Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 131611 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ita Rosyanti
"Penelitian ini menunjukan bahwa upaya yang telah dilakukan DVG dalam pemberantasan wabah malaria di Sindanglaut tidak menunjukan kesuksesan. Proyek pembangunan infrastruktur penunjang perkebunan dan pabrik gula mengakibatkan menjangkitnya wabah malaria di Sindanglaut. Dalam upaya menanganinya pemerintah Sindanglaut dibantu oleh Dienst der Volksgezondheid (DVG) sebagai Dinas kesehatan Masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Pada tahapan heuristik, penelusuran sumber meliputi kajian terhadap literatur, arsip-arsip pemerintah Hindia Belanda, serta surat kabar sezaman yang disusun menjadi satu kesatuan dalam narasi penulisan sejarah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bagaimana upaya DVG dalam menjalankan upaya- upaya pemberantasan wabah malaria di Sindanglaut tidak begitu signifikan dalam penurunan angka kematian ataupun penurunan jumlah yang terjangkit malaria. Dalam upayanya DVG melakukan tindakan-tindakan kuratif dan preventif, seperti melakukan penelitian dari sampel darah masyarakat yang terjangkit wabah, membangun layanan kesehatan hingga melakukan propaganda-propaganda kebersihan. Penelitian ini berfokus pada peranan dan upaya yang dilakukan oleh DVG dalam penanganan wabah Malaria, khususnya di wilayah perkebunan Sindanglaut pada tahun 1925—1940.

This research found that DVG efforts in eradicating malaria outbreak did not show a sign of success. Infrastructure development project to support plantation and sugar factory causes a breakout of malaria in Sindanglaut. Sindanglaut government assisted by Dienst der Volksgezondheid (DVG) is involved in it’s efforts. Methods used in this research is historical research methods including heuristic, veriffication, interpretation, and historiography. The heuristic step involves studies and literature searching, Hindia-Belanda government archives, and corresponding newspaper which is arranged into one in historical naration writing. This research found how DVG efforts in eradicating Sindanglaut malarai was not significant in it’s death toll nor infection rate. DVG did it’s currative and preventive efforts by doing blood sampling the infected, building healthcare service, and hygene propaganda. This research focuses on efforts and role of DVG in handling Malaria outbreak, specifically in Sindanglaut plantation from 1925— 1940."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Yanti
"Dinas Kesehatan Rakyat Kolonial dibentuk pada tahun 1925 dengan dilatar belakangi belum adanya perhatian pemerintah kolonial terhadap kesehatan bumiputera. Institusi kesehatan kolonial pertama di Hindia Belanda adalah Militaire Geneeskundigde Dienst (MGD) dibentuk pada masa pemerintahan Gubernur Jendral H.W. Daendles. Institusi kesehatan tersebut hanya dikhususkan bagi anggota militer kolonial. Usaha kesehatan untuk sipil mulai diadakan satu tahun kemudian, maka dibentuklah Burgerlijke Geneeskundige Diensi (BGD). Namun BGD meripakan subordinat dari MGD, hal inilah yang menyebabkan adanya pengabaian terhadap pelayanan kesehatan masyarakat sipil (baik pribumi maupun Eropa), karena ketika itu tentara tetap menjadi obyek utama dalam pelayanan kesehatan.BGD kemudian memilki tugas untuk perbaikan tingkat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu pada tahun 1925 dibentuklah Diensi der Volksgezondheid (DVG) yang gencar melancarkan kampanye dan propaganda untuk memberantas penyakit-penyakit yang melanda rakyat baik secara endeinis maupun epidemi.s. Dalam menjalankan misinya, DVG memerlukan tenaga medis yang memadai, sehingga mendatangkan dokter-dokter dari barat. Pada tahun 1924 datanglah dokter ahli kesehatan pertama di Amerika J.L,. Hydrick di Jawa atas undangan pemerintah Hindia Belanda dan dibiayai oleh Rockefeller Foundation. Hydrick dim-Wang untuk menjalankan proyek sanitasi di Purwokerto (Banyumas), program itu kemudian lebih dikenal dengan Medisch Hygienische Propaganda. Program propaganda kesehatan di Banyumas tidak akan berjalan tanpa peran serta dari berbagai pihak seperti Dokter Pribumi, Tokoh Pribumi, para guns dan siswa serta lembaga lainnya seperti Balai Poestaka dalam menyediakan Bacaan Rakyat. Namur demikian tanpa kepercayaan bumiputera akan ilmu kesehatan barat maka program propaganda kesehatan tersebut tidak berjalan efektif. Karena upaya yang digunakan orang barat tidak bias dengan begitu saja dipakai di masyarakat Banyumas yang memiliki keadaan dan tabiat yang berbeda dengan di Barat. Masyarakat bumiputera Banyumas lebih percaya kepada dukun, adat, dan agama atau kebiasaan hidup yang telah ada sejak nenek moyang mereka. Bagi masyarakat bumiputera Banyumas mengikuti ajaran ilmu kesehatan barat berarti hares merubah kebiasaan hidup mereka sepenuhnya, Terlebih bagi bumiputera propaganda kesehatan itu hanya intermezzo belaka, karena rakyat juga dibebani dengan biaya kesehatan sendiri terlebih pada tahun 1930 ketika terjadi krisis, anggaran kesehatan hanya tinggal 1/6 dari dana yang dianggarkan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S12495
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Brummelhuis, Han Ten
Leiden: KITLV Press, 2005
926.275 2 BRU k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyandaru Kuncorojati
"Pabrik gula Sindanglaut merupakan salah satu tinggalan industri yang berasal dari masa kolonial dan diteliti menggunakan sudut pandang arkeologi industri. Masuknya bangsa Belanda ke Indonesia mulai memicu industri gula dalam skala besar dengan berdirinya pabrik gula di berbagai daerah di Jawa. Bangsa Belanda datang membawa pengaruh terhadap perkembangan teknologi produksi gula di Indonesia dengan dipergunakannya mesin-mesin hasil Revolusi Industri yang terjadi di Inggris pada abad ke-18. Salah satu pabrik gula yang didirikan di Jawa Barat pada masa kolonial adalah pabrik gula Sindanglaut. Pabrik gula Sindanglaut memiliki beberapa komponen penunjang kegiatan produksi gula, yaitu sumber daya alam, bahan baku, alat dan bangunan produksi, serta bangunan tempat tinggal pegawai. Berdirinya pabrik gula Sindanglaut tidak hanya memperkenalkan kegiatan industri kepada masyarakat pribumi tetapi juga ikut mengubah tatanan masyarakat yang semula feodal menjadi masyakarat industri. Pada masyarakat industri terdapat pembagian kelas sosial berdasarkan pekerjaan atau jabatan mereka. Pembagian kelas sosial menjadi beberapa golongan ditampilkan dalam bentuk bangunan pegawai dan pola ketetakanya.

Sindanglaut sugar factory is one of industrial heritage, which cmose from colonial era and is being researched with industrial archaeology’s perspective. The arrival of the Dutch in Indonesia started to affect sugar industry in huge scale in some of areas in Java. The Dutch has influenced the technology development of sugar production in Indonesia, such as using the machines, which is a result from Industry Revolution in England, that happened in 18th century. One of sugar factory that has built in West Java in colonial era is Sindanglaut sugar factory. Sindanglaut sugar factory has supporting components for activities of sugar production, such as natural resources, raw material, tools and production building, and also houses for the workers. The establishment of Sindanglaut sugar factory is not only to introduce industrial activity to the society, but also has changed the social structure of society, which at first is feudal and then became industrial society. In industrial society there is classification of social class, based on the job or their position. The classification of social class which divided the society into some classes is represented from the style of the building of worker’s houses and its position pattern."
2013
S46531
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Washington, DC: Nasional Geographic, 2009
910 NAT
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Shafwatun Nawa
"ABSTRAK
Pada masa Orde baru, muncul program- program agribisnis demi memenuhi kebutuhan pangan Indonesia. Program- program agribisnis ini terangkum dalam sebuah keputusan, yakni Program Tebu Rakyat Intensifikasi atau biasa disebut dengan TRI yang bercita memenuhi kebutuhan gula nasional serta mencapai swasembada gula. Beberapa daerah di seluruh Jawa terkena imbas akibat program ini. Kabupaten Cirebon, Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang mendapat program ini. Selama pelaksanaan program TRI, banyak jalan yang harus ditempuh. Di satu sisi pemerintah sudah mempersiapkan programnya dengan baik, di satu sisi para petani merasa baik- baik saja selama pelaksanaan program. Namun hal ini menjadi pertanyaan besar mengapa pada akhirnya di tahun 1997, banyak para petani tebu memilih untuk beralih ke tanaman pangan yang lain dibandingkan dengan tebu.

ABSTRACT<>br>
During the New Order period, agribusiness programs emerged to meet the needs of Indonesian food. These agribusiness programs are summarized in a decision, namely the Intensification of Smallholder Sugar Cane Program or commonly referred to as TRI that fulfills the national sugar needs and achieves self sufficiency in sugar. Several areas throughout Java were affected by this program. District of Cirebon, West Java is one of the areas that got this program. During the implementation of the TRI program, there are many ways to go. On the one hand the government has prepared the program well, on the one hand the farmers feel fine during the program implementation. But this is a big question why in the end in 1997, many sugar cane farmers chose to switch to other food crops compared to sugarcane."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
London: Barnes & Noble Books, [1983;1983;1983;1983;1983;1983, 1983]
307.72 PRO
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Yayasan Wira Bhakti, 1997
923.5 BUK
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jovia Mariana
"Kehadiran Art Deco di Hindia Belanda merupakan sebuah periode yang sangat penting bagi perkembangan arsitektur di Hindia Belanda. Art Deco yang berasal dari Eropa secara perlahan-lahan masuk ke Indonesia dan diterima baik oleh para arsitek Indonesia maupun arsitek Belanda yang berada di Indonesia. Salah satu arsitek Belanda yang mengusung gaya ini adalah F.J.L Ghijsels. Sebagai arsitek besar, Ghijsels berusaha menuangkan ciri khasnya dalam setiap karyanya. Tulisan ini berusaha untuk menelaah karakteristik Art Deco F.J.L Ghijsels berdasarkan salah satu karyanya yaitu gedung Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) yang terletak di Jalan Merdeka Timur No. 5 Jakarta Pusat. Karakteristik F.J.L Ghijsels akan dibandingkan dengan ciri khas Art Deco yang ada pada umumnya sehingga akan ditemukan bahwa terdapat beberapa karakteristik Art Deco F.J.L Ghijsels yang menonjol seperti pemilihan warna dan molding.

The presence of Art Deco in Dutch East Indies was an important period to the development of architecture in Dutch East Indies. Art Deco that came from the Europe slowly got in to Indonesia and got accepted by Indonesian architects and Dutch architects who lived in Indonesia. One of Dutch architects who used this style is F.J.L Ghijsels. As a succes architect, Ghijsels tried to show his characteristics in his every works. This paper tries to analize F.J.L Ghijsels? Art Deco characteristics based on one of his works which is Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) building in Jalan Merdeka Timur No. 5 Central Jakarta. F.J.L Ghijsels? characteristics will be compared to characteristic of Art Deco in general and we will find the fact that there are a few characteristics of F.J.L Ghijsels? Art Deco that stood out which are his choices of colors and his molding technic."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurafiati Haliza
"Penelitian ini membahas lebih lanjut mengenai proses penerapan kebijakan Influenza Ordonnantie khususnya upaya pembatasan kapal di Pelabuhan Tandjong Priok dalam menangani pandemi influenza di Batavia pada tahun 1920—1922. Kemunculan wabah influenza yang dikenal dengan flu spanyol pada tahun 1918 menimbulkan masalah baru di Hindia Belanda. Selain menghambat aktivitas sehari-hari, korban yang ditimbulkan juga tidak sedikit. Pemerintah Batavia pada awalnya menunjukkan sikap yang lambat dalam merespon wabah tersebut, namun seiring dengan dampak yang ditimbulkannya pemerintah mulai melakukan upaya-upaya penanganan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang meliputi empat tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Pada tahapan heuristik sumber sejarah yang digunakan meliputi arsip, surat kabar, buku dan jurnal. Hasil penelitian menunjukan bahwa Pemerintah Hindia Belanda melakukan suatu usaha konkret dalam menangani penyebaran wabah influenza di Batavia melalui pembuatan Influenza Ordonnantie. Pemerintah Hindia Belanda melakukan tindakan pencegahan yaitu memperketat pengawasan terhadap kapal-kapal yang datang baik dari luar maupun kapal yang datang dari Hindia Belanda. Burgerlijke Geneeskundige Dienst (BGD) melalui Komisi Influenza telah merampungkan ordonansi pada tahun 1919, kemudian Influenza Ordonnantie tersebut disahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1920 yang berisi peraturan lalu lintas pelabuhan untuk menangani kemunculan dan penyebaran wabah influenza. Kebijakan pembatasan kapal di Pelabuhan Tandjong Priok diterapkan dengan cara pemberlakuan influenza pass, influenza sein, pengecekkan kesehatan, dan karantina kapal. Pembatasan kapal menjadi salah satu faktor yang menekan angka penyebaran virus influenza di Batavia, sehingga pada tahun 1922 virus influenza dinyatakan sudah melandai dan tidak lagi menjadi wabah di Hindia Belanda.

This research further discusses the implementation process of the Influenza Ordonnantie policy, specifically the efforts to limit ships at the Tandjong Priok Port in handling the influenza pandemic in Batavia in 1920—1922. The emergence of an influenza outbreak known as the Spanish flu in 1918 caused new problems in the Dutch East Indies. Apart from disrupting daily activities, there were a significant number of victims. The Batavian government had initially been slow in responding to the outbreak; however, they began to make efforts to deal with it as the impacts that came with it worsened. This research employs historical research methods, including four stages: heuristic, criticism, interpretation, and historiography. The sources used at the heuristic stage consist of archives, newspapers, books, and journals. The findings demonstrate that the Dutch East Indies administration made a substantial effort in dealing with the spread of the influenza pandemic in Batavia by creating the Influenza Ordonnantie. The government also took a preventative measure by tightening the supervision of ships that were coming from outside and from the Dutch East Indies. Burgerlijke Geneeskundige Dienst (BGD), through the Influenza Commission, completed the ordinance in 1919, and it was later ratified by the Dutch East Indies government in 1920, which contained the port traffic regulation to deal with the emergence and spread of the influenza outbreak. The implementation of the ship restriction policy at the Tandjong Priok Port includes the enactment of influenza passes, influenza signals, health checks, and ship quarantine. The ship restriction was one of the factors that suppressed the spread of the virus, which led to the declaration in 1922 that the influenza virus had subsided and was no longer a pandemic in the Dutch East Indies."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>