Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 205772 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadya Zahra Aulia
"Skripsi ini membahas terkait konsep tindak pidana lanjutan atau follow up crime pada stand-alone money laundering di Indonesia. Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana lanjutan atau follow up crime berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sebagai follow up crime, penanganan pencucian uang tidak dapat dilepaskan dari eksistensi tindak pidana asal. Di Indonesia, pembuktian tindak pidana asal harus dilakukan dalam upaya membuktikan bahwa pencucian uang telah terjadi sebagaimana tercantum di dalam undang-undang dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XIII/2015. Pembuktian tersebut dapat dilakukan sebelum, bersamaan, maupun setelah pembuktian tindak pidana pencucian uang. Namun, pada praktiknya, terdapat produk hukum berupa putusan yang memutus perkara pencucian uang tanpa adanya pembuktian terhadap tindak pidana asal. Cara penyelesaian dan pembuktian ini disebut dengan stand-alone money laundering dimana tindak pidana asal tidak wajib untuk dilakukan penuntutan maupun pembuktian. Hal ini disebabkan kurangnya alat bukti maupun masalah yurisdiksi. Penanganan pencucian uang dengan cara tersebut tentu saja tidak sesuai dengan pengaturan hukum di Indonesia saat ini, akan tetapi produk hukum hasil penanganan pencucian uang dengan cara tersebut tetap ada. Terdapat dua putusan yang akan dianalisis di dalam peneilitian ini sebagai contoh penanganan pencucian uang secara stand-alone di Indonesia, yaitu Putusan Nomor 57/Pid. Sus/2014/Pn.Slr Dan 14/Pid.Sus/2016/Pn.Pkl. Hadirnya kedua putusan tersebut menimbulkan pertanyaan terkait bagaimana konsep follow up crime yang dimaksud dan bagaimana hubungan konsep tersebut dengan eksistensi stand-alone money laundering di Indonesia.

This study discusses the concept of follow-up crime on stand-alone money laundering in Indonesia. Money laundering itself is a follow up crime based on Act Number 8 of 2010 on the Prevention and Combating Money Laundering. As a follow up crime, the handling of money laundering cannot be separated from the predicate crime. In Indonesia, proof of a predicate crime must be carried out to prove that money laundering has occurred as stated in the law and Constitutional Court Decision Number 77/PUU-XII/2014 and Number 90/PUU-XIII/2015. This proof can be made before, simultaneously, or after proving money laundering crime. However, in practice, there are legal products in the form of decisions that decide money laundering cases without any evidence of a predicate crime. This method of proof is called stand-alone money laundering, where the predicate crime is not required to be prosecuted or proven. This is due to a lack of evidence and jurisdictional issues. Handling money laundering in this way is not in accordance with current law in Indonesia, but legal products resulting from handling money in this way still exist. There are two decisions that will be analyzed in this research as an example of handling money laundering on a stand-alone basis in Indonesia, namely Decision Number 57/Pid. Sus/2014/Pn.Slr And 14/Pid.Sus/2016/Pn.Pkl. The existence of these two decisions raises questions such as how follow up crime concept truly is and how this concept relates to the existence of stand-alone money laundering in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Imanuel Arinatio
"Pencucian uang merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang berasal dari kejahatan, oleh sebab itu perbuatan tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana. Dalam tesis ini, penulis membahas mengenai dua konsep penanganan tindak pidana pencucian uang yang berlaku di Indonesia saat ini. Di awal pembahasan, Penulis menjelaskan tentang kedua konsep tersebut beserta dengan pengaturannya menurut hukum positif di Indonesia. Selain itu Penulis juga menjelaskan mengenai kelebihan dan kekurangan dari penerapan masing-masing konsep tersebut dan dilanjutkan dengan penjelasan mengenai sudut pandang dan penerapan pada di lapangan oleh aparat penegak hukum (Jaksa, Advokat, dan Hakim) terkait penerapan kedua konsep tersebut. Selanjutnya, Penulis juga menggunakan Putusan Pengadilan untuk melihat bagaimana salah satu konsep tersebut diterapkan dan mencari kemungkinan timbulnya permasalahan dengan diberlakukannya kedua konsep tersebut. Kesimpulan pada penelitian ini, pertama, konsep follow up crime menyebutkan bahwa pencucian uang merupakan tindak pidana lanjutan, sedangkan konsep independent crime menyebutkan bahwa pencucian uang merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. Adapun kedua konsep tersebut mendapatkan pengaturan dalam UU PP-TPPU. Kedua, konsep tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Diadopsinya kedua konsep tersebut dalam UU PP-TPPU perbedaan sudut pandang antar penegak hukum dan adanya diversifikasi di lapangan yang mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam penanganan tindak pidana pencucian uang. Ketiga, dalam putusan yang digunakan, terhadap penanganan pencucian uang seperti yang ada pada putusan berpotensi menimbulkan masalah ketika harta dari pencucian uang berasal dari suatu tindak pidana yang bukan lingkup dari tindak pidana asal dalam UU PP-TPPU.

Money laundering is the act which the proceeds of crime are made to appear legitimate. As such, it is categorized as a criminal offense. In this thesis, the author discusses two concepts for handling money laundering offenses. The author explains these concepts, their advantages and disadvantages, and how they are regulated under Indonesian law. The discussion also includes an analysis of the perspectives and applications in the field by law enforcement officials (prosecutors, advocates, and judges) regarding the implementation of these concepts. Furthermore, the author examines court decisions to see how one of the concepts is applied and to identify potential problems in the application of both concepts. In conclusion, the first concept defines money laundering as a continuing criminal offense, while the second concept treats it as an independent criminal offense. Both are regulated in Law number 8 of 2010. The adoption of these two concepts has led to differing viewpoints among law enforcers and inconsistencies in the field, resulting in legal uncertainty. Additionally, in the court decisions analyzed, the handling of money laundering has the potential to cause problems when the proceeds of money laundering originate from criminal acts that fall outside the scope of the original criminal act as defined in the PP-TPPU Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Yunisa
"Penelitian ini merupakan studi tentang penerapan pendekatan follow the money dalam investigasi kejahatan money laundering di Indonesia. Kejahatan money laundering sulit untuk dilacak keberadaannya karena para pelaku menyembunyikan atau mengaburkan harta kekayaan ilegal mereka dengan memanfaatkan sistem keuangan. Sehingga pengungkapan kejahatan money laundering membutuhkan pendekatan dengan mentrasir proses penyembunyian asal usul dana hasil kejahatan. Peneliti mencoba mendeskripsikan bagaimana mana proses investigasi kejahatan money laundering secara umum serta bagaimana penerapan pendekatan follow the money dalam proses investigasi tersebut. Metode penelitian yang digunakan yaitu dengan pendekatan kualitatif deskriptif, dimana pengumpulan data dilakukan dengan wawancara informan dan studi literatur. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa pendekatan follow the money merupakan bagian dari proses investigasi, yaitu pada tahap penyelidikan. Pendekatan follow the money ini berguna membantu bagaimana membuktikan adanya aliran dana dalam rekening pelaku yang berasal dari kegiatan kriminal, untuk selanjutnya dijadikan bukti di pengadilan. Namun masih ada kendala yang dihadapi oleh pihak Subdit Money Laundering, Direktorat II Eksus Bareskrim Polri selama proses investigasi dengan pendekatan follow the money. Salah satunya adalah laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) yang tidak bermutu, serta minimnya jumlah personel penyidik di Subdit Money Laundering, Direktorat II Eksus Bareskrim Polri.

This research is a study about implementation of the approach ?follow the money in Indonesia money laundering investigation. Money laundering is difficult to be tracked because the perpretators hide their illegal wealth by utilizing financial system. Thus, the disclosure of money laundering concealment need an approach that can trace the origins of the crime. The conclusion of this study is that the approach of follow the money was part of investigation. Follow the money approach is useful to help help in proofing the existence of the funds flow in the account which comes from the perpetrators off criminal activity. It can be used as evidence in the court. But there are still obstacles that faced by Subdit Money Laundering, Direktorat II Eksus Bareskrim Polri during the process of investigation with follow the money approach. A Suspicious Transaction Record (STR) which not qualified, as the inadequate number of personnel in Subdit Money Laundering, Direktorat II Eksus Bareskrim Polri."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Amalia
"Pendekatan follow the money berupaya menemukan uang/harta benda/kekayaan lain yang dapat dijadikan sebagai alat bukti obyek kejahatan dan sudah barang tentu setelah melalui analisis transaksi keuangan dan dapat diduga bahwa uang tersebut sebagai hasil kejahatan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif berupa studi kepustakaan yaitu dengan meneliti dokumen berupa literatur buku-buku, peraturan-peraturan dan juga melakukan wawancara dengan narasumber. Pendekatan follow the money dalam memberantas tindak pidana khususnya tindak pidana pencucian uang dirasakan masih lemah, dari segi penegakan hukum di Indonesia masih banyak yang enggan untuk menerapkan pendekatan ini. Di dalam follow the money terdapat tindakan progresif yang didasarkan kepada pengungkapan kasus yang dimulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pembuktian di persidangan melalui pendekatan follow the money sebagai complementary dari pendekatan follow the suspect yang sudah mendarah daging dipahami dan dipedomani oleh penegak hukum, sehingga apabila follow the suspect juga dilengkapi dengan pendekatan follow the money maka akan memperoleh hasil yang maksimal.

Follow the money approach tries to find the money property other property that can be used as evidence the object of the crime after going through the analysis of financial transactions and can be presumed that the money as proceeds of crime. By using normative juridical research method in the form of a literature study to examine the document in the form of literature books, regulations, and also conduct interviews with sources. Follow the money approach in combating the crime of money laundering in particular is still weak, in terms of law enforcement in Indonesia many are reluctant to adopt this approach. In follow the money there is a progressive action based on the disclosure of the starting level of inquiry, investigation, prosecution, and proof at trial through approaches follow the money as a complementary approach of follow the suspect ingrained understood and guided by law enforcement, so that if follow the suspect is also equipped with an approach follow the money it will get the maximum results."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T47431
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Refki Saputra
"Kriminalisasi aktivitas pencucian uang, pada dasarnya merupakan respon atas sulitnya mengungkap kejahatan terorganisir. Hal ini dilakukan karena pelaku menggunakan teknik-teknik pencucian uang untuk menyembunyikan harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut. Melalui pendekatan anti-pencucian uang, proses penegakan hukum diarahkan tidak hanya sekedar menemukan pelaku kejahatan, melainkan juga mencari harta kekayaan hasil kejahatan. Rezim anti-pencucian uang kemudian dianggap sebagai strategi baru dalam memberantas kejahatan dengan merampas hasil kejahatannya. Tatkala para pelaku kejahatan dihalangi untuk menikmati hasil kejahatannya, maka diharapkan motivasi untuk melakukan kejahatan juga menjadi sirna. Regulasi anti-pencucian uang di Indonesia, sejauh ini sudah cukup memberikan panduan kepada institusi yang terlibat dalam implementasi rezim anti-pencucian uang sebagai bagian dari upaya memberantas kejahatan (tindak pidana asal). Hal ini misalnya tampak dari ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan upaya penelusuran hasil kejahatan. Misalnya terkait dengan ketentuan pelaporan dan analisis transaksi keuangan, upaya mengamankan aset hasil kejahatan dalam ketentuan terkait dengan penundaan, penghentian transaksi, pemblokiran, penyitaan, hingga upaya perampasan hasil kejahatan. Agar dapat memaksimalkan pemberantasan kejahatan, maka perlu adanya kesamaan persepsi diantara penegak hukum, bahwa kriminalisasi aktivitas pencucian uang merupakan pintu masuk dalam mengungkap kejahatan. Proses pembuktian harus dilakukan secara efisien dengan menggunakan mekanisme pembuktian terbalik. Selain itu juga, proses peradilan tindak pidana pencucian uang harus selalu diarahkan untuk menemukan hasil kejahatan untuk kemudian dirampas atau dikembalikan kepada yang berhak.

The criminalization of money laundering activities, essentially a response to the difficulty of uncovering organized crime. This is done because the perpetrators use techniques of money laundering to conceal wealth obtained from the crime. Through the anti-money laundering approach, law enforcement process directed not only to find the perpetrators, but also to seek the proceeds of crime. Anti-money laundering regime is then considered as a new strategy to fight against crime by seizing the proceeds of crime. When the perpetrators are prevented from enjoying the proceeds of crime, it is expected that the motivation to commit crimes also be annihilated. Anti-money laundering regulation in Indonesia, so far is sufficient to provide guidance to the institutions involved in the implementation of anti-money laundering regime as part of efforts to combat crime (predicate offenses). It can be seen from the provisions relating to the search effort of criminal proceeds. For instance associated with the provision of financial transaction reporting and analysis, to secure the assets of criminal proceeds in the provisions relating to delays, termination of the transaction, blocking, seizure, up to confiscation of proceeds of crime. In order to maximize efforts to fight crime, we need a shared understanding among law enforcement agencies, that the criminalization of money laundering activity is an entry point to uncovering crime. Trial process must be done efficiently by using the reversal of burden of proof. In addition, the judicial process of money laundering should always be directed to locate the proceeds of crime, to be seized or returned to those entitled."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43825
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ghozi
"Skripsi ini membahas pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pencucian uang. Korporasi Tidak dikenal sebagai subjek hukum pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Namun Korporasi diakui sebagai subyek hukum pidana melalui undang-undang di luar KUHP. Salah satu undang-undang yang mengakui korporasi sebagai subyek hukum adalah Undang-Undang No. 08 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk dapat mengetahui penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam praktik, belum pernah ada putusan pengadilan yang menjadikan korporasi sebagai subyek hukum dalam tindak pidana pencucian uang. Walaupun hampir semua kegiatan pencucian uang melibatkan korporasi. Sebagai contoh dalam kasus PT. Ilhung Muliasarana, jika melihat uraian dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum maka sebenarnya PT. Ilhung Muliasarana dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sebagai korporasi dalam kasus tindak pidana pencucian uang. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana bentuk keterlibatan korporasi dalam tindak pidana pencucian uang dan bagaimana penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pencucian uang.

This study discusses corporate criminal liability in money laundering. Corporation is known not as the subject of criminal law in the Code of Penal (Penal Code), but Corporation is recognized as a subject of criminal law through legislation outside the Criminal Code. One law that recognizes corporations as subjects of law is Act No. 08 of 2010 on the Prevention and Combating of Money Laundering. The aim of this study was to ascertain the application of corporate criminal liability in Money Laundering. In practice, there has never been a court decision that makes corporations legal subjects in money laundering although almost all money laundering activities involve the corporation. In the case of PT. Ilhung Muliasarana, the description of the charges made by the public prosecutor, PT. Ilhung Muliasarana should actually be accountable for the crime as a corporation in the case of money laundering. This situation raises many questions, such as how to shape the corporation's involvement in money laundering cases and how corporate criminal liability is applied in money laundering."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60472
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irvin Sianka Thedean
"Pencucian Uang (Money Laundering) merupakan suatu terminologi yang tidak asing dalam masyarakat dewasa ini. Pencucian Uang yang kita ketahui kerapkali dilakukan oleh pejabat negara lazimnya dengan tujuan untuk mengaburkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh secara melawan hukum. Salah satu Tindak Pidana Asal (predicate crime) yang dilakukan pejabat negara adalah tindak pidana korupsi, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No 8/2010. Pihak yang dirugikan dalam hal ini adalah negara dengan jumlah uang hingga puluhan milyar rupiah. Pada mulanya perbankan dipergunakan oleh pelaku pencucian uang untuk melakukan pencucian uang, dengan tahapan placement, layering, dan integration. Namun seiring dengan semakin ketatnya sistem perbankan di Indonesia, pelaku pencucian uang mencari sarana lain sebagai alat untuk melakukan pencucian uang.
Notaris merupakan profesi yang memiliki kedudukan sangat terhormat dengan tugas yang sangat mulia. Kewenangan Notaris yang diberikan oleh undang-undang adalah membuat akta otentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang Jabatan Notaris. Sehubungan dengan kewenangan notaris tersebut, pelaku pencucian uang memanfaatkan akta-akta notaris dalam transaksi jual beli sehingga uang haram dapat dirubah menjadi aset-aset tertentu. Notaris memiliki kewajiban untuk memahami dan mematuhi Kode Etik Notaris, Undang-undang Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, dimana melakukan analisa terhadap norma-norma hukum yang berlaku dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran atas permasalahan yang diteliti.

Money Laundering is a terminology which is quite familiar in the society recently. Money laundering that we have known is often done by state officials with a purpose to obscure the origin of the assets acquired unlawfully. One of the predicate crimes which is often done by state officials is corruption crime, in accordance with Article 2 paragraph (1) of Law No 8/2010. In this case, the damaged party is the State with the amount of money up to tens of billions rupiah. Formerly, bank is used by the money laundering doer to commit money laundering, with the stages of placement, layering, and integration. But, along with the banking system in Indonesia which is more stricted in regulations, money laundering doer looks for another way to commit money laundering.
Notary is a proffesion which has a very respectable with a noble duty. Notary`s authority granted by law, is making an authentic deed, as provided in Article 1870 Indonesia Civil Code and Law regarding Notary. In connection with such Notary`s authority, money laundering doer makes benefit of such notarial deed in some sale and purchase transactions so that illegal money could be converted into certain assets. Notary has an obligation to understand and comply with the Code Conduct of Notary, Law regarding Notary, and other related regulations. The method used in this research is yuridical-normative method, where we do an analysis of the applicable law with the purpose to obtain the subjects of the problem.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T43198
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Santoso
"

Prosedur penyitaan menjadi gagasan baru yang dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam upaya mengembalikan kerugian korban, khususnya dalam kasus money laundering. Umumnya, penyitaan dilakukan oleh POLRI pada tahap penyidikan. Namun, karena adanya batas waktu dalam penyidikan, maka pada prakteknya seringkali tidak efektif dalam melakukan penyitaan aset. Oleh karena itu, Jaksa Penuntut Umum dapat membantu penyitaan tersebut apabila terdapat aset yang ditemukan dan belum disita. Selain itu, penyitaan juga menjadi salah satu faktor dalam pemulihan aset. Diharapkan pemulihan aset tersebut dapat dikembalikan kepada korban. Salah satu kasus yang melakukan penyitaan pada tahap proses persidangan adalah kasus perkara Indosurya atas putusan nomor 2113K/Pid.Sus/2023. Penelitian ini dikaji dengan menggunakan metode penelitian normatif-yuridis. Lalu, penelitian ini bersifat deskriptif dengan didukung data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan analisis penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, penyitaan terhadap aset hasil Money Laundering tidak hanya dilakukan oleh Penyidik POLRI, namun juga dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada saat proses persidangan. Pasal 81 UUU TPPU memberikan kewenangan aktif kepada hakim untuk memerintahkan jaksa melakukan penyitaan, tetapi pada praktiknya seringkali kurang dimanfaatkan. Kedua, putusan nomor 2113K/Pid.Sus/2023 menunjukkan isu keabsahan penyitaan oleh Jaksa Penuntut Umum, terutama ketidakmampuan POLRI dalam menyita aset. Meskipun hakim tidak menggunakan Pasal 81 UU TPPU, Jaksa tetap mengajukan penyitaan pada tahap kasasi untuk mencapai keadilan hukum. Selanjutnya, prosedur penyitaan aset selama persidangan menunjukkan pengakuan hakim terhadap langkah Jaksa Penuntut Umum yang memperjuangkan dan memberikan dasar untuk pemulihan aset korban.


The confiscation procedure is a new idea that can be carried out by the Public Prosecutor in an effort to recover victims’ losses, especially in money laundering cases. Generally, confiscation is carried out by the Indonesian National Police at the Investigation stage. However, due to time limits in investigations, in practice it is often not effective in confiscating assets. Therefore, the Prosecutor can assist with the confiscation if there are assets found that have not been confiscated. Apart from that, confiscation is also a factor in asset recovery. It is hoped that the recovery of these assets can be returned to the victims. One of the cases involving confiscation at the trial stage was the Indosurya case regarding decision number 2113K/Pid.Sus/2023. This research was studied using normative-juridical research methods. Then, this research is descriptive in nature, supported by secondary data in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials which are analyzed qualitatively. Based on the analysis of this research, several conclusions can be drawn. First, confiscation of assets resulting from money laundering is not only carried out by POLRI investigators, but can also be carried out by the Prosecutor during the trial process. Article 81 of UU TPPU gives active authority to judges to order prosecutors to carry out confiscations, but in practice it is often underutilized. Second, decision number 2113/K/Pid.Sus/2023 shows the issue of the legality of confiscation by the Prosecutor, especially the inability of the POLRI to confiscate assets. Even though the judge did not use Article 81 of the UU TPPU, the prosecutor still proposed confiscation at the cassation stage to achieve legal justice. Furthermore, the asset confiscation procedure during the trial shows the judge’s recognition of the Public Prosecutor’s steps in fighting for and providing a basis for the recovery of the victim’s assets.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Marulak
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 1995
332.76 PAR m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Purwaningsih
"Peredaran gelap narkotika adalah salah satu bentuk kejahatan transnasional yang dilakukan terorganisasi dan melibatkan banyak pelaku dengan peran serta fungsi khas, termasuk perempuan. Dalam kejahatan narkotika transnasional yang terorganisasi, keterlibatan perempuan tidak hanya sebagai konsumen dan kurir narkotika ilegal, namun juga dalam kegiatan pencucian uang hasil kejahatan narkotika. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendeskripsikan dan menganalisis keterlibatan perempuan dalam kegiatan pencucian uang hasil peredaran gelap narkotika di Indonesia berdasarkan kasus yang pernah ditangani Badan Narkotika Nasional tahun 2016 hingga 2018. Wawancara mendalam dilakukan kepada empat orang orang pelaku dan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pengungkapan kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) hasil peredaran gelap narkotika oleh keempat orang pelaku tersebut. Hasilnya adalah gambaran mengenai bagaimana bentuk keterlibatan perempuan dalam TPPU hasil kejahatan narkotika dan gambaran mengenai karakteristik keterlibatannya, yaitu sebagai pelaku aktif yang tidak terlibat langsung di kejahatan narkotika atau aider, serta sebagai pelaku pasif atau abettor. Setelah itu dilakukan analisis mengenai faktor-faktor penyebab keteribatan tersebut.

Illicit drugs trafficking is one of transnational organized crime which involving many people with their own distinctive roles and funtions, including female. In organized transnational drugs crime, female involvement not only as comsumer and as a courier, but also in money laundering from drugs crimes. This Study use a Qualitative Approach to describe and analyze the involvement of female in money laundering as a crime from illicit drug trafficking in Indonesia based on the cases that have been disclose by National Narcotics Board from 2016 to 2018. Conduct in-depth interview with four offender and the parties directly involved in disclosure of money laundering (TPPU). As a result, the description of how the involvement of women in Money laundering related to narcotics crimes and a description of the characteristics of their involvement, namely as active actors who are not directly involved in narcotics crime or aider, as well as passive actors or abettor. Furthermore, an analysis of the factors causing the involvement.
"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T52756
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>