Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 85627 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Githa Bianti
"Penulisan ini mengeksplorasi kasus antara Mr. Ang Choon Beng@Ang Siong Kiat dengan PT MNC dan afiliasinya yang berhasil membuat Putusan Arbitrase SIAC No. 139/2011 dan No. 53/2013 menjadi tidak dapat dieksekusi di Indonesia dengan alasan Put and Call Option Agreement sebagai perjanjian pokok yang mengikat para pihak dibatalkan melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 766/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Brt, dimana gugatan pembatalan perjanjian tersebut diajukan secara internal oleh PT Global Mediacom Tbk selaku pemegang saham mayoritas PT MNC. Analisis kasus ini menunjukkan masih adanya praktik dalam peradilan di Indonesia dimana pihak Indonesia yang dikalahkan dalam proses arbitrase di luar negeri memanfaatkan kelemahan instrumen hukum dan hukum acara yang bertele-tele di Indonesia sehingga memberikan celah baginya untuk menunda atau bahkan membuat Putusan Arbitrase Internasional tersebut tidak dapat dieksekusi. Ironisnya, meskipun penyelesaian melalui arbitrase telah menjadi opsi yang paling diminati oleh kaum pebisnis sebagai forum penyelesaian sengketa untuk transaksi bisnis internasional mereka, namun campur tangan pengadilan dalam proses eksekusi suatu putusan arbitrase di Indonesia sebagai langkah terpenting justru menjadi batu sandungan yang memberikan ketidakpastian hukum. Inilah yang mengakibatkan Indonesia dikenal sebagai ‘unfriendly arbitration state’ dalam dunia internasional. Pentingnya penegakkan asas iktikad baik dalam berarbitrase dan amandemen UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menjadi krusial agar dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak dalam berarbitrase.

This writing explores the case between Mr. Ang Choon Beng@Ang Siong Kiat with PT MNC and its affiliates who succeeded in making SIAC Arbitration Award No. 139/2011 and No. 53/2013 became non-executable in Indonesia on the grounds that the Put and Call Option Agreement as the main agreement that binds the parties was annulled through Decision of the West Jakarta District Court No. 766/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Brt, where the lawsuit for canceling the agreement was filed internally by PT Global Mediacom Tbk as the majority shareholder of PT MNC. The analysis of this case shows that there are still practices in Indonesian courts where the Indonesian party who was defeated in the arbitration process abroad takes advantage of the weaknesses of legal instruments and procedural law which are lengthy in Indonesia to provide a loophole for them to postpone or even make the International Arbitration Award non-executable. Ironically, even though settlement through arbitration has become the most popular option for business people as a dispute resolution forum for their international business transactions, court intervention in the process of executing an arbitral award in Indonesia as the most important step actually becomes a stumbling block that creates legal uncertainty. This is what has resulted in Indonesia being known as an 'unfriendly arbitration state' in the international world. The importance of upholding the principle of good faith in arbitration and amendments to Law No. 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution is crucial in order to provide legal certainty for the parties to arbitrate."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriel
"Penelitian ini membahas mengenai pembatalan putusan arbitrase internasional berdasarkan alasan perjanjian tidak menggunakan Bahasa Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif. Bahwasanya, perjanjian yang melibatkan pihak asing dan pihak Indonesia harus dibuat dalam Bahasa Indonesia juga. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 31 UU 24/2009. Dalam penelitian ini, akan dijelaskan lebih rinci terkait dengan keabsahan perjanjian asing yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia di dalamnya dan juga pengaruh penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian terhadap pembatalan putusan arbitrase internasional. Dengan tidak digunakannya Bahasa Indonesia dalam perjanjian yang mengikat para pihak, terdapat perdebatan apakah perjanjian tersebut sah atau tidak. Perdebatan yang dimaksud adalah apakah perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum karena melanggar ketentuan Pasal 31 UU 24/2009 dan syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPer atau perjanjian tersebut tetap menjadi sah dikarenakan Bahasa Indonesia tidak termasuk ke dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPer, sehingga menyebabkan perjanjian batal demi hukum. Lalu, terdapat perjanjian arbitrase yang mengikuti perjanjian pokoknya, menjadi sebuah pertanyaan apakah perjanjian arbitrase tersebut juga menjadi batal demi hukum dan forum arbitrase yang telah disepakati tidak menjadi tempat penyelesaian sengketa. Seharusnya, perjanjian arbitrase tersebut tidak menjadi batal demi hukum karena perjanjiannya juga batal. Hal tersebut karena perjanjian arbitrase memiliki sifat yang independen sehingga merupakan klausla arbitrase yang terpisah dengan perjanjian pokoknya. Contoh perkara yang digunakan dalam penelitian ini adalah perkara No. 590/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst dan perkara No. 328/Pdt.G/2019/PN.Jkt.Pst. Kedua perkara tersebut adalah perkara yang berjalan bersamaan. Pada perkara No. 590 mengenai perbuatan melawan hukum pihak asing kepada pihak Indonesia dalam perjanjian, sedangkan dalam perkara No. 328 mengenai permohonan pembatalan putusan arbirase internasional

This research discusses the annulment of international arbitration decisions based on the reason that the agreement does not use Indonesian. This research was conducted using normative juridical methods. In fact, agreements involving foreign parties and Indonesian parties must be made in Indonesian as well. These provisions are regulated in Article 31 of Law 24/2009. In this research, we will explain in more detail the validity of foreign agreements that do not use Indonesian in them and also the effect of using Indonesian in agreements on the annulment of international arbitration awards. By not using Indonesian in agreements that bind the parties, there is debate as to whether the agreement is valid or not. The debate in question is whether the agreement is null and void because it violates the provisions of Article 31 of Law 24/2009 and the legal conditions for an agreement in Article 1320 of the Civil Code or whether the agreement remains valid because Indonesian is not included in the provisions of Article 1320 of the Civil Code, thus causing the agreement to be void. by law. Then, there is an arbitration agreement that follows the main agreement, the question is whether the arbitration agreement is also null and void and the agreed arbitration forum is not a place for dispute resolution. The arbitration agreement should not be null and void because the agreement is also void. This is because the arbitration agreement has an independent nature so that it is a separate arbitration clause from the main agreement. The example of the case used in this research is case No. 590/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst and case no. 328/Pdt.G/2019/PN.Jkt.Pst. These two things are things that run simultaneously. In case no. 590 regarding unlawful acts by foreign parties against Indonesian parties in agreements, while in case no. 328 regarding requests for annulment of international arbitration decisions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabil Abduh Hilabi
"ABSTRAK
Tesis menjelaskan mengenai tipu muslihat sebagai alasan pembatalan putusan
arbitrase, dimana akan dibahas mengenai pengertian tipu muslihat dalam alasan
pembatalan, apakakah alasan tipu muslihat dalam permohonan pembatalan putusan
arbitrase harus dibuktikan dengan putusan pengadilan serta bagaimanakah
pandangan hakim terhadap unsur tipu muslihat sebagai suatu alasan pembatalan
putusan arbitrase. Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan penelitian
hukum normatif menggunakan bahan hukum primair berupa peraturan
perundangan UU.Nomor 30/1999 dan bahan hukum sekunder berupa buku-buku
tentang Arbitrase. Penelitian dilakukan dengan meneliti putusan Mahkamah
Agung RI mengenai sengketa antara PT.Nikko Securities Indonesia dengan
PT.Bank Permata untuk kasus pembatalan putusan arbitrase yang dibuat oleh
Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI). Dari hasil penelitian ditemukan
bahwa alasan pembatalan putusan arbitrase masih beragam dikalangan hakim baik
di tingkat Pengadilan Negeri maupun ditingkat banding Mahkamah Agung.

ABSTRACT
This thesis aims to explain Fraud as the reason for the annulment of the arbitral
award, which will be discussed on the understanding of fraud as a reason,
whether arbitral award must be proved by the decision of the court or not and
how the judge opinion about fraud as a reason for the annulment of an arbitral
award . The research method is the normative legal research using the primary
legal materials in the form of legislation UU.Nomor 30/1999 and secondary legal
materials such as books on Arbitration and other references . The study was
conducted by examining the decision of the Supreme Court regarding the dispute
between PT.Nikko Securities Indonesia and PT Bank Permata in case of annulment
of the arbitral award made by the Indonesian Capital Market Arbitration Board
(BAPMI) . From the results of the study found that the reason for the annulement of
an arbitral award is varied among the judges at both the District Court and
Supreme Court appeal level"
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T43353
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natasya Karina Subroto
"Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan konsep pembatalan putusan arbitrase internasional di Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Penelitian ini juga menganalisis praktek yang dilakukan oleh lembaga peradilan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia melalui putusan Pengadilan setempat. Penulis mempergunakan metode penelitian yuridis normatif dengan studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan walaupun Malaysia dan Singapura merupakan negara yang mengadopsi UNCITRAL Model Law namum terdapat perbedaan dalam hal pengaturan pembatalan putusan arbitrase internasional di kedua negara tersebut. Perbedaan pengaturan pembatalan putusan arbitrase internasional juga akan terlihat kontras jika konsep pembatalan dikedua negara tersebut dibandingkan dengan Indonesia.
Praktek di lembaga peradilan sudah tepat dalam menerapkan peraturan arbitrase di negara setempat. Hal tersebut tercermin dalam putusan Court of Appeal Malaysia antara TLL HLL melawan Laos, High Court Singapore JVL melawan Agritrade, dan putusan MA PT.Indiratex melawan Everseason.

This research aimed to identify the difference of the concept of international arbitral award annulment in Malaysia, Singapore, and Indonesia. This research also analyze the practice of the national courts in Malaysia, Singapore, and Indonesia through the court judgment. Author use juridical normative research method with literature studies.
The research shows although Singapore and Malaysia are the Model Law Countries, they still have differences on the regulation of international arbitral award annulment. The differences contrastingly will be shown if we compare those regulations with Indonesia regulation in the international arbitral award annulment.
The practice of the courts have been appropriate in applying the rules of arbitration of the country concerned. It was proved on the Malaysia Court of Appeal award between TLL HLL vs. Laos Government, Singapore High Court award JVL vs. Agritrade, and Indonesia Supreme Court PT. Indiratex vs. Everseason.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nangoy, Sandra
"Penerapan ketentuan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (?UU Arbitrase?) telah menimbulkan kontroversi akibat ketentuan tersebut tidak konsisten dan tidak ada aturan yang tegas. Penelitian ini bermaksud untuk mencari korelasi yang tepat terhadap penerapan Pasal 70 dihubungkan dengan penjelasan pasal itu sendiri dan penjelasan pada bagian umum UU Arbitrase sehingga dapat menjamin tercapainya kepastian hukum keadilan bagi para pihak bersengketa. Permasalahan mendasar adalah apakah alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase bersifat limitatif atau non-limitatif, dan bagaimana pembuktian alasan-alasan tersebut apakah diperlukan keputusan Pengadilan terlebih dahulu atau tidak. Bagaimana sikap Mahkamah Agung terhadap pembatalan putusan arbitrase ini, apakah telah memenuhi asas kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif. Penulis menemukan bahwa ternyata ketentuan Pasal 70 dan putusan Mahkamah Agung tentang permohonan pembatalan putusan arbitrase ini sangat beragam dan tidak konsisten sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan keadilan. Dilain pihak, aturan tentang upaya hukum untuk pembatalan putusan arbitrase juga tidak bisa dihapuskan sama sekali karena bisa terjadi putusan arbitrase diambil dalam keadaan yang salah sehingga dapat menimbulkan ketidakadilan apabila putusan tersebut tetap dipertahankan. Oleh karenanya perlu dilakukan perbaikan atas aturan arbitrase yang mengatur tentang upaya hukum pembatalan putusan sehingga dapat tercapainya kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.

The application of the provisions of Article 70 of Law No. 30 Year 1999 Regarding Arbitration and Alternative Dispute Resolution (?Arbitration Act?) has caused controvercy due to such article are inconsistent and there is no strict rule. This research intends to find out the correlation of the application of Article 70 associated with its elucidation and the general description of the Arbitration Act, to ensure the achievement of legal certainty and justice for disputing parties. The fundamental issues in respect of the annulment of arbitral award is whether the reasons of annulment is qualified limitative or non-limitative and whether is required prior final court decision or not. What is the opinion of the Supreme Court on such annulment of the arbitral award which has fulfilled the principle of legal certainty and justice for disputing parties. This research was conducted with juridical normative research methods. Authors found that the Article 70 and Supreme Court?s decision regarding the annulment of the arbitral award has caused legal uncertainty and injustice due to being indistinct and inconsistent. On the other hand, the rule of law remedy for the annulment of the arbitral award could not be eliminated completely because there are still any conditions where the arbitral award was taken in the wrong circumstances that can lead to uncertainty and injustice when the award is retained. Therefore, it is necessary to improve the arbitration rules which regulates legal remedy of application of the annulment of the award to ensure the legal certainty and justice in society.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Randy Herjanto
"Tesis ini membahas penggunaan Ketertiban Umum (Public Policy) untuk membatalkan putusan arbitrase asing yang diatur di dalam Pasal V (2) Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award 1958. Pelaksanaan putusan arbitrase merupakan hal krusial karena eksekusi putusan merupakan esensi diadakannya arbitrase. Tiap-tiap negara memberlakukan Ketertiban Umum (Public Policy) secara berbeda, termasuk Indonesia yang belum memiliki konsensus melihat lingkup Ketertiban Umum (Public Policy). Antara Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung memiliki konsepsi berbeda mengenai Ketertiban Umum (Public Policy) Indonesia. Hal ini menjadi sebuah problema dimana pihak yang dikalahkan menggunakan alasan Ketertiban Umum (Public Policy) untuk menunda atau membatalkan eksekusi putusan.

This thesis is aimed to prescribe the practice of using Public Policy doctrine to annul foreign arbitral awards as were allowed under Article V (2) of the Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award 1958. The enforcement of an award is crucial and essential to arbitration proceedings. Different states will treat Public Policy differently, including Indonesia whom has yet to reach a consensus in defining what Public Policy should be used in foreign arbitration award enforcement. There are still discrepancy between Indonesian District Court and Supreme Court on the matter of what constitutes as Indonesian Public Policy. These discrepancies created a gaping loophole which are exploited by the party (parties) to delay or to annul the enforcements of the foreign arbitration award. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simon Barrie Sasmoyo Adiwidagdo
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S24980
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2003
S24257
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Adhitya Akbar
"Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa yang sangat popular digunakan oleh kalangan pelaku bisnis. Namun, hal tersebut tidak menjamin bahwa suatu putusan dapat dilaksanakan pada suatu negara, karena terhalang oleh suatu ketertiban umum negara tersebut. Kemajuan pesat di bidang bisnis baik nasional maupun internasional seperti penanaman modal (investment), kontrak kerjasama investasi asing (joint venture agreement), maupun alih teknologi (transfer of technology), dll. Memerlukan mekanisme penyelesaian sengketa hukum yang cepat dan tepat manakala terjadi perselisihan (misunderstanding) bahkan sengketa hukum (dispute). Permasalahan timbul ketika terjadi persengketaan dan memakai forum Arbitrase untuk penyelesaian sengketa tersebut. Persengketaan tersebut berkaitan dengan suatu putusan arbitrase yang akan dilaksanakan di Indonesia tidak dilakukan dengan itikad baik oleh pihak yang kalah. Hal ini tentu saja berkaitan langsung dengan apakah pengadilan negeri memiliki kewenangan terhadap suatu putusan arbitrase atau tidak. Kondisi dimana pihak yang bersengketa tentu menginginkan kepastian hukum, jika putusan tersebut ingin dilaksanakan namun terhalang oleh ketertiban umum dan hukum custom yang dimiliki oleh suatu negara.
Maka dari itu terbentuklah 3 rumusan masalah yaitu: (1)Apakah Pengadilan Negeri memiliki kewenangan menolak dan melaksanakan putusan Arbitrase Internasional?; (2)Bagaimana kepastian hukum yang akan didapat oleh suatu pihak yang mempunyai sengketa di Indonesia dimana sengketa tersebut bersinggungan dengan  ketertiban umum?; (3) Haruskah ketertiban umum dirumuskan secara terperinci ?. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.
Hasil dari penelitan ini yakni kewenangan pengadilan ada pada sebelum dan sesudah proses arbitrase tersebut, namun dalam prosesnya, peran pengadilan mempunyai peran yang sangat penting. Kepastian hukum dalam hal-hal yang bersinggungan dengan ketertiban umum di Indonesia tidak dapat dipastikan karena ketertiban umum dinilai berubah-ubah. perumusan ketertiban umum secara terperinci dianggap penting, sehingga para investor yang akan berinvestasi mempunyai guide line dalam keuntungan dan kerugian yang akan didapat.

Arbitration is a very popular dispute resolution institution used by business people. However, this does not guarantee that a decision can be implemented in a country, because it is obstructed by a country's public order. Rapid progress in the field of business both nationally and internationally such as investment foreign investment cooperation contracts, and transfer of technology, etc. Requires a mechanism for resolving legal disputes quickly and precisely when disputes occur (misunderstanding) and even legal disputes. Problems arise when disputes occur and use the Arbitration forum to resolve the dispute. The dispute is related to an arbitration award that will be carried out in Indonesia not carried out in good faith by the losing party. This is of course directly related to whether the district court has authority over an arbitration award or not. Conditions where the parties to the dispute certainly want legal certainty, if the decision is to be implemented but is hindered by public order and custom law owned by a country.
Based on the description, 3 problem formulations are determined namely: (1) What is the authority of the court of an international arbitration award ?; (2) How will legal certainty be obtained by a party that has a dispute in Indonesia where the dispute is related to Public Policy ?; (3) Should the Public Policy be formulated in detail? The type of research used is normative legal research.
The result of this research is that the authority of the court is before and after the arbitration process, but in the process, the role of the court has a very important role. Legal certainty in matters pertaining to Public Policy in Indonesia cannot be ascertained because Public Policy is judged to be changing. The formulation of a detailed Public Policy is considered important, so that investors who will invest have a guide line in the profits and losses that will be obtained.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54992
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asri
"Putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat bagi para pihak, akan tetapi Pasal 70 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan upaya untuk mengajukan permohonan pembatalan melalui Pengadilan Negeri. Upaya hukum permohohan pembatalan mengakibatkan proses penyelesaian sengketa menjadi berlarut-larut, meskipun para pihak telah sepakat untuk mengenyampingkan upaya hukum permohonan pembatalan tersebut. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bersifat yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan statute approach , pendekatan konseptual conceptual approach dan pendekatan kasus case approach . Tindakan salah satu pihak yang mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase meskipun telah dikesampingkan dalam perjanjian secara hukum telah dianggap melakukan cidera janji wanprestasi dan melanggar asas kekuatan mengikat pacta sunt servanda dari Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata dan melanggar asas kepastian hukum. Kesepakatan pengenyampingan upaya pembatalan putusan arbitrase telah meniadakan dan melepaskan hak para pihak untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrse melalui pengadilan, namun dalam praktek majelis hakim sama sekali tidak mempertimbangkan adanya kesepakatan pengenyampingan tersebut, sebaliknya tetap memeriksa dan mengadili pokok perkara dan membatalkan putusan arbitrase yang telah bersifat final dan mengikat. Seharusnya, majelis hakim dalam mengeluarkan putusan tetap berpedoman pada isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebagai konsekuensi dari asas pacta sund servanda sepanjang perjanjian arbitrse tersebut telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana Pasal 1320 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata.

Arbitration award is final and binding for the parties, however Article 70 of Law No. 30 of 1999 regarding Arbitration and Alternative Dispute Resolutions provides a right to file a request for cancellation through the District Court. The legal remedy to request annulment caused the dispute settlement process extended, even though the parties have agreed to waive legal remedy on such cancelation. The research is descriptive research which is normative juridical and the approaches are statute approach, conceptual approach and case approach. The request for the cancellation of an arbitral award filed by the party even though it has been ruled out in the treaty is considered as a breach of contract and violates the principle of pacta sunt servanda of Article 1338 paragraph 1 of Indonesian Civil Code and has violated the legal certainty principle. A waiver agreement for the cancellation of the arbitral award has nullified and waived the parties 39 right to file the annulment of the arbitral award through the court, however in practice the judges did not consider the existence of the waiver agreement, on the contrary to examine and adjudicate the case and nullify the final and binding arbitral award. Supposedly, the judges in issuing the decision shall remain guided by the contents of the agreement made by the parties as a consequence of pacta sund servanda principle as long as the arbitration agreement has met the requirements of the validity of the agreement as regulated in Article 1320 to Article 1337 Indonesian Civil Code.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50474
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>