Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 71224 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Naja Nurizkya
"Penelitian ini menyoroti kekosongan pengaturan secara khusus mengenai transaksi benturan kepentingan oleh Direksi PT yang memiliki unsur kepentingan pribadi sehingga dapat merugikan PT atau dalam doktrin hukum dikenal sebagai self dealing transaction. Bahwa UUPT di Indonesia hanya memberikan penekanan terhadap tugas fidusia (fiduciary duty) yang diemban oleh Direksi PT, tanpa secara tegas melarang self dealing transaction. Pengaturan di Amerika Serikat, Australia, dan Belanda mengakui langkah-langkah preventif dalam menghadapi self dealing transaction. Model Business Corporation Act 2016 di Amerika Serikat mengatur kriteria seperti pengungkapan kepentingan pribadi yang material, voting oleh mayoritas anggota Direksi atau pemegang saham yang tidak berkepentingan, dan aspek keadilan transaksi bagi perseroan. Di Australia, Corporations Act 2001 membutuhkan pengungkapan kepentingan dan persetujuan RUPS yang mempertimbangkan keuntungan perseroan. Di Belanda, Burgerlijk Wetboek Boek 2 menyatakan Direksi yang berkepentingan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan transaksi. Hal ini menunjukkan adanya kesamaan prinsip pengaturan self dealing transaction dengan memberikan precaution indicators untuk menjaga keadilan dan kepentingan PT. Dalam memeriksa dan memutus kasus terkait transaksi benturan kepentingan, Majelis Hakim di Indonesia masih menghadapi kesulitan dalam mendefinisikan transaksi benturan kepentingan antara Direksi dan perseroan yang dipimpinnya. Hakim cenderung bersifat normatif dengan hanya mempertimbangkan aspek formalitas, yaitu adanya persetujuan RUPS. Pada beberapa kasus, ketiadaan dalam hal transparansi Direksi dalam hal pengungkapan kepentingan pribadi maupun tidak adanya keterlibatan dari Direksi, Dewan Komisaris, dan pemegang saham yang tidak berkepentingan dalam pengambilan keputusan terkait transaksi benturan kepentingan. Berbeda dengan negara-negara tiap perbandingan, langkah-langkah preventif oleh Direksi yang memiliki kepentingan menjadi sangat penting dalam mengevaluasi keabsahan persetujuan RUPS oleh Majelis Hakim dan mencegah terjadinya praktik self dealing transaction yang merugikan PT. Melalui penilaian Hakim terhadap langkah-langkah preventif tersebut, persetujuan RUPS dapat memenuhi standar hukum yang ditetapkan dan melindungi kepentingan perseroan, para pemegang saham, dan memberikan perlindungan hukum bagi Direksi yang berkepentingan.

This thesis sheds light on the specific lack of regulations regarding self-dealing transactions by Directors of PT (Limited Liability Company) in Indonesia, where personal interests can harm the company. Unlike other countries like the United States, Australia, and the Netherlands, Indonesian law does not explicitly prohibit self-dealing transactions, focusing only on fiduciary duty obligations. In the United States, the Model Business Corporation Act 2016 outlines criteria such as disclosing material personal interests, voting by disinterested Directors or shareholders, and ensuring fairness in transactions. Australia's Corporations Act 2001 requires interest disclosure and approval from shareholders, considering the company's benefit. In the Netherlands, the Dutch Civil Code Book 2 states that interested Directors should not participate in decision-making. These regulations emphasize preventive measures and protect the company's interests. However, Indonesian judges face challenges in defining conflict of interest transactions between Directors and their companies. They often consider formal aspects, like approval from shareholders, without assessing transparency or the involvement of disinterested parties. This differs from other countries that emphasize preventive measures taken by Directors with personal interests to evaluate the validity of shareholder approvals and prevent harmful self-dealing practices. To ensure fairness and protect the company, shareholders, and interested Directors, Indonesian law should adopt precautionary indicators and encourage transparency in disclosing personal interests. By incorporating preventive measures into the evaluation of shareholder approvals, Indonesian judges can uphold legal standards and safeguard the company's interests. In conclusion, addressing the regulatory gaps regarding self-dealing transactions is essential in Indonesia. Implementing preventive measures and emphasizing transparency can protect the company and stakeholders, aligning Indonesian law with international practices."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roma Borunami Olivia
"Putusan Mahkamah Konstusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 memberikan kewenangan bagi pengadilan negeri untuk dapat mengeksekusi objek jaminan fidusia dalam hal tidak adanya kesepakatan mengenai cidera janji (wanprestasi) dan debitur tidak sukarela menyerahkan benda jaminannya. Mahkamah Konstitusi memberikan norma hukum yang baru ini dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi debitur yang sering kali mendapatkan perbuatan semena-mena dari kreditur atau debt collector dalam menarik benda jaminan fidusia. Namun pada praktiknya pelaksanaan eksekusi melalui pengadilan mengalami berbagai hambatan dan kendala. Dibandingkan dengan Negara Inggris dan Kanada, negara-negara tersebut mengenal lembaga jurusita swasta yang bukan pegawai pengadilan yang memiliki kewenangan layaknya jurusita pengadilan. Tulisan ini akan menganalisis bagaimana aturan hukum eksekusi jaminan fidusia di Indonesia, pengaturan eksekusi di negara Inggris dan Kanada serta bagaimana sebaiknya aturan mengenai eksekusi jaminan fidusia di Indonesia di masa yang akan datang.

Decision of the Constitutional Court Number 2/PUU-XIX/2021 authorizes the district court to be able to execute the object of the fiduciary guarantee in the event that there is no agreement regarding default and the debtor does not voluntarily hand over the object of guarantee. The Constitutional Court gave this new legal norm in order to provide legal protection for debtors who often get arbitrary actions from creditors or debt collectors in withdrawing fiduciary collateral objects. However, in practice the implementation of execution through the courts experienced various obstacles. Compared to the United Kingdom and Canada, these countries recognize private bailiff institutions that are not court employees who have authority like court bailiffs. This paper will analize how the legal rules for executing fiduciary guarantees in Indonesia, the execution arrangements in England and Canada and how best the rules regarding the execution of fiduciary guarantees in Indonesia will be in the future."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manalu, Evanto Pandora
"Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 membuat keadaan hukum yang baru terkhususnya kepada melaksanakan eksekusi jaminan fidusia. Dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia tersebut tidak sedikit debitur yang tidak berkenan dilakukan eksekusi oleh kreditur, sehingga debitur melakukan gugatan terhadap Pengadilan Negeri, namun hasilnya Pengadilan Negeri memberi pendapat yang beragam dalam putusannya. Rumusan masalah dalam penelitian ini terbagi atas bagaiman pelaksanaan dari eksekusi jaminan fidusia setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, dan bagaimana Pengadilan Negeri menysaratkan wanprestasi atau cidera janji dalam eksekusi jaminan fidusia setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019. Penelitian ini menggunakan Teori Kepastian Hukum, lalu menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Ketentuan hukum yang tertera dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 mengakibatkan eksekusi dapat dilakukan oleh kreditur jika adanya penyerahan sukarela serta pengakuan dari debitur bahwa debitur telah melakukan wanprestasi. Namun dalam praktek yang terjadi dilapangan, pengadilan menyatakan wanprestasi atau cidera janij dari debitur harus dengan beberapa alasan yaitu wanprestasi dengan pengakuan tertulis, wanprestasi dengan kesepakatan di kontrak/perjanjian di awal dan wanprestasi yang harus dinyatakan oleh pengadilan. Dalam 10(sepuluh) perkara dari penelitian ini, banyak pengadilan menafsirkan bahwa wanprestasi bisa dinyatakan dalam kesepakatan/kontrak diawal.

Constitutional Court Decision Number 18/PUU-XVII/2019 creates a new legal situation, especially for carrying out the execution of fiduciary guarantees. In carrying out the execution of the fiduciary guarantee, there are not a few debtors disagreed to be executed by the creditor, so the debtor files a lawsuit against the District Court, but the results of the District Court provide various opinions in its decision. The formulation of the problem in this study is divided into how the implementation of the execution of fiduciary guarantees after the Constitutional Court decision Number 18/PUU-XVII/2019, and how the District Court requires default or breach of contract in the execution of fiduciary guarantees after the Constitutional Court Decision Number 18/PUU- XVII/2019. This research uses Legal Certainty Theory, then uses normative juridical research methods. The legal provisions contained in the Constitutional Court Decision Number 18/PUU-XVII/2019 result in the execution being carried out by the creditor if there is a release of acquittal as well as acknowledgment from the debtor that the debtor has defaulted. However, in practice that occurs in the field, the court declares default or default of the debtor must be for several reasons, namely default by written confession, default by agreement in the contract/agreement at the beginning and default which must be declared by the court. In the 10 (ten) problems of this study, many courts claimed that default could be stated in the initial agreement/contract."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agiel Al Assyafar
"Terbitnya Putusan MK No.2/PUU-XIV/2021 telah menjadi acuan baru debitur dan kreditur yang terlibat dengan persoalan eksekusi jaminan fidusia akibat dari adanya wanprestasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis disparitas putusan hakim terkait proses eksekusi objek jaminan fidusia berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK No.2/PUU-XIX/2021. Penelitian yang menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (Case Approach), tipe penelitian hukum bersifat normatif (normative legal research), dan Analisis bahan hukum menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PPU-XIX/2021 menegaskan bahwa eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui Pengadilan Negeri hanya sebuah alternative, dan menjadikan titel eksekutorial sertifikat jaminan fidusia tidak serta merta mempunyai kekuatan hukum tetap pada keadaan tertentu. Hingga terdapat disparitas putusan hakim terkait eksekusi objek jaminan fidusia pasca putusan MK tersebut. Maka terlihat masih belum adanya kepastian hukum bagi kreditur pasca putusan MK. Maka dengan itu perlunya ada surat edaran Mahkamah Agung dalam menyikapi Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Nomor 2/PUU-XIX/2021 sebagai bahan pertimbangan oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara eksekusi jaminan fidusia, sehingga dapat menghindari terjadinya disparitas Putusan kedepannya. Diperlukan peraturan pelaksanaan atas Undang-Undang Jaminan Fidusia untuk mengakomidir terkait eksekusi jaminan fidusia sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Nomor 2/PUU-XIX/2021 sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi debitur dan kreditur terkait tata cara eksekusi jaminan fidusia dan tidak membuat salah satu pihak kesulitan dalam terjadinya eksekusi jaminan fidusia. Terlebih dengan tidak jelasnya mengenai penentuan cidera janji sehingga memperlambat proses eksekusi objek jaminan fidusia.

issuance of Constitutional Court Decision No.2/PUU-XIV/2021 has become a new reference for debtors and creditors involved in the issue of the execution of fiduciary guarantees due to default. This study aims to determine and analyze the disparity in judges' decisions regarding the process of executing fiduciary security objects based on Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees after Constitutional Court Decision No.2/PUU-XIX/2021. This research uses a statutory approach (statute approach), the type of legal research is normative (normative legal research), and the analysis of legal materials uses qualitative descriptive analysis. Constitutional Court Decision Number 2/PPU-XIX/2021 confirms that the execution of a fiduciary security certificate through the District Court is only an alternative, and makes the executorial title of the fiduciary security certificate not necessarily have permanent legal force in certain circumstances. Until there is a disparity in judges' decisions regarding the execution of fiduciary security objects after the Constitutional Court's decision. So it appears that there is still no legal certainty for creditors after the Constitutional Court's decision. Therefore, there is a need for a Supreme Court circular letter in response to the Constitutional Court Decisions Number 18/PUU-XVII/2019 and Number 2/PUU-XIX/2021 as a material consideration by the Panel of Judges in deciding cases of fiduciary guarantee execution, to avoid disparity in future decisions. An implementing regulation is needed for the Fiduciary Guarantee Law to accommodate the execution of fiduciary guarantees by the Constitutional Court Decisions Number 18/PUU-XVII/2019 and Number 2/PUU-XIX/2021 to provide legal certainty for debtors and creditors regarding the procedures for executing fiduciary guarantees and not make it difficult for one party to execute fiduciary guarantees. Moreover, the lack of clarity regarding the determination of a breach of promise slows down the process of executing a fiduciary security object."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raras Nadifah Cahyaningtyas
"Putusan MK 18/PUU-XVII/2019 membuat sertifikat fidusia menjadi tidak memiliki kekuatan eksekutorial lagi dan melemahkan sertifikat fidusia. Hal ini tidak sejalan dengan Pasal 119 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang menjelaskan bahwa jaminan fidusia yang diterima oleh penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagai jaminan dalam rangka pemenuhan kewajiban konsumen sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang mengenai jaminan fidusia memiliki kekuatan eksekutorial. Putusan MK 18/PUU-XVII/2019 juga memberikan kesempatan bagi debitur untuk melakukan pembelaan dan menunda eksekusi atas sertifikat fidusia. Kekuatan eksekutorial sertifikat fidusia yang melalui jalur pengadilan juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan yaitu penerapan Asas Kemanfaatan dalam Putusan MK 18/PUU/XVII/2019 memberikan perlindungan yang lebih kuat bagi debitur sehingga menimbulkan tantangan dan konsekuensi bagi perusahaan pembiayaan. Mereka harus menyesuaikan strategi dan proses bisnis mereka dengan persyaratan baru yang diatur oleh Putusan MK 18/PUU-XVII/2019, yang mungkin mempengaruhi efisiensi dan kemampuan mereka dalam menangani kasus-kasus wanprestasi debitur. Saran dari penelitian ini adalah kekuatan eksekutorial fidusia harus tetap dipertahankan, dengan memiliki kekuatan eksekutorial yang masih berlaku, perusahaan pembiayaan dapat lebih mudah melakukan reposisi aset yang dijaminkan dalam situasi di mana nasabah tidak memenuhi kewajibannya. Hal ini memungkinkan perusahaan pembiayaan untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian yang lebih cepat dan efisien, tanpa harus melibatkan proses hukum yang panjang dan mahal. Penting bagi perusahaan pembiayaan untuk tetap mematuhi ketentuan hukum dan melaksanakan proses reposisi dengan itikad baik.

Constitutional Court Decision 18/PUU-XVII/2019 renders fiduciary certificates no longer having enforceable power and weakens fiduciary certificates. This is inconsistent with Article 119 of the Republic of Indonesia Law Number 4 of 2023 concerning the Development and Strengthening of the Financial Sector, which states that fiduciary guarantees received by Financing Service Providers as guarantees for meeting consumer obligations, as referred to in the law on fiduciary guarantees, have enforceable power. Constitutional Court Decision 18/PUU-XVII/2019 also provides an opportunity for debtors to defend themselves and delay the execution of fiduciary certificates. The enforceable power of fiduciary certificates through the judicial process can also create legal uncertainty. The research method used is normative juridical with descriptive analytical research specifications. From the results of this research, it is concluded that the application of the Principle of Benefits in Constitutional Court Decision 18/PUU/XVII/2019 provides stronger protection for debtors, thus posing challenges and consequences for financing companies. They must adjust their strategies and business processes to the new requirements set by Constitutional Court Decision 18/PUU-XVII/2019, which may affect their efficiency and ability to handle debtor default cases. The suggestion from this research is that the enforceable power of fiduciary should be maintained, with its enforceable power still applicable. Financing companies can better reflect the guaranteed asset in situations where customers fail to fulfill their obligations. This allows financing companies to take faster and more efficient resolution steps without involving lengthy and costly legal proceedings. It is important for financing companies to maintain legal certainty and implement restructuring processes with good faith."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Godvin Triastama
"Pengalihan benda yang menjadi objek jaminan fidusia terjadi tanpa persetujuan terlebih dahulu dari kreditor yang mana dalam hal ini adalah penerima fidusia. Pengalihan yang terjadi mengharuskan hakim menciptakan pertimbangan dan memberikan putusan yang terbaik yang dapat memberikan efek jera dan juga agar dapat sesuai dengan tiga prinsip dasar hukum pertama keadilan, kedua kepastian, dan ketiga kemanfaatan. Mengenai putusan Mahkamah Agung Nomor 303 K/Pid.Sus/2022 dalam putusannya menyatakan bahwa terdakwa Tata Sasmita terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah dalam melakukan tindakan pengalihan benda yang menjadi objek fidusia, namun dalam poin selanjutnya penjatuhan pidana penjara selama enam bulan dan pidana denda sebesar lima juta rupiah tidak usah dijalani dikarenakan hakim menjatuhkan hukuman percobaan selama satu tahun kepada terdakwa. Maka dari itu, penelitian ini dilakukan dengan mengangkat tentang analisis terhadap putusan hakim mengenai hukuman percobaan tersebut apakah akan memberikan solusi efektif untuk hakim dalam memutuskan hukuman, khususnya terhadap pengalihan objek jaminan fidusia yang menjadi inti penelitian ini. Penelitian hukum doktrinal ini dilakukan dengan melakukan pengumpulan bahan hukum primer dan sekunder melalui studi dokumen yang selanjutnya dianalisis. Selanjutnya dapat dikemukakan 3 (tiga) hasil analisis dari penelitian, yaitu: Pertama, untuk memudahkan hakim dalam memutus terkait UU Jaminan Fidusia, maka pemerintah dan Mahkamah Agung harus menetapkan pedoman pemidanaan. Kedua, hakim harus menjadikan asas efisiensi sebagai landasan pengambilan keputusan mengenai tuntutan pidana setelah menilai dampak tindak pidana terhadap pemerintah, masyarakat, korban, dan pelaku. Ketiga, penjatuhan pidana oleh hakim harus dilakukan berdasarkan nilai perbuatan pelakunya, tidak hanya pada saat kejahatan itu dilakukan, tetapi juga ketika banyak kerugian dan keuntungan yang timbul setelah putusan itu diambil.

Without the creditor's beforehand consent, which in this instance is the fiduciary recipient, objects designated as fiduciary collateral are transferred. The judge is obligated to formulate deliberations and render an optimal decision that not only serves as a deterrent but also adheres to the three fundamental legal principles—first justice, second certainty, and third benefit—in light of the transfer that takes place. In its decision number 303 K/Pid.Sus/2022, the Supreme Court recognised that Tata Sasmita, a criminal who committed acts of interference with fiduciary objects, had been legally and convincingly proven guilty. However, Sasmita was sentenced to six months in prison and a fine of five million rupiah; service of the fine was not mandatory because the judge imposed probation for one year. Hence, this study was conducted by examining the judge's ruling on the trial and its potential efficacy in aiding the judge in sentencing, with a particular focus on the subject of fiduciary guarantees, which forms the fundamental basis of this research. The collection and analysis of primary and secondary legal materials via document studies constitutes this doctrinal legal research. Furthermore, three (three) analysis results from the research can be stated: First, the government and the Supreme Court must establish sentencing guidelines to facilitate judges' decision-making regarding the Fiduciary Guarantee Law. Furthermore, in determining criminal charges, justices ought to be guided by the principle of efficiency subsequent to evaluating the repercussions of criminal activities on the government, society, victims, and offenders. Furthermore, in addition to the monetary worth of the perpetrator's actions at the time the crime was conducted, the judge must also consider the financial repercussions and advantages that accrue subsequent to the verdict."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagalung, Brigitta Naomi
"Penelitian ini menjawab pertanyaan bagaimana konstruksi hukum konten YouTube sebagai jaminan fidusia serta permasalahan dan keterbatasan apa saja dalam peraturan perundang-undangan yang ada saat ini dalam menerima konten YouTube sebagai jaminan fidusia. Pertanyaan ini dilatarbelakangi perkembangan bahwa aset tidak berwujud yang ditransaksikan dalam ruang siber memiliki nilai ekonomi. Nilai ekonomi ini membuka peluang dibebankannya aset tidak berwujud sebagai objek jaminan. Konten Youtube sebagai suatu objek jaminan merupakan topik yang menarik perhatian di Indonesia, khususnya sejak tahun 2022. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal dengan didukung wawancara dari beberapa narasumber yang bergerak dibidang perbankan, industri kreatif, dan data. Berdasarkan hasil penelitian, konten YouTube merupakan dokumen elektronik yang memiliki nilai ekonomi. Konten YouTube dapat dikategorikan sebagai aset digital. Konten YouTube juga merupakan karya cipta berupa video yang dilindungi oleh hak cipta. Berdasarkan kedua karakteristik tersebut, jaminan fidusia dengan skema pembebanan kekayaan intelektual lebih tepat dan praktis untuk diterapkan. Konstruksi hukum dalam pembebanan konten YouTube sudah cukup memadai didukung dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif. Namun, lembaga keuangan belum cukup percaya diri dalam menerima konten YouTube sebagai objek jaminan. Salah satu alasannya ialah lembaga keuangan merupakan pihak yang menanggung resiko dari skema pembiayaan. Beberapa permasalahan hukum dalam menerima konten YouTube sebagai jaminan fidusia antara lain, nilai dan valuasi konten YouTube, eksekusi konten YouTube belum didukung dengan pasar sekunder kekayaan intelektual, serta keberadaan konten Youtube dalam sistem elektronik dan ruang siber yang membuka kemungkinan terhapusnya konten yotube serta kejahatan siber berupa peretasan.

This study answered the legal concept regarding YouTube content as a fiduciary guarantee and the legal problems and limitations that the existing laws and regulations encounter in accepting YouTube content as a fiduciary guarantee. These questions are raised to respond to the development that intangible assets transacted in cyberspace have significant economic value. Such a value could open up opportunities for imposing intangible assets as collateral objects. YouTube content is an electronic document stored in YouTube’s server. YouTube content as an object of collateral has been an emerging topic since 2022. This research attempted to explore the opportunities of YouTube as a fiduciary guarantee. In this study, the author uses a doctrinal research method supported by interviews from several sources engaged in banking, creative industries, and data. The study concluded that Youtube content as an electronic document with economic value can be categorized as digital goods. YouTube content also contains copyrighted works in the form of videos protected by the copyright regime. Based on these two characteristics, the legal construction of fiduciary guarantees is more accurate and practical. The legal construction in imposing YouTube content is sufficiently supported by the promulgation of Government Regulation Number 24 of 2022 concerning Regulations for Implementing Law Number 24 of 2019 concerning the Creative Economy. However, financial institutions are not confident enough to accept YouTube content as collateral. One reason is that financial institutions are the party that bears the risk of this financing scheme. Some of the risks in imposing YouTube content as fiduciary guarantees include the diversity of types of copyrighted works, the diversity of monetization values, the secondary market for intellectual property is not yet supported, the valuation of YouTube content, and the existence of YouTube content in electronic systems and cyberspace which opens up the possibility of YouTube content being deleted and cybercrime in the form of hacking."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Hartanto Teowarang
"ABSTRAK
Fungsi utama perbankan adalah sebagai penghimpun dana masyarakat dalam
bentuk simpanan dan disalurkan kepada masyarakat juga dalam bentuk kredit.
Dalam menjalankan fungsi bank tersebut diperlukan direksi bank sebagai salah
satu organ bank untuk menjalankan fungsi bank sebagai badan hukum, dalam
menjalankan tugas tersebut direksi diberikan kepercayaan yang besar dan luas
dan dari kepercayaan itu timbul suatu bentuk kewajiban direksi untuk bertindak
untuk mengelola kekayaan bank sesuai diskresi direksi tersebut dengan itikad
baik, tanggung jawab dan penuh kehati hatian. (Fiduciary Duty) Kelalaian dalam
menjalankan tugas sebagai seorang direksi bisa berdampak perdata (dalam bentuk
denda) dan pidana (kurungan penjara), oleh karena itu direksi harus bisa
mengambil keputusan yang cepat, tepat, tidak ada intervensi dan sesuai dengan
fiduciary dutynya, apabila keputusan yang diambil ternyata menimbulkan
kerugian, direksi tidak bisa langsung dipersalahkan (business judgment rule).
Hal hal tersebut diatas akan dibahas dalam tesis ini dengan menggunakan metode
penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian kepustakaan dengan menggunakan
data sekunder.

ABSTRACT
The primary function of banks is as a collector of public funds in the form of
deposits and redistributed to the public in the form of credit. In carrying out the
necessary functions of the bank requires the directors of the bank to enable bank
to function as a legal entity, in carrying out the tasks directors are entrusted with a
wide variant of trust and from the belief that there is a continual form of liability
of directors to act to manage the bank according discretion of directors with the
good faith, responsibility and prudent. (Fiduciary Duty) Failure to perform duties
as a board of directors could affect civil (in the form of fines) and punishment
(imprisonment), therefore the directors should be able to take decisions quickly,
precisely, with no intervention, and in accordance with his fiduciary duty, if the
decision taken turned out to cause any profit loss , directors can not be directly
blamed (business judgment rule).
The above matter will be discussed in this thesis using normative juridical
research, the research literature by using secondary data."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42790
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rido Berlyanto
"Dengan semakin berkembangnya aktivitas bisnis dewasa ini, maka keperluan akan modal atau dana bagi pelaku usaha juga semakin meningkat. Oleh karenanya, sarana penyediaan dana yang dibutuhkan oleh pelaku usaha atau masyarakat perlu diperluas. Namun demikian, fasilitas kredit dari perbankan sangat terbatas dan tidak semua pelaku usaha punya akses untuk mendapatkan bantuan pendanaan dari bank. Untuk itu alternatif lain untuk mendapatkan dana, yaitu melalui lembaga pembiayaan konsumen.
Fasilitas pembiayaan yang diberikan perusahaan pembiayaan kepada konsumen mengandung risiko cukup tinggi dari kemungkinan pihak konsumen tidak dapat memenuhi kewajibannya. Terhadap transaksi pembiayaan konsumen yang digunakan sebagai jaminan pokoknya adalah barang yang dibeli dengan dana atau pembiayaan yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan tersebut. Mengingat benda/barang yang dijadikan jaminan pada lembaga pembiayaan konsumen pada umumnya adalah benda bergerak, maka pembebanan jaminannya memakai Fidusia.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui status objek jaminan fidusia yang dirampas oleh Negara dan bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap Perusahaan Pembiayaan sebagai penerima fidusia dalam hal benda jaminan fidusia dirampas oleh negara. Selanjutnya guna menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode pendekatan hukum normatif yang dapat diinterpretasikan sebagai penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan berdasarkan pada data-data sekunder.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa status hukum dari benda yang menjadi objek pembiayaan yang dirampas negara adalah tetap dimiliki oleh Kreditur selaku Penerima Fidusia. Hal ini dapat dipahami bahwa adanya sifat droit de suite yang merupakan hak mutlak dalam hukum Jaminan Fidusia. Dengan adanya sifat tersebut maka tidak menghilangkan hak perusahaan pembiayaan sebagai penerima fidusia untuk mengeksekusi benda tersebut apabila debitur wanprestasi. Perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada Perusahaan Pembiayaan yaitu mewajibkan kepada debitur pemberi fidusia supaya menyediakan jaminan pengganti yang setara nilainya atau mewajibkan kepada debitur supaya melunasi hutangnya.

With the development of business activities nowadays, it will need money for business and investment is also increasing. Therefore, a means of providing funds needed by businesses or the public needs to be expanded. However, credit facilities from banks is very limited and not all businesses have access to funding from banks. For the other alternatives to obtain funds, namely through consumer finance institutions.
Financing facilities provided to the consumer finance companies contain a high enough risk of the possibility of the consumer can not fulfill its obligations. Against consumer financing transactions that are used as collateral is principally goods purchased with funds or financing granted by the finance company. Given the objects / items used as collateral on consumer finance institutions in general are moving objects, then loading the guarantee wearing Fiduciary. It can be understood that the nature of the droit de suite is an absolute right in Fiduciary Law. By their nature it does not eliminate the right of the finance company as a fiduciary recipient to execute the object if the debtor defaults.
The purpose of this study to determine the status of fiduciary objects seized by the State and the form of legal protection that can be given to the finance companies as recipients of fiduciary in terms of objects seized by state. Furthermore, in order to address these problems, the authors use the method of normative approach which can be interpreted as a legal research literature conducted based on secondary data.
Based on the research that the legal status of objects into objects deprived of state funding is retained by the creditor as fiduciary receiver. It can be understood that the nature of the droit de suite is an absolute right in law Fiduciary. By their nature it does not eliminate the right of the finance company as a fiduciary recipient to execute the object if the debtor defaults. Legal protection can be granted to finance companies that require the debtor to provide a guarantee that the fiduciary giver substitute an equivalent value or require the debtor in order to repay their debts.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Aprillian
"Tesis ini membahas banyaknya perjanjian kredit yang bermasalah antara bank dengan nasabah yang menggunakan fidusia sebagai jaminannya. Jaminan fidusia harus dibuat dengan akta jaminan fidusia oleh Notaris agar mempunyai kepastian hukum. Akan tetapi, permasalahan sering timbul karena objek jaminan fidusia yang didaftarkan telah beralih, hilang, atau diperjualbelikan oleh debitur tanpa sepengetahuan kreditur sehingga mempersulit proses eksekusinya. Penelitian ini menganalisis kekuatan akta jaminan fidusia dalam perjanjian kredit yang dibuat oleh Notaris serta memberikan penjelasan mengenai penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak ketika terjadi permasalahan proses eksekusi pada objek jaminan fidusia antara Perseroan Terbatas X dan Bank X di Kota Bekasi. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan tipologi penelitian yang bersifat deskriptif-analitis. Selain itu, data didukung dengan wawancara. Hasil penelitian adalah penyelesaian eksekusi dalam kasus tersebut dapat dilaksanakan melalui metode parate eksekusi. Selain itu, debitur diwajibkan untuk mengganti objek jaminan fidusia yang sama nilainya dengan yang telah diperjualbelikan olehnya.

This thesis discusses the number of problematic credit agreements between banks and customers in which they are using fiduciary as a collateral. Fiduciary guarantee must be made by fiduciary guarantee deed by Notary in order to have legal certainty. However, problems often arise because the registered fiduciary security object has been switched, lost, or traded by the debtor without the knowledge of the creditor making it difficult to execute. This research aims to analyze the strength of the fiduciary guarantee deed in the credit agreement made by the Notary and provide an explanation of the settlement made by the parties when the execution process occurs on the object of fiduciary guarantee between PT X and Bank X in Bekasi City. The research method that being used is normative juridis with analytical-descriptive for the research tipology. Furthermore, interview is taken place for the better result data. The result of this research is that the completion of execution in this case can be executed through the execution parate method. In addition, the debtor is required to substitute a fiduciary guarantee object of the same value as it has been traded by debtor."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50067
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>