Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 191956 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M Wildan Abiyyi
"Kulit sensitif merupakan salah satu tipe kulit yang dapat didiagnosis secara subjektif melalui Indikator tipe kulit Baumann (BSTS). Orang dengan tipe kulit sensitif memiliki potensi yang tinggi untuk dapat mengalami gangguan kulit yang mempengaruhi kualitas hidupnya. Meskipun Mikrobioma kulit telah terbukti memiliki korelasi terhadap beberapa penyakit dan kelainan kulit, namun hubungannya dengan tipe kulit sensitif belum banyak dilaporkan. Sehingga, pada penelitian ini bertujuan untuk Melakukan analisis metagenomik pada kulit wajah dan korelasinya dengan kondisi kulit sensitif dengan metode 16S rRNA. Sampel pulasan kulit wajah diambil dari 144 responden yang terdiri dari 54 orang dengan tipe kulit sensitif dan 90 orang dengan tipe kulit normal. Dari 144 sampel yang dikumpulkan kemudian dilakukan analisis metagenomik berdasarkan hasil sekuensing amplikon 16S rRNA. Didapatkan hasil bahwa analisis diversitas alfa menggunakan indeks Chao1 dan Shanon menujukkan kelimpahan Mikrobioma lebih rendah secara signifikan (P-value = 0,04008) pada kelompok dengan tipe kulit sensitif. Analisis korelasi dengan Uji Spearman menunjukkan bahwa terdapat korelasi kelimpahan Mikrobioma kulit wajah dengan kondisi tipe kulit sensitif dimana kelimpahan Mikrobioma dengan genus Corynebacterium lebih rendah secara signifikan pada kelompok dengan tipe kulit sensitif (P-value = 0,04462) yang diiringi dengan kelimpahan genus Staphylococcus (P-value = 0,01235) dan Streptococcus (P-value = 0,02184) yang lebih tinggi secara signifikan pada kelompok ini. Pada tingkat spesies, bakteri Propionibacterium humerusii memiliki kelimpahan yang lebih tinggi secara signifikan pada kelompok dengan tipe kulit sensitif (P-value = 0,04967). Dengan demikian, kelimpahan Mikrobioma kulit memiliki korelasi dengan kondisi tipe kulit sensitif khususnya pada kasus yang ditemukan di Indonesia. Hal ini dapat dijadikan Pustaka dalam pengembangan produk perawatan kulit yang spesifik untuk kondisi kulit sensitif. Namun adanya analisis lebih lanjut yang dapat mengetahui kelimpahan dan keragaman Mikrobioma hingga ke tingkat spesies akan lebih membantu dalam perkembangan penelitian ini.

People with sensitive skin types have a high potential to have skin disorders that affect their quality of life. Although the skin microbiotmehas been shown to have a correlation with several skin diseases and disorders, but its relationship with sensitive skin type has not been widely reported. Thus, this study aims to perform metagenomics analysis on facial skin and its correlation with sensitive skin conditions. Samples of facial skin swab were taken from 144 respondents consisting of 54 people with sensitive skin types and 90 people with normal skin types. The 144 samples collected were then subjected to metagenomics analysis based on the sequencing results of the 16S rRNA amplicon technique. The results showed that alpha diversity analysis using the Chao1 and Simpson Index showed significantly lower microbiota abundance in the group with sensitive skin types (P-value = 0,04008).. Correlation analysis with the Spearman test showed that there was a correlation between the abundance of facial skin microbiota and conditions of sensitive skin types where the abundance of microbiota with the genus Corynebacterium was significantly lower in the group with sensitive skin types (P-value = 0,04462), accompanied by the abundance of the genera Staphylococcus (P-value = 0,01235) and Streptococcus (P-value = 0,02184) which were significantly higher in this group. At the species level, Propionibacterium humerusii had a significantly higher abundance in the group with sensitive skin types (P-value = 0,04967). Thus, the abundance of skin microbiota has a correlation with the condition of sensitive skin types, especially in cases found in Indonesia. This can be used as a library in the development of specific skin care products for sensitive skin conditions. However, further analysis that can determine the abundance and diversity of microbiota down to the species level will be more helpful in the development of this research."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Uly Aanda Maria Nugraheni
"Pendahuluan : Akhir-akhir ini penelitian terkait mikrobiom kulit manusia menjadi fokus di bidang dermatologi dan kosmetik karena mikrobiota kulit yang memiliki fungsi vital dalam menjaga homeostasis kulit. Sudah banyak laporan disbiosis mikrobiom yang berhubungan dengan beberapa kondisi kulit, baik patologis maupun nonpatologis, contohnya pada penuaan atau aging. Pada kulit menua terdapat perubahan struktural dan fungsional kulit yang menyebabkan perubahan habitat mikrobiom, sehingga terjadi perubahan komposisi mikrobiota. Hal tersebut dapat menyebabkan disbiosis, sehingga dapat pula menjadi faktor predisposisi dalam proses penuaan kulit. Tujuan Penelitian : Menilai korelasi antara mikrobiom kulit dengan parameter penuaan kulit wajah perempuan Indonesia dan juga mengetahui gambaran mikrobiom pada kulit dewasa muda, lansia perempuan Indonesia, serta menilai perbedaan shannon index serta relative abundance mikrobiom kulit antara perempuan dewasa muda dan lansia. Metodologi Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Februari – Maret 2023 di Poliklinik Dermatologi dan Venereologi (DV) RSCM. Subjek penelitian berjumlah 48 orang yang terdiri dari 24 orang perempuan sehat usia dewasa muda (21–37 tahun) dan 24 orang lansia (60–76 tahun) yang melewati kriteria penerimaan dan penolakan. Subjek penelitian yang terpilih melakukan kunjungan ke Poliklinik DV RSCM, dan dilakukan anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan wajah menggunakan skin analyzer JANUS™ III, serta pengambilan apusan kulit (swab) pada kedua pipi. Hasil sampel apusan kulit kemudian dilakukan ekstraksi DNA menggunakan DNeasy PowerSoil Kit™ dan dilakukan sekuensing pada region V3-V4 16s rRNA dengan alat Next Generation Sequencing (NGS), MiSeq Illumina™. Total didapatkan 39 sampel DNA yang dapat diidentifikasi oleh alat MiSeq Illumina™. Hasil Penelitian : Abundance filum firmicutes dan genera staphylococcus secara bermakna lebih besar pada kelompok lansia. Shannon index kelompok dewasa muda lebih tinggi daripada kelompok lansia namun tidak berbeda bermakna dan hanya berkorelasi lemah terhadap usia (P>0,05). Terdapat korelasi positif antara Staphylococcus dengan usia, serta Paracoccus dengan porfirin. Terdapat korelasi negatif antara Shannon index dengan pori-pori, dan Cutibacterium dengan porfirin (P≤0,05) Kesimpulan : Hasil penelitian akhir didapatkan dari 39 sampel apusan kulit yang berhasil diidentifikasi oleh alat NGS, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang membandingkan metode pengambilan sampel mikrobiom kulit wajah untuk standarisasi penelitian selanjutnya dan perlu dilakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih banyak serta multi-centered untuk mewakili daerah Indonesia di pedalaman dengan iklim dan lingkungan yang berbeda dengan masyarakat urban.

Introduction: Recently research related to the human skin microbiome has become a focus in the fields of dermatology and cosmetics because skin microbiome has a vital function in maintaining skin homeostasis. There have been many reports of microbiome dysbiosis associated with several skin conditions, both pathological and non-pathological, for example aging. In aging skin, there are structural and functional changes in the skin that cause alterations in the microbiome habitat, resulting changes in the composition of the microbiota. This condition can cause dysbiosis, and it may also be a predisposing factor for the skin aging process. Objectives: To assess the correlation between the skin microbiome and the facial aging score of Indonesian women and also to determine the description of Indonesian young adults and elderly's women microbiomes, as well as addressing the differences in Shannon index and the relative abundance of skin microbiomes between young adult and elderly women. Methods: This research is an analytical observational study with cross-sectional design. Samples were taken in February – March 2023 at Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM), Dermatology and Venereology (DV) clinic. The research subjects were 48 people consisting of 24 healthy young adult women (21–37 years) and 24 elderly people (60–76 years) who passed the inclusion and exclusion criteria. The selected research subjects visited DV RSCM clinic, and underwent anamnesis, clinical examination, and facial examination using the JANUS™ III skin analyzer, also took skin swabs on both cheeks. The resulting skin swab samples were subjected to DNA extraction using DNeasy PowerSoil Kit™ and sequenced at V3-V4 16s rRNA region using the NGS (Next Generation Sequencing) tool, MiSeq Illumina™. Total were 39 DNA samples were obtained which could be identified by MiSeq Illumina™. Results: Abundance of the phylum Firmicutes and the genera Staphylococcus was significantly higher in elderly group. Shannon index of the young adult group was higher than the elderly group but was not stastistically ignificant and only weakly correlated with age (P>0.05). There is positive correlation between Staphylococcus and age, as well as Paracoccus and porphyrins. There is negative correlation between Shannon index and pores, Cutibacterium with porphyrins (P≤0.05) Conclusion: The final research results were obtained from 39 skin swab samples that were successfully identified by NGS tool. It is necessary to carry out future research that compares facial skin microbiome sampling methods to standardize further skin mikrobiome research and also to carry out research with a larger number of samples and multi-centered to represent rural areas of Indonesia with different climates and environments from urban communities (Jakarta)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Windy Dwininda
"Keseimbangan berbagai jenis bakteri pada kulit sangat penting dalam menjaga kesehatan kulit. Permasalahan pada kulit wajah yang muncul salah satunya disebabkan oleh disbiosis mikroba. Penelitian dilakukan untuk menganalisis keberagaman mikrobiom bakteri yang terdapat pada kulit wajah dengan kondisi pH dan kelembaban beragam. Metode analisis diversitas dengan Next Generation Sequencing 16s rRNA. Jumlah responden yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 144 sampel. Hasil analisis pada penelitian ini ditemukan bahwa kelas filum bakteri tertinggi Actinobacterium (49,72%), Proteobacterium (29,86%) dan Firmicutes (18,64%). Pada genus Cutibacterium (41,48%), Neisseriaceae (20,29), Staphylococcus (10,16%) ditemukan terbanyak pada kulit wajah dengan nilai kondisi pH dan kelembaban berbeda. Analisis diversitas alfa dengan indeks Chao1 (p=0,05) dan Faith PD(p=0.004) menunjukan kelimpahan mikrobiom signifikan lebih tinggi ditemukan pada pH tinggi dibandingkan pH normal. Analisis diversitas Alfa pada kelembaban tidak ditemukan signifikan terhadap kelimpahan bakteri mikrobiom wajah. Hasil diversitas beta ditemukan perbedaan kelimpahan mikrobiom bakteri pada sepuluh genus tertinggi yang ditemukan pada pH normal dan pH tinggi serta kelompok kelembaban dengan sangat lembab, lembab dan kering. Kesimpulan penelitian profil genus Cutibacterium, Neisseriaceae, Staphylococcus bakteri paling banyak ditemukan pada pH tinggi dan pH normal seta kelembaban sangat lembab, lembab dan kering. Cutibacterium, Neisseriaceae dan Staphylococcus menunjukan adanya peningkatan pH kulit maka kelimpahan bakteri tersebut semakin meningkat. Pada kelembaban kulit, kelimpahan Cutibacterium dan Staphylococcus menurun seiring penurunan nilai kelembaban kulit.

Balancing various types of bacteria on the skin is crucial for maintaining skin health. One of the issues that arise with facial skin is caused by microbial dysbiosis. Research was conducted to analyze the diversity of bacterial microbiomes on the facial skin with varying pH and moisture conditions. The diversity analysis method used Next Generation Sequencing 16s rRNA, and the study included 144 samples. The results of this research revealed that the highest bacterial phylum classes were Actinobacterium (49.72%), Proteobacterium (29.86%), and Firmicutes (18.64%). The genera Cutibacterium (41.48%), Neisseriaceae (20.29%), and Staphylococcus (10.16%) were the most abundant on the facial skin with different pH and moisture conditions. Alpha diversity analysis using Chao1 index (p=0.05) and Faith PD (p=0.004) indicated significantly higher microbial abundance found in high pH compared to normal pH. However, there was no significant difference in alpha diversity concerning the moisture level and facial bacterial microbiome abundance. Beta diversity analysis showed differences in bacterial microbiome abundance in the top ten genera found between normal pH and high pH, as well as between moisture groups categorized as very moist, moist, and dry. In conclusion, the research profiled the genera Cutibacterium, Neisseriaceae, and Staphylococcus as the most found bacteria in high pH and normal pH conditions, as well as very moist, moist, and dry moisture levels. Cutibacterium, Neisseriaceae, and Staphylococcus showed an increase in skin pH resulting in an increase in the abundance of these bacteria. On the other hand, the abundance of Cutibacterium and Staphylococcus decreased with decreasing skin moisture levels."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahra
"Kulit mempunyai fungsi sebagai lini pertama melindungi dari faktor kimia maupun fisik, selain itu juga memiliki peran dalam proses metabolisme, termoregulasi, pertahanan serangan mikroorganisme, dan juga bagian dari sistem imunitas tubuh. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti genetik, hormon, produksi sebum, tingkat hidrasi, dan mikrobiota komensal. Produksi sebum dipengaruhi dari lokasi, kepadatan ujung saluran kelenjar, dan aktifitas kelenjar sebasea. Faktor tingkat hidrasi pada kulit tergantung pada adanya komponen higroskopis atau natural moisturizing factor (NMF) yang berada pada sel stratum korneum dan lipid antar sel yang mengelilingi sel. Pengaruh produksi sebum dan tingkat hidrasi dipengaruhi oleh mikroorganisme komensal, sebagaimana fungsi kulit sebagai ekosistem. Teknik sekuensing telah menjadi pilihan untuk mempelajari mikrobiota kulit, karena bisa melihat sampai tingkat kelimpahan mikrobiota yang tidak bisa dilakukan dengan cara kultur dan isolasi. Analisis dengan menggunakan Next Generation Sequencing (NGS) dengan sekuensing amplikon 16S rRNA mempunyai keuntungan yaitu hemat biaya, karena hanya memakai ukuran gen yang relatif kecil dan ukuran amplikon yang pendek. Selain itu high-throughput ribosomal community profiling mengandung sekuens dan beberapa daera hipervariabel (V3-V4 adalah regio yang dipakai untuk bakteri), yang dapat digunakan untuk menyimpulkan komposisi taksonomi komunitas. Analisis sekuensing 16s rRNA dengan Qiime2 memberikan hasil adanya perbedaan signifikan profil mikrobiota wajah sehat dengan parameter tingkat sebum dan tingkat hidrasi terutama pada genus Cutabacterium dan Neisseria spp.

The skin has a function as the first of protection from chemical and physical factors, besides that it also has a role in metabolic processes, thermoregulation, defense against attacks from microorganisms, and is also part of the body's immune system. It is influenced by factors such as genetics, hormones, sebum production, hydration level, and commensal microbiota. Sebum production is influenced by the location, the density of the duct ends of the glands, and the activity of the sebaceous glands. The hydration level factor in the skin depends on the presence of a hygroscopic component or natural moisturizing factor (NMF) which is present in the stratum corneum cells and the intercellular lipids that surround the cells. The influence of sebum production and hydration levels is influenced by commensal microorganisms, as well as the function of the skin as an ecosystem. Sequencing techniques have become the preferred method of studying skin microbiota, because they can see to an extent the abundance of microbiota that cannot be done by culture and isolation. Analysis using Next Generation Sequencing (NGS) with 16S rRNA amplicon sequencing has the advantage of being cost-effective, because it only uses relatively small gene sizes and short amplicon sizes. In addition, high-throughput ribosomal community profiling contains sequences and several hypervariable regions (V3-V4 are the regions used for bacteria), which can be used to infer the taxonomic composition of the community. Analysis of 16s rRNA sequencing with Qiime2 showed significant differences in healthy facial microbiota profiles with parameters of sebum level and hydration level, especially in the genus Cutabacterium and Neisseria spp."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rike Syahniar
"ABSTRAK
Helicobacter pylori diperkirakan menginfeksi lebih dari setengah populasi orang dewasa. Deteksi dini H.pylori sangat diperlukan untuk mencegah berkembangnya infeksi menjadi keganasan lambung. Bentuk coccoid dari H. pylori sulit dideteksi dengan kultur dan histopatologi, namun dapat terdeteksi dengan metode molekuler seperti real-time PCR. Salah satu gen yang dapat digunakan sebagai gen target real-time PCR yaitu 16S rRNA, yang diketahui spesifik dan juga digunakan untuk menganalisis kekerabatan antar strain. Analisis ini bermanfaat untuk melihat penyebaran infeksi H.pylori di dunia. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium. Metode pengambilan sampel yang digunakan yaitu, metode consecutive sampling. Biopsi diambil dari 2 antrum dan 2 korpus pada 42 penderita dispepsia untuk pemeriksaan real-time PCR dan histopatologi. Optimasi kondisi real-time PCR meliputi uji volume cetakan DNA, sensitifitas dan spesifisitas teknik, kemudian dilanjutkan aplikasi pada sampel klinis dari biopsi lambung. Delapan dari 11 sampel yang positif dilakukan sekuensing dan analisis filogenetik. Hasil optimasi diperoleh suhu annealing 64?C, konsentrasi primer 0,8 ?M dan konsentrasi probe 0,6 ?M. Ambang batas deteksi real-time PCR untuk mendeteksi jumlah DNA minimal H.pylori yaitu 46 bakteri. Spesifisitas uji reaksi silang real-time PCR ini tidak menunjukkan adanya reaksi silang dengan mikroorganisme lain. Proporsi positif hasil pemeriksaan real-time PCR sebesar 26,2 , sedangkan histopatologi sebesar 11,9 . Pemeriksaan real-time PCR mampu meningkatkan diagnosis sebesar 14,3 dibandingkan pemeriksaan histopatologi. Hasil sekuensing dan analisis filogenetik menunjukkan bahwa strain H.pylori dari sampel memiliki kekerabatan dengan strain Taiwan, India, dan Australia. Kata kunci : H.pylori, histopatologi, real-time PCR, analisis filogenetik

ABSTRACT
Helicobacter pylori infection is estimated infect almost half of the adult population in the world. Early detection of H.pylori is needed to prevent the development of infections into gastric malignancies. The coccoid form of H. pylori is difficult to detect using culture and histopathology but it can be detected by molecular methods such as real time PCR. One of the genes that can be used as a real time PCR target gene is 16S rRNA, which is known to be specific and also used to analyze closely related strain. This analysis were useful to showed the spread of H.pylori infection in the world.This study is an experimental laboratory. The sampling method used is the consecutive sampling method. Biopsy was taken from 2 antrum and 2 corpus in 42 patients with dyspepsia for real time PCR and histopathology examination. Optimization real time PCR conditions include DNA template volume testing, sensitivity and specificity of the technique, followed by application of clinical samples from gastric biopsy. Eight of the 11 positive samples were sequenced and analyzed for phylogenetics pattern. The optimization result obtained annealing temperature 64 C, primer concentration was 0,8 M and probe concentration was 0,6 M. Limit detection of the DNA was 46 bacteria. The specificity of the PCR 39 s real time indicate that there was no cross reaction with other microorganisms. The positive proportion of PCR real time examination was 26.2 , while histopathology was 11.9 . A real time PCR examination was able to improve the diagnosis by 14,3 compared to histopathology examination. Sequencing and phylogenetic analysis results showed that our strain were closely related to Taiwan, India and Australia strains. Keywords H.pylori, histopathology, real time PCR, phylogenetic analysis"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puspita Deasi Wulandari
"Ikan badut merupakan salah satu jenis dari ikan hias laut yang menjadi primadona di pasar baik dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini mempengaruhi ketersediaan ikan badut di alam sehingga perlu ditunjang dengan usaha budidaya. Pendekatan secara molekuler sebagai penunjang pendekatan secara morfologi dibutuhkan untuk mendapatkan induk dan benih yang berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi spesies ikan badut menggunakan teknik DNA barcode dengan gen penanda 16S rRNA dan merekonstruksi pohon filogenetik molekuler ikan badut. Hasil amplifikasi PCR menghasilkan fragmen DNA berukuran 600 panjang basa (pb). Hasil analisa jarak genetik menunjukkan nilai antara 0,00-0,07. Hasil rekonstruksi pohon filogenetik membentuk pohon kekerabatan dengan 7 kluster utama. Hasil penelitian berupa informasi genetik dan hubungan kekerabatan molekuler dari tiap sampel ikan badut dapat digunakan sebagai acuan dasar untuk upaya pengelolaan, pemuliaan, dan konservasi lebih lanjut.

Clownfish is one type of marine ornamental fish that is excellent in the market both domestically and abroad. This affects the availability of clownfish in nature so that it needs to be supported by cultivation efforts. A molecular approach to support the morphological approach is needed to get quality broodstock and seeds. This study aims to identify clownfish species using DNA barcode techniques with 16S rRNA marker genes and reconstruct the clownfish's molecular phylogenetic tree. The results of PCR amplification produced DNA fragments measuring 600 base pair (bp). The results of genetic distance analysis showed a value between 0.00-0.07. The results of the reconstruction of phylogenetic trees formed a family tree with 7 main clusters. The results of the research in the form of genetic information and molecular relationships from each clownfish sample can be used as a basic reference for further management, breeding, and conservation efforts."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Karta Atmadja
"Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui aktivitas antimikroba actinomycetes termofil hasil isolasi dari geiser di Cisolok, Jawa Barat. Delapan belas isolat yang memiliki morfologi menyerupai actinomycetes berhasil diisolasi dari serasah daun dan ranting di sekitar pusat semburan geiser. Seluruh isolat diuji aktivitas antimikrobanya menggunakan paper disk method dan agar block method dengan Kocuria rhizophila, Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis sebagai bakteri uji Gram positif, dan Escherichia coli sebagai bakteri uji Gram negatif. Pengujian menggunakan metode paper disk menunjukkan hasil negatif pada isolat actinomycetes yang dikultur pada medium International Streptomyces Project (ISP) 1 cair selama 14 hari pada suhu 50oC dan 40oC. Berdasarkan uji menggunakan metode blok agar, didapatkan bahwa dua isolat, yaitu LC2-2 dan LC2-6 memberikan hasil positif terhadap bakteri uji Gram positif. Isolat LC2-2 menunjukkan morfologi makroskopis dan mikroskopis menyerupai genus Bacillus sehingga tidak digunakan untuk identifikasi molekuler. Hasil identifikasi molekuler sequence parsial gen 16S rRNA menggunakan primer 785F dan primer 802R menunjukkan bahwa LC2-6 diidentifikasi sebagai Actinomadura keratinilyitica dengan nilai homologi 99%. Berdasarkan hasil penelitian, direkomendasikan untuk mempelajari lebih lanjut senyawa antimikroba yang dihasilkan isolat LC2-6. Hal tersebut disebabkan oleh belum adanya laporan penelitian mengenai aktivitas antimikroba Actinomadura keratinilytica.

The aim of this study was to screen the antimicrobial activity by actinomycetes isolated from Cisolok Geyser, West Java. Eighteen isolates which are have similar morphology with actinomycetes have been isolated from leaves and branches around the geyser. The isolates were screened for their antimicrobial activity using paper disk method and agar block method with Kocuria rhizophila, Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis as Gram positive test bacteria and Escherichia coli as Gram negative test bacteria. Screening by paper disk method showed negative result from all the isolates that cultured on International Streptomyces Project (ISP) 1 medium at 50oC and 40oC for 14 days. Screening by block agar method showed that two isolates, LC2-2 and LC2-6 gave positive result to Gram positive test bacteria. Morphologically, LC2-2 showed similarity to genus Bacillus, thus it’s not used for molecular identification. Molecular identification based on partial sequence of 16S rRNA gene with primer 785F and primer 802R showed that LC2-6 identified as Actinomadura keratinilytica (99%). Based on this research, it is suggested to do further study about the antimicrobial activity produced by LC2-6, because there is still no report about antimicrobial activity produced by Actinomadura keratinilytica.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S55886
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Larashintya Rulita
"Komposisi komunitas mikrobiota usus pada neonatus prematur dapat diidentifikasi menngunakan mekonium dan feses. Akan tetapi, penelitian menggunakan sampel mekonium dan feses memiliki tantangan tersendiri karena konsistensinya serta kandungan inhibitor PCR yang tinggi pada sampel mekonium dan feses. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengoptimasi perolehan DNA mikrobiota mekonium dan feses dari neonatus yang lahir prematur di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel mekonium, feses 4 dan 7 hari setelah kelahiran dari neonatus prematur. Setelah itu, dilakukan optimasi proses perolehan DNA. Parameter yang dioptimasi yaitu dengan mempertimbangkan jumlah dan kondisi sampel, penggunaan kit ekstraksi yaitu Qiagen DNeasy Powersoil Kit dan MP Biomedical FastDNA Spin Kit for Soil, tahap preparasi sampel, dan tahap elusi DNA. Selanjutnya, DNA genomik hasil ekstraksi dikuantifikasi serta dikonfirmasi menggunakan Polymerase Chain Reaction sebelum tahap NGS. Hasil pada penelitian ini yaitu sampel yang dilakukan optimasi dengan replikasi jumlah sampel sebanyak 2 kali, menggunakan sampel segar, menggunakan buffer elusi dengan volume yang lebih sedikit, pelarutan sampel menggunakan ddH2O, dan diekstraksi menggunakan MP Biomedical FastDNA Spin Kit for Soil menghasilkan konsentrasi serta kemurnian yang lebih tinggi. Kesimpulannya, perlu dilakukan optimasi pada tahap ekstraksi DNA untuk menghasilkan perolehan serta kemurnian DNA yang tinggi."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghalih Wirahadi Akbari
"ABSTRAK
Microhyla heymonsi merupakan spesies yang memiliki distribusi sangat luas, mulai dari Taiwan, China, India, Indochina, Semenanjung Malaysia, hingga Sumatra. Spesies dengan distribusi sangat luas seringkali mengandung spesies kriptik akibat pemisahan goegrafis sehingga terjadi isolasi reproduksi, mutasi gen, dan evolusi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan filogenetik antara spesies M. heymonsi dari Sumatra dan luar Sumatra, serta nilai jarak genetik antara kedua kelompok spesies tersebut. Nilai jarak genetik yang digunakan sebagai batas pembeda spesies adalah 3. Sekuens DNA didapatkan melalui proses DNA Barcoding dan kemudian dilakukan studi filogenetik melalui analisis Unweighted Pair Group Method with Arithmatic Mean, Neighbourhood Joining, Maximum Likelihood, dan Bayesian Inference. Hasil menunjukkan bahwa spesies M. heymonsi dari Sumatra membentuk satu clade besar tersendiri pada pohon filogeni dari semua metode analisis dengan didukung nilai bootstrap yang signifikan. Nilai jarak genetik antara M. heymonsi Sumatra dengan M. heymonsi Singapura dan Malaysia masih di bawah 3. Nilai jarak genetik antara M. heymonsi Sumatra dengan M. heymonsi Thailand, Myanmar, Vietnam, dan China telah melebihi angka 3.

ABSTRACT
Abstract Microhyla heymonsi is a species that has very wide distribution, ranging from Taiwan, China, India, Indochina, Peninsular Malaysia, to Sumatra. Species with a very wide distribution often contain cryptic species due to the geographical barrier resulting in reproductive isolation, gene mutation, and evolution. This study aims to determine the phylogenetic relationship between M. heymonsi species from Sumatra and outside Sumatra, as well as the value of genetic distance between the two groups of species. The genetic distance threshold as a species delimitation is 3. DNA sequences were obtained through the process of DNA barcoding and then phylogenetic studies were performed through analysis of Unweighted Pair Group Method with Arithmatic Mean, Neighborhood Joining, Maximum Likelihood, and Bayesian Inference. The results show that the M. heymonsi species from Sumatra form a large single clade on the phylogenetic tree of all analytical methods with significant bootstrap values. The genetic distance value of M. heymonsi Sumatra with M. heymonsi Singapore and Malaysia is still below 3. The genetic distance values between M. heymonsi Sumatra and M. heymonsi Thailand, Myanmar, Vietnam and China have exceeded 3. "
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>