Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181298 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Manuhutu, Nicholas Yesaya
"Istana Buckigham adalah salah satu bangunan kediaman resmi raja dari kerajaan Britania Raya dan Alam Persemakmuran Inggris yang masih eksis hingga saat ini dan terletak di kawasan kota London. Bangunan ini dibangun pada tahun 1703 oleh Edward Blore untuk Duke of Buckingham yang berkebangsaan Inggris. Istana Buckingham merupakan salah satu bangunan yang unik di kota London, karena gaya bangunan gereja ini mengadaptasi dari dua gaya bangunan, yakni gaya Klasik dan gaya Palladian. Gaya Klasik adalah gaya bangunan yang mencerminkan peradaban Yunani dan Romawi kuno, sedangkan gaya Palladian adalah gaya bangunan yang memadukan unsur gaya Klasik dengan dekorasi dari gaya bangunan lainnya. Tulisan ini menggunakan metode Kualitatif-Deskriptif yang dalam pengumpulan datanya diperoleh melalui kajian studi pustaka, studi lapangan berupa kunjungan langsung, dan melakukan observasi terhadap ornamen-ornamen gereja di bagian eksterior dan interior. Gaya bangunan Klasik dan Palladian pada bangunan ini terlihat jelas melalui adanya penggunaan pilar- pilar, dan penggunaan jendela berbingkai.

Buckigham Palace is one of the official residences of the monarchs of the United Kingdom of Great Britain and the World The British Commonwealth still exists today and is located in the London city area. this building built in 1703 by Edward Blore for the English Duke of Buckingham. Palace Buckingham is one of the unique buildings in the city of London, because of the style of this church building adapting two building styles, namely the Classical style and the Palladian style. Classical style is a building style which reflects the ancient Greek and Roman civilizations, while the Palladian style is a building style that combines elements of the Classical style with decorations from other building styles. This paper uses the method Qualitative-Descriptive in which data collection is obtained through literature review, field studies in the form of direct visits, and observing the church ornaments on the exterior and interiors. The Classical and Palladian building styles in this building are clearly visible through the use of pillars. pillars, and the use of framed windows."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Port, M. H. (Michael Harry)
New Haven: Published for the Paul Mellon Centre for Studies in British Art by Yale University Press, 1995
725.1 POR I
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Deyda Aminda Putri
"Keadaan lingkungan saat ini sudah semakin memburuk, salah satu penyumbang kerusakan lingkungan terbesar adalah bidang pembangunan. Green building merupakan salah satu jawaban atas kerusakan lingkungan yang mengancam kehidupan kita saat ini. Green building merupakan bangunan yang menimbulkan dampak negatif minimum pada lingkungan. Salah satu aspek green building yang memiliki pengaruh terhadap lingkungan dan penggunanya adalah kulit bangunan. Kulit bangunan dapat berperan sebagai penyaring dan akses elemen dari lingkungan luar serta berpengaruh terhadap kenyamanan visual, termal, dan auditori pada ruang dalam. Gedung South Quarter dipilih menjadi studi kasus untuk menilai kulit bangunan pada green building sesuai dengan sistem penilaian GREENSHIP yang dikeluarkan oleh Green Building Council Indonesia GBCI. Total penilaian GREENSHIP untuk kulit bangunan South Quarter cukup rendah; kenyamanan ruang pada gedung ini masih harus ditopang oleh sistem mekanik yang menggunakan energi listrik. Konsumsi energi untuk kenyamanan ruang dalam dapat dibantu dengan pemanfaatan energi terbarukan pada tapak.

One of the leading forces behind the deterioration of environment is irresponsible construction. Green building is one of the solutions devised to handle this life threatening situation. One of the aspects of green building which affects both environment and users is building skin. Building skin acts as filter and access to external elements building skin also significantly affects visual, thermal, and auditorial comfort inside the building. South Quarter building is inspected as case study to evaluate building skin on green building based on GREENSHIP rating system as stated by Green Building Council Indonesia GBCI. The total score of GREENSHIP of South Quarter building skin is deemed low room comfort within this building is maintained using mechanical system which wastes electrical energy. A decrease in energy consumption for room comfort is possible should cutting edge energy processing be implemented on site.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Aurora
"ABSTRAK
Kota merupakan suatu kesatuan lingkungan alam, lingkungan sosial budaya dan lingkungan buatan sebagai lingkungan kehidupan manusia. Salah satu cirinya adalah keberadaan ekosistem alami yang biasanya relatif sangat kecil. padahal kualitasnya mempengaruhi kualitas ekosistem kota secara keseluruhan. Keberadaan Ruang Terbuka Hijau sebagai suatu bentuk keberadaan ekosistem alami pada suatu lingkungan buatan menjadi amat penting mengingat fungsinya secara ekologis, sosial dan estetis. Ruang Tebuka Hijau dapat mengatur temperatur kota, mengatur kandungan oksigen. mengurangi karbondioksida, menjadi perangkap bahan pencemar baik debu maupun gas, meningkatkan peresapan air, memberi bentuk visual yang menarik dan sehat untuk rekreasi, menjadi habitat bagi semua makhluk hidup dan meningkatkan keanekaragaman kehidupan di lingkungan kota.
DKI Jakarta memiliki dinamika pembangunan yang diwarnai dengan perkembangan penduduk yang sangat pesat. Jumlah penduduk DKI Jakarta yang pada tahun 1961 baru berjumlah 2,9 juta jiwa, pada tahun 1995 telah berjumlah 9 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2005 akan berjumlah 12 juta jiwa. Perkembangan penduduk dan berbagai aktivitasnya yang demikian pesat pada luas tanah terbatas (650 km2) pada akhirnya terekspresikan pada masalah penggunaan tanah dan secara Iuas pada sumberdaya alam dan lingkungan. Meningkatnya jumlah penduduk dan berbagai aktivitasnya tersebut menyebabkan terjadinya persaingan penggunaan tanah antara berbagai kegiatan. Persaingan penggunaan tanah yang terjadi selama ini telah menyebabkan ruang yang seharusnya dimanfaatkan sebagai Ruang Terbuka Hijau dibangun untuk memenuhi kebutuhan pembangunan kegiatan lain. karena Ruang Terbuka Hijau dipandang tidak menguntungkan secara ekonomis.
Perbandingan yang seimbang antara manusia dan lahan (man-land ratio), khususnya perbandingan antara luas bangunan dan luas tanah (building area ratio) danfatau perbandingan antara luas lantai dan luas tanah (floor area ratio) akan dapat membantu keberadaan RTH.
Untuk kepentingan penelitian ini, maka dibedakan dua jenis Ruang Terbuka Hijau. Pertama adalah Ruang Terbuka Hijau Umum (Publik), yaitu Ruang Terbuka Hijau yang dimiliki oleh umum, seperti taman kota yang dibangun oleh Pemerintah. Ruang Terbuka Hijau Umum ini merupakan daerah yang di dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) mempunyai peruntukan penyempurnaan hijau. Kedua adalah Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan (Pribadi), yaitu daerah dalam persil bangunan pada kepemilikan pribadi yang dialokasikan untuk tanaman hijau,
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan fakta mengenai komposisi daerah yang tidak terbangun dalam suatu persil bangunan, khususnya yang berkaitan dengan Ruang Terbuka Hijau dalam persil bangunan tersebut. Juga untuk mengetahui apakah pengaturan Intensitas Bangunan khususnya Koefisien Dasar Bangunan mampu mengendalikan pemanfaatan tanah di dalam suatu persil dalam kaitannya dengan penyediaan Ruang Terbuka Hijau. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan pertimbangan bagi Pemerintah DKI Jakarta dalam pengambilan kebijakan perencanaan tata ruang kota yang berwawasan lingkungan.
Untuk maksud tersebut, dilakukan penelitian pustaka dan penelitian lapangan di daerah studi sepanjang koridor JI. Thamrin - JI. Sudirman, batas utara dimulai dari Air Mancur sampai batas selatan Jembatan Semanggi dan di JI. Rasuna Said, batas utara dimulai dari Jembatan Latuharhary sampai batas selatan Simpang-4 J1. Gatot Subroto.
Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini ada 2 macam. Pertama adalah yang berkaitan dengan pengukuran secara langsung di lapangan dengan mempergunakan alat ukur tanah, yaitu untuk mendapatkan luas kawasan non-bangunan dan luas kawasan non-perkerasan dalam kawasan non-bangunan, yang selanjutnya disebut sebagai Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan. Data tiap persil tersebut, selanjutnya digitasi dan dianalisis melalui sistem Arc-Info untuk mendapatkan informasi mengenai berapa luas sesungguhnya daerah Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan dibandingkan dengan luas daerah non-perkerasan. Kedua, adalah melalui wawancara langsung dengan responder penelitian di lapangan dalam hal ini adalah perencanalarsitek bangunan pada persil-persil di sepanjang kawasan studi. Data Primer yang diperoleh melalui wawancara adalah : wawasan lingkungan hidup perencanalarsitek, persepsi perencanalarsitek terhadap perhitungan ekonomis lahan serta persepsi perencana/arsitek terhadap peraturan yang berkaitan dengan intensitas bangunan.
Berdasarkan hasil pembahasan terhadap permasalahan penelitian, maka dapat diarnbil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Ruang Terbuka Hijau dalam suatu kota mempunyai multi fungsi, yaitu : fungsi ekologi, estetis dan sosial budaya yang dapat dijabarkan sebagai daerah resapan, sebagai peredam cemaran udara sebagai pengendali iklim mikro dan sebagai unsur keindahan dan kenyamanan hidup kota.
Diharapkan Iuas Ruang Terbuka Hijau untuk DKI Jakarta dengan luas wilayah 65.000 Ha. adalah 30% dari luas kota, yaitu ± 19.500 ha. Luas Ruang Terbuka Hijau Umum pada tahun 1996 adalah seluas 12.900 ha, atau kurang lebih 20% dari luas kota. Dengan kemampuan pendanaan Pemerintah yang terbatas, maka penyediaan Ruang Terbuka Hijau kota tidak dapat digantungkan dari kemampuan pendanaan Pemerintah semata, namun perlu diupayakan peluang-peluang penciptaan Ruang Terbuka Hijau yang dapat memanfaatkan kemampuan dan peranserta masyarakat dan pihak swasta, antara lain Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan
Penelitian sepanjang koridor Thamrin-Sudirman dan Rasuna Said membuktikan bahwa komposisi Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan dalam daerah non-bangunan tidak mencapai 50% dari Ruang Terbuka yang tercipta. Peraturan Intensitas Bangunan, khususnya Koefisien Dasar Bangunan yang berlaku saat ini, hanyalah mengatur mengenai komposisi daerah yang boleh dibangun dan yang tidak boleh dibangun, sehingga yang di atuar hanyalah komposisi ruang terbuka dan bukannya ruang terbuka hijau.
Faktor-faktor utama yang menentukan keberadaan Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan, adalah : Wawasan Lingkungan Hidup pemilik persil dan perencana, perhitungan ekonomis lahan serta adanya peraturan spesifik yang mengatur komposisi Ruang Terbuka Hijau dalam persil bangunan.
Tanpa adanya pengaturan komposisi Ruang Terbuka Hijau secara eksplisit, maka pemilik persil dan atau perencana/arsitek tidak akan memberi "porsi" yang memadai bagi penyediaan Ruang Terbuka Hijau dalam persil bangunan. Untuk itu harus dicapai kesepakatan antara Pemda DKI Jakarta, pihak swasta, para pakar serta masyarakat untuk menentukan komposisi yang wajar, sehingga semua pihak yang berkepentingan tidak merasa dirugikan. Selanjutnya kesepakatan tersebut dapat dipergunakan untuk menyempurnakan peraturanperaturan yang ada.
Perlunya diadakan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan peluang-peluang baru untuk meningkatkan keberadaan RTH di kawasan perkotaan.

ABSTRACT
Evaluation Of The Ratio Of Green Open Space At Building Lots (Case Study of Thamrin - Sudirman and Rasuna Said Corridor Jakarta)A city constitutes of a unity of natural environment, socio - cultural environment and man - made environment where people live. One of its characteristics is the existence of a relatively small natural ecosystem, despite the fact that its quality affects its overall quality of the urban ecosystem. The existence of green open space as a natural ecosystem becomes highly important in terms of its ecological, social and aesthetical aspects. Green open space reduces carbonmonoxide, captures pollutants such as dust and gas, improves water absorption, provides an attractive and healthy visual shape for recreation purposes, becomes a habitat for all creatures and adds to living variety within an urban environment.
The Special Capital Territory of Jakarta (DKI Jakarta) owns a development dynamism characterized by speedy population increase. The number of population in DKI Jakarta in 1961 was 2.9 million only, but in 1995 it increased to 9 million and in 2005 it is estimated to reach 12 million. Such fast population increase along with its activities on a limited space (650 km2) will eventually put a pressure on the land use and deplete the natural resources and seriously burden its environment seriously. The rising number of population and activities has led to the increasing competition of land use for many different activities. The land use competition that has been prevailing so far has caused the space designated for Open Green Space to be used to meet the needs of development for other infrastructure, as Natural Environment is considered being economically un-beneficial.
There is a need to balance the ratio between man and land especially the building-area ratio and/or the floor-area ratio as a way to increase the green open space in urban area.
For the purpose of this survey, an open space is categorized into two types namely Public Green Open Space which is green open space owned by the public like city gardens constructed by the Government. Such green open space are pieces of land in which within the Zoning General Plan areas have the function as greenery. Second is green open space on private building lots, namely areas within building lots owned by an private allocated for greenery.
This survey is aimed at finding facts about composition of areas unbuilt within building lots, and more particular, those related to green open space within those building lots. It is also to know if the building intensity regulation is able to control its land utilization within a lot in its relation to the allocation of green open space. It is expected that this survey is able to provide some thoughts for the DKI Government in making decisions pertaining to environmentally-oriented urban zoning.
For such purpose, a library research and field survey have been conducted in the study area along JI. Thamrin - JI. Sudirman corridor (Its north border began from Air Mancur up to the south border of Semanggi Clover Leave Bridge) and Jl. Rasuna Said, (its north border began from the Latuharhary bridge up to the south border of Jl. Gatot Subroto intersection).
The primary data required in this survey comprise two types. First, those related to direct surveying in the field using surveying equipment to obtain the extent of the un-built area, and the un-compacted area within an un-built area which shall be further referred to as green open space on the building lots. The data of each lot was further digitized and analyzed using Arc - Info as to obtain information about the actual extent of such green open space on the building lots compared to the un-compacted area. Second, the data was also obtained through direct interviews with the survey respondents in the field, in this case planners/building architects of the lots along the study area. The primary data were obtained from the perception of the planners/ architects towards regulation linked to the building intensity.
Based on the results of the discussion on the survey issues, it could be concluded as follows:
Green Open Space within a city has a multi functions, namely: as water catchment area, as air pollutant absorption, as microclimate controller and as aesthetical element of the environment.
The ideal extent of Green Open Space for DKI Jakarta with total size of 65,000 ha is 30% of the city size namely around 19,500 ha. The green open space size in 1996 was 12,000 ha or equivalent to 20% of the city size. Under the government's restricted budget allocation, the allocated green open space cannot depend on the government fund availability solely, but there should be alternative ways for the creation of green open space through participation of the community and private sector, among others green open space existing on building lots.
The survey along the Thamrin-Sudirman corridor and Rasuna Said corridor has proved that the green open space composition at building lots within un-built areas does not even reach 50% of the open space. Regulations concerning Building Intensity, only regulates the composition between what may be built and may not be built. Thus, the regulations concern only with' the open space composition and not the green open space.
Main factors that determine Green Open Space on building lots are: Environmental Awareness of the lot owners and planners, land economic calculation and specific regulations regulating composition of Natural Environment on building lots.
In the absence of such explicit regulations concerning composition of Green Open Space, the lot owners/planners/architects will not give away their adequate share of the cake to be allocated for green open space on their building lots. Accordingly, an agreement must be reached as to determine the appropriate composition so that all related parties will not be harmed. Such agreement further can be used as to review the existing regulations.
The need for a further study to explore new ideas and new possibilities to increase the green open space in urban area.
Total of References : 43 (1970 - 1986)
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saunders, Ann
Oxford: Phaidon, 1984
R 914.21 SAU a
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Tanty Wulandari Putri
"Batavia merupakan wilayah yang memiliki sejarah panjang pada masa kolonial. Bangunan di Batavia memiliki perpaduan gaya akibat dari datangnya berbagai bangsa. Terciptalah akulturasi antara gaya kolonial dengan gaya tradisional Indonesia yang disebut Arsitektur Indis. Koningsplein merupakan pemukiman elit kolonial yang juga didiami oleh residen dan penjabat tinggi pemerintah di Weltevreden. Balai Kota yang merupakan tempat tinggal serta kantor Residen, memiliki perpaduan gaya antara Eropa dan tradisional yang diadaptasi dari perkembangan gaya abad 19 M. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Balai Kota Jakarta memiliki gaya Indische Empire dengan mengadaptasi gaya Neoklasik Romawi dari Eropa, vernakular Jawa dan Betawi dari Indonesia.

Batavia is a region with extended history about colonialism in Colonial Period. Built in Batavia had blended because of the arrival of various nations. Those was created an acculturation between colonial style with Indonesian traditional style called Indische Architecture. Koningsplein was a colonial elite settlement that inhabited by the resident and government high officials in Weltevreden. City Hall was the living place and Resident office, have a blended style between European and traditional that adapted from the development of 19th Century’s style. Therefore, it can be deduced that Jakarta City Hall had Indische Empire style adapted from European Roman Neoclassic style, Javanese and Batavia vernacular style from Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S46179
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fiska Hidayat
"Tesis ini bertujuan untuk menemukan alternatif selubung bangunan pada bangunan yang berada tepat di garis khatulistiwa. Hal ini dilakukan melalui beberapa eksperimen agar memenuhi nilai OTTV yang sesuai dengan SNI 6389:2020, yaitu Konservasi Energi Selubung Bangunan pada Bangunan Gedung. Bangunan yang diteliti pada penelitian ini adalah bangunan Perpustakaan Universitas Tanjungpura di Kota Pontianak, dengan orientasi bangunan menghadap arah timur laut. Perpustakaan Universitas Tanjungpura memiliki banyak bukaan tanpa pelindung pada sisi terpanjang bangunan, sehingga cahaya dan panas matahari langsung mengenai selubung bangunan. Dari hasil perhitungan nilai OTTV yang telah dilakukan, nilai OTTV bangunan Perpustakaan Universitas Tanjungpura tinggi yakni 63,48 Watt/m2, melebihi SNI 6389:2020 yaitu maksimum 35 W/m2.
Penelitian ini memberikan rekomendasi selubung bangunan pada bangunan Perpustakaan Universitas Tanjungpura yang tepat dan sesuai, agar dapat mengurangi nilai OTTV selubung bangunan. Tulisan ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang dilakukan dengan mengumpulkan data melalui observasi, studi literatur, dan studi dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada potensi untuk mengurangi nilai OTTV dengan eksperimen-eksperimen yang telah dilakukan pada bangunan Perpustakaan Universitas Tanjungpura.

This paper aims to find an alternative building envelope in the building located in territory passed by the equator. The alternatives are done through several experiments to meet the OTTV value according to SNI 6389:2020, namely Energy Conservation in Building Envelopes. The building studied in this study is the Library Building of Tanjungpura University in Pontianak City, with the orientation of the building facing the northeast. Tanjungpura University library has many unprotected openings on the longest side of the building, so the light and heat from the sun directly hit the building envelope. From the OTTV value calculation results that have been carried out, the OTTV value of the Tanjungpura University library building is high, that is 63,48 Watt/m2, exceeding SNI 6389:2020, which has a maximum value of 35 Watt/m2.
The study provides appropriate and suitable recommendations for the Tanjungpura University library building envelopes to reduce the OTTV value of the building envelopes. This paper used quantitative approaches by collecting data through observation, literature and document study. The results show a potential to reduce the OTTV value through experiments that have been carried out in the Tanjungpura University library building.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maisarah
"Pembangunan basement pada lahan dengan kondisi elevasi tanah tidak rata dan keterbatasan biaya konstruksi untuk meratakan elevasi tanah mengakibatkan pembangunan basement hanya dilakukan pada tanah dengan permukaan rata saja sehingga tidak semua bagian dari bangunan memiliki basement (basement sebagian). Basement sebagian ini menyebabkan perbedaan taraf penjepitan lateral pada bangunan sehingga perlu dianalisa efek torsi yang akan ditimbulkan dan dianalisa sejauh mana perbedaan taraf penjepitan lateral bangunan mempengaruhi respon dari struktur. Akibat keberadaan basement sebagian pada bangunan ini, maka pemodelan bangunan yang terjepit atau berpeletakan sendi pada penjepitan lateralnya kurang mewakili perilaku bangunan sebenarnya akibat pembebanan gempa. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemodelan bangunan dengan menggunakan elemen pegas pada penjepitan lateralnya sehingga basement juga memiliki peran dalam menerima beban gempa yang ada.
Dari penelitian ini didapatkan bahwa perbedaan taraf penjepitan lateral memperbesar torsi pada bangunan dan menyebabkan penurunan gaya geser tingkat pada lantai basement terbawah. Selain itu, pemodelan bangunan dengan peletakan pegas akan memperbesar periode getar dan menghasilkan rasio tulangan terkecil.

Basement construction on slope ground surface and the limitation of construction cost for flattening the ground surface causes the basement construction is only done on flat ground surface so that the building has partial basement. Partial basement causes the different restraint level of building so that the additional torsional effect of building and the influence to structural response must be analyzed. Because of the partial basement of building, the building model with fixed and pinned support does not represent the real behavior of building because of seismic load. Consequently, the spring support is used for the restraint of the building model in order to get involved basement in boring the seismic load as the real condition of basement.
From this study, the different Restraint Level increases building's torsion and decreases story shear of the lower basement story. Besides, the spring support of building increases the fundamental periode and has the smallest reinforcement ratio."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S43002
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>