Ditemukan 97933 dokumen yang sesuai dengan query
Radinka Gabriella
"Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan MK Nomor 23/PUU-XIX/2021 telah mengeluarkan putusan yang membuka kesempatan untuk mengajukan upaya hukum kasasi atas putusan PKPU, di mana putusan tersebut tidak sesuai dengan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan yang mengatur bahwa terhadap putusan PKPU tidak dibuka upaya hukum apapun kecuali ditentukan lain oleh UU Kepailitan. UU Kepailitan semula menetapkan untuk tidak membuka upaya hukum apapun terhadap putusan PKPU agar penyelesaian PKPU tidak berlarut-larut serta PKPU dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan pembentukannya, yaitu untuk menghindarkan debitor dari kepailitan, tetapi dalam perkembangannya, dengan tidak dibukanya upaya hukum apapun atas mekanisme PKPU, sering disalahgunakan oleh kreditor beritikad tidak baik yang dengan sengaja menggunakan mekanisme PKPU sebagai ajang untuk memailitkan debitor agar debitor tidak dapat melakukan perlawanan hukum apapun, maka dari itu penelitian ini juga akan melakukan perbandingan dengan Amerika Serikat terkait dengan mekanisme kepailitan dan PKPU terkait dengan upaya hukum terhadap kedua mekanisme tersebut. Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dimana peneliti akan melakukan analisis yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum, serta pendapat para ahli terhadap upaya hukum kasasi atas putusan PKPU. Penelitian ini menyimpulkan idealnya terhadap putusan PKPU tetap tidak dibuka upaya hukum apapun dan untuk menghindari adanya kreditor beritikad tidak baik, maka pengajuan permohonan PKPU hendaknya diajukan oleh debitor selaku pihak yang memahami kondisi keuangan usahanya.Â
The Constitutional Court based on Constitutional Court Decision Number 23/PUU-XIX/2021 has issued a decision that opens the opportunity to file a cassation legal remedy for PKPU decisions, where the decision is not comply with Article 235 paragraph (1) and Article 293 paragraph (1) of the Bankruptcy Law which regulates that PKPU decisions are not allowed any legal remedies unless otherwise provided by the Bankruptcy Law. In addition to causing discrepancies with what has been regulated in the Bankruptcy Law, it also causes discrepancies with the bankruptcy case settlement process which is carried out with a fast process.The Bankruptcy Law originally stipulated not to open any legal remedies against PKPU decisions so that the PKPU settlement would not be protracted and PKPU could be implemented in line with the purpose of its establishment, which is to prevent debtors from bankruptcy, but in the development with the non-opening of any legal remedies for the PKPU mechanism, often abused by the bad faith creditors who deliberately use the PKPU mechanism as a platform to bankrupt the debtor so that the debtor cannot carry out any legal defense, therefore this research will also conduct a comparison with the United States related to the mechanism of bankruptcy and PKPU related to legal remedies for both mechanisms. This research will use normative juridical research methods, where researchers will conduct analysis related to laws and regulations, legal theories, and expert opinions on cassation legal remedies on PKPU decisions. This research concludes that ideally the PKPU decision should not be opened for any legal remedy and to avoid bad faith creditors, the PKPU application should be submitted by the debtor as a party who understands the financial condition of their business."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Azri Athirah Puteri Gathmir
"Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan prosedur hukum yang memberikan hak untuk mengajukan rencana perdamaian kepada debitor yang tidak dapat memperkirakan kelanjutan pembayaran utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, sehingga debitor dapat merestrukturisasi utang-utangnya. Dalam praktiknya, debitor yang awalnya dimohonkan PKPU oleh kreditornya dapat juga dipailitkan. Kepailitan yang dialami debitor ini tidak sesuai dengan tujuan awal PKPU, yakni untuk memberikan kesempatan kepada debitor dalam melanjutkan usahanya. Awalnya, menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UUK & PKPU), debitor yang dipailitkan atas putusan PKPU tidak dapat mengajukan upaya hukum apapun. Hal ini menyebabkan adanya perlindungan hukum yang tidak seimbang untuk debitor karena tujuan kreditor mengajukan permohonan PKPU terhadap debitornya dianggap bukan untuk melanjutkan usaha debitor, melainkan untuk mendapatkan pembayaran utang yang lebih cepat. Dengan demikian, akhirnya dikeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021, yang mana pada amar putusannya menyatakan bahwa Pasal 235 ayat (1) UUK & PKPU bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor. Pada dasarnya, dengan dikeluarkannya putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi memperbolehkan adanya upaya hukum kasasi terbatas terhadap putusan PKPU. Namun, akibat dikeluarkannya putusan tersebut malah akan menyebabkan siklus utang yang tidak sehat baik untuk debitor maupun untuk kreditor.
Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU) is a legal procedure that gives the right to submit a settlement plan to debtors who cannot predict the continuation of payment of their debts that are past due and collectible, so that debtors can restructure their debts. In practice, the debtor whose PKPU was originally requested by the creditor can also be bankrupt. The bankruptcy experienced by the debtor is not in accordance with PKPU's original purpose, namely to provide opportunities for debtors to continue their business. Initially, according to Statute Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and PKPU (UUK & PKPU), debtors who are bankrupt by PKPU decision cannot submit any legal remedies. This causes an unequal legal protection for debtors because the purpose of creditors submitting PKPU requests to their debtors is considered not to continue the debtor's business, but to obtain faster debt payments. Thus, finally the Constitutional Court Decision Number 23/PUU-XIX/2021 was issued, which in its ruling stated that Article 235 paragraph (1) UUK & PKPU contradicted the 1945 Constitution and did not have binding legal force, as long as it was not interpreted as the permissibility of cassation against the decision on Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU) submitted by the creditor and the rejection of the debtor's offer of composition plan. Basically, with the issuance of this decision, the Constitutional Court allowed limited cassation efforts against the PKPU decision. However, the result of the issuance of this decision will actually lead to unhealthy debt cycles for both debtors and creditors."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Adrian Wahyu Christ Dewandaru
"Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UUK-PKPU menyatakan bahwa tidak ada upaya hukum apapun yang dapat dilakukan terhadap Putusan PKPU. Pembatasan upaya hukum ini bertujuan untuk menjamin terpenuhinya asas kepastian hukum terhadap Kreditor dan berkaitan juga dengan sifat dari Forum PKPU yang berdimensi cepat (speedy trial). Namun, diterbitkannya Putusan MK Nomor 23/PUU-XIX/2021 menyebabkan dapat dilakukannya Kasasi sebagai upaya hukum atas Putusan PKPU dengan (2) syarat, yakni permohonan PKPU harus diajukan oleh Kreditor dan rencana perdamaian dari Debitor ditolak oleh Kreditor. Kasasi berfungsi untuk melindungi Debitor dari Kreditor yang memiliki niat jahat yang dengan sengaja mempailitkan Debitor melalui Forum PKPU dan sebagai mekanisme kontrol bilamana terjadi kekeliruan atau kesalahan penerapan hukum oleh Hakim pada pengadilan tingkat bawah. Penulis menggunakan metode yuridis-normatif dengan penelitian analisis-deskriptif melalui pendekatan kualitatif dan melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada berdasarkan ketentuan yang berlaku. Hasil dari penelitian ini adalah didapatkan kesimpulan bahwa MK tidak memiliki tujuan untuk mengesampingkan ketentuan mengenai upaya hukum Putusan PKPU dalam UUK-PKPU, melainkan suatu upaya untuk melakukan progresivitas hukum atas upaya hukum Putusan PKPU di Indonesia dimana Forum PKPU banyak dijadikan sebagai strategi bisnis yang tidak sehat.
Article 235 paragraph (1) and Article 293 paragraph (1) of UUK-PKPU state that no legal action can be taken against the PKPU Decision. This limitation of legal remedies aims to ensure the fulfilment of the principle of legal certainty for Creditors and is also related to the nature of the PKPU Forum which has a speedy trial dimension. However, the issuance of Constitutional Court Decision No. 23/PUU-XIX/2021 resulted in the possibility of Cassation as a legal remedy for PKPU decisions with (2) conditions, namely that the PKPU application must be submitted by a Creditor and the Debtor's peace plan is rejected by the Creditor. Cassation serves to protect the Debtor from malicious creditors who deliberately bankrupt the Debtor through the PKPU Forum and as a control mechanism in the event of errors or misapplication of law by Judges at the lower court level. The author uses the juridical-normative method with descriptive-analytical research through a qualitative approach and analyses the existing problems based on the applicable provisions. The result of this research is the conclusion that the Constitutional Court does not have the aim to override the provisions regarding legal remedies for PKPU Decision in UUK-PKPU, but rather an effort to make legal progressivity on legal remedies for PKPU Decision in Indonesia where PKPU Forum is widely used as an unhealthy business strategy."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ruth Maria Rentyna
"Tesis ini membahas mengenai permohonan PKPU atas diri PT. DRI yang diajukan oleh Bank Mandiri selaku Kreditur pemegang hak jaminan pada saat berlangsungnya proses gugatan sengketa nilai tukar dollar untuk pinjaman investasi yang diberikan oleh Bank Mandiri. Proses PKPU kemudian berakhir pada kepailitan kendati PT. DRI dapat membuktikan bahwa dirinya telah melaksanakan kewajibannya kepada kreditur. Prosedural permohonan PKPU dan Kepailitan dari PT. DRI dilakukan sesuai dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU namun terdapat kejanggalankejanggalan dalam proses pelaksanaannya, salah satu kejanggalan tersebut adalah pemblokiran rekening PT DRI oleh Pengurus sehingga PT DRI tidak dapat mengakses rekening untuk kepentingan pembayaran seluruh biaya operasional dan gaji pegawai. Hingga tahun 2013, PT DRI masih melakukan upaya hukum terkait putusan pailit yang dijatuhkan kepada dirinya dan penjaminnya. Penelitian menggunakan metode yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis. Hasil penelitian menyarankan perlu dibentuk suatu lembaga independen yang khusus mengawasi proses PKPU dan kepailitan serta mengawasi kinerja Kurator, mengingat bahwa Hakim Pengawas tidak sepenuhnya bekerja untuk mengawasi proses PKPU dan Kepailitan; Peranan PPATK perlu diperluas sampai dengan taraf dimana kasus-kasus yang terjadi sebelum PPATK didirikan dapat diperiksa; Bank Indonesia perlu membuat sebuah badan internal yang berfungsi menerima dan memeriksa laporan dari masyarakat terkait kerugian yang ditanggung oleh masyarakat karena kelalaian bank; Perlu penambahan syarat keadaan insolvensi dan jumlah minimum hutang untuk dapat mengajukan permohonan PKPU; Perlunya diatur tugas dan wewenang Pengurus dan Kurator yang detail didalam Undang-undang Kepailitan dan PKPU.
This thesis focus in suspension of obligation for payment of debt petition upon PT DRI filed by Bank Mandiri as Preference Creditor-holder of security rights during lawsuit of dollar exchange rate granted by Mandiri Bank itself. PKPU process then ends in bankruptcy even though PT DRI carried out its obligations to Creditors. PKPU application procedures and bankruptcy of PT. DRI carried out in accordance with Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy and PKPU but there are irregularities in the implementation process, one of these irregularities is blocking accounts by the Administrator so that PT DRI cannot access the account for the benefit of the entire payment of operating costs and salaries. Until the year 2013, PT DRI still take legal actions related to bankruptcy decision handed down to itself and its guarantor. This research is using normative juridical methodology and analytical descriptive. The research result to a suggestion where it is needed to set up an independent body who oversees the process of suspension of obligation for payment and bankruptcy also oversee the Receivers work performance, given that the Supervisory Judge not fully work to oversee the suspension of obligation for payment of debt and Bankruptcy. PPATK role needs to be expanded to the extent to which the cases occurred before PPATK set out. Bank Indonesia needs to make an internal body that serves to receive and investigate reports of the public related losses which borne by society due to the negligence of the bank; Need the addition of a state of insolvency requirement and the minimum amount of debt to be able to apply for suspension of obligation for payment of debt."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42192
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Kemal Azhardhia Ghiffary
"Fokus dari penelitian ini adalah pada penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), khususnya yang berkaitan dengan perjanjian perdamaian. Dalam kenyataannya, ada cacat tersembunyi pada perjanjian perdamaian sebagaimana kasus yang ditemukan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1131/K/Pdt.Sus-Pailit/2021. Berdasarkan Pasal 285 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2007 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, perjanjian perdamaian yang diperoleh dari adanya persekongkolan dan tidak dapat menjamin hak dan kewajiban debitur seharusnya tidak dapat disahkan. Namun putusan a quo menyatakan bahwa perjanjian perdamaian disahkan dan mengikat bagi kreditur dan debitur meski dalam kasusnya ada unsur cacat tersembunyi. Oleh karena itu permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah tentang status perjanjian perdamaian yang mengandung unsur cacat tersembunyi dan akibat hukumnya. Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan (dokumen). Adapun analisis datanya dilakukan secara kualitatif. Dari hasil analisis, dapat dinyatakan bahwa putusan quo yang menyatakan perjanjian perdamaian dalam kasus tersebut sebagai sah adalah tidak tepat karena seharusnya perjanjian perdamaian yang mengandung unsur cacat tersembunyi tidak dapat disahkan karena tidak menjamin hak-hak berkaitan dengan pembayaran dari debitur terhadap kreditur (sebagaimana ketentuan pada pasal a quo jo. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Selain itu, akibat hukum dari perjanjian perdamaian yang mengandung unsur cacat tersembunyi berdampak pada status kepailitan bagi debitur (Pasal 171 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2007 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).
The focus of this research is on the suspension of debt payment obligations (PKPU), especially those related to the reconciliation agreement. In fact, there are hidden defects in the reconciliation agreement as is the case found in the Supreme Court Decision Number 1131/K/Pdt.Sus-Pailit/2021. Based on Article 285 paragraph (2) of Law Number 34 of 2007 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations, a reconciliation agreement obtained from a conspiracy and cannot guarantee the rights and obligations of the debtor should not be ratified. However, the a quo decision stated that the peace agreement was legalized and binding on creditors and debtors even though in this case there were elements of hidden defects. Therefore, the problem raised in this study is regarding the status of the reconciliation agreement which contains hidden defects element and legal consequences. This normative juridical research uses secondary data obtained through literature (document) studies. The data analysis was carried out qualitatively. From the results of the analysis, it can be stated that the a quo decision stating that the peace agreement in this case is valid is not appropriate due to the peace agreement which contains hidden defects element cannot be ratified because it does not guarantee rights related to payments from debtors to creditors (as stipulated in the provisions of in article a quo jo. Article 1320 of the Indonesian Civil Code). In addition, the legal consequences of the recomcoliation agreement containing hidden defects elements have an impact on the bankruptcy status of the debtor (Article 171 of Law Number 34 of 2007 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Shahnas Ayu Swaradheka
"Tesis ini membahas tentang kepastian hukum atas pelaksanaan Debt to Equity Swap terhadap obligasi yang dikonversi menjadi saham dalam rangka penundaan kewajiban pembayaran utang. Berdasarkan Undang-Undang Pasar Modal, obligasi sebagai surat berharga yakni efek atau merupakan bentuk surat bukti utang emiten kepada kreditor pemegang obligasi yang memiliki jangka waktu jatuh tempo pembayaran yang telah ditentukan. Dalam jangka waktunya, dapat dimungkinkan terjadinya keadaan dimana Emiten tidak mampu atau gagal bayar atas utang lain yang dimiliki. Untuk itu, pengajuan perdamaian penundaan kewajiban pembayaran utang menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan guna penataan utang-utang emiten tersebut. Salah satu metode dalam rangka perdamaian di penundaan kewajiban pembayaran utang atas Obligasi yang dimiliki oleh Emiten atau Debitor yaitu Debt to Equity Swap. Dalam tesis ini, dibahas mengenai tata cara pelaksanaan Debt to Equity Swap terhadap Obligasi non-convertible dalam rangka penundaan kewajiban pembayaran utang dan mengenai keberlangsungan waliamanat serta berakhirnya peran sebagai wakil dari kreditor pemegang obligasi dalam menjalankan segala tugas, wewenang serta fungsi berdasarkan perjanjian perwaliamanatan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif, dengan sifat penelitian deskriptif-analitis serta dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa tidak terdapatnya upaya yang diwajibkan pada pelaksanaan Debt to Equity Swap terhadap Obligasi non-convertible dalam rangka penundaan kewajiban pembayaran utang, melainkan dapat dilakukan melalui upaya yaitu mempercepat jangka waktu Obligasi, serta dalam rangka ini pula keberlangsungan peran waliamanat masih terus berjalan.
This thesis discusses regarding the legal certainty on the implementation of Debt to Equity Swap on bonds conversion into shares in the event of Suspension of Debt Payment Obligation. Based on Indonesian Capital Market Law, bonds are commercial paper or are forms of proof of issuer's debt to bondholders as creditors who have a predetermined term of payment. Within such period of time of bonds, it is possible for a situation which will be occurred where the Issuer is unable or default on other debts held. For this reason, the reconciliation petitionof the Suspension of Debt Payment Obligation is one of the efforts that can be made to restructure the issuer's debts. One method in the form of restructuring debton the Suspension of Debt Payment Obligation on bonds held by issuers or debtors, namely Debt to Equity Swap. This thesis will be focused on the implementation of Debt to Equity Swap on non-convertible bonds in order to Suspension of Debt Payment Obligation and regarding the continuity of the Trustee and the end of the role as representative of the bond holders as creditors in carrying out all duties, authorities and functions based on the trustee agreement. The form of this research is juridical-normative, with the nature of descriptive-analytical research and analyzed using qualitative methods. On the basis of the conditions described, there is no compulsory effort in the implementation of Debt to Equity Swap against non-convertible bonds in the event of Suspension of Debt Payment Obligation, but can be done by accelerating the term of the Bonds, as well as the Trustee role still be continued."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T54689
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Parlindungan, Jobby Cresna
"Restrukturisasi Utang adalah sebuah keniscayaan dalam hal Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada Kreditur tetapi di lain sisi Debitur masih memiliki itikadi baik dan prospek untuk menjalankan usahanya. Peraturan perundang-undangan tidak memberikan pengaturan yang pasti dalam hal Restrukturisasi Utang sehingga Debitur dan Kreditur diberikan kebebasan sepenuhnya untuk mencapai kesepakatan dalam mekanisme Restrukturisasi Utang tersebut. Hal tersebut mengartikan bahwa mendirikan sebuah badan usaha baru juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk Restrukturisasi Utang. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dampak dan kedudukan hukum pihak-pihak dalam Restrukturisasi Utang melalui skema pembentukan Perseroan Terbatas sebagai Debitur baru. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan studi pustaka yang didasarkan pada studi kasus. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa badan hukum bertanggung jawab dalam hal tindakan sah yang dilakukan oleh organ atau telah disetujui oleh organ yang lebih tinggi. Hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa kedudukan hukum yang terpisah diantara para pihak mengakibatkan perbedaan hak dan kewajiban sebelum dan setelah dilakukan Restrukturisasi Utang.
Debt restructuring is a necessity in terms of Debtor can not meet its obligations to Creditors, but on the other side of the Debtor still has a good faith and prospects for business. Regulation does not provide definitive arrangement in Debt Restructuring so Creditor and Debtor given that complete freedom to reach agreement in the Debt Restructuring mechanism. This means that setting up a new business entity can also be used as a means for Debt Restructuring. This study aims to explain the impact and the legal position of the parties to the Debt Restructuring scheme as a Limited Liability Company formation as a new Debtor. The method used is juridical-normative based on case studies. Results of the study revealed that the legal entity responsible for the unlawful act committed by the organ or organs that have been approved by the higher. The results also revealed that a separate legal position between the parties resulted in differences in the rights and obligations before and after the Debt Restructuring."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58707
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Himarasmi Jyesthaputri Aji
"Adanya mekanisme penundaan terhadap kewajiban pembayaran utang yang harus dilakukan oleh Debitor, dapat memberikan Debitor waktu untuk melakukan restrukturisasi terhadap utangnya. Pada praktiknya, upaya restrukturisasi utang ini seringkali tidak memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada Kreditor PKPU. Hal ini dapat terjadi salah satunya karena tindakan Debitor yang mengulur-ulur proses beracara, sehingga perkara kepailitan yang sedang terjadi tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan marwah dari UU K-PKPU itu sendiri yang menghendaki terselesaikannya sengketa dengan cepat dan sederhana. Hal inilah yang melatarbelakangi perlunya pemberian perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada Kreditor dalam perkara PKPU yang dapat menghindarkan Kreditor mengalami kerugian atas tindakan Debitor. Pemberian perlindungan hukum diperlukan untuk mencapai tujuan dari hukum itu sendiri, yakni menciptakan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Untuk menjawab permasalahan tersebut, Penulis kemudian menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder. Penelitian ini menggunakan studi kasus Putusan No. 373/Pdt.Sus-Pkpu/2021/Pn.Niaga.Jkt.Pst dan akan dikaji melalui studi kepustakaan dalam rangka menjawab pokok permasalahan berdasarkan hukum yang berlaku untuk memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi Kreditor yang terlibat dalam perkara PKPU. Dalam Hukum Kepailitan, kepastian hukum dapat terwujud melalui penerapan prinsip penyelesaian perkara secara cepat dan pembuktian yang sederhana sesuai dengan prinsip kepailitan dan PKPU yang tercantum dalam UU K-PKPU. Penulis kemudian menarik kesimpulan bahwasannya UU K-PKPU pada dasarnya telah memberikan perlindungan hukum bagi Kreditor, meskipun demikian Majelis Hakim kurang cermat dalam menerapkan hukum sehingga putusan tersebut dapat merugikan Kreditor Konkuren. Selanjutnya, UU K-PKPU juga pada dasarnya telah memberikan kepastian hukum, namun demikian Majelis Hakim tidak konsisten dalam menerapkan hukum sehingga kepastian hukum tidak tercapai.
The existence of a mechanism for delaying debt payment obligations that must be carried out by the debtor can give the debtor time to restructure his debt. In practice, these debt restructuring efforts often do not provide legal protection and legal certainty to PKPU creditors. This can happen, in part, because the debtor's actions are delaying the proceedings, so that the ongoing bankruptcy case cannot be carried out in accordance with the dignity of the K-PKPU Law itself, which requires the resolution of disputes quickly and simply. This is the background to the need to provide legal protection and legal certainty to creditors in the PKPU case which can prevent creditors from experiencing losses due to the actions of the debtor. Providing legal protection is necessary to achieve the objectives of the law itself, namely creating justice, benefit and legal certainty. To answer these problems, the author then uses normative juridical legal research methods by examining literature or secondary data. This research uses a case study of Decision No. 373/Pdt.Sus-Pkpu/2021/Pn.Niaga.Jkt.Pst and will be reviewed through a literature study in order to answer the main issues based on applicable law to provide legal protection and legal certainty for Creditors involved in the PKPU case. In Bankruptcy Law, legal certainty can be realized through the application of the principle of quick settlement of cases and simple proof in accordance with the principles of bankruptcy and PKPU as stated in the K-PKPU Law. The author then draws the conclusion that the K-PKPU Law has basically provided legal protection for Creditors, even though the Panel of Judges was not careful in applying the law so that the decision could be detrimental to Concurrent Creditors. Furthermore, the K-PKPU Law has basically provided legal certainty, however, the Panel of Judges has been inconsistent in applying the law so that legal certainty has not been achieved."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Adhani Rahmi
"Skripsi ini membahas mengenai kedudukan antara kreditor konkuren dan kreditor separatis selama menjalankan proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Dalam lembaga PKPU, kedudukan antara kreditor adalah sama. Undang-undang secara implisit telah memberikan perlindungan kepada kreditor konkuren sebagai pihak yang memiliki kedudukan yang lemah. Namun dalam prakteknya masih sering ditemukan kecondongan atau dominasi dari kreditor lainnya, khususnya kreditor separatis. Ketimpangan antara kedua kreditor tersebut juga terjadi dalam kasus PKPU PT. Benangsari Indahtexindo. Asas Keseimbangan yang terdapat dalam hukum kepailitan menjadi patokan utama dalam menentukan proses PKPU, karena dengan asas tersebut maka dapat dicapai hasil akhir yang adil.
This paper discusses the standing of the unsecured creditor and secured creditor throughout the process of Suspension of Payment. In Suspension of Payment foundation, the standings between all the creditors are same. The law implicitly has been giving protection for the unsecured creditor, as the party which has a weak position. But in practice there are still tendency or dominance of other creditor, especially the secured creditor. Disparities between the two of the creditor also happened in Suspension of Payment of PT. Benangsari Indahtexindo. The principle of balance that was found in bankruptcy law is the first criterion in determining the process of the Suspension of Payment, because of this principle, it can achieved the fair result."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60915
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Kezia Shevania Therina Paenden
"Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah suatu tindakan hukum yang memberikan hak kepada debitor yang menghadapi kesulitan dalam membayar utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, untuk mengajukan rencana perdamaian. Rencana tersebut memungkinkan debitor untuk melakukan restrukturisasi utangnya. Awalnya, menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UUK & PKPU), tidak ada upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan PKPU. Namun, seiring berjalannya waktu, terjadi pergeseran dalam aturan terkait upaya hukum terhadap putusan PKPU. Semula tidak diizinkannya upaya hukum apapun terhadap putusan PKPU, namun kemudian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021 mengubah hal tersebut. Putusan ini memungkinkan pengajuan upaya hukum kasasi terbatas terhadap putusan PKPU. Adapun perubahan ini berlaku ke depan (prospektif) dan tidak berlaku surut (retroaktif), hal ini bertujuan untuk menghindari ketidakpastian hukum yang dapat timbul jika putusan tersebut diterapkan secara retroaktif. Lebih lanjut, meskipun Putusan MK No. 23/PUU-XIX/2021 memberikan izin untuk kasasi terbatas, namun belum ada regulasi yang secara khusus mengatur prosedur dan proses pengajuan kasasi terhadap permohonan PKPU. Hingga saat ini, pelaksanaan kasasi terhadap putusan PKPU juga belum diatur secara spesifik atau khusus oleh UUK & PKPU. Oleh karena itu, peraturan mengenai kedudukan hukum kreditor di luar perkara dalam mengajukan kasasi terhadap putusan PKPU juga masih berlaku mutatis mutandis terhadap ketentuan pengajuan kasasi atas putusan pailit.
Postponement of Debt Payment Obligations (PKPU)is alegal action that gives debtors who are facing difficulties in paying debts that are due and collectible the right to submit a peace plan. This plan allows debtors to restructure their debts. Initially, according to Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and PKPU (UUK & PKPU), no legal action could be filed against PKPU decisions. However, over time, there has been a shift in the rules regarding legal action against PKPU decisions. Initially no legal action was permitted against the PKPU decision, but then the Constitutional Court Decision Number 23/PUU-XIX/2021 changed this. This decision allows the filing of limited cassation efforts against PKPU decisions. This change applies in the future (prospective) and does not apply retroactively, this aims to avoid legal uncertainty that could arise if the decision is applied retroactively. Furthermore, even though MK Decision no. 23/PUU-XIX/2021 provides permission for limited cassation, but there are no regulations that specifically regulate the procedure and process for submitting cassation against PKPU applications. Until now, the implementation of cassation against PKPU rulings has also not been specifically regulated or specifically by UUK & PKPU. Therefore, the regulation regarding the legal position of creditors outside the case in filing cassation against the PKPU decision also still applies mutatis mutandis to the provisions for filing cassation for bankruptcy decisions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library