Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154645 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Talitha Khalisya
"Kemerdekaan Kongo pada tahun 1960 tidak berarti kebebasan bagi bangsa Kongo dari pengaruh Prancis sepenuhnya. Di Kongo, kebudayaan Prancis masih menjadi rujukan untuk cara berpakaian yang necis dan gaya hidup yang mewah. Keberadaan komunitas La Sape menjadi sebuah tren untuk mengekspresikan diri melalui cara berbusana bagi masyarakat Kongo. Novel Tais-Toi et Meurs (2012) karya Alain Mabanckou menceritakan tokoh Julien Makambo, orang Kongo yang hidup di Paris dengan mengubah identitasnya menjadi José Monfort demi menjadi seorang Sapeur sejati. Lewat novel ini, disajikan potret mengenai gaya hidup mewah diaspora Kongo yang dengan titel Sapeur yang mereka miliki beserta cara mereka bertahan hidup di sana, meski harus menjadi kriminal. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap kedok La Sape yang telah menjadi budaya bangsa Kongo dan cara Sapeur bertahan hidup melalui perspektif wacana poskolonial dalam novel Tais-Toi et Meurs (2012). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan tekstual dan didukung oleh model fungsional dan skema aktan milik A. J. Greimas (1983). Teori identitas Stuart Hall (1994) dan teori mimikri Homi Bhabha (1994) juga digunakan dalam penelitian ini sebagai dasar dari wacana poskolonial. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa La Sape yang dianggap sebagai simbol kebebasan dari penjajahan justru merupakan peneguhan kolonialisme dan inferioritas yang menyebabkan para Sapeur terus melakukan mimikri pada gaya hidup bangsa penjajah.

Congo's independence in 1960 did not mean complete freedom for the Congolese nation from French influence. In the Congo, French culture is still a reference for dapper outfit and a luxurious lifestyle. The existence of the La Sape community has become a trend for self-expression through the attire of Congolese people. The novel Tais-Toi et Meurs (2012) by Alain Mabanckou tells of the character Julien Makambo, a Congolese living in Paris, by changing his identity to become José Monfort to become a true Sapeur. Through this novel, a portrait is presented of the luxurious lifestyle of the Congo diaspora with the title Sapeur that they have and how they survive there, even though they have to become criminals. This study aims to reveal the guise of La Sape, which has become the culture of the Congo people, and how Sapeur survives through the perspective of postcolonial discourse in the novel Tais-Toi et Meurs (2012). The method used in this study is a qualitative method with a textual approach and is supported by functional models and actan schemes belonging to A. J. Greimas (1983). Stuart Hall's (1994) identity theory and Homi Bhabha's (1994) mimicry theory are also used in this research as the basis of postcolonial discourse. The results of this study indicate that La Sape, considered a symbol of freedom from colonialism, is an affirmation of colonialism and inferiority which causes the Sapeurs to continue to mimic the lifestyle of the colonizers. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
"At a time when even much of the political left seems to believe that transnational capitalism is here to stay, Marxism, Modernity and Postcolonial Studies refuses to accept the inevitability of the so-called 'New World Order'. By giving substantial attention to topics such as globalisation, racism, and modernity, it provides a specifically Marxist intervention into postcolonial and cultural studies. An international team of contributors locate a common ground of issues engaging Marxist and postcolonial critics alike. Arguing that Marxism is not the inflexible, monolithic irrelevance some critics assume it to be, this collection aims to open avenues of debate - especially on the crucial concept of 'modernity' - which have been closed off by the widespread neglect of Marxist analysis in postcolonial studies. Politically focused, at times polemical and always provocative, this book is a major contribution to contemporary debates on literary theory, cultural studies, and the definition of postcolonial studies."
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2009
e20528318
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Yane Andini
"Dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami, dogmatisme menjadi tema utama yang digambarkan melalui tokoh Sandi Yuda atau Yuda dan Parang Jati atau Jati. Kedua tokoh tersebut dihadapkan pada dilema dan konflik batin, yaitu mempertanyakan norma-norma yang ada, mempertimbangkan nilai-nilai pribadi mereka, dan menghadapi konsekuensi dari keputusan yang mereka ambil. Dalam konteks itu, mereka harus berhadapan dengan dogmatisme. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dogmatisme yang ada pada novel Bilangan Fu. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan intrinsik dan sosiologi sastra. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa tokoh Yuda memiliki karakteristik rasionalis, skeptis, dan memiliki idealisme terhadap maskulinitas. Tokoh ini bersahabat dengan tokoh utama lain, yaitu Jati, yang digambarkan sebagai seorang spiritualis yang karismatik. Penelitian ini juga menyoroti dogmatisme terhadap beberapa idealisme dalam novel tersebut, termasuk dogmatisme pada rasionalisme, idealisme maskulinitas tokoh Jati, dan spiritualisme tokoh Jati. Dalam menghadapi dogmatisme, tokoh-tokoh ini menunjukkan keterbukaan, toleransi, dan spiritualisme kritis. Jati memiliki peran penting dalam menghadapi dogmatisme, yaitu mengajak untuk berdialog, saling menghormati, dan memandang keberagaman sebagai hal yang alami. Tokoh ini juga memperjuangkan keadilan sosial dan membebaskan diri dari belenggu tradisi dan norma yang menyempitkan. Melalui karakter Jati, Ayu Utami mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya memahami dan menghormati perbedaan serta berjuang menciptakan masyarakat yang inklusif dan adil.

In Ayu Utami's novel Bilangan Fu, dogmatism is the main theme depicted through the characters of Sandi Yuda or Yuda and Parang Jati or Jati. These two characters are faced with dilemmas and inner conflicts, questioning existing norms, considering their personal values, and facing the consequences of their decisions. In this context, they have to confront dogmatism. This research aims to examine the presence of dogmatism in the novel Bilangan Fu. The approach used is an intrinsic and sociological approach to literature. In this study, it was found that the character Yuda exhibits characteristics of being rational, skeptical, and having idealism towards masculinity. This character befriends another main character, Jati, who is portrayed as a charismatic spiritualist. This research also highlights dogmatism towards various idealisms in the novel, including dogmatism towards rationalism, the idealism of Jati's masculinity, and Jati's spiritualism. In facing dogmatism, these characters show openness, tolerance, and critical spiritualism. Jati plays an important role in confronting dogmatism by advocating for dialogue, mutual respect, and viewing diversity as natural. This character also fights for social justice and frees oneself from the shackles of limiting traditions and norms. Through the character of Jati, Ayu Utami invites readers to reflect on the importance of understanding and respecting differences and to strive for an inclusive and fair society. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Afifah Faizah
"Black Bazar merupakan salah satu novel karya penulis frankofon yang berasal dari Republik Kongo, yaitu Alain Mabanckou. Novel ini bercerita tentang kehidupan tokoh Fessologue di Paris sebagai seorang pria imigran kulit hitam yang berasal dari Republik Kongo. Lingkungan sosial yang baru membuatnya harus meniru perilaku orang Prancis agar dapat berintegrasi di sana. Artikel ini membahas pencarian identitas Fessologue melalui peniruan yang menyebabkan keadaan ambivalen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan kajian naratologi Gérard Genette dan analisis struktur naratif Roland Barthes dengan diperdalam menggunakan teori representasi dan identitas Stuart Hall, serta teori hibriditas budaya Homi K. Bhabha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penokohan dan latar cerita menggambarkan ambivalensi identitas budaya tokoh Fessologue. Peniruan-peniruan yang dilakukan Fessologue tercermin dalam gaya berpakaian, gaya hidup, dan cara berpikirnya agar sama dengan orang Prancis. Proses peniruannya tersebut tidak terus berlanjut sehingga timbul ambivalensi dalam dirinya karena berada di antara dua budaya, yaitu budaya Prancis dan Kongo. Keadaan ambivalen menyadarkannya bahwa tidak ada budaya yang murni sehingga tidak perlu mengagungkan kemurnian suatu identitas budaya.

Black Bazar is a novel by a francophone writer from the Republic of Congo, Alain Mabanckou. This novel tells a story about the life of a character named Fessologue in Paris as a black immigrant man from the Republic of Congo. The new social environment required him to impersonate French behavior in order to successfully integrate there. This article discusses the search for Fessologue's identity through impersonation which leads to ambivalence. The method used in this research is a qualitative method with the study of the narratology of Gérard Genette and the analysis of the narrative structure of Roland Barthes with further study of representation and identity of Stuart Hall and Homi K. Bhabha's theory of cultural hybridity. The results showed that the characterizations and story settings illustrate the ambivalence of Fessologue's cultural identity. Fessologue's imitations are reflected within his style of dressing, lifestyle, and way of thinking to be the same as French people. The imitation process did not continue which cause an ambivalence in him because he is in between two cultures, French and Congolese cultures. The ambivalent state made him realize that there is no real pure culture, therefore there is no need to glorify the purity of cultural identity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rifdah Aliifah Putri Aspihan
"Mitos dan legenda merupakan bagian yang bermakna di kehidupan sehari-hari masyarakat Afrika. Artikel ini membahas mengenai kepercayaan tradisional yang terdapat di masyarakat Afrika tak terkecuali Kongo yang sering kali digunakan sebagai dalih atas kekerasan dalam novel Mémoires de Porc-épic (206) karya Alain Mabanckou. Novel tersebut menceritakan tentang bagaimana seorang manusia memiliki sebuah hewan spiritual, dalam konteks ini, tokoh Kibandi memiliki seekor landak sebagai hewan spiritualnya. Perjalanan kisah mereka berputar di pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Kibandi melalui hewan spiritualnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan kepercayaan dapat mengendalikan seseorang untuk melakukan kekerasan dan bagaimana Kibandi melakukan kekerasan melalui hewan spiritualnya sebagai penanda kepercayaan yang ia pegang. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif yang didukung dengan teori naratologi Gérard Genette (1972), teori analisis struktur naratif oleh Roland Barthes (1975), teori relasi kuasa oleh Foucault (1980), teori ekokritik oleh Graham Huggan dan Helen Tiffin (2006) dan konsep kepercayaan tradisional oleh Shweder (1991). Hasil analisis pada akhirnya menunjukkan bahwa terdapat relasi kuasa yang membuat seseorang melakukan kekerasan. Dalam relasi kuasa tersebut ada keterlibatan ilmu kepercayaan yang kemudian kepercayaan tersebut dijadikan dalih untuk melakukan kekerasan.

Myths and legends are a significant part of everyday life in Africa. This article discusses traditional beliefs in African societies, including the Congo, which are often used as an excuse for violence in the novel Mémoires de Porc-épic (2006) by Alain Mabanckou. The novel tells the story of how a human has a spiritual animal, in this context, the character Kibandi has a porcupine as his spiritual animal. Their story revolves around the murders committed by Kibandi through his spiritual animal. This study aims to reveal how beliefs can control a person to commit violence and how Kibandi commits violence through his spiritual animal as a marker of the beliefs he holds. The research method used is qualitative, supported by Gérard Genette's narratology theory (1972), Roland Barthes' narrative structure analysis theory (1975), Foucault's power relations theory (1980), Graham Huggan and Helen Tiffin's ecocritical theory (2006) and Shweder's concept of traditional beliefs (1991). The results of the analysis ultimately show that there are power relations that make someone commit violence. In this power relation, there is the involvement of beliefs which are then used as an excuse to commit violence. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Mumbunan, Erma Elda
"Kebebasan adalah lmplan setiap manusia Beragam upaya dilakukan manusia untuk mencapai kebebasan, termasuk melalui kreasl sastra sebagal alat yang memerlkan realita. Karenanya, karya tldak terlepas darl lingkungan, pengarang, dan gagasan yang disertakan pengarang ke dalamnya.
Salah satu kelompok sastrawan yang banyak mendasari gagasan kesusastraan mereka pada kebebasan ialah Junges Deutschland yang hidup di masa Restorasi (1815-1848). Mereka bersandar pada ide kebebasan ideal Revolusl Perancis yang berintikan demokratisasl sosial dan ekonoml Salah seorang sastrawan Jerman Muda ialah Georg Buchner. Ia banyak melahlrkan karya yang, berbeda dengan rekan seangkatannya, banyak berkonsentrasi pada kebebasan dan revolusi sosial. lde kebebasan sosial Bilchner dltuangkan dalam salah satu adikarya yang menjadi karya terakhimya, drama Woyzeck. Adalah siratan makna kebebasan dalam drama ini yang menjadi masalah utama tesis.
Untuk kepentingan analisis digunakan dua teori. Pertama ialah drama terbuka Volker Klutz yang rnencirikan drama Woyzeck, dari segi alur, sebagai das Ganze in Ausschnirten, yakni terdiri dari potongan adegan yang sifatnya utuh dan otonom hingga tidak membentuk alur secara linear. Hal ini membuat kesatuan ruang clan waktu tidak dijumpai dan memungklnkan terjadinya satu atau lebih kejadian dalam satu satuan waktu pada satuan ruang yang berbeda dalam cerita, Dari segi penokohan, drama Woyzeok tidak diterjemahkan dalam makna 'kejatuhan? seperti tragedi pada umumnya. Karena karakter utama dalam drama juga tldak digolongkan sebagai pro-maupun antagonis. Melalnkan, dianggap sebagai wakil dari golongan miskin kebanyakan. Dari segl bahasa, terdapat kemungkinan keragaman pemakaian bahasa token, yaknl pertukaran darl banasa tlnggl (Hochsprache) ke bahasa rendan (Umgangssprache).
Teori kedua ialah strulcturalisme genetllc Lucien Goldmann Goldmann menekankan pada model atau slruktur global yaitu struldur yang tersusun dari struktur formal yang leblh kecil dan berfungsi menyatakan skema dasar sistem bubungan antarmanusia dan manusia dan semestanya. Setiap karya memuat pandangan dunla, yakni struldurasi mental, berupa gagasan atau konsep teoritis sebagai respon pengarang terhadap kondlsl tertentu dalam konteks keseiaranan tertentu. Sehlngga karya diartikan sebagai totalitas bermakna yang mellbatkan pengarang, karya, clan lingkungan yang melatarbelakangi kecluanya.
Pada analisis dijumpal model global "gerak tertahan" yang menyatakan akllvitas, harapan, dan tentangan, sekallgus disertai keterbatasan dan represi balk pslkologis, sosial, maupun ilmiah- Model ini memetakan pertentangan dua golongan masyarakat Jerman Muda: miskin dan tak berpendidikan vs. kaya dan berpendidikan yang terbagi secara horisonlal dan vertikal. Hubungan horisontal antargolongan miskin dilandai dengan tema isolasi, kebisuan bahasa, moral, kerja, 'Natur?, dan posisi objek, Hubungan antargolongan kaya ditandai dengan tema kekuasaan, represi, bahasa yang berbicafa, dan posisi subjek. Secara vertikal, model global tersebut menyatakan slstem dasar hubungan masyarakat, yakni ketertindasan golongan bawah darl golongan atas sebagai gambaran realita fatalismus masyarakat bawah. Tampilan model global lnl merupakan pindahan realita ketimpangan sosial masyarakat Jerrnan Muda Dari fakta tersebut, Bdchner berharap rakyat dapat berkaca dan mengenall dlrl dan nasib mereka dan berjuang demi kebebasan mereka. Harapan ini merupakan slratan makna kebebasan sebagal pandangan dunia Bflohner yang dldasari pada makna demokralisasi soslo-elronomi sepertl dildealkan Revolusi Perancis.

Freedom is every man?s dream. Men have done many to have their freedom, including through literary creation that depicts reality. Within this concern, a work is much more functioned as a tool to get the freedom.
One of literary groups that bases much of their literary ideal on freedom is Young Germany which exists around the Restoration period (1815-1848). Mostly, they lean against the French Revolutionarys idealism of freedom that centers on socio-economic democratization. One of the Young Germany writers is Georg Buchner. He produces works that, quite different from his literary generation, concentrate much on the idea of social revolution and freedom. His idea of social freedom is inserted in one of his masterpiece that happenned to be his last work, the play of Woyzeck. If is the implied idea of freedom within that very work that becomes the main problem of this thesis.
Two theories used for the analysis. Hrst is Volker Klotz's opened drama that characterizes Woyzeck, by its plot, as das Ganze in Ausschnitten, i.e. consists of many fragmented scenes which completed and autonomous so that they do not form such a linear plot. This, in turn, makes no unities of time and place be found; rather, makes possible one or more events take place within one unit of time and different unit of place. By its characterization, Woyzeck cannot be perceived in the sense of "tragic fall" as usuatly a tragedy is. For the play's main character is neither a pro- nor an antagonist. Except that he is just a common representative of the poor masses. By the language, there is possibility of diverse language usage by its characters, i.e. a switching from high-language (Hochsprache) into low-language (Umgangssplache).
Second is Lucien Gofdmann?s genetic structuralism_ Goldmann stresses on a global structure or model consisting of others more partial formal structures which constitutes the global schema or system of relationship between men and between them and universe. Each work contains world view, ie. mental structuring, in form of idea or theoretical concept as the writer?s response towards specific condition within specific historical context. A work, then, is assumed to be a meaningful totality that includes the writer, the work, and the surrounding environment backgrounding the two.
The analysis shows "hindered move" as global model constituting activities, hopes, even protests that psychologically, socially, or scientifically barricaded or repressed. This model charts the clash between poor and uneducated vs. rich and educated classes of Young German society that divided horizontally and vertically. Horizontal relationship among poor masses typitied by themes of isolation, muted language, morality, working, ?literature, and object position; while among the rich power, repression, sounding language, and subject position. Vertically, the model constitutes basic system of societal relationship, i.e. subjugation of folks by the nobles, as a portrait of fafalism reality among the folks. The depiction of global model is nothing but a removal of the reality of social unequality into text as to people can mirror and recognize their own fates and selves. It is the people?s consciousness that they are being subjugated and, in turn, willing to fight for their freedom that becomes Buchner's implied meaning of freedom as his work's world view."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T4833
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahardhyani Primarista Putri
"Skripsi ini membahas makna di balik sosok le Ch ne dan le Roseau yang digambarkan dalam sajak ldquo Le Ch ne et le Roseau rdquo karya Jean de la Fontaine Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan teori struktural Hasil penelitian ini memperlihatkan adanya oposisi kuat dan lemah yang digambarkan melalui sosok le Ch ne dan le Roseau Keduanya merupakan lambang manusia dan sifat sifatnya.

The focus of this study is on the meaning of the characters le Ch ne and le Roseau based on the poem ldquo Le Ch ne et le Roseau rdquo by Jean de la Fontaine This is a qualitative research using the theory of structuralism The result of this research shows that le Ch ne and le Roseau are symbols of strong and weak These two characters also symbolize human and its traits."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S53372
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Hakim
"Dari pengalaman saya dalam mempelajari Bahasa Inggris di Universitas saya, saya melihat banyak sifat dan kekhasan dalam bagaimana kelas mengaplikasikan pembelajaran Inggris. Tiap guru menggunakan approach pembelajaran dan pengajaran Bahasa Inggris secara berbeda, dengan banyak variasi dan tidak ada standar untuk semua kelas. Tiap approach berbeda dan tergantung terhadap sifat pengajar dan ketertarikan mahasiswa dalam topik kelas. Menurut saya, hal ini membuat proses pengajaran dan pembelajaran Bahasa Inggris menjadi tidak efektif. Harus ada study yang didedikasikan untuk mencari approach yang paling efektif untuk pembelajaran dan pengajaran Bahasa Inggris; yang sekaligus efektif dan bisa diterima oleh dosen dan mahasiswa. Untuk mencari solusi atas masalah ini, artikel ini mempresentasikan hasil literature review tentang approach pembelejaran dan pengajaran Bahasa Inggris yang efektif, serta hasil survei yang meneliti topik ini. Survey ini dilakukan dengan mengirimkan kuestioner ke mahasiswa dan dosen Program Sastra Inggris di Universitas X Depok. Hasil dari analisis menunjukkan konklusi yang baru dan menarik. Mahasiswa dan dosen tidak memiliki preferensi kuat untuk approach yang spesifik. Mereka lebih tertarik dengan approach campuran yang menggunakan elemen dari berbagai approach yang berbeda. Mereka juga ingin approach ini terbuka, tidak dibatasi oleh kurikulum yang ketat dan dapat beradaptasi berdasarkan kebutuhan dosen dan mahasiswa. Hasilnya, masih banyak perhatian yang perlu diberikan untuk meningkatkan standar kelas Bahasa Inggris supaya approach pembelajaran dan pengajaran yang baru dapat diimplementasikan secara efektif dan meluas.

rom my experiences when learning English at my University, I noticed some peculiarities in how the class approach English learning. The way each teacher used English learning and teaching approaches was very different, with a lot of variations and no clear standard for each class. The approach used depended on individual teacher and the interest of learners on each topic. In my opinion, the different approaches that were used often resulted in learning and teaching processes that were not as effective as they should be. There needs to be a study dedicated on finding the most effective approach to English learning and teaching; one that is effective and well-received by both students and teachers. To find a solution to this problem, this paper presents the results of a literature review on effective English learning and teaching approaches and the results of a survey about this particular topic. The survey was conducted by sending a questionnaire to the students and teachers of the English Studies Program at University X in Depok. The results of the analysis show new & interesting conclusions. Students and teachers have no strong preference for any specific approaches. Instead, they are more interested in mixed approaches that have many elements from different approaches. They also want these approaches to be open, not limited to a rigid curriculum and are able to adapt based on students’ or teacher’s needs. More care and attention are needed to improve English classroom standard as a whole to make sure that these new approaches to learning & teaching are implemented in as many classes as possible."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Puri Bestari Mardani
"ABSTRAK
Permasalahan segregasi rasial yang memisahkan orang kulit putih dan kulit hitam yang mengemuka di Amerika pada tahun 1960-an masih saja didiskusikan hingga saat ini dalam berbagai sektor kehidupan termasuk dalam karya sastra. The Help 2009 memperlihatkan hubungan perempuan beda ras yang harmonis di Amerika berlatar periode tersebut. Perbedaan gambaran ini menarik untuk diteliti lebih lanjut. Tesis ini mencermati konstruksi sisterhood antar ras dengan mencermati struktur narasi, khususnya fokalisasi yang digagas oleh Mieke Bal 1999 . Selain itu, pemahaman konsep sisterhood oleh bell hooks juga digunakan dalam tesis ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teks menawarkan bentuk sisterhood baru yang mewadahi semua perempuan sebagai alternatif dari bentuk sisterhood sesama ras. Meskipun teks mengusung nilai kesetaraan, masih terlihat keberpihakan teks terhadap kulit putih yang menunjukkan bahwa teks tidak terlepas dari zamannya. Teks membawa ide kontemporer pada konteks 1960-an sehingga pada akhirnya terlihat bahwa perbedaan warna kulit memang tidak dapat diterima baik pada komunitas kulit putih maupun kulit hitam.Kata Kunci : Fokalisasi, Hubungan Perempuan, Segregasi Rasial, Sisterhood.

ABSTRACT
The issue of racial segregation that separated black and white people, which highlighted the life in America during 1960s, is still being discussed on various sectors of life including in literary works. The Help 2009 shows the harmonic relationship between women with different races in America on that period of time. This perspective is interesting to be analyzed. This thesis analyzes the construction of sisterhood between races using narrative structure, especially focalization initiated by Mieke Bal 1999 . In addition, an understanding of sisterhood concept by bell hooks is also used in this thesis. The results show that the text offers a new form of sisterhood that accommodates all women as an alternative from the form of the previous existing sisterhood. Although the text carries the value of equality, the text tends to take side to the white people which shows that the text is inseparable from its period. The text carries contemporary ideas in the 1960s context so it is certain that skin color differences are unacceptable to both white and black communities. Keywords Focalization, Racial Segregation, Sisterhood, Women rsquo s Relationship"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
T52053
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Thalia Cader
"Penelitian ini untuk mengkaji peran dan dampak NGO lingkungan di Indonesia, khusnya NGO JATAM dan Trend Asia dengan menggunakan perspektif poskolonialisme, khususnya perspektif yang diungkapkan oleh Gayatri Spivak. Dengan mengajukan pertanyaan penelitian “Dari segi apakah NGO lingkungan di Indonesia merupakan perpanjangan tangan Barat?”, penelitian ini menggunakan triangulasi dari data primer dan sekunder, yang kemudian dianalisis menggunakan Analisis Naratif. Penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan dinamika hubungan antara NGO lingkungan di Indonesia dengan Barat, dan dalam segi apakah peran mereka sejalan dengan konstruksi kekuasaan kolonialisme. Hasil penelitian ini mengungkapkan dua jawaban, yaitu framework asimetris yang diberikan oleh Barat terhadap NGO dan imaginary creation tentang peran NGO yang 'memberdayakan'. Pertama, NGO terjebak dalam framework asimetris yang diberikan oleh Barat, melalui skema pendanaan yang mereka terima, NGO akhirnya tunduk pada agenda yang didominasi oleh kepentingan Barat. Kedua, Barat berhasil menciptakan imaginary creation terhadap NGO melalui ‘pemberdayaan’, narasi yang diciptakan oleh Barat untuk melanggengkan dominasinya ini akhirnya membuat NGO menyederhanakan representasi terhadap masyarakat masyarakat termarjinalkan dan gagal meruntuhkan struktur kolonialisme. Terakhir, berbeda dengan klaim Spivak bahwa NGO menjadi agen colonizers yang merampas suara masyarakat, penelitian ini menemukan bahwa respon NGO terhadap dominasi Barat dapat bervariasi, dengan bargaining power yang kuat, maka NGO memiliki kemampuan untuk lepas dari dominasi Barat. Penelitian ini memberikan kontribusi dalam memahami kompleksitas hubungan antara NGO lingkungan di Indonesia dengan Barat dalam konteks poskolonial.

This research aims to examine the role and impact of environmental NGOs in Indonesia, specifically  JATAM and Trend Asia, using a postcolonial perspective, particularly the perspective articulated by Gayatri Spivak. By posing the research question "To what extent are environmental NGOs in Indonesia an extension of the West?", this thesis used triangulation of primary and secondary data, which were then analyzed using narrative analysis. The research seeks to uncover the dynamics of the relationship between environmental NGOs in Indonesia and the West, and whether their roles align with the construction of colonial power. The findings of this research reveal two answers. Firstly, NGOs are trapped in the asymmetric framework imposed by the West, as they become reliant on the funding schemes they receive, ultimately yielding to agendas dominated by Western interests. Secondly, the West successfully creates an imaginary creation of NGOs through "empowerment," a narrative crafted to perpetuate its dominance. This results in NGOs simplifying the representation of marginalized communities and failing to dismantle colonial structures. Contrary to Spivak's claim that NGOs become agents of colonizers who usurp the voices of the people, this research finds that NGOs' responses to Western domination can vary. With strong bargaining power, NGOs have the ability to break free from Western domination. This research contributes to understanding the complexity of the relationship between environmental NGOs in Indonesia and the West within the postcolonial context."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>