic rights and some of the moral rights of creators. Second, there is no prohibition for anyone to take advantage of works that are in the public domain, even if there is a change in the term of protection."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Julius Ariel Putra
"Tulisan ini menganalisis mengenai Mekanisme pembayaran royalti pada pertunjukan musik menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Royalti. Tulisan ini menggunakan metode penelitian doktrinal. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain hak cipta, terdapat pula Hak Terkait bagi pelaku pertunjukan. Suatu ciptaan khususnya dalam lagu dan/atau musik yang digunakan atau dibawakan pada pertunjukan musik diperlukan lisensi dari pemegang hak cipta, atas lisensi tersebut terdapat royalti yang harus dibayarkan kepada Pencipta. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 dibentuk sebagai payung hukum untuk pengelolaan royalti Hak Cipta atas penggunaan Ciptaan dan pemilik hak terkait. Melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dibentuk Lembaga Manajemen Kolektif dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional melalui Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Royalti namun keberadaan lembaga tersebut dirasa masih kurang memberikan rasa keadilan dalam distribusi kepada Pencipta atau Pemilik Hak Terkait khususnya pada Pertunjukan Musik bersifat Komersial. Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) menginsiasi pembentukan aplikasi Digital Direct License (DDL) untuk membantu pendistribusian Royalti kepada Pencipta atau Pemilik Hak Terkait menjadi lebih adil dan transparan.

This writing analyzes the royalty payment mechanism for music performances according to Law Number 28 of 2014 concerning Copyright and Government Regulation Number 56 of 2021 concerning Royalties. This paper uses doctrinal research methods. Copyright is the exclusive right of the creator that arises automatically based on the declarative principle after a work is realized in a tangible form without prejudice to restrictions in accordance with the provisions of legislation. In addition to copyright, there are also Related Rights for performers. A work, especially in the form of a song and/or music used or performed in a music performance, requires a license from the copyright holder, and for that license, royalties must be paid to the creator. Law Number 28 of 2014 concerning Copyright and Government Regulation Number 56 of 2021 were established as the legal framework for the management of copyright royalties for the use of creations and related rights owners. Through Law Number 28 of 2014 concerning Copyright, Collective Management Organizations and the National Collective Management Organization were established through Government Regulation Number 56 of 2021 concerning Royalties. However, the existence of these organizations is still considered insufficient in providing a sense of justice in the distribution to creators or owners of related rights, especially in commercial music performances. The Association of All Indonesian Composers (AKSI) initiated the formation of the Digital Direct License (DDL) application to help distribute royalties to creators or owners of related rights more fairly and transparently."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransiska Putri Wahyu Wijayanti
"Skripsi ini membahas mengenai Fiksasi yang merupakan salah satu persyaratan mutlak dalam perlindungan Hak Cipta. Doktrin Fiksasi mensyaratkan sebuah ciptaan harus berwujud nyata (tangible) dalam arti dapat dilihat, didengar, dan direproduksi kembali. Sebuah Ide tidak akan mendapatkan perlindungan Hak Cipta sehingga ide tersebut harus disalurkan kedalam suatu media. Namun ada sebuah ciptaan yang dapat didengar namun tidak dapat direproduksi kembali, yaitu ceramah atau pidato spontan.
Skripsi ini membahas mengenai kesesuaian pengaturan doktrin Fiksasi yang ada dalam Undang-Undang Hak Cipta No.28 Tahun 2014 dengan Perjanjian Internasional Hak Kekayaan Intelektual dalam hal perlindungan terhadap karya cipta ceramah. Setelah melakukan analisis, pengaturan doktrin Fiksasi dalam UUHC tidak melindungi suatu Ceramah yang bersifat spontan dan belum di Fiksasi. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode kepustakaan.

This paper discusses Fixation is one of the absolute requirement for Copyright Protection. To be qualified as fixation Under Law no. 28 Year 2014 concerning Copyright Law, a work must be fixed in tangible medium of expression that can be seen, heard or reproduced. A mere idea, on the other side, needs to be fixed in a form of media to obtain copyright protection. However, there is a work that can be heard but can not be reproduced, namely spontaneous speech or lecture.
This study discusses the compability of fixation doctrine under Copyright Law to International Agreement of Intellectual Property Rights regarding protection of speech. The author concludes that the fixation doctrine under Copyright Law does not protect spontaneous and unfixed speeches. The method used in this thesis is the method of literature.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60790
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jasmine Assilmi Wirawan
"Tulisan ini menganalisis mengenai penerapan dari Doktrin Joint Authorship di Indonesia, khususnya terhadap permasalahan pada larangan untuk Pencipta lagu dalam mempertunjukan lagu ciptaan bersama. Joint Authorship merupakan suatu fenomena yang terjadi ketika terdapat dua atau lebih Pencipta yang berkontribusi untuk menghasilkan suatu karya cipta bersama. Doktrin Joint Authorship sendiri telah diterapkan di Indonesia, khususnya dalam proses penciptaan lagu. Akan tetapi, terdapat permasalahan terkait dengan Joint Authorship yang terjadi di Indonesia, yakni saat seorang Pencipta melarang Pencipta lainnya untuk mempertunjukan lagu ciptaan bersama. Tulisan ini disusun dengan metode penelitian doktrinal. Hasil penelitian dari tulisan ini menunjukan bahwa Joint Authorship telah diakui dalam perundang-undangan di Indonesia, yakni dalam definisi Pencipta dalam Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (UUHC). Akan tetapi, pengaturan lebih lanjut mengenai Joint Authorship ini belum diberlakukan di Indonesia. Doktrin Joint Authorship juga menggarisbawahi pentingnya komunikasi dan kesepakatan yang jelas saat proses penciptaan bersama yang dilakukan oleh beberapa pihak Pencipta. Selain itu, dengan adanya model Doktrin Joint Authorship, dapat diketahui bagaimana dampak terhadap kepemilikan atas lagu-lagu yang telah diciptakan bersama oleh para Pencipta. Dengan demikian, hasil dari penelitian ini merekomendasikan bahwa perlunya pengaturan lebih lanjut mengenai Joint Authorship dalam UUHC yang berlaku di Indonesia.

This paper analyzes the application of the Doctrine of Joint Authorship in Indonesia, especially on the issue of prohibition for the Creator in using the song of joint works. Joint Authorship is a phenomenon that occurs when there are two or more creators who contribute to produce a joint copyrighted work. The doctrine of Joint Authorship itself has been applied in Indonesia, especially in the process of song creation. However, there are problems related to Joint Authorship that occur in Indonesia, namely when a creator prohibits other creators from using songs of joint works. This paper is prepared using doctrinal research method. The research results of this paper show that Joint Authorship has been recognized in Indonesian legislation, which is under the definition of Creator in Copyright Law Number 28 of 2014 concerning Copyright (UUHC). However, further provisions regarding Joint Authorship have not been enacted in Indonesia. The Joint Authorship Doctrine also underlines the importance of clear communication and agreement during the co-creation process carried out by several Creators. In addition, with the existence of the Joint Authorship Doctrine model, it can be seen how the impact on the authorship of songs that have been co-created by the Creators. Thus, the results of this study recommend that there is a need for further regulation of Joint Authorship in the existing UUHC in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jasmine Assilmi Wirawan
"Tulisan ini menganalisis mengenai penerapan dari Doktrin Joint Authorship di Indonesia, khususnya terhadap permasalahan pada larangan untuk Pencipta lagu dalam mempertunjukan lagu ciptaan bersama. Joint Authorship merupakan suatu fenomena yang terjadi ketika terdapat dua atau lebih Pencipta yang berkontribusi untuk menghasilkan suatu karya cipta bersama. Doktrin Joint Authorship sendiri telah diterapkan di Indonesia, khususnya dalam proses penciptaan lagu. Akan tetapi, terdapat permasalahan terkait dengan Joint Authorship yang terjadi di Indonesia, yakni saat seorang Pencipta melarang Pencipta lainnya untuk mempertunjukan lagu ciptaan bersama. Tulisan ini disusun dengan metode penelitian doktrinal. Hasil penelitian dari tulisan ini menunjukan bahwa Joint Authorship telah diakui dalam perundang-undangan di Indonesia, yakni dalam definisi Pencipta dalam Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (UUHC). Akan tetapi, pengaturan lebih lanjut mengenai Joint Authorship ini belum diberlakukan di Indonesia. Doktrin Joint Authorship juga menggarisbawahi pentingnya komunikasi dan kesepakatan yang jelas saat proses penciptaan bersama yang dilakukan oleh beberapa pihak Pencipta. Selain itu, dengan adanya model Doktrin Joint Authorship, dapat diketahui bagaimana dampak terhadap kepemilikan atas lagu-lagu yang telah diciptakan bersama oleh para Pencipta. Dengan demikian, hasil dari penelitian ini merekomendasikan bahwa perlunya pengaturan lebih lanjut mengenai Joint Authorship dalam UUHC yang berlaku di Indonesia.

This paper analyzes the application of the Doctrine of Joint Authorship in Indonesia, especially on the issue of prohibition for the Creator in using the song of joint works. Joint Authorship is a phenomenon that occurs when there are two or more creators who contribute to produce a joint copyrighted work. The doctrine of Joint Authorship itself has been applied in Indonesia, especially in the process of song creation. However, there are problems related to Joint Authorship that occur in Indonesia, namely when a creator prohibits other creators from using songs of joint works. This paper is prepared using doctrinal research method. The research results of this paper show that Joint Authorship has been recognized in Indonesian legislation, which is under the definition of Creator in Copyright Law Number 28 of 2014 concerning Copyright (UUHC). However, further provisions regarding Joint Authorship have not been enacted in Indonesia. The Joint Authorship Doctrine also underlines the importance of clear communication and agreement during the co-creation process carried out by several Creators. In addition, with the existence of the Joint Authorship Doctrine model, it can be seen how the impact on the authorship of songs that have been co-created by the Creators. Thus, the results of this study recommend that there is a need for further regulation of Joint Authorship in the existing UUHC in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Ananda Putri
"Rencana pemerintah atas rancangan pengenaan royalti penggandaan buku perpustakaan di perguruan tinggi walau untuk keperluan studi pribadinya terlihat tidak sejalan dengan peraturan yang ada. Sedangkan Pembatasan perlindungan atas hak esklusif terhadap Penggandaan Ciptaan telah di atur pada Pasal 26 poin c UUHC yang menyebutkan bahwa Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan adalah bukan pelanggaran hak cipta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa rancangan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia tentang Mekanisme Penarikan Royalti Bidang Karya Literasi dan melihat rancangan tersebut dari prespektif Hukum Hak Cipta. Jenis penelitian ini adalah Yuridis Normatif, dengan menjalankan dua tahap penelitian, yaitu penelitian kepustakaan didampingi dengan penelitian lapangan. Data primer didapatkan melalui pengumpulan bahan dari beberapa narasumber, yaitu LMK dalam bidang literasi dan Dirjen KI-Kementerian Hukum dan HAM. Data-data ini kemudian diolah dan dianalisis secara normatif kualitatif. Pada kesimpulannya, penelitian ini menemukan bahwa adanya pengecualian dan pembatasan hak cipta yang dapat digunakan oleh Perpustakaan di Perguruan Tinggi bukanlah suatu tindakan yang mencoba menghindari pembayaran royalti kepada penulis dan penerbit melainkan menyediakan pengecualian dan pembatasan hak cipta itu untuk menciptakan kondisi dimana terdapat keseimbangan dalam memberikan hak eksklusif kepada pencipta untuk menikmati hasil kerjanya juga secara bersamaan dapat memenuhi hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Bahwa dibutuhkan lisensi langsung dan yang tidak ambigu. Dan diperlukan pengembangan kontrak model antara Pencipta, penerbit, LMK dan grup pengguna.

The government's plan for the imposition of royalties for reproducing library books at universities even though its for the purposes of personal study seems inconsistent with the applicable law, while the limitation of protection on exclusive rights to the reproduction of works has been regulated in Article 26 point c of the UUHC which states that the reproduction of works and/or related rights products for the interest of scientific research is not copyright infringement. The purpose of this study is to analyze the draft Regulation of the Minister of Law and Human Rights of the Republic of Indonesia regarding the Royalty Withdrawal Mechanism for the Literacy Field and see the draft from the perspective of Copyright Law. This type of research is normative juridical, by carrying out two stages of research, namely library research accompanied by field research. Primary data was obtained through the collection of materials from several sources, namely LMK in the field of literacy and the Director General of KI-Ministry of Law and Human Rights. These data are then processed and analyzed in a qualitative normative manner. In conclusion, this study finds that the exceptions and limitations of copyright that can be used by libraries in universities is not an act that tries to avoid paying royalties to authors and publishers but provides exceptions and limitations on copyright to create conditions in which there is a balance in granting rights. exclusive rights to the creator to enjoy the results of his work can simultaneously fulfill the public's right to obtain information. That it takes a direct and unambiguous license. And it is necessary to develop a model contract between the Creator, publisher, LMK and user groups."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Armandha Andri Anwar
"Film dokumenter merupakan jenis film yang berisi fakta untuk menceritakan peristiwa dan tokoh yang nyata untuk berbagai kepentingan, seperti pendidikan dan penelitian. Sebagai produk yang bersifat informatif dan kreatif, film dokumenter ini merupakan objek yang dilindungi oleh hukum hak cipta. Namun, film dokumenter juga dapat menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan pelanggaran hak cipta karena sering menggunakan cuplikan milik orang lain yang dilindungi oleh hak cipta, seperti video, potret, karya fotografi, dan objek lainnya. Penggunaan cuplikan tersebut berpotensi melanggar hak cipta milik orang lain apabila terdapat unsur komersialisasi dan merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta. Meskipun demikian, terdapat doktrin pembatasan atau pengecualian yang dikenal dengan doktrin fair use dalam hukum hak cipta. Fair use merupakan doktrin yang membatasi pelindungan hak cipta sehingga seseorang dapat melaksanakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta tanpa izin. Doktrin yang berasal dari Amerika Serikat ini berpotensi menjadi mekanisme pelindungan bagi pembuat film dokumenter karena memiliki pengaturan yang cukup memadai dan fleksibel. Fleksibilitas ini menjadi titik pembeda dalam pengaturan fair use pada hukum hak cipta di Amerika Serikat, jika dibandingan dengan hukum hak cipta di Indonesia. Maka dari itu, tulisan ini akan membahas mengenai pengaturan dan penerapan doktrin fair use di antara kedua negara tersebut. Permasalahan tersebut ditinjau dengan menggunakan metode yuridis normatif dengan melihat pengaturan dan doktrin-doktrin hukum yang berkaitan dengan topik tulisan ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan fair use di Amerika Serikat cenderung menguntungkan film dokumenter karena menekankan pada unsur transformatif daripada unsur komersial yang mana hal ini terbalik dengan pengaturan mengenai pembatasan hak cipta di Indonesia.

A documentary film is a type of movie that contains facts to portray real events and characters for various purposes, such as education and research. As an informative and creative product, the documentary film is an object protected by copyright law. However, documentary films can also cause problems related to copyright infringement because they often use copyrighted footage, such as videos, portraits, photographic works, and other objects. The use of such footage could potentially infringe on the others’ copyrights if there is an element of commercialization and harm to the reasonable interests of the author. However, there is a doctrine of limitations or exceptions known as the doctrine of fair use in copyright law. Fair use is a doctrine that limits copyright protection so that a person can exercise the exclusive rights of the creator or copyright holder without permission. This doctrine originating from the United States has the potential to be a protection mechanism for documentary filmmakers for using copyrighted footage because it has adequate and flexible provisions. This flexibility is a point of difference in the regulation of fair use in US copyright law, if compared to Indonesian copyright law. Therefore, this paper will discuss the regulation and its implementation of the fair use doctrine between the two countries. The problem is reviewed using the normative juridical method by looking at laws, regulations, and doctrines related to the topic of this paper. The results of this study indicate that the regulation of fair use in the United States tends to favor documentary films because it emphasizes the transformative use element rather than the commercial element which is contrary to provisions on copyright limitations in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rafiqi Ramadhan
"ABSTRAK
Perkembangan ekonomi kreatif yang menjadi salah satu andalan Indonesia dan
berbagai negara dan berkembang pesatnya teknologi informasi dan komunikasi
mengharuskan adanya pembaruan Undang-Undang Hak Cipta, mengingat Hak
Cipta menjadi basis terpenting dari ekonomi kreatif nasional. Di dalam UU No. 28
Tahun 2014 sebagai pengganti UU No. 19 Tahun 2002 terdapat pengaturan baru
mengenai Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). LMK merupakan badan hukum
nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta untuk mengelola Hak Ekonomi dalam
bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Adapun di dalam tulisan ini
membahas mengenai bagaimana peran dari LMK dalam pengelolaan hak ekonomi
dari Pencipta di bidang Lagu/Musik juga terkait usaha Karaoke sebagai Pengguna
Lagu/Musik untuk tujuan komersial yang harus membayar royalti kepada Pencipta.
Penelitian menggunakan metode Yuridis-Normatif dengan studi kepustakaan yang
dilengkapi dengan wawancara.
ABSTRACT
The development of creative economy into one of Indonesia and various countries
and the rapid growth of information and communication technology requires an
updates for the Copyright Act, considering Copyright become the most important
base of national creative economy. In Law No. 28, 2014 as the revision of Law
No. 19 In 2002 there is a new arrangement of the Collective Management
Organization (CMO). CMO is a nonprofit legal entity authorized by the Author to
manage the economic right in the form of to collect and distribute royalties. As in
this paper describes how the role of CMO in the management of the economic
rights of the creator in the field of Songs/Music also related in Karaoke businesses
as the user of Songs/Music for commercial purposes that have to pay royalties to
the Author. This research using the method of juridical-normative literature study
in addition with interview."
2015
S58245
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Kertarajasa Adi Buwono
"Permainan video merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi. Hal ini melindungi pencipta atau pemegang hak cipta dari tindakan-tindakan pelanggaran hak cipta seperti halnya pembajakan. Pendistribusian hasil pembajakan tidak hanya terjadi secara media fisik, melainkan juga dapat secara digital seperti penyebaran melalui internet. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif karena penulis meneliti menggunakan bahan pustaka atau data sekunder. Dalam skripsi ini akan membahas tentang pencipta atau pemegang hak cipta permainan video yang memperoleh perlindungan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, pihak yang bertanggung jawab atas pembajakan video game dan bentuk pertanggung jawabannya, dan penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh dalam hal terjadinya suatu pelanggaran hak cipta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pembajakan yang terjadi di dalam internet terhadap permainan video.

Video games are a protected creation. This protects the creator or copyright holder from acts of copyright infringement such as piracy. The distribution of piracy proceeds does not only occur in physical media, but also digitally, such as distribution via the internet. The research method used in this thesis is normative juridical because the author examines using library materials or secondary data. This thesis will discuss about the creators or copyright holders of video games who obtain legal protection based on Law Number 28 of 2014 concerning Copyright, the parties responsible for video game piracy and forms of responsibility, and dispute resolution that can be taken in terms of a copyright infringement occurs. The results of this study indicate that there is piracy that occurs on the internet against video games."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atikah Terima Wati
"Artikel ini menjelaskan tentang proses pembuatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 di Indonesia yang dipicu oleh peristiwa pembajakan hak cipta. Terutama pada tahun 1985-1987, dengan puncaknya pada pembajakan kaset “Live Aid”. Konser Live Aid yang buat Bob Geldof digunakan oleh korban kelaparan di Ethiopia sebagai konser amal. Bob Geldof selaku orang yang mengkoordinasikan konser amal tersebut menyatakan protes kerasnya kepada pemerintah Indonesia. Protes Bob Geldof mendapat dukungan dari pemerintah Amerika Serikat dan mendesak pemerintah Indonesia untuk mempercepat proses revisi Undang-Undang Hak Cipta, karena pemerintah Amerika sangat menghargai hak cipta. Meskipun Indonesia tidak mengikuti Konvensi Bern tentang hak cipta internasional, Indonesia tidak melanggar hukum internasional. Artikel ini menjelaskan bagaimana pemerintah Indonesia merespons tekanan internasional dari Amerika Serikat dengan cepat dalam upaya mengambil citra baik Indonesia dengan membuat Tim Keppres 34 yang menghasilkan perubahan Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) 1982 ke UUHC 1987. Penulisan artikel ini menggunakan metode metode sejarah dengan berbagai sumber, yakni arsip penyusunan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia, majalah tempo, surat kabar Kompas, wawancara dengan narasumber, dan sumber sekunder yang terkait lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 dibuat sebagai respon terhadap desakan dari pemerintah Amerika Serikat atas perilaku pembajakan yang marak dilakukan di Indonesia.

This article delves into the genesis of Indonesia's Copyright Law No. 7 of 1987, tracing its origins to a surge in copyright infringement incidents. The period of 1985-1987 marked a particularly tumultuous phase, culminating in the infamous piracy of the “Live Aid” concert. Organized by Bob Geldof to raise funds for famine relief in Ethiopia, the concert's unauthorized reproduction in Indonesia sparked a vehement protest from Geldof. This protest gained significant traction, garnering support from the United States government, which urged Indonesia to expedite the revision of its copyright law, emphasizing the importance of intellectual property rights. While Indonesia was not a signatory to the Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works, it remained bound by international law. This article explores how the Indonesian government swiftly responded to United States pressure, driven by a desire to maintain a positive national image. The establishment of Presidential Decree Tim Keppres 34 facilitated the revision of the 1982 Copyright Law (UUHC) into the 1987 Copyright Law (UUHC). The research methodology employed in this study encompasses historical methods, utilizing a diverse range of sources, including archival records of the drafting process of Law No. 7 of 1987 stored at the National Archives of the Republic of Indonesia, Tempo magazine, Kompas newspaper, interviews with informants, and relevant secondary sources. The findings of this research reveal that Law No. 7 of 1987 was enacted primarily as a response to the United States government's insistence on addressing the rampant piracy issue in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>