Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 66419 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dyanisa Ramadhani Salsabila
"Kamp pengungsian imigran di Calais dibuat pada tahun 1999 dan kemudian ditiadakan secara resmi pada tahun 2002. Walaupun sudah ditiadakan, para imigran tetap datang dan membangun kamp secara ilegal. Kamp ini diberikan julukan kamp Calais “Jungle” pada tahun 2009 setelah kamp terus menerus berkembang karena jumlah imigran yang terus bertambah. Pada tahun 2014, jumlah imigran yang mengungsi di kamp ini mencapai 6.000 jiwa. Suatu komunitas sosial terbentuk dari berbagai etnis yang ada. Komunitas ini bekerjasama dan membuat sistemnya sendiri dalam menjalankan kehidupan mereka. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dari Creswell (2009) dengan korpus komunitas kamp imigran Calais “Jungle” pada tahun 2009-2016. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori state of exception (Agamben, 1995) dan teori Kapital Sosial (Bourdieu, 1986) untuk meneliti komunitas dan sistem sosial di dalam kamp Calais “Jungle”. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana sistem sosial yang terbentuk dari konstruksi sosial yang terjadi di dalam kamp. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa dalam lingkungan kamp terdapat sistem sosial baru yang merupakan hasil dari pengabaian hukum yang seharusnya berlaku dan terdapat pihak yang menjadi dominasi dalam kegiatan sosial dan ekonomi dalam komunitas sosial di dalam kamp, yaitu kelompok imigran dari Afganistan.

The immigrant refugee camp in Calais was created in 1999 and then officially abolished in 2002. Even though it was abolished, immigrants continued to come and build camps illegally. The camp was given the nickname the Calais “Jungle” camp in 2009 after the camp continued to expand due to the growing number of immigrants. In 2014, the number of immigrants seeking refuge in the camp reached 6,000. A social community is formed from various existing ethnicities. This community works together and creates its own system in carrying out their lives. This study uses a qualitative method from Creswell (2009) with the Calais “Jungle” immigrant camp community corpus in 2009-2016. The theory used in this study is the theory of state of exception (Agamben, 1995) and the theory of Social Capital (Bourdieu, 1986) to examine the community and social system in the Calais “Jungle” camp. This study aims to see how the social system is formed from the social construction that occurs in the camp. The results of this study are that in the camp environment there is a new social system which is the result of ignoring the law that should apply and there are parties who dominate social and economic activities in the social community in the camp, namely immigrant groups from Afghanistan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nikitha Aqilla Rahmalena
"Penelitian ini mengkaji peran Tim Penanggulangan dan Pengelolaan Pengungsi Vietnam (P3V) dalam pengelolaan Kamp Pengungsi Vietnam di Pulau Galang Kepulauan Riau pada tahun 1979-1989. Kedatangan pengungsi Indocina di Indonesia telah membawa berbagai masalah yang berpotensi mengganggu stabilitas keamanan. Dalam upaya menangani para pengungsi, Indonesia menjalin kerjasama dengan UNHCR dan merumuskan solusi resettlement untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Untuk mempermudah proses resettlement, Indonesia membangun kamp pengungsi di Pulau Galang yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan layanan untuk mendukung proses pemeriksaan, penempatan, dan persiapan para pengungsi sebelum direlokasi ke negara tujuan. Kegiatan pengelolaan kamp pengungsi di Pulau Galang diselenggarakan di bawah koordinasi Tim P3V yang dibentuk oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan, sebagai perwakilan Pemerintah Indonesia, yang berwenang dalam mengambil keputusan dan bekerjasama dengan berbagai pihak, termasuk UNHCR dan lembaga lainnya. Penelitian ini menerapkan metode sejarah yang meliputi heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi dengan sumber data yang digunakan berasal dari media massa sezaman seperti surat kabar dan majalah, serta buku dan artikel jurnal yang membahas topik serupa. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, telah dijelaskan mengenai kebijakan Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan masalah pengungsi Indocina dengan membangun kamp pengungsian yang berfungsi sebagai tempat pemrosesan, namun belum ada pembahasan yang lebih detail mengenai tim yang berperan penting dalam mengelola kamp tersebut, yaitu Tim P3V. Hasil penelitian ini mengungkap peran Tim P3V sebagai tim operasional dalam penanganan pengungsi Indocina di Indonesia. Peran mereka meliputi koordinasi antar lembaga pemerintah dan non-pemerintah, serta pengelolaan kamp pengungsian di Pulau Galang.

This study examines the role of the Vietnamese Refugee Response and Management Team (P3V) in the management of the Vietnamese Refugee Camp on Galang Island, Riau Islands in 1979-1989. The arrival of Indochinese refugees in Indonesia has brought various problems that have the potential to disrupt security stability. In an attempt to deal with the refugees, Indonesia cooperated with UNHCR and formulated a resettlement solution to solve the problem. To facilitate the resettlement process, Indonesia built a refugee camp on Galang Island equipped with various facilities and services to support the process of examining, placing, and preparing refugees before being relocated to the destination country. The management activities of the refugee camp on Galang Island are organized under the coordination of the P3V Team formed by the Department of Defense and Security, as a representative of the Indonesian Government, which is authorized to make decisions and cooperate with various parties, including UNHCR and other institutions. This study applies the historical method which includes heuristics, criticism, interpretation, and historiography with the data sources used coming from contemporary mass media such as newspapers and magazines, as well as books and journal articles that discuss similar topics. Based on previous studies, it has been explained about the Indonesian Government's policy to solve the problem of Indochinese refugees by building refugee camps that serve as processing places, but there has been no more detailed discussion of the team that plays a significant role in managing the camp, namely the P3V Team. The results of this study reveal the P3V Team's role as an operational team in handling Indochinese refugees in Indonesia. Their role includes coordination between government and non-government institutions, as well as management of the refugee camp on Galang Island. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohaddeseh Maktabifard
"ABSTRACT
Homs is a Syrian city that has gone through a drastic change by the affection of today rsquo s Syrian civil war. Drained of city rsquo s population from 823,000 2008 to 200,000 individuals 2016 , 1 is a token, that echoes the lost voice of the sense of identity as large number of city rsquo s inhabitants turned into refugees and Zaatari Refugee Camp as a haven has become all they seek for. In this thesis study, the extent of depicted traces of conformity between Zaatari refugee camp rsquo s architecture and Homs rsquo multilayered traditional architecture is analyzed. Furthermore, studies on French Mandate era as a gap in Homs history that separated the memory of Homs rsquo one social group within the architecture of mixity from today brought this thesis study to conclusion of how refugees attempted to apply their identity and write absent moments down in Zaatari self assemblage camp context.

ABSTRACT
Homs adalah kota Syria yang telah mengalami perubahan drastis oleh perang saudara Syria. Telah terjadi pengurangan populasi kota dari 823,000 2008 sampai 200,000 individu 2016 , adalah sebuah tanda, yang mencerminkan suara identitas yang hilang ketika jumlah besar masyarakat menjadi pengungsi dan Kamp Pengungsi Zaatari sebagai surga yang mereka mencari. Dalam penelitian skripsi ini menjangkau jejak yang melukiskan kesesuaian antara arsitektur kamp pengungsi Zaatari dan arsitektur tradisional berlapis Homs. Selanjutnya, penelitian era Mandat Perancis sebagai celah di sejarah Homs yang memisahkan ingatan satu group sosial Homs dalam arsitektur mixity sejak sekarang membawa studi skripsi ini kepada kesimpulan bagaimana pengungsi mencoba untuk menerapkan identitas mereka dan menulis saat yang tidak hadir di camp rakit sendiri Zaatari. "
2017
S67599
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Tri Fitriani
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh dari dukungan sosial melalui kelompok dukungan terhadap kesehatan mental pengungsi dan pencari suaka yang bertempat tinggal di akomodasi komunitas. Pendekatan kesehatan mental secara menyeluruh (complete mental health) digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebuah kondisi yang tidak sekedar bebas dari penyakit namun juga melibatkan hadirnya kondisi kesehatan mental positif Kelompok dukungan menggunakan disain quasi eksperimen berupa one group pre-test and post-test design dilakukan dalam tiga sesi dan diikuti oleh sembilan orang pengungsi dan pencari suaka perempuan dari Afghanistan, Iran, Palestina dan Sri Lanka yang bertempat tinggal di akomodasi komunitas Tangerang Selatan. Terdapat peningkatan kondisi kesehatan mental pada pengungsi dan pencari suaka setelah mengikuti kelompok dukungan, yang ditandai dengan penurunan nilai rata-rata gejala penyakit mental dan kenaikan nilai rata-rata kondisi kesehatan mental positif, namun perubahan yang dihasilkan pada intervensi ini tidak signifikan secara statistik.

The purpose of this study was to examine the impact of social support through group support on mental health of refugees and asylum seekers. The complete mental health approach was used in this study, which is a condition that is not merely the absence of mental illness but also involving the presence of positive mental health. A support group using one group pre-test and post-test quasi experimental design was carried out in three sessions and participated by nine refugee and asylum seeker women from Afghanistan, Iran, Palestine and Sri Lanka living at community accommodation in South Tangerang. The mental health of refugees and asylum seekers improved after participating the support group which was marked by the decrease in mean score of mental illness symptoms and the increase in mean score of positive mental health, however the improvement of mental health resulted from this intervention was not statistically significant.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
T44578
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salwa Aulia
"Pergeseran kebijakan Turki dari Open Door Policy menjadi Close Door Policy pada tahun 2015 berdampak terhadap ruang gerak pengungsi Suriah yang ada di Turki, sehingga dalam penelitian ini akan membahas apa yang menyebabkan Turki merubah kebijakannya dalam urusan pengungsi Suriah, tercatat hingga tahun 2017 Turki menjadi negara penerima pengungsi  terbanyak dalam kurun waktu tujuh tahun. Proses pengumpulan data dilakukan dengan dua jenis. Pertama, pengumpulan data primer melalui wawancara sekretaris tiga Duta Besar Turki untuk Indonesia di Jakarta dan wawancara kepada salah satu warga local dari Gaziantep salah satu daerah perbatasan Turki dengan Suriah dan bekerja sebagai staf PBB yang aktif di beberapa NGO. Kedua, pengumpulan data sekunder diperoleh melalui beberapa kajian pustaka salah satunya buku, penelitian terdahulu, artikel, jurnal dan informasi dari media elektronik. Penelitian ini menggunakan Teori kebijakan public dan konsep pengungsi yang digunakan untuk menganalisa fakto-faktor yang mempengaruhi Turki mengambil kebijakan tersebut, dan dampaknya terhadap para pengungsi, Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa salah satu faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan Turki adalah keamanan, ekonomi, politik dan sosial. Sehingga tujuan dari penelitian ini bisa menjawab permasalahan dan hasilnya bisa dijadikan acuan atau literasi dalam aktivitas akademik.

Turkey's policy shift from the Open Door Policy to the Close Door Policy in 2015 impacted Syria's refugee movement in Turkey, This research discusses about Turkish policy toward Syrian refugees, Turkey is the country with the largest Syrian refugees until 2017. This study is a qualitative research by using descriptive analysis method. Primary data is collected through interviews with of the third Turkish Ambassadors to Indonesia in Jakarta and second  interview to one of the local citizens from Gaziantep Mr. Beyhan working as an active United Nations staff in several NGOs. Secondary data are used to help elaborating several points in this present research, obtained via library printed researches, articles, journals and electronic data publication. This study uses the theory of public policy, Conflict Theory and the concept of refugees used to analyze the factors influencing Turkey's policy, and its impact on the refugees. Based on research conducted that one of the factors affecting Turkish policy is security, economy, politics and social. So the purpose of this study can answer the problems and the results can be used as a reference or literacy in academic activities."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2018
T51724
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moh Suyuti Kholil
"ABSTRAK
Konflik bernuansa SARA di Maluku tahun 1999 hingga saat ini masih menyisakan masalah pengungsi yang belum terselesaikan dengan tuntas. Mereka masih merasakan trauma konflik, sehingga rentan konflik dan bersikap intoleran. Di ruang publik, mereka tidak menunjukkan adanya sikap intoleran, namun di ruang privat masih terdapat sikap intoleran. Dari tiga konstruk intoleran, yaitu prejudice, stereotype dan racism, konstruk yang dinilai paling dominan adalah prejudice terhadap kelompok masyarakat lain. Oleh karena itu, untuk meningkatkan sikap toleran pengungsi konflik dilakukan intervensi dengan menurunkan tingkat prejudice-nya. Teknik intervensi yang digunakan adalah Living Values Education (LVE) dan teknik kontak berdasarkan contact hyphotesis theory. Setelah dilakukan intervensi terhadap target, evaluasi data kuantitatif pre test dan post test dilakukan dengan teknik analisis t-test, dengan N = 11 dan pernyataan yang terdiri dari 31 item. Hasil analisa menunjukkan adanya perubahan yang signifikan dengan nilai p = 0,001 dan interval nilai mean pre test dan mean post test sebesar 17,09.

ABSTRACT
SARA nuanced conflict in Maluku in 1999 until today still leaving unresolved internally displaced persons problem completely. They still feel the trauma of conflict, leaving it vulnerable conflict and being intolerant. In public spaces, they do not indicate intolerance, but in the private sphere there is still intolerance. Of three construct intolerant, namely prejudice, stereotype and racism, the construct considered the most dominant is the prejudice against other groups. Therefore, to increase the tolerance for internally displaced person, intervention to reduce the level of its prejudice. Intervention techniques used are Living Values Education (LVE) and contact technique based contact hypothesis theory. After the intervention of the targets, evaluating quantitative data pre test and post test was performed using t-test analyzes, with N = 11 and a statement that consists of 31 items. Results of the analysis indicate a significant change in the value of p = 0.001 and the interval of the mean pre-test and post-test mean of 17.09."
2016
T45238
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reyra Dewanti Kumala Raden
"Indonesia sebagai negara bukan anggota dari Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi (Konvensi Pengungsi) sering kali disalahkan atas ketidakmampuannya dalam pemenuhan hak pendidikan pencari suaka anak dan pengungsi anak. Posisi hukum suatu negara terhadap suatu konvensi merupakan landasan dari terbentuknya kewajiban negara tersebut atas ketentuan yang terdapat didalamnya. Adanya keikutsertaan Indonesia di dalam konvensi hak asasi manusia lainnya menyebabkan ketidakpastian atas standarisasi pemenuhan hak pendidikan anak berdasarkan statusnya sebagai pencari suaka maupun pengungsi. Maka, berdasarkan masalah ini, peneliti melakukan penelitian berdasarkan metode penelitian hukum normatif kualitatif melalui studi kepustakaan. Selanjutnya penemuan atas penelitian bahwa dalam hal kewajiban negara bukan pihak dalam Konvensi Pengungsi terhadap hak pendidikan anak, terdapat 2 kewajiban yaitu penerimaan berdasarkan non-refoulement dan penghormatan atas hak asasi manusia yang keduanya merupakan bagian dari hukum adat internasional. Sebagaimana hasil penelitian, seharusnya komunitas internasional membantu secara aktif upaya pemenuhan hak pendidikan pencari suaka anak dan pengungsi anak melalui kontribusi nyata baik secara langsung maupun tidak langsung dan bukannya menuntut pemenuhan hak tersebut secara sepihak kepada negara-negara bukan pihak, yang dalam hal ini salah satunya adalah Indonesia.

Indonesia as a non-party to the 1951 Convention on the Status of Refugees (the Refugee Convention) is often blamed for its inability to fulfill the educational rights of child asylum seekers and child refugees. The legal position of a country towards a convention is the basis for the formation of the country's obligations for the provisions contained therein. The existence of Indonesia's participation in another human rights conventions causes uncertainty over the standardization of the fulfillment of children's education rights based on their status as asylum seekers or refugees. Therefore, based on this problem, the researcher conducts research based on qualitative normative legal research methods through literature study. Furthermore, the findings from the research show that in terms of the obligations of a country that is not a party to the Refugee Convention towards  children's education rights, there are 2 obligations, namely acceptance based on non-refoulement and respect for human rights, both of which are parts of international customary law. As the research results, the international community should actively assist efforts to fulfill the educational rights of child asylum seekers and child refugees through real contributions, either directly or indirectly, instead of demanding the fulfillment of these rights unilaterally to non-parties, which in this case is Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri K.T.M.
"Penelitian ini akan berupaya mencermati aktifitas United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), yaitu rezim perlindungan pengungsi internasional, di Nepal. UNHCR yang merupakan salah satu agen profesional dalam tubuh keorganisasian PBB muncul sebagai penerus dari United Nations Relief and Rehabilitation Administration (UNRRA) dan setelah itu International Refugee Organization (IRO) sebagai organisasi perlindungan pengungsi sebelum UNHCR yang dibentuk oleh LBB (Liga Bangsa-Bangsa). Perpindahan penduduk dalam jumlah besar dari satu negara ke negara lain tentu memberikan dampak yang mencakup berbagai aspek, termasuk aspek kemanusiaan yang dialami para pengungsi, aspek kebijakan host country dalam menangani arus pengungsi yang masuk, serta aspek internasionalisasi isu pengungsi di negara tersebut. Dengan demikian, peran UNHCR dalam menanggulangi dampak-dampak tersebut sangat penting untuk dianalisa.
Penelitian ini bersifat deskriptif, memberikan latar belakang sejarah terjadinya kasus pengungsian penduduk Bhutan hingga tiba di Nepal, dan juga kondisi domestik Nepal pada tahap penerimaan populasi pengungsi yang jumlahnya hingga lebih dari seratus ribu jiwa. Selain itu, penelitian ini bertujuan menganalisa peran-peran yang dijalankan oleh UNHCR bagi populasi pengungsi Lhotshampa di Nepal. Pembahasan peran tersebut akan dipaparkan mulai dari kerangka kehadiran UNHCR di Nepal, hingga aktifitas-aktifitas yang mereka laksanakan untuk kaum Lhotshampa sejak tahun 2000 hingga tahun 2004. Berbagai aktor yang terlibat ialah Royal Government of Bhutan (RGOB), Pemerintah Nepal dan badan-badan pemerintahan yang turut terlibat dalam proses perlindungan pengungsi, NGO internasional dan lokal di Nepal, beberapa sister organization UNHCR di dalam tubuh organisasi PBB, dan para pengungsi itu sendiri. Aktoraktor ini memainkan peranan yang saling berkaitan dengan UNHCR, serta dengan satu sama lain.
Konsep yang digunakan untuk menjelaskan peran UNHCR di Nepal ialah konsep mengenai peran IGO dalam mengatasi sebuah permasalahan dalam kajian hubungan internasional (Kelly-Kate S. Pease). Berdasarkan konsep tersebut, sebuah IGO hadir dan beroperasi dalam sebuah atmosfir sistem internasional yang sarat akan kerjasama dan konflik, dan dimana karakteristik yang nampak ialah adanya complex interdependence. Aktor-aktor memiliki rasa saling ketergantungan dalam menanggulangi berbagai isu, sehingga melalui suatu bentuk kerjasama mereka membangun sebuah rezim untuk suatu isu tertentu. Rezim itu sendiri memupuk kerjasama beragam aktor, tidak hanya aktor negara, melainkan aktor-aktor non-negara. Peran yang dijalankan sebuah IGO sendiri tersebut terdiri dari lima peran, yaitu: Membantu negara-negara mengatasi masalah inernasional secara kolektif; mengembangkan kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan global; membantu masyarakat internasional menyerap dan mengembangkan nilai-nilai dan norma-norma sosial; sebagai pemersatu masyarakat internasional dengan mekanisme common global market; dan terakhir, menyediakan bantuan kepada ?victims of international politics?.
Hasil temuan yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah bahwa UNHCR hanya memainkan empat dari lima peranan dari IGO yang dirumuskan oleh Pease. Tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi performa UNHCR dalam melindungi para pengungsi. Meskipun demikian, UNHCR tidak berhasil memenuhi mandatnya untuk mencapai solusi terbaik bagi para pengungsi di Nepal, dan kasus tersebut terus menjadi krisis yang berkepanjangan pula. Hal itu dikarenakan UNHCR tidak memiliki hak untuk mempengaruhi kebijakan dalam pembicaraan-pembicaraan bilateral pemerintah dua negara yang terlibat pada proses pencarian solusi terbaik selama tahun 2000 hingga 2004. UNHCR memang tidak memiliki hak untuk campur tangan dalam pembuatan kebijakan negara, meskipun demikian, hal tersebutlah satu-satunya hambatan bagi para pengungsi untuk mendapatkan solusi terbaik, baik melalui repatriasi sukarela, relokasi ke negara ketiga, ataupun integrasi ke dalam host country.

This research is observing the activities of United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), which is the international refugee protection regime, in Nepal. UNHCR as one of the many professional agency in the United Nations (UN) is the predecessor of two prior organizations concentrating on refugee assistance, United Nations Relief and Rehabilitation Administration (UNRRA) and International Refugee Organization (IRO), both formed by the League of Nations. The enormous amount of people migrating from one country to another definitely poses some significant impact on so many levels. These levels include humanitarian crises suffered by the refugees, host country?s policy on how to manage the refugee influx, and the internationalization of the certain country`s refugee problem. Hence, UNHCR?s role in assisting such impacts is critical to be analyzed.
The nature of this research is descriptive, portraying a historical background on how the Bhutanese refugee crises emerged up to the point of which they arrived in Nepal, also the domestic situation in Nepal on the emergency phase when the refugee influx of more than 100,000 people poured in to the country. In addition, this research aims to analyze the roles UNHCR played for the Lhotshampa (Bhutanese) refugees in Nepal. It will be elaborated starting from the framework of UNHCR?s presence in Nepal, and the activities it has executed for the Lhotshampas during year 2000 up to year 2004. Actors involved in the refugee crises are Royal Government of Bhutan (RGOB), Nepalese government and its agents that is related to the refugee protection effort, international and local NGOs, some of UNHCR?s sister organization in the UN, and the refugees themselves. Each of these actors play interrelated roles with UNHCR and with each other as well.
To clarify the roles of UNHCR in Nepal, the concept used is the role of IGO in international problem-solving (Kelly-Kate S. Pease). According to the concept, an IGO exists and operates in an international system that consists of cooperation and conflict among the actors, in which the evident characteristic of such interactions is a complex interdependence. Actors feel mutually dependent in solving issues with international impacts, that they unite and establish regimes for certain issues. These regimes foster cooperation among, not only inter-state, but also involves non-state actors. There are five roles that IGO s play: Help countries respond to international problems in a collective manner; developing economic prosperity and global welfare; assist international community absorb and generate social values and norms; unite international community with common global market mechanism; and last, provide assistance for the ?victims of international politics?.
Main findings obtained from this research is that UNHCR only played four, out of five IGO roles elaborated by Pease. However, it didn?t affect UNHCR`s performance in protecting the refugees. Even so, UNHCR could not attain the intended durable solution for the Bhutanese refugees as it is mandated, and in fact, it kept on being a protracted refugee situation. This happens because UNHCR did not have the right to influence the policies made under bilateral talks held by Bhutanese and Nepalese government on the process of determining the best durable solution, during 2000 to 2004. It is true that UNHCR cannot interfere with a country?s policy, yet it still is the one obstacle for the refugees to get a durable solution, whether through voluntary repatriation, third country resettlement, or integration to the host country."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Wahyudin
"Tujuan dari penulisan tesis ini adalah untuk menunjukkan dan memperlihatkan bahwa kegiatan remaja dalam summer sport camp di Amerika dapat dijadikan media pengembangan kemampuan keterampilan fisik dan pengembangan kemampuan moral etika yang dapat ditunjukkan melalui pengembangan kemampuan kognitif, psikomotor, dan afektif.
Permasalahan dalam tesis ini adalah mengenai keikutsertaan remaja di Amerika dalam aktivitas summer sport camp berkaitan dengan pengembangan kemampuan keterampilan fisik dan pengembangan kemampuan moral etika.
Masa remaja merupakan masa penuh gejolak sehubungan dengan perubahan hormonal dalam diri remaja. Mengikuti summer sport camp di Amerika merupakan kegiatan yang popular di kalangan anak-anak dan remaja. Selain menawarkan berbagai program dan aktivitas yang menyenangkan, para remaja peserta summer sport camp dapat memanfaatkan keikutsertaannya untuk berlatih mengembangkan kemampuan keterampilan fisik dalam olah raga tertentu, juga dapat digunakan untuk berlatih mengembangkan kemampuan pemahaman tentang moral etika melalui proses praktek berlatih (drill} dan bermain yang menyenangkan atau learning by doing with pleasure.
Tesis ditulis menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan metode interpretive dan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan dengan meneliti dan mengkaji konsep-konsep yang berhubungan leisure, summer camp, olah raga, dan nilai-nilai budaya Amerika yang terkandung dalam olah raga.
Keikutsertaan remaja dalam summer sport camp menunjukkan dan memperlihatkan perubahan kemampuan remaja dalam penguasaan keterampilan fisik yang dapat ditunjukkan melalui pengembangan kemampuan kognitif, psikomotor, dan afektif yang meliputi pengembangan organ, pengembangan neuromusekuler, Pengembangan intelektual, pengembangan emosi, dan pengembangan kemampuan sosial. Praktek latihan dalam summer sport camp juga merupakan proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai budaya Amerika seperti: kerja keras, kompetisi, fairness, prestasi, dan lain-lain.
Aktivitas dalam summer sport camp juga merupakan proses pembentukan karakter Amerika seperti self reliance yaitu percaya terhadap kemampuan diri sendiri, mandiri, dan selalu berprestasi untuk menjadi yang terbaik (to be the number one).

Adolescents' Summer Sport Camp in America The purpose of writing this thesis is to show that adolescents' activities in the Summer Sport Camp in America are the media of the development of both physical-skill and moral-ethics capabilities, which are shown through the development of cognitive, psychomotor, affective capabilities.
The research problem of this thesis is that the participation of American adolescent in the Summer Sport Camp is related to the development of physical-skill and moral-ethics capabilities.
Adolescent time is a critical period because of hormonal changes. In America participating in Summer Sport Camp is popular with adolescents. In addition to a number of amusing programs and activities, Summer Camp participants can make good use of their participation in order to develop physical skills in a certain sport and to practice developing the understanding of moral ethics through drilling and playing (learning by doing with pleasure).
This thesis uses the qualitative methodology with the interpretive approach and the library research in data collecting. I study concepts related to leisure, the Summer Camp, sport, and American cultural values in sports.
The participation of adolescents in the Summer Sport Camp shows the shift of their capabilities in mastering physical skills, which is shown through the development of cognitive, psychomotor, and affective skills, covering the development of organs, neuromuscular, intellectuality, emotion, and sociability. The exercises in the Summer Sport Camp are also the socialization and internalization of the American cultural values such as hard work, competition, fairness, and merit.
Activities in the Summer Sport Camp are a process of developing such an American character as self-reliance, a belief in oneself: independence and ongoing desire to become number one.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T12255
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifandi Septiawan Nugroho
"Kamp interniran merupakan ruang pengasingan penduduk sipil Eropa yang dipakai oleh Jepang sejak menduduki Indonesia pada Maret 1943. Kamp interniran dibuat dengan menduduki dan meminjam ruang-ruang yang sudah ada sebagai media politik ingatan Jepang, dengan memisahkan penduduk lokal dari pengaruh Belanda pada ruang sosial sehari-hari. Di Kesilir, Jepang membuat kamp interniran dengan mengubah wilayah perkampungan dan perkebunan era kolonial sebagai eksperimen desa mandiri untuk penduduk Eropa. Perubahan ruang eksisting ke kamp interniran menjadikan ruang sosial kamp interniran Kesilir sebagai ruang liminal, yakni ruang di antara dua keadaan: lama dan baru, pemisahan dan penggabungan, temporer dan permanen. Studi ini bertujuan melihat hubungan antara arsitektur, politik ingatan, dan liminalitas di kamp interniran Kesilir. Sebagai tempat persilangan penduduk di masa akhir kolonial, kamp interniran Kesilir menjadi arena tumbuhnya subjektivitas dan ambiguitas ingatan kolektif. Kamp interniran Kesilir menjadi instrumen penting untuk mengidentifikasi arsitektur dalam konteks dinamika perubahan sosial penduduk pada masa akhir kolonial di Indonesia. Arsitektur kamp interniran Kesilir berperan sebagai aparatus pemisahan, pendisiplinan, dan kontrol, di saat yang bersamaan menjadi tempat interaksi sosial, transaksi, dan negosiasi. Penelusuran memori di kamp interniran membutuhkan analisis gambaran lingkungan visual, kehidupan sosial, dan politik propaganda Jepang yang terjadi baik di dalam maupun luar kamp interniran. Untuk melakukan itu, penelitian ini mencoba menggabungkan studi arsip arsitektur, studi lapangan, dan studi literatur teori memori kolektif dan ruang liminal.

The internment camp was an exile space for European civilians used by the Japanese military government when occupying Indonesia in March 1943. The internment camp was created by occupying and borrowing existing spaces as a medium for Japanese's politics of memory, by separating the residents from the Dutch influence on everyday social space. In Kesilir, the Japanese created internment camps by converting colonial-era settlements and plantations into self-sufficient village experiments for European residents. The change from the existing space to an internment camp makes the social space of the Kesilir internment camp a liminal space, the space in between two conditions: old and new, separation and incorporation, temporary and permanent. This study examines the relationship between architecture, memory politics, and liminality in the Kesilir internment camp. As an intersection place of people in the late colonial period, the Kesilir internment camp became an arena for the extension of subjectivity and ambiguity of collective memory. The Kesilir internment camp became an important instrument for identifying architecture in the context of the dynamics of social change in the population during the late colonial period in Indonesia. The architecture of the Kesilir internment camp acts as an apparatus of separation, discipline and control, at the same time as a place of social interaction, transactions and negotiations. Tracing memories in internment camps requires an analysis of the visual environment, social life, and Japanese propaganda politics that took place both inside and outside the internment camp. Thus, this research combines architectural archival studies, field studies, and literature studies of the theory of collective memory and liminal space."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>