Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35447 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Jelli Rita
"Penulisan ini mengkaji Eksistensi Peradilan Militer Pasca Tunduknya Militer pada Peradilan umum dalam hal melakukan tindak pidana umum. Hal ini bertitik tolak dari pasal 3 ayat 4 huruf a Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Kemudian diatur kembali dalam Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia pasal 65 ayat 2 khususnya yang mengatur Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Yang membawa perubahan sangat mendasar, karena selama ini Peradilan Militer berwenang mengadili semua tindak pidana yang dilakukan prajurit, baik tindak pidana militer maupun tindak pidana umum.
Penelitian ini memberikan hasil bahwa hukum pidana militer merupakan lex spesialis dari hukum pidana umum yaitu hukum yang berlaku bagi justisiabel peradilan militer. Saat ini pemerintah dan DPR sedang membahas RUU tentang Perubahan terhadap UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer sebagai tindak lanjut dari pasal 65 ayat 2 UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Merubah UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer hanya melakukan perubahan yang parsial, karena hanya merubah aspek structural saja. Sedangkan untuk Aspek substansi (hukum pidana materiel) tentang pelanggaran hukum pidana umum yang dilakukan oleh militer diatur dalam KUHPM pada pasal 2 yang menyatakan terhadap tindak pidana yang tidak tercantum dalam kitab Undang-undang ini (KUHPM) yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada kekuasaan badan-badan Peradilan Militer diterapkan hukum pidana umum. Menurut KUHPM tindak pidana yang dilakukan militer adalah tindak pidana yang diatur dalam KUHPM terdiri dari tindak pidana militer murni (hanya mungkin dilakukan oleh militer) misalnya, desersi, insubordinasi dan tindak pidana militer campuran yang pada prinsipnya sudah diatur dalam KUHP atau ketentuan lain tetapi dianggap ancaman pidananya perlu diperberat.

This thesis focuses on the existence of military court after placing the military under direction of general court in case of it member excecutes a general criminal action. The starting point of this study begin with article 3 paragraph 4 sub paragraph a, of People's Consultative Council Establishment number VII/MPR RI/2000 of Military and Police Role. Futhermore, this issue has been rearranged in law number 34 year 2004 of Indonesian Army, especially in article 65 paragraph 2 with is stated that soldiers should be processed in military court in case of the committed military criminal action, and yet should be processed in general court in case of they committed general criminal action. This brings a fundamental changes regarding authority of processing the soldiers who so far had been processed in military court, either they committed general criminal action or military criminal action in particular.
The study shows that military criminal law is a lex specialis of general criminal law which is applicable in military court jurisdiction. Recently, the Government and House of Representative have been discussing the Draft of Amendment of Law Number 31 year 1997 of Military Court as a follow up of article 65 paragraph 2 of Law number 34 year 2004 regarding Indonesian Army. By changing the law number 31 year 1997 of Military court is only necessary partial changes which focus only on structural aspect perse. While its substantial aspect i.e, material of criminal law itself regarding desecration to general criminal law committed by soldiers arranged in article 2 of Military Criminal Code (KUHPM) which is stated that over any criminal action which is not regulated in this code (KUHPM) committed by people that should be processed in military court affected by general criminal law. In KUHPM, criminal action committed by military covers what is known as pure military criminal which is only possible committed by military members such as desertation, insubordonance, and mixed military criminal action which have been regulated in Criminal Code, principally, or other regulations but the punishment of such action should be imposed heavier.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T38073
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Surabaya: Pustaka Tinta Mas, T.t
342.06 UND
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kloan Klede Jaya, [date of publication not identified]
342.066 4 UND
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Puspa Amelia
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang kewenangan Mahkamah Agung terkait putusan pengujian yang membatalkan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib serta dilakukannya pemanduan sumpah atau janji terhadap pimpinan DPD yang terpilih pada tahun 2017 yang masih menjadi perdebatan. Penelitian ini mengangkat dua permasalahan utama. Pertama, kewenangan MA dalam pengujian terhadap Peraturan Tata Tertib DPD. Kedua, konsekuensi hukum putusan pengujian peraturan tata tertib DPD terhadap kewenangan pemanduan pengucapan sumpah atau janji pimpinan DPD tahun 2017 oleh MA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif melalui studi kepustakaan dan pendekatan sejarah historical approach . Hasil penelitian ini menunjukan bahwaMAdalam melakukan pengujian terhadap peraturan tata tertib DPD adalah menjalankan fungsi peradilan yudisial dalam kewenangannya menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Sedangkan, MA dalam melakukan pemanduan sumpah/janji pimpinan DPD adalah menjalankan fungsi administratif non-yudisial dalam kewenangan lain yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.Secara formal, DPD telah menjalankan putusan MA, tetapi tidak secara substantif. Karena faktanya pemilihan pimpinan DPD yang baru tidak didasarkan pada putusan MA.Ketentuan dalam Pasal 8 ayat 2 Perma No.1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil yang memberikan jangka waktu selama 90 hari terhadap kekuataan hukum peraturan perundang-undangan yang dibatalkan menjadi salah satu alasan yang menempatkan MA dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, MA telah membatalkan peraturan tata tertib DPD, di sisi lain MA harus melaksanakan tugasnya untuk memandu sumpah/janji sebagaimana yang diamanatkan undang-undang, MA juga tidak memiliki kapasitas untuk menilai keabsahan dari pemilihan pimpinan tersebut.

ABSTRACT
This thesis discusses about the authority of the Supreme Court regarding the current decisions of judicial review ofthe rules of procedure of DPD Number 1 of 2016 and Number 1 of 2017 as well as guidance of oath or pledge against elected DPD leaders in 2017 which is still a debate. This study raises two main issues. First, the authority of the Supreme Court in the judicial review of the Rules of Procedure of DPD. Secondly, the legal consequences on the authority of scouting oath or promise of DPD leadership in 2017 by MA. This research is using normative juridical method through literature study and historical approach. The results of this study shows that the supreme court in judicial review of law regulation under law against the 1945 Constitution ofthe Republic of Indonesia is implementing judicial functions. Meanwhile, the Supreme Court in conducting the oath of DPD pledge is implementing administrative functions non judicial in other authorities as determined by Law Number 17 of 2014 concerning MPR, DPR, DPD and DPRD juncto Law Number 14 of 1985 regarding Supreme Court. Formally, the DPD has implemented the Supreme Court 39 s decision, but not substantively. Due to the fact that the election of the new DPD leadership was not based on the Supreme Court 39 s Decision. The provisions in Article 8 paragraph 2 of No.1 of 2011 on the Material Test Rights which give a period of 90 days to the legal power of legislation is one of the reasons that put the MA in a dilemmatic position. On the other hand, the Supreme Court has annulment the DPD rules of procedures, the Supreme Court must carry out its duties to guide the oath pledge mandated by the law, the Supreme Court also does not have the capacity to assess the validity of the election of the leader. Keywords The Supreme Court rsquo s Authority, Judicial Review, Swearing Oath, DPD."
2018
T51187
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tigor Einstein
"

Sejak tahun 2009 hingga tahun 2018, terdapat 21 Permohonan Pengujian Perppu yang pernah  diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun, tidak ada satupun  yang diuji secara substantif.  Dengan kata lain, selama ini  tidak pernah ada permohonan yang dikabulkan atau ditolak oleh MK. Hal ini boleh jadi disebabkan oleh adanya kewenangan konstitusional yang dimiliki DPR sebagaimana ketentuan Pasal 22 UUD 1945 untuk menyetujui atau tidaknya suatu Perppu menjadi undang-undang. Penelitian ini  adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan tipologi penelitian preskriptif dan menggunakan data sekunder  serta  merujuk peraturan perundang-undangan,  yang mana dari penelitian ini, telah diketahui bahwa pengaturan mengenai pengujian terhadap Perppu baru muncul setelah adanya amandemen terhadap UUD 1945, tepatnya setelah adanya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000. Menurut Ketetapan MPR tersebut, pengujian Perppu dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). Namun  sejak tahun 2000 hingga tahun 2009, setelah MK terbentuk, baik MK maupun MA belum pernah melakukan pengujian terhadap Perppu. Baru sejak  tahun 2009, MK mulai melakukan pengujian terhadap Perppu dan menghasilkan  Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 putusan mana selanjutnya menjadi “pintu masuk” untuk melakukan pengujian-pengujian  Perppu berikutnya meskipun sesungguhnya hanya akan sia-sia jika DPR ternyata menentukan sebaliknya. Jika bangsa ini sungguh-sungguh menghendaki MK memiliki kewenangan untuk menguji Perppu, maka kewenangan konstitusional yang dimiliki DPR tersebut  mau tidak mau harus dihapuskan. Selanjutnya, untuk meneguhkan adanya kewenangan MK tersebut, tentunya harus diberikan berdasarkan UUD.

 

Kata Kunci:

Judicial Review Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Mahkamah Konstitusi; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.


Since 2009 until 2018, there are 21 applications for testing the Perppu that have been submitted to the Constitutional Court (MK), however, none of them have been substantively tested. In other words, so far there has never been a request that was granted or rejected by the Constitutional Court. This may be due to the existence of constitutional authority owned by the DPR as stipulated in Article 22 of the 1945 Constitution to approve or not a Perppu to become a law. This research is a normative legal research using prescriptive research typology and using secondary data and referring to laws and regulations, which from this research, it is known that the regulation regarding the reviewing of Perppu only appeared after the amendments to the UUD 1945, precisely after the MPR Decree Number III / MPR / 2000. According to the MPR Decree, the Perppu review was conducted by the Supreme Court (MA). However, from 2000 to 2009, after the Constitutional Court was formed, both the Constitutional Court and the Supreme Court have never reviewed Perppu. It was only since 2009 that the Constitutional Court began to reviewing  Perppu and resulted in the verdict of The Constitutional Court Number 138 / PUU-VII / 2009 which subsequently became the "entrance" to conduct subsequent Perppu reveiew even though it would only be in vain if the DPR turned out to determine otherwise. If this nation truly wants the Constitutional Court to have the authority to review Perppu, then the constitutional authority possessed by the DPR must inevitably be eliminated. Furthermore, to confirm the existence of the Constitutional Court's authority, of course it must be given based on the Constitution.

"
2019
T53598
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jaenal Aripin
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010
347 JAE h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Belinda Gunawan
"Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) yang telah mengalami perubahan menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman di Republik Indonesia adalah ?kekuasaan kehakiman yang merdeka?. Hakim disini memegang peran sentral dalam peradilan sebagai personifikasi dari peradilan, sehingga kedudukan hakim dan kemerdekaan hakim harus dijamin dalam sebuah undang-undang (UU). Saat ini, kekuasaan kehakiman diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, oleh karena itu tujuan utama dari penulisan skripsi ini adalah untuk menganalisis materi UU No. 48 Tahun 2009 dalam melindungi kemerdekaan hakim di Republik Indonesia berdasarkan prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman yang terdapat pada UUD 1945 dan instrumen-instrumen internasional. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang dilengkapi dengan pendekatan sejarah, perbandingan dengan negara lain dan pendekatan kasus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa UU No. 48 Tahun 2009 telah memiliki norma-norma yang mengatur kemerdekaan hakim, namun tetap masih terdapat kekurangan dan ketidaklengkapan dari materi UU No. 48 Tahun 2009 dalam melindungi kemerdekaan hakim, sehingga perlu diadakan perbaikan terhadap UU No. 48 Tahun 2009.

Article 24 of The 1945 Amended Constitution of Republic of Indonesia stated that "The judicial power branch shall be independent". In here, judge has a central role on the judiciary, that judge as the personification of judiciary, therefore judge's status and independence shall be secured by law. Now, the judicial power is regulated on Act No. 48 Year 2009 (The Judical Power Act), so then the purpose of this writing is to analyze the substance of Act No. 48 Year 2009 in accomodating judge's independence in the Republic of Indonesia based on the judicial principles on the 1945 Constitution and international instruments. This is a normative study and also be improved by historical approach, comparative approach and case study method. The result of this study showed that the Act of No. 48 Year 2009 has contained the general norms to protect judge?s independence, but still has to be revised because of its material incompleteness in order to protect judge's independence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62602
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>