Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95165 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Salsabela Mulia Junaedi
"Putusnya perkawinan atau perceraian akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak, yakni pembagian harta bersama. Harta bersama merupakan harta benda yang diperoleh suami dan istri selama ikatan perkawinan. Hukum positif di Indonesia menetapkan bahwa apabila terjadi perceraian, masing-masing suami dan istri berhak mendapatkan separuh bagian dari harta bersama. Ketentuan ini didasarkan pada tanggung jawab suami untuk mencari nafkah, sementara istri yang bertanggung jawab untuk mengurus rumah tangga. Akan tetapi, pembagian tanggung jawab sebagaimana dimuat dalam hukum positif telah mengalami pergeseran. Saat ini, sebagian istri tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga turut serta bekerja mencari nafkah. Dengan adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 266K/AG/2010 tersebut dinilai cukup penting untuk dijadikan rujukan oleh para hakim di Indonesia dalam upaya penyelesaian sengketa harta bersama, khususnya dalam hal suami tidak bekerja terlebih suami juga tidak berupaya memberikan kontribusi apapun dalam rumah tangga. Majelis Hakim dalam memutus perkara Nomor 161/Pdt.G/2020/PN.JMB seharusnya lebih mempertimbangkan pada aspek social justice, yakni mengenai kontribusi atau usaha dari para pihak, dimana Majelis Hakim tidak secara langsung membagi rata bagian yang diberikan untuk para pihak, tetapi Majelis Hakim dapat menilai terlebih dahulu bagaimana keadaan masing- masing pihak serta usaha para pihak dalam rumah tangganya. Selain itu, Majelis Hakim seharusnya membagi harta bersama sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 266K/AG/2010, yang menetapkan bahwa suami mendapatkan bagian harta lebih kecil daripada bagian milik istri, yakni 1⁄4 bagian berbanding 3⁄4 bagian harta bersama. Adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 266K/AG/2010 juga tampak bahwa Mahkamah Agung telah berupaya untuk menyeimbangkan asas keadilan dalam pembagian harta bersama atas dasar adanya suatu keadaan khusus yang apabila tetap diterapkan pembagian 50 : 50 sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 128 KUH Perdata dan Pasal 97 KHI, justru akan menimbulkan rasa ketidakadilan antara para pihak. Tulisan ini membahas mengenai pembagian harta bersama perkawinan dalam hal suami tidak bekerja menurut doktrin dan putusan pengadilan dengan menggunakan metode analisis yuridis-normatif, khususnya pada pertimbangan hukum yang diterapkan dalam Putusan Nomor 161/Pdt.G/2020/PN.JMB dan Putusan Nomor 266K/AG/2010.

The dissolution of marriage or divorce will have legal consequences for the parties involved, namely the division of joint assets. Joint assets refer to the property acquired by the husband and wife during the marriage. Indonesian positive law stipulates that in the event of divorce, each husband and wife is entitled to receive half of the joint assets. This provision is based on the husband's responsibility to provide for the family's livelihood, while the wife is responsible for managing the household. However, the allocation of responsibilities as stated in positive law has undergone a shift. Currently, some wives not only play the role of a homemaker but also contribute by working to earn a living. The existence of Supreme Court Jurisprudence Number 266K/AG/2010 is considered significant and serves as a reference for judges in Indonesia in resolving disputes over joint assets, especially when the husband is not employed and does not contribute in any way to the household. The panel of judges in case number 161/Pdt.G/2020/PN.JMB should have considered the aspect of social justice, which includes the contributions or efforts made by each party. The judges should not directly divide the assets equally between the parties but should assess the circumstances and the efforts made by each party in their respective households. In addition, the judges should divide the joint assets in accordance with Supreme Court Jurisprudence Number 266K/AG/2010, which establishes that the husband receives a smaller share of the assets compared to the wife, namely one-fourth (1⁄4) versus three-fourths (3⁄4) of the joint assets. The existence of Supreme Court Jurisprudence Number 266K/AG/2010 also shows that the Supreme Court has attempted to balance the principle of justice in the division of joint assets based on the presence of specific circumstances. If the equal division of assets (50:50) as stated in Article 128 of the Civil Code and Article 97 of the Islamic Law Compilation were applied, it would actually result in injustice between the parties. This paper discusses the division of joint marital assets when the husband is not employed according to legal doctrine and court decisions, using a juridical-normative analysis method, particularly focusing on the legal considerations applied in Case Number 161/Pdt.G/2020/PN.JMB and Supreme Court Jurisprudence Number 266K/AG/2010."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutejo
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S22066
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Monika Kara
"Suatu tinjuan dalam praktek penyelesaian masalah Wewenang Pengadilan di Blangkejeren dan kasus Tanah Permata Hijau. Di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ( Undang-Undang Perkawinan). Salah satu konsekuensi yuridis setelah terjadiny aikatan perkawinan adalah timbulnya harta bersama, yakini harta yang diperoleh suami isteri selama berlangsungnya ikatan perkawinan. Pengaturan mengenai harta bersama ini ternyata sangat minim. Sehingga tida jarang menimbulkan kesalahpaham dikalangan masyarakat maupun para penegak hukum (hakim). Hal ini akan Nampak selaki dalam kasus-kasus perceraian, dimana peprsoalan hukum megenai harta bersama akan muncul di permukaan manakala diantara bekas suami isteri tersebut tidak tercapai kesepakatan mengenai pembagiannya, atau adanya kepentingan pihak ketiga yang melekat pada harta bersama tersebut. Penyelesaian terhadap sengketa ini menjadi lebih rumit lagi karena Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (pasal 37) sendir kurang jelas mengaturnya, karena memungkinkan pihak-pihak yang bersengketa menggunakan dalil-dalil hukum di luar Undang-Undang perkawinan sebagai dasar pembenar atas tindakan hukum yang dilakukannya. Sehingga para hakim yang menyelesaikan sengketa banyak yang terjadi dalam kekeliruan, karena kaedah hukum yang ditetapkannya tida sesuai dengan jiwa yang dikandung oleh Undang-Undang perkawinan. Dalam hubungan inilah, penulis skripsi menggunakan dua buah contoh kasus di atas sebagai bahan analisa untuk menemukan sejumlah asperk yuridis didalam harta bersama, yang dirasakan bermanfaat bagi kepentingan akademis maupun praktis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
S20333
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Dhiya Dinar Kuswulandari
"Skripsi ini membahas mengenai akibat perceraian dalam Perkawinan Adat Toraja terhadap harta benda perkawinan dan hak asuh anak, dimana seperti yang diketahui bahwa perkawinan yang dilakukan secara adat akan berbeda akibat hukumnya jika terjadi perceraian, dibandingkan dengan perkawinan yang dilakukan secara hukum Negara, yang dilakukan dengan studi putusan No. 41 /Pdt.G/2009/Pn.Mkl. Metode penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu melakukan penelitian lapangan Field Research dan penelitian kepustakaan Library Research . Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan para pihak yang terkait yaitu pemangku adat Ada rsquo; , keluarga atau masyarakat yang pernah melihat langsung proses pelakasanaan cerai secara adat di Kabupaten Tana Toraja. Sedangkan data sekunder diperoleh dari literatur-literatur dan buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan yang penulis teliti. Data yang diperoleh baik primer maupun sekunder dianalisis secara kualitatif. Hasil Penelitian menunjukan bahwa dalam putusan tersebut, hakim lebih mengacu hukum adat Toraja dibandingkan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dalam menentukan akibat perceraian terhadap harta benda perkawinan dan hak asuh anak.

This thesis discusses the effect of divorce in the marriage of Adat Toraja to the marriage and custody of the child, with the study of decision no. 41 Pdt.G 2009 Pn.Mkl. The research method used in data collection is doing field research and library research . Primary data were obtained from interviews with related parties, ie adat stakeholders Ada 39 , families or communities who had seen the indigenous divorce process in Tana Toraja Regency. While the secondary data obtained from the literature and books related to the problems that the author carefully. Both primary and secondary data were analyzed qualitatively. The result of the research shows that in the judgment, judges refer Toraja custom law more than Law no. 1 year 1974 on Marriage in determining the effect of divorce on the property of marriage and custody of the child. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S68525
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aviceena Pratikto Raharjo
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai pelepasan pemutusan hubungan perkawinan antara pasangan suami dan istri yang menikah tanpa saling mencintai dan hanya karena kesepakatan. Dalam permohonannya kepada Pengadilan Agama, suami yang bertindak sebagai Pemohon mengajukan permohonan perceraian dengan dasar akta nikah tidak sah karena tidak ditandatangani oleh Pemohon. Penulisan skripsi ini membahas mengenai alasan-alasan perceraian yang secara limitatif diperbolehkan dalam Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan serta Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang menjadi indicator pembahasan penulisan skripsi ini. Berdasarkan analisis penulis mengenai alasan-alasan yang diperbolehkan dalam perceraian, pada akhir penulisan dapat dipahami apakah perceraian hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan yang ada atau dapat menggunakan alasan yang tidak tercantum dalam Pasal tersebut diatas. Dalam pembahasan ini penulis mengacu kepada hukum-hukum perkawinan nasional maupun hukum perkawinan Islam baik yang telah dikodifikasikan dalam Kompilasi Hukum Islam maupun fiqh munakahat sebagai pendamping Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam penulisan ini, dapat dipahami bahwa, akta nikah hanyalah pencatatan atas suatu perkawinan sehingga tidak dapat dijadikan alasan perceraian, akan tetapi apabila suatu perkawinan diketahui tidak sah menurut hukum agama ataupun kepercayaan tertentu, dapat dilakukan pembatalan perkawinan.

ABSTRACT
This thesis focuses on disengagement of marital relationship between married couple which married each other without feeling love and only based on an agreement. In his petition to the Religious Courts, the husband as the Petitioner filed a divorce petition on the basis of illegitimate marriage certificate because it was not signed by the husband. This thesis discusses the reasons of divorce which is limited by the Article 39 of the Marriage Law and Article 19 of Government Regulation no. 9 Year 1975 which became the indicator of the discussion of this thesis writing. Based on the author 39 s analysis of the reasons allowed of divorce, at the end of the writing can be understood whether divorce can only be done for reasons that exist or can use the reasons not listed in the Article mentioned above. In this discussion the authors refer to national marriage laws as well as Islamic marriage laws that have been codified in the Compilation of Islamic Law and fiqih munakahat as a companion of the Civil Code. In this writing, it can be understood that, the illicit marriage certificate is not a valid reason for divorce, but if a marriage is known to be invalid according to such belief or religion, it may be cancelled."
2017
S69743
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Nachita
"ABSTRAK
Tesis ini meneliti mengenai akibat hukum perceraian antara suami isteri terhadap
harta bersama yang belum dibagi yang menjadi objek dalam Perjanjian Pengikatan
Jual Beli. Dalam pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas harta bersama
yang belum dibagi, diperlukan persetujuan dari mantan isteri atau suami, apabila
tidak ada persetujuan maka akan menimbulkan kerugian bagi pihak yang tidak
setuju itu. Dalam penelitian ini, penulis mengangkat 2 (dua) pokok permasalahan,
yang pertama adalah bagaimana akibat hukum perceraian suami isteri terhadap
harta bersama yang belum dibagi yang menjadi objek dalam Perjanjian Pengikatan
Jual Beli? Lalu yang kedua adalah bagaimana tanggungjawab Notaris atas
Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagaimana dalam putusan Majelis Pemeriksa
Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta Nomor:
02/PTS/Mj.PWN.Prov.DKIJakarta/III/2015? Penelitian ini menggunakan metode
yuridis normatif yang menekankan pada norma-norma hukum tertulis dengan
pendekatan yuridis yang mempergunakan sumber data sekunder, digunakan untuk
menganalisa berbagai peraturan perundang-undangan di bidang hukum perkawinan
dan jabatan Notaris, buku-buku dan artikel-artikel yang mempunyai korelasi dan
relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa, akibat hukum yang terjadi atas pembuatan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli ini adalah dirugikannya pihak isteri sebagai orang yang turut
memiliki hak atas objek tersebut dan dirugikannya pihak pembeli dalam perjanjian
tersebut. Lalu tanggungjawab Notaris atas Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang
dibuatnya adalah dijatuhkannya sanksi administratif berupa teguran tertulis yang
dijatuhkan oleh Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta karena
Notaris terbukti melanggar Pasal 16, 39 dan 47 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Jabatan Notaris.

ABSTRACT
This thesis examines the legal consequences of a divorce between husband and wife
to the undivided joint marital property that being an object on sale and purchase
agreement. In making a sale and purchase agreement of undivided joint marital
property, the consent of the spouses is required, if the consent is none, it will cause
a losses to the disagreed party. In this study, the authors raised two main ideas,
first, how is the effect of a divorce between husband and wife to the undivided joint
marital property that being an object on sale and purchase agreement? The second
is how the responsibility of Notary on the sale and purchase agreement as
mentioned in Putusan Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta
Nomor: 02/PTS/Mj.PWN.Prov.DKIJakarta/III/2015? The research method that
will be used in this study is juridical-normative. The results of this study indicate
that, the legal consequences of making this sale and purchase agreement is the
disadvantage of the wife as the person who also has the right to the object and also
disadvantage of the buyer in the agreement. Then the responsibility of the Notary
on the Sale and Purchase Agreement he made is an administrative sanction in the
form of written warning imposed by the Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris DKI
Jakarta because the Notary was proven to violate Articles 16, 39 and 47 Law
Number 2 Of 2014 Concerning Amendment to Law Number 30 Of 2002 Concerning
Jabatan Notaris."
2017
T48926
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sonia Regita Irawan
"Perkawinan akan menimbulkan suatu akibat hukum terhadap hadirnya harta bersama. Harta bersama dalam hal ini tidak hanya mencakup aktiva, namun juga mencakup pasiva atau utang bersama. Tidak jarang apabila terdapat suatu objek berupa harta bersama yang dijadikan sebagai jaminan untuk suatu utang bersama berupa perjanjian kredit yang dilakukan dengan pihak bank. Apabila objek yang hendak dijadikan jaminan berupa tanah beserta dengan bangunan di atasnya, maka pembebanan jaminan dapat dilakukan dengan lembaga jaminan hak tanggungan. Suatu permasalahan akan timbul ketika perkawinan harus berakhir karena adanya perceraian. Sama halnya dengan perkawinan, perceraian pun akan menimbulkan suatu akibat hukum terhadap harta dan utang bersama. Setelah perceraian, harta dan utang bersama seharusnya dibagi dengan besaran yang sama untuk suami dan istri. Akan tetapi, dalam praktiknya bisa saja terdapat salah satu pihak yang hanya menginginkan harta bersama tanpa mengingat bahwa harta sebagaimana dimaksud masih menjadi objek jaminan atas utang bersama berupa perjanjian kredit yang pernah dilakukannya. Keadaan demikian pun sejatinya tercermin dalam Putusan Nomor 130/Pdt.G/2019/PN Kpg. Dalam menganalisis keadaan demikian, Penulis menggunakan metode penelitian doktrinal sehingga menghasilkan penulisan yang bersifat deskriptif analitis. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa pembagian harta bersama yang objeknya masih menjadi jaminan untuk utang bersama tidak selalu dibagi dengan bagian yang sama besarnya untuk suami dan istri ketika mereka bercerai. Keadaan demikian jelas berbeda dengan ketentuan pembagian harta bersama dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Marriage will have legal consequences on the presence of joint marital property. Joint marital property in this case does not only include assets but also includes liabilities or joint debts. It is not uncommon for there to be an object in the form of joint marital property that is used as guarantee for a joint debts in the form of a credit agreement with the bank. If the object to be used as a guarantee is in the form of land along with the building on it, then the guarantee can be done with the institution of mortgage rights. A problem will arise when a marriage must end due to divorce. Similar to marriage, divorce will also have legal consequences on joint assets and debts. After divorce, joint assets and debts should be divided equally for husband and wife. However, in practice, there can be one party who only wants the assets without considering that the property in question is still an object of guarantee for joint debt in the form of a credit agreement. This situation is reflected in Decision Number 130/Pdt.G/2019/PN Kpg. In analyzing this situation, the author uses a doctrinal research methods to produce analytical descriptive writing. The results of the research show that the division of joint marital property whose object is still guaranteed for joint debt is not always divided into equal parts for the husband and wife when they divorce. This situation is different from the provisions on the division of joint property in Law No. 1 of 1974 concerning Marriage and the Civil Code."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>