Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177631 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rifqi Sabita
"Stroke adalah penyebab kematian kedua dan penyebab disabilitas ketiga di dunia. Oklusi arteri serebral mengakibatkan defisiensi oksigen, glukosa, lipid dan menyebabkan nekrosis parenkim serebral. Stroke iskemik memodulasi proses eksitotoksisitas, stres oksidatif, dan neuroinflamasi. HIIT adalah latihan fisik intensitas tinggi diselingi dengan latihan fisik intensitas rendah. HIIT dapat meningkatkan fungsi memori spasial melalui faktor neurotropik yang dikeluarkan setelah HIIT seperti BDNF yang dapat memicu neuroplastisitas, yang dimanifestasikan dalam peningkatan dendrit-spinogenesis. GFAP juga diekpresikan setelah HIIT yang dapat memicu BDNF untuk perbaikan spasial memori setelah stroke iskemia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ekspresi BDNF, GFAP, dan densitas dendrit-spinogenesis pada tikus stroke iskemia yang diberikan HIIT. Penelitian ini menggunakan 28 tikus Wistar jantan usia 22-24 minggu, berat badan 250-400 gr, dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu tikus yang diberi operasi palsu (Sham), tikus MCAO yang diberikan latihan intensitas tinggi (HIIT), tikus MCAO yang diberikan latihan intensitas sedang (MIIT), dan tikus dengan operasi MCAO yang tidak diberikan latihan (NI). Dilakukan analisis ekspresi BDNF dan GFAP dengan ELISA, dendrit-spinogenesis dengan golgi-cox, dan uji klinis spasial memori dengan force dan spontaneous alteration y-maze. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara kadar ekspresi BDNF dan GFAP, densitas dendrit-spinogenesis dan memori spasial  sebelum dan sesudah diberikan intervensi HIIT.

Stroke is the second cause of death and the third cause of disability in the world. Cerebral artery occlusion results in a deficiency of oxygen, glucose, lipids and causes necrosis of the cerebral parenchyma. Ischemic stroke modulates excitotoxicity, oxidative stress and neuroinflammatory processes. HIIT is high-intensity physical exercise interspersed with low-intensity physical exercise. HIIT can improve spatial memory function through neurotrophic factors released after HIIT such as BDNF which can trigger neuroplasticity, which is manifested in increased dendrite-spinogenesis. GFAP is also expressed after HIIT which can trigger BDNF to improve spatial memory after ischemic stroke. This study aims to analyze the expression of BDNF, GFAP, and density of dendrite-spinogenesis in ischemic stroke rats given HIIT. This study used 28 male Wistar rats aged 22-24 weeks, body weight 250-400 g, divided into 4 groups, namely rats given sham surgery (Sham), MCAO rats given high intensity exercise (HIIT), MCAO rats given moderate intensity exercise (MIIT), and mice with MCAO surgery without training (NI). Analysis of BDNF and GFAP expression was performed with ELISA, dendrit-spinogenesis with golgi-cox, and spatial memory clinical trials with force and spontaneous alteration y-maze. The results showed that there were significant differences between the expression levels of BDNF and GFAP, density of dendrite-spinogenesis and spatial memory before and after being given HIIT intervention."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Delima Engga Maretha
"Latar belakang: Pola hidup sedenter pada usia produktif berpengaruh terhadap kualitas hidup pada lansia, antara lain dapat menimbulkan penurunan massa dan fungsi otot atau sarkopenia. Salah satu pendekatan untuk menjaga kualitas hidup lansia adalah dengan latihan fisik. Latihan fisik intensitas tinggi dengan interval (high intensity interval training, HIIT) dan latihan fisik intensitas sedang (moderate intensity training, MIT) diketahui dapat menjaga dan meningkatkan kualitas hidup. Meskipun HIIT dinilai bermanfaat, kelayakannya pada individu dewasa tua masih belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh HIIT untuk mencegah sarkopenia pada proses penuaan hewan coba.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hewan Litbangkes Depkes dari September 2016-Maret 2017. Tikus Wistar jantan usia dewasa muda (6 bulan) dan dewasa tua (12 bulan), diberi perlakuan HIIT dan MIT selama 8 minggu. Masing-masing kelompok usia dibagi secara acak menjadi 4 kelompok yaitu: K1 (kontrol, didekapitasi pada hari-1 penelitian sebagai baseline; K2 (kontrol, sedenter); HIIT dan MIT. Pada akhir minggu ke-8 dilakukan pemeriksaan kadar Troponin-T, PGC-1α (ELISA); kadar asam laktat (spektrofotometri); morfologi otot rangka (HE); serta marker apoptosis (Caspase3, imunohistokimia).
Hasil: Kadar Troponin T kelompok HIIT dan MIT lebih tinggi dibandingkan K2 baik pada usia dewasa muda dan usia dewasa tua. Kadar PGC-1α lebih tinggi pada kelompok HIIT dan MIT dibandingkan kelompok K2 pada usia dewasa tua. Tidak terdapat perbedaan kadar asam laktat darah pada kelompok HIIT dan MIT usia dewasa muda dan dewasa tua dibandingkan dengan K2. Akan tetapi, kadar asam laktat darah K1-T dan K2T berbeda signifikan, namun tidak melebihi 4,0 mmol/L. Tidak terdapat perbedaan pada jumlah serat otot rangka kelompok HIIT dan MIT tikus dewasa muda dan dewasa tua dibandingkan K2. Pada tikus dewasa muda, luas penampang serat otot rangka lebih rendah bermakna pada kelompok HIIT dan MIT dibandingkan K2-M. Ekspresi Caspase3 pada jaringan otot rangka hanya ditemukan pada kelompok usia dewasa tua, namun tidak terdapat perbedaan antara kelompok HIIT dan MIT dengan K2.
Kesimpulan: HIIT dan MIT selama 8 minggu pada tikus dewasa tua dapat mempertahankan kadar Troponin T dan PGC-1α yang penting untuk kontraksi otot rangka. Penerapan kedua latihan ini pada usia dewasa tua tidak meningkatkan kadar laktat darah yang melebihi ambang normal serta tidak menyebabkan kerusakan dan apoptosis pada otot rangka. Penelitian ini menunjukkan bahwa HIIT dan MIT keduanya dapat diterapkan pada usia dewasa tua dan bermanfaat dalam mencegah sarkopenia.

Background: SSedentary lifestyle duringproductive age will influences the quality of life in the elderly, . among others, cIt can cause a decrease in function and muscle mass or which known as sarcopenia. One approach to maintaining the quality of life of thein elderly is physical exercise. High intensity interval training (HIIT) and moderate intensity training (MIT) are known to be able to maintain and improve quality of life. Although HIIT is considered beneficial, its feasibility in older adult individuals is still not widely known. This study aims to determine investigate the effect of HIIT to in preventing sarcopenia in the aging process of experimental animals.
Methods: This study was conducted at Animal Laboratory of Ministry of Health RI from September 2016-March 2017. Male of young adults (6 months) and older adults (12 months) Wistar rats, treated with HIIT and MIT for 8 weeks. Each age group was divided randomly into 4 groups, namely: K1 (control, decapitated on study day-1 as baseline); K2 (control, sedenter); HIIT and MIT. At the end of the 8th weeks, we examined Troponin T levels were examined, PGC-1α (ELISA); lactic acid levels (spectrophotometry); skeletal muscle morphology (HE); as well asand Caspase-3 as markers of apoptosis (Caspase-3, immunohistochemistry).
Results: Troponin-T levels of HIIT and MIT groups were higher than K2 in both in young adult and old adult rats. PGC-1α levels were higher in the HIIT and MIT groups than in thecompared to K2 group in old adult rats. There were no differences in blood lactic acid levels in the HIIT group and MIT groups in both young and older adults compared to K2. HoweverInterestingly, blood lactic acid levels were significantly difference between K1old adult and K2-old adult rats in older adult rats differ significantly, but do not exceed 4.0 mmol /L. There was no difference in the number of skeletal muscle fibers in the HIIT and MIT groups of young and old adult rats compared to K2all groups. In young adult rats, cross sectional area (CSA) skeletal muscle was significantly lower in HIIT training than K2. Caspase-3 expression in skeletal muscle tissue was only found in the old adult group rats, but there was no difference between HIIT and MIT groups with compared to K2 group.
Conclusion: Our study revealed that HIIT and MIT for 8 weeks in old adult rats can maintain levels of Troponin T and PGC-1α which are important for skeletal muscle contraction of skeletal muscles. The application of these two exercises in older adult rats does not increase blood lactate lactic acid levels that exceed the normal threshold and does not cause damage and apoptosis in skeletal muscles. This research Therefore our study shows that both HIIT and MIT can both be applied in older adult rats and are useful beneficial in preventing sarcopenia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retnoningtyas
"Latar belakang: Obesitas dan dislipidemia merupakan faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Salah satu strategi mengurangi faktor risiko tersebut adalah melakukan latihan fisik secara teratur. Pandemi COVID-19 mengharuskan masyarakat mencari alternatif latihan fisik yang fleksibel dalam hal lokasi dan efisien dalam waktu. Latihan fisik dengan supervisi jarak jauh juga belum banyak dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, studi ini bertujuan melihat perubahan profil lipid dan komposisi tubuh partisipan lakilaki dewasa muda obesitas setelah pemberian High Intensity Interval Training (HIIT) dengan kombinasi supervisi luring dan daring. Metode: Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan desain pretest-posttest dengan satu kelompok perlakuan. Tujuh partisipan laki-laki dewasa muda obesitas mengikuti intervensi program HIIT dengan kombinasi supervisi daring dan luring selama 12-14 minggu. Program latihan terdiri dari 5 gerakan berbasis lari dan kalistenik dengan rasio interval 8:12 detik pada 85–95% denyut jantung maksimal. Hasil: Hasil menunjukkan penurunan rerata LDL sebesar 12% (p=0,048) dan peningkatan rerata massa otot sebesar 3% (p=0,033) dengan angka kepatuhan latihan 92,3%. Selama intervensi, tidak didapatkan pengaruh asupan diet terhadap luaran penelitian. Kesimpulan: Program HIIT selama 12-14 minggu secara kombinasi daring dan luring dapat memperbaiki profil lipid dan komposisi tubuh dengan angka kepatuhan yang tinggi.

Background: Obesity and dyslipidemia are risk factors for the development of cardiovascular disease. One of the strategies to overcome these risk factors is by engaging viii regular physical exercise. The COVID-19 pandemic requires people to find alternative physical exercise that is flexible in terms of location and efficient in time. Moreover, a remote exercise supervision is yet uncommon to conduct. Therefore, this study aims to see changes in lipid profiles and body compositions in obese young adult male participants after prescription of High Intensity Interval Training (HIIT) with offline and online supervision. Methods: This research is an experimental study with a pretestposttest design with one treatment group. Seven obese young males participated in 12-14 weeks of HIIT with combination of offline and online supervisions. The program consists of 5 running and calisthenic based movements with 8:25 seconds of intervals at 85–95% maximum heart rates. Results: The results showed a decrease in LDL by 12% (p=0.048) and an increase in muscle mass by 3% (p=0.033) with an exercise adherence rate of 92.3%. During the intervention, there was no effect of dietary intake on the research outcome. Conclusions: The 12-14 weeks of HIIT program with combined online and offline supervisions improved lipid profiles and body compositions with high adherence rates."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Attika Dini Ardiana
"Obesitas dan berat badan berlebih memiliki dampak negatif pada fungsi kognitif. Hal ini disebabkan oleh adanya inflamasi sentral yang terjadi di otak. Latihan fisik yang sesuai dan efektif adalah salah satu solusi untuk mencegah dampak negatif dari obesitas. High Intensity Interval Training (HIIT) merupakan jenis olahraga efektif yang menggunakan intensitas tinggi dengan durasi yang singkat. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh respon akut dan kronik dari HIIT terhadap fungsi kognitif yang ditinjau dari kadar BDNF, Irisin, dan uji fungsi kognitif (MoCA, Trail Making Test, N-Back). Penelitian ini menggunakan uji eksperimental pada 15 laki laki dewasa yang memiliki berat badan berlebih. Latihan HIIT akan dilakukan selama 12 minggu dengan frekuensi 3 kali setiap minggu, kemudian akan dilakukan pengambilan sampel darah dan uji fungsi kognitif pada minggu ke-1 dan minggu ke-12 latihan HIIT. Terdapat respon akut HIIT pada minggu ke-12 terhadap fungsi kognitif pada uji TMT-A, TMT-B, N-Back, serta terhadap peningkatan kadar irisin dan BDNF. Tidak terdapat respon kronik HIIT terhadap peningkatan pada uji fungsi kognitif, kadar irisin dan BDNF.

Obesity and overweight have a negative impact on cognitive function. This is caused by a central inflammation that occurs in the brain. Appropriate and effective physical exercise is one of the solutions to prevent the negative effects of obesity. High Intensity Interval Training (HIIT) is an effective type of exercise that uses high intensity for a short duration. The purpose of this study is to assess the acute and chronic effects of HIIT on cognitive function as measured by BDNF, Irisin, and cognitive function tests (MoCA, Trail Making Test, N-Back). This study applied an experimental test on 15 overweight adult males. HIIT exercises will be carried out for 12 weeks with a frequency of 3 times per week, then blood samples and cognitive function tests will be carried out in the 1st and 12th weeks of HIIT training. There was an acute HIIT response at week 12 to cognitive function on the TMT-A, TMT-B, N-Back tests, as well as to increased levels of irisin and BDNF. There was no chronic HIIT response to improvements in cognitive function tests, irisin levels and BDNF.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risky Dwi Rahayu
"Prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas di dunia meningkat dalam tiga dekade terakhir. Pada usia muda, lebih banyak laki-laki yang mengalami kelebihan berat badan daripada wanita. High-Intensity Interval Training adalah alternatif latihan fisik yang membutuhkan komitmen waktu lebih singkat. Pada penelitian ini dilakukan modifikasi protokol untuk mengetahui efektivitas latihan dalam memperbaiki komposisi tubuh dan kebugaran kardiorespirasi serta tingkat keamanan dan kesenangan yang ditimbulkan pada laki-laki dewasa muda dengan kelebihan berat badan. Penelitian ini memiliki desain eksperimental dengan uji pre-post. Subyek adalah laki-laki dengan berat badan berlebih sesuai klasifikasi WHO berusia 18-30 tahun yang sehat dan tidak terlatih. Durasi intervensi 12 minggu dengan jumlah latihan 3 kali per minggu. Dalam satu set, subyek melakukan 5 gerakan (lari lurus, zigzag, dan kotak serta jumping jackdan burpees) dalam waktu masing-masing 8 detik. Waktu istirahat aktif antar gerakan 25 detik dan antar set 2 menit. Jumlah set ditingkatkan per minggu dari 3 hingga 14 set. Hasil penelitian menunjukkan penurunan persentase lemak, lemak viseral, lingkar pinggang namun tidak bermakna. Indeks Massa Tubuh meningkat tidak bermakna dan massa otot meningkat bermakna {p-value 0,03; CI -1,7 (-3,21 – [- 0,19]}. VO2max meningkat namun tidak bermakna. Terdapat laporan 3 insiden yang digolongkan sebagai cedera musculoskeletal ringan dan intoleransi latihan. Rerata skor PACES adalah 83,79 ± 8,14 dengan tren skor yang menurun seiring peningkatan jumlah set. Kesimpulannya, High-Intensity Interval Training efektif dalam memperbaiki komposisi tubuh dan kebugaran kardiorespirasi pada laki-laki dewasa muda dan overweight, aman, dan menyenangkan.

Worldwide prevalence of overweight and obesity is increasing in the last three decades. Prevalence overweight in young males is higher than females at the same age. High-intensity interval training is an alternative of exercise which need less time commitment. We modify the protocol to identify the its effect on body composition and cardiorespiratory fitness, its safety and enjoyment in overweight young males. This is an experimental study with pre-post assessment. Subjects are healthy untrained male aged 18 – 30 years old with overweight according to WHO classification. Duration of intervention is 12 weeks, 3 times per week. During one set, the subjects perform 5 movements (straight running, zig zag running, squared running, jumping jack, burpees) in 8 seconds interval, active recovery 25 seconds between movements and 2 minutes between sets. The number of sets is increased weekly from 3 to 14 sets. The fat percentage, visceral fat, and waist circumference are decreased after intervention. Body mass index is increased and muscle mass is increased significantly (p-value 0,03; CI -1,7 (-3,21 – (- 0,19)) after intervention. VO2max is increased but not significant. There are 3 reports of minor musculoskeletal injuries and exercise intolerance, all categorized as mild injuries. The average PACES score is 83,79 ± 8,14 and the score tends to decrease with weekly set increments. High-Intensity Interval Training is effective to improve body composition and cardiorespiratory fitness in overweight young males. It is also safe and provide enjoyment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Nurasi Lidya E.
"Overtraining OT dapat meningkatkan produksi reactive oxygen species ROS sehingga menurunkan antioksidan endogen seperti glutation GSH yang menyebabkan stres oksidatif. Stres oksidatif dapat terjadi pada sistem saraf pusat, terutama hipokampus yang penting untuk pembentukan memori spasial. Stres oksidatif pada neuron mempengaruhi fungsi astrosit ditandai dengan meningkatnya Glial Fibrillary Acidic Protein GFAP dan menurunkan kadar protein yang diperlukan untuk proses pemelajaran dan memori seperti protein utama presinaps synaptophysin SYP . Pada akhirnya mengganggu proses long term potentiation LTP yang diperlukan dalam pembentukan memori. Pemberian ekstrak metanol Hibiscus sabdariffa Linn. H.sabdariffa , antioksidant yang poten, diharapkan dapat meningkatkan kadar GSH pada tikus OT, sehingga mencegah stres oksidatif, menurunkan kadar GFAP dan meningkatkan kadar SYP serta fungsi memori.
Penelitian ini adalah studi eksperimental menggunakan 25 ekor tikus jantan Rattus norvegicus 250 ndash; 320 gram , dibagi secara acak dalam 5 kelompok: kontrol C ; kontrol dengan H.sabdariffa C-Hib ; latihan fisik aerobik A-Ex ; latihan overtraining OT ; latihan overtraining dengan H.sabdariffa OT-Hib . Ekstrak metanol H.sabdariffa 500mg/kgBB selama 11 minggu diberikan melalui mulut melalui kanula. Latihan OT berdasarkan protokol OT dari Hohl dkk. Memori spasial bergantung hipokampus diukur dengan Y-maze pada akhir minggu ke 11. Kadar GSH hipokampus diukur dengan metode Ellman, kadar GFAP dan SYP dengan ELISA. Aktivitas OT dapat menurunkan kadar GSH, meningkatkan kadar GFAP dan menurunkan kadar SYP serta fungsi memori. Pemberian ekstrak metanol H.sabdariffa 500 mg/kgBB pada tikus yang diberi latihan OT, dapat meningkatkan kadar GSH, menurunkan kadar GFAP dan meningkatkan kadar SYP serta fungsi memori. Hasil tersebut menyimpulkan bahwa pemberian ekstrak metanol H.sabdariffa 500mg/kgBB berpotensi sebagai anti oksidan dapat mencegah terjadinya gangguan fungsi memori pada tikus yang diberi latihan OT.

Overtraining OT can increase the production of reactive oxygen species ROS that would decrease endogen antioxidant like glutathione GSH and can affect oxidative stress. Oxidative stress could be happenned in the brain, especially in the hippocampus that plays an important role in spatial memory formation. Oxidative stress in neuron could effect astrosit function, with increasing Glial Fibrillary Acidic Protein GFAP dan decreasing protein level that needed for learning and memory function like the most protein in presinpas neuron, synaptophysine SYP . This would impaired long term potentiation LTP Administration methanolic extract of Hibiscus sabdariffa Linn. H.sabdariffa, a potent antioxidant, is expected to increase glutathione GSH level in OT rats, prevent oxidative stress, decreasing GFAP level, increasing SYP level dan memori function.
This experimental study was conducted on 25 male rats Rattus norvegicus 250 350 grams, randomly allocated into 5 groups control C control with H.sabdariffa C Hib mild aerobic exercise A Ex overtraining exercise OT overtraining exercise with H.sabdariffa OT Hib. Methanolic extract of H.sabdariffa 500 mg kg d, 11 weeks were administered orally via syringe cannula. Overtraining exercise correspondent to Hohl et al overtraining protocol. Hippocampus dependent spatial memory was measured by using consolidation Y Maze test in the end week 11. Hippocampal GSH level will be measured by Ellman method. Hippocampal GFAP and SYP level will be measured by ELISA. OT could decreased GSH level, increased GFAP level and decreased SYP level and memory function. Administration 500mg kgBW H.sabdariffa methanolic extract could increased GSH level, decreased GFAP level, and increased SYP level and memory function. This result indicated that 500 mg kgBW H.sabdariffa methanolic extract as potent antioxidant could prevent oxidative stress and memory function impaired on OT rats.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leroy Leon Leopold Lasanudin
"Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kondisi ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan oksigen pada otot jantung yang disebabkan oleh obstruksi arteri koroner. Elevasi segmen-ST infark miokard (STEMI) akut terjadi ketika pasien dengan SKA mengalami oklusi total pada pembuluh arteri koroner. Penanganan utama untuk pasien dengan STEMI adalah terapi reperfusi menggunakan angioplasti primer. Thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) flow grade merupakan metode penilaian aliran darah, dimana TIMI 0 flow menandakan tidak adanya perfusi dan TIMI 3 flow menandakan perfusi lengkap. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan prediktor klinis pasien yang berhubungan dengan TIMI flow akhir 3. Penelitian ini merupakan studi cross-sectional analitik yang dilaksanakan melalui pengumpulan data karakteristik klinis pasien STEMI dan TIMI flow akhir dari Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) Registry. Sampel penelitian melibatkan 3706 pasien STEMI yang diobati dengan angioplasti primer antara Februari 1, 2011 dan Agustus 31, 2019. Data dianalisis menggunakan IBM SPSS versi 20. TIMI flow akhir 3 berhubungan dengan durasi antara gejala awal dan terapi reperfusi ≤6 jam (p<0.001) dan dislipidemia (p = 0.008). Sedangkan, TIMI flow akhir <3 berhubungan dengan infark miokard pada dinding anterior jantung (p = 0.03) dan kadar kreatinin dalam darah di atas 1.2 mg/dl (p = 0.03). Durasi antara gejala awal dan terapi reperfusi yang lebih dini (≤6 jam) merupakan prediktor klinis terkuat untuk TIMI flow akhir 3.

Acute coronary syndrome (ACS) is an imbalance between oxygen supply and demand of the heart muscle due to an obstruction in the coronary artery. Acute ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI) occurs when a patient with ACS has a complete coronary artery occlusion. The main treatment for patients with STEMI is reperfusion therapy using primary angioplasty. Thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) flow grade is a method of measuring blood flow, where TIMI 0 flow indicates no perfusion and TIMI 3 flow indicates complete perfusion. This study is aimed to determine which clinical predictors are associated with final TIMI 3 flow. This is an analytical, cross-sectional study which was conducted through data collection of STEMI patients’ clinical characteristics and final TIMI flow from the Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) Registry. The study samples include 3706 STEMI patients who were treated with primary angioplasty between February 1, 2011 and August 31, 2019. The data was analyzed using IBM SPSS version 20. Final TIMI 3 flow is associated with the duration between symptom onset and reperfusion therapy of ≤6 hours (p<0.001) and dyslipidemia (p = 0.008). Meanwhile, final TIMI <3 flow is associated with anterior wall myocardial infarction (p = 0.03) and creatinine level above 1.2 mg/dl (p = 0.03). An earlier duration between symptom onset and reperfusion therapy (≤6 hours) is the strongest clinical predictor of final TIMI 3 flow."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeffrey Wirianta
"Penyakit jantung koroner (PIK) merupakan suatu proses inflamasi, beberapa petanda inflamasi dievaluasi sebagai prediktor risiko kejadian koroner. Salah satu petanda inflamasi sistemik yang diproduksi di hati yakni high sensitivity C-reactive protein (hsCRP).
Beberapa tahun terakhir ini banyak dilakukan penelitian tentang pengaruh radikal bebas dan peran antioksidan pada aterosklerosis dengan hasil yang bermakna walaupun masih diperdebatkan. Salah satu antioksidan yang memberikan harapan untuk mencegah aterosklerosis adalah teh hijau.
Tujuan Penelitian
Untuk membuktikan penurunan proses inflamasi sistemik pada pemberian teh hijau pada kelinci yang diberi diet aterogenik.
Metologi
Penelitian dilakukan pada 20 ekor kelinci New Zealand White jantan usia 4-5 bulan. Adaptasi dilakukan selama 4 minggu dan mendapat pakan standar (normal) yang mengandung 20.31% protein, 5,8% lemak, 40.03% karbohidrat dan 13.63%, selanjutnya dibagi menjadi 4 kelompok secara acak berdasarkan rasio kadar kolesterol total/HDL, yang masing-masing berjumlah 5 ekor yaitu: kelompok A diberi diet normal, kelompok B diberi diet normal ditambah teh hijau, kelompok C diberi diet aterogenik dan kelompok D diberi diet aterogenik ditambah teh hijau. Kadar hsCRP sebagai petanda inflamasi sistemik diperiksa pada minggu ke-12 dengan metode immunoturbidimetri. Analisa statistik dengan anova dan pengujian menggunakan uji pembandingan berpasangan (uji t).
Hasil
Kadar rerata hsCRP kelompok A 0.174+0.0948 mg/liter, rerata kelompok B 0.136+0.416 mg/liter, rerata kelompok C 0.350+0.1044 mg/liter dan rerata kelompok D 0.202+0.046 mg/liter. Pemberian teh hijau pada kelompok B tidak menurunkan kadar hsCRP secara bermakna dibanding kelompok A (0.038+0.084 mg/liter, p=0.185). Diet aterogenik pada kelompok C meningkatkan kadar hsCRP kelinci sebesar 0.176+0.1534 mg/liter, yang secara statistik berbeda bermakna dibanding kelompok A (p=4.0311). Penambahan teh hijau pada diet aterogenik pada kelompok D menurunkan kadar hsCRP sebesar 0.148+0.0608 mg/liter dan berbeda bermakna secara statistik dibanding kelompok C (p=0.03).
Kesimpulan
Teh hijau menurunkan kadar hsCRP sebagai petanda inflamasi-sistemik pada kelinci yang diberi diet aterogenik.

Background
Coronary artery disease is an inflammation disease and some inflammation markers have been evaluated as risk predictors for coronary events. One of the inflammation markers which are produced in liver is high sensitivity C-reactive protein (hsCRP). Recently, there are studies about free radicals and anti-oxidant effect in preventing atherosclerosis.
Methods
Twenty New Zealand White Rabbits, male, were given normal feeding for 4 weeks as an adaptation period. They were divided randomly into 4 groups, group A were given normal diet, group B were given normal diet and 6% green tea, group C were given atherogenic diet and group D were given atherogenic diet and 6% green tea. The hsCRP level and lipid profile were evaluated at the 12 week
Result
The mean of hsCRP level in group A is 0.174+0.0948 mg/liter, in group B is 0.136+0.416 mg/liter, in group C is 0.350± 0.1044 mg/liter and the mean of hsCRP level in group D is 0.202 + 0.046 mg/liter. Green tea in group B did not decrease the hsCRP level significantly compare to group A (0.038+0.084 mg/liter, p=4.185). Atherogenie diet in group C increased the hsCRP level 0.176±0.1534 mg/liter, which is significant compare to group A (p=0.0311). Six percent of green tea decreased the hsCRP level in group D 0.1480.0608 mg/liter and is significant compare to group C (1=0.03).
Conclusion
Green tea decreased the hsCRP level as inflammation marker in rabbits that were given atherogenic diet.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
John Gunawan Lusari
"Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab kematian utama pada
sepertiga penduduk dunia. Di Indonesia, terjadi peningkatan prevalensi penyakit
jantung dan pembuluh darah sebagai penyebab kematian peringkat ke-3. Pada
tahun 2007 prevalensi PJK nasional mencapai 7,2%. C-Reactive Protein (CRP)
dikenal sebagai penanda fase akut inflamasi dan berhubungan dengan peningkatan
kadar plasma karena kerusakan jaringan. Beberapa penelitian menunjukkan
adanya hubungan antara periodontitis kronis dengan peningkatan kadar CRP.
Peningkatan CRP sedang saja sudah meningkatkan risiko PJK. Pada sampel
penelitian ini terlihat penderita periodontitis menunjukkan risiko yang tinggi
terhadap PJK. Dugaan adanya kaitan efek patogen periodontal secara langsung
maupun tidak langsung memicu infeksi, mekanisme ini mengaktivasi faktor?
faktor inflamasi sehingga CRP sebagai marker respon fase akut dari infeksi juga
akan meningkat.

Abstract
Coronary heart disease (CHD) is the leading cause of death in one third of world
population. In Indonesia, there is increased prevalence of cardiovascular disease
as a cause of death to the rank-3. In 2007 the national prevalence of CHD reached
7.2%. C-Reactive Protein (CRP) is known as acute phase inflammatory marker
and is associated with elevated levels of plasma due to tissue damage. Several
studies have shown an association between chronic periodontitis with increased
levels of CRP. Increased CRP was alone increases the risk of CHD. This study
looks at a sample of periodontitis patients showed a high risk of CHD. Allegations
have linked the effects of periodontal pathogens directly or indirectly lead to
infection, this mechanism activates inflammatory factors that CRP as a marker of
acute-phase response to infection will also increase."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
T31423
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Primasari
"ABSTRAK
Latar Belakang : Infark miokard masih menyisakan banyak masalah morbiditaspasca infark. Upaya regenerasi miokard pasca infark mendorong berbagaipenelitian tentang terapi sel punca sumsum tulang. Endothelial Progenitor Cellsebagai bagian dari Bone Marrow Mononuclear Cell merupakan komponen selpunca yang berperan dalam proses neovaskularisasi. Fungsi sistolik merupakansebagai salah satu pertimbangan dalam pemilihan kandidat terapi sel puncasumsum tulang. Hingga saat ini belum diketahui pengaruh penurunan fungsisistolik ventrikel kiri terhadap jumlah absolut Endothelial Progenitor Cell dalamBone Marrow Mononuclear Cell.Tujuan : Mengetahui apakah terdapat hubungan antara fungsi sistolik ventrikelkiri serta faktor klinis dan demografis lain, dengan jumlah absolut EPC dalamBMMC sumsum tulang terhadap jumlah absolut EPC dalam BMMCMetode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan di PusatJantung Nasiona Harapan Kita dengan subyek pasien yang menjalani terapi selpunca pasca infark. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2016. Dilakukanpencatatan karakteristik pasien, faktor resiko penyakit jantung koroner,pengukuran fungsi sistolik ventrikel kiri dan pengambilan serta analisa aspirasisumsum tulang.Hasil : Total sampel penelitian ini adalah 21 sampel, yang menjalani terapi selpunca pasca infark miokard selama periode Oktober 2015-September 2016.Faktor-faktor yang dianalisa hubungannya dengan kadar EPC dalam BMMCadalah fungsi sistolik ventrikel kiri, usia, indeks massa tubuh serta faktor resikopenyakit jantung koroner yaitu hipertensi, diabetes dan merokok. Hasil analisastatistik menunjukkan tidak terdapat korelasi antara fungsi sistolik ventrikel kiridengan jumlah absolut EPC. Fungsi sistolik ventrikel kiri, indeks massa tubuh danhipertensi berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah absolut BMMC Kesimpulan : Fungsi sistolik ventrikel kiri tidak menunjukkan korelasi yangsignifikan dengan jumlah absolut Endothelial Progenitor Cell dalam sumsumtulang pasien dengan penyakit jantung iskemik

ABSTRACT
Background Myocardial infarct still carries significant morbidity in postinfarction patients. This condition trigger many study in stem cell therapy formyocardial regeneration after infarctio. Endothelial Progenitor Cell as thecomponent of Bone Marrow Mononuclear Cell was one of determinant factor inmigration capacity of Bone Marrow Mononuclear Stemcell. Left Ventriclesystolic function has becoming one of determinant factor in selection of stem cellpatient. No previous study has evaluate the influence of decreased LV systolicfunction to the numbers of Endothelial Progenitor Cell in Bone MarrowMononuclear CellObjective Evaluating correlation of LV systolic function and other risk factorsof coronary heart disease to the numbers of Endothelial Progenitor Cell in BoneMarrow Mononuclear Cell from Ischemic Heart Disease patients with stem celltherapyMethods This is a cross sectional study that was conducted in NationalCardiovascular Centre Harapan Kita on october 2016. Patients from 2 previousstem cell study in NCCHK enrolled to this studyResults There were 21 patients in this study that undergo stem cell therapy fromOctober 2015 until September 2016. Factors that being analyzed in this studywere LV systolic function and risk factors of coronary heart disease includinghypertension, diabetes melitus and history of cigarrete smoke. Statistical analysisshowed no significant correlation between LV systolic function and absolutnumbers of Endothelial Progenitor Cell in Bone Marrow Mononuclear Cell frompatients with ischemic heart disease. Significant result showed by correlation ofBone Marrow Mononuclear Cell with LV systolic function, body mass index andhypertensionConclusion LV systolic function has no significant correlation with absolutnumbers of Endothelial Progenitor Cell in Bone Marrow Mononuclear Cells frompatients with Ischemic Heart Disease."
2016
T55636
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>