Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 203232 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Satrio Alif Febriyanto
"Sebagai dua negara demokrasi dengan penganut sistem pemerintahan presidensial, Indonesia dan Brazil melakukan pemilihan umum dengan metode serentak yang langsung memlih Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif dalam waktu bersamaan. Di samping itu, keduanya juga melaksanakan Pemilihan Umum Anggota DPR dengan sistem pemilihan proporsional dengan memilih nama calon atau sistem pemilihan proporsional terbuka. Berangkat dari kondisi tersebut, penelitian ini akan mengkaji kompatibilitas antara metode pemilihan umum serentak dengan sistem proporsional terbuka di dua negara tersebut. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan historis dan komparatif untuk mengetahui latar belakang pelaksanaan pemilihan umum serentak serta pelaksanaan pemilihan umum serentak di kedua negara tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat kompatibilitas antara metode pemilihan serentak dengan sistem pemilihan proporsional terbuka pada kedua negara tersebut berupa kesamaan tata Kelola pemilihan umum dan berkurangnya selisih suara antar pemilihan umum.

As two democracies with a presidential system of government, Indonesia and Brazil conduct simultaneous elections that directly elect the President as the holder of executive power and Parliament as the holder of legislative power simultaneously. In addition, both also conduct legislative elections with a proportional voting system by selecting the names of candidates or an open proportional voting system. Departing from these conditions, this research will examine the compatibility of the simultaneous general election method with the open proportional system in the two countries. This research will be conducted using normative juridical research methods with historical and comparative approaches to find out the background of the implementation of simultaneous general elections and the implementation of simultaneous general elections in the two countries. Based on the research, there is compatibility between the simultaneous election method and an open proportional voting system in the two countries in the form of similarity in the electoral management and reduced vote difference between elections."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"To hold a fair and free gene; election
requires the protection for voters, for the
parties participating in the election, and for
the public in general from all fears,
intimidations, bribery, and other malpractices.
JU? the election is won through malpractices,
then it will be difficult to tell if the leaders or
the legislators are true representatives of the
people. This article comprehensively explores
the issues around criminal conducts on the
election process particularly in Indonesia so
as to provide a reference to those who
participate in the 2004 General Election in a
more democratic manner.
"
Hukum dan Pembangunan Vol. 33 No. 2 Juni 2003 : 268-281, 2003
HUPE-33-2-Jun2003-268
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Vino Devanta Anjaskrisdanar
"ABSTRAK
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran yang penting dalam penegakan hukum di Indonesia serta sama-sama menjalankan tugas konstitusional. Salah satu amanah konstitusional antara PTUN dan MK yaitu sama-sama menjadi lembaga pengadilan dalam memeriksa perselisihan yang muncul dalam proses Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Kewenangan antara PTUN dan MK sudah dibedakan secara tegas dalam Pemilukada. PTUN untuk menangani perselisihan administrasi Pemilukada dan MK untuk menangani perselisihan hasil Pemilukada. Namun, kedua putusan di lembaga pengadilan yang berbeda tersebut juga bisa memberikan implikasi hukum yang berbeda terhadap legalitas pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang terpilih. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan metode analisis data secara kualitatif. Secara teoritis, apabila melihat prinsip kekuatan hukum yang mengikat erga omnes, baik putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap maupun MK sama-sama memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Problem yang muncul adalah KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota sebagai pejabat yang wajib untuk selalu melaksanakan putusan pengadilan berada dalam dilema yuridis untuk melaksanakan putusan antara putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap dan MK yang memiliki implikasi hukum yang berbeda. Di sisi yang lain, baik putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap maupun MK memiliki kendala dalam penerapannya apabila terkait dengan proses Pemilukada baik itu diakibatkan oleh kultur hukum, kendala teknis, posibilitas konflik sosial yang ditimbulkan, dan sebagainya. Perbedaan implikasi putusan antara PTUN yang berkekuatan hukum tetap dan MK diakibatkan oleh tidak adanya batasan waktu penanganan perselisihan administrasi dan tidak harmonisnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Kepemiluan. Hal ini mencerminkan politik hukum terkait dengan pengaturan pengisian posisi jabatan pasangan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah yang seharusnya setiap periode selalu harus ada perbaikan dan evaluasi.

ABSTRACT
State Administrative Court (PTUN) and the Constitutional Court ( MK ) has an important role in law enforcement in Indonesia and constitutional duties equally. One of the constitutional mandate of the Administrative Court and the Constitutional Court is equally into the courts in examining the disputes that arise in the General Election of Regional Head (Pemilukada) process. Authority between the Administrative Court and the Court has explicitly distinguished in the General Election. The Administrative Court to handle administrative disputes and the Constitutional Court to handle election result disputes. However, two decisions on different courts could also provide different legal implications of the legality the chosen of Regional Head and Deputy Head. This study is a juridical-normative research using qualitative methods of data analysis. Theoretically, based on principle legally enforceable erga omnes, the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court has the same binding legal force. The problem is KPU/ KPU Province/Regency/City (election commission) as officials are obliged to execute court decisions are always in a dilemma between the judicial decision to execute the decision of the permanent legal binding Administrative Court or the Constitutional Court which has different legal implications. On the other hand, the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court has disadvantages in its application if either linked to Election process was caused by the legal culture, technical constraints, posed for the possibility of social conflict, etc. The difference between the implications of the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court due to the absence of a time limit and has a problem about the harmony of electoral legislation. This reflects the ‘politics of law’ related to the charging arrangements positions of Regional Head and Deputy Head that always should be improvements and evaluation periodically."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38731
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Kelana Dewantara
"Kompleksitas regulasi pemilu yang ada menghasilkan permasalahan serius diantaranya adanya tumpang tindih regulasi; pengulangan pengaturan; standar beda atas isu yang sama; dan tidak koheren dalam mengatur sistem pemilu legislatif dan pemilu eksekutif. Masalah-masalah tersebut menyebabkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum pemilu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut kelompok masyarakat sipil membentuk koalisi yang bernama Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-Undang Pemilu, mempunyai agenda menyatupadukan/kodifikasi regulasi pemilu demi menciptakan kepastian dan keadilan hukum. Sebagaimana dijelaskan Reynolds (1997) penyusunan kerangka hukum pemilu merupakan salah satu aspek standar pemilu demokratis.
Penelitian ini melihat bagaimana strategi advokasi yang dilakukan oleh koalisi dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, pendekatan ini digunakan untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang aspek-aspek yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang merupakan proses pencarian dan pengungkapan, dilakukan dengan metode wawancara dengan aktor masyarakat sipil dan penentu kebijakan, mempelajari risalah-risalah pertemuan dan dokumen lainnya. Dalam mengadvokasi RUU Pemilu, pilihan strategi advokasi yang digunakan oleh koalisi masyarakat sipil berupa networking, lobbying dan media.
Kesimpulan dari penelitian ini melihat kelompok masyarakat sipil bukanlah kelompok yang homogen, sehingga kelompok masyarakat sipil merupakan kekuatan yang terpecah/fragmentasi, sebagian kelompok tergabung dalam koalisi sekber, sebagian lainnya tergabung dalam tim perumus kebijakan yang mendorong perubahan dari dalam.

The complexity of the existing electoral regulations produces serious problems including overlapping regulations; repeat settings; different standards on the same issue; and incoherent in regulating the legislative and executive election systems. These problems cause uncertainty and unfairness of election law. To overcome these problems, civil society groups formed a coalition called the Joint Secretariat of the Election Law Codification, which had an agenda to integrate/codify election regulations in order to create legal certainty and justice. As Reynolds (1997) explained, the electoral legal framework is one aspect of standard democratic elections.
This research looks at how the advocacy strategy carried out by the coalition in the formation of Law No. 7 of 2017 concerning Elections. The research approach used is a qualitative approach, this approach is used to obtain a comprehensive picture of the aspects studied. The data collection technique, which is a process of searching and disclosing, is carried out by means of interviews with civil society actors and policy makers, studying the minutes of meetings and other documents. In advocating for the Election Bill, the choice of advocacy strategies used by the civil society coalition in the form of networking, lobbying and the media.
The conclusion of this study is that civil society groups are not homogeneous groups, so civil society groups are fragmented, some groups are part of the Joint Secretariat coalition, others are part of a policy-making team that encourages change from within.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"In the election head of region can be used as a momentum of fundamental change, thus the attendance of independent candidate is absolute and can not be bargained. Practically and theoritically independent candidate is significant."
JHUII 13:1 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Jakarta: Lembaga Pemilihan Umum, 1978
324.6 IND b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Lembaga Pemilihan Umum, 1978
324.6 IND b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Topo Santoso
"Selama penyelenggaraan pemilihan umum tahun 1999 di Indonesia banyak terjadi penyimpangan. Penyimpangan itu sebagian tergolong bersifat adnunistratif, bersifat tatacara pelaksanaan pemilu, tetapi sebagian yang lain tergolong tindak pidana. Tindak Pidana pemilu itu dilakukan baik oleh perorangan, peserta pemilu, maupun aparat pemerintah. Terhadap terjadinya tindak pidana pemilu tersebut seharusnya pihak kepolisian selaku penegak hukum terdapan bersikap proaktif melakukan penyidikan dan pada akhirnya menyerahkan berkas ke Kejaksaan. Pada kenyataannya, dari keseluruhan kasus tindak pidana yang terjadi banyak yang diselesaikan oleh pihak Panwas. Hal itu dimaksudkan untuk menyaring kasus-kasus yang terjadi sehingga kasus-kasus yang diteruskan kepada pihak kepolisian adalah benar-benar kasus yang memang mengandung dugaan kuat merupakan tindak pidana.
Penelitian ini memfokuskan pada bagaimana kasus-kasus tindak pidana pemilu yang terjadi pada tahun 1999 diselesaikan. Penelitian menghasilkan temuan bahwa banyak kasus memang tidak diselesaikan melalui jalur sistem peradilan, mulai dari kepolisian. Pihak kepolisian yang sudah diserahi laporan pun sedikit sekali meneruskan kasus itu ke Kejaksaan. Pada sisi lain, ada budaya untuk tidak begitu menaruh perhatian lagi pada kasus-kasus pemilu, termasuk memonitornya, terutama apabila masa pemilu telah terlewati. Dan sisi perundangan perlu diperjelas bagaimana kewenangan Panwas, misalnya apakah perlu untuk menyidik apabila temyata kepolisian kurang menaruh perhatian atau kurang komitmen dalam penyelesaian tindak pidana pemilu."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>