Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135796 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Florentina Elana Puspita
"Dalam kehidupan, mahasiswa tidak luput dari kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan sehari-hari, seperti melewatkan jadwal kerja kelompok ataupun tenggat waktu pengumpulan tugas. Berbagai kesalahan kecil tersebut dikenal dengan istilah kegagalan kognitif yang jika dilakukan secara terus-menerus dapat berakibat negatif bagi individu. Bagi mahasiswa yang berada pada kondisi kognitif terbaik, meningkatnya kegagalan kognitif disebabkan dari tipe kepribadian yang mereka miliki. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besaran peran kepribadian neuroticism dan conscientiousness terhadap kegagalan kognitif pada mahasiswa sarjana di Indonesia. Partisipan penelitian adalah sebanyak 249 mahasiswa (83 laki-laki dan 166 perempuan) berusia 18–25 tahun (M=21, SD=1.4). Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan alat ukur Cognitive Failure Questionnaire dan IPIP-BFM 25. Berdasarkan analisis regresi berganda, ditemukan bahwa kepribadian neuroticism dan conscientiousness secara bersamaan berperan terhadap kegagalan kognitif individu (F(2,246)=45.495, p<0.001, R2=0.27). Neuroticism memiliki pengaruh yang lebih besar (=0.47, SE=0.257, p<0.001) dibandingkan conscientiousness (=-0.236, SE=0.326, p<0.001) terhadap kegagalan kognitif mahasiswa. Melalui penelitian ini, diharapkan individu dapat mengetahui ciri unik yang dimiliki pada kepribadian tertentu, khususnya pada trait kepribadian conscientiousness dan neuroticism. Sehingga, bagi individu yang memiliki conscientiousness yang tinggi dapat mempertahankan ketelitian dan disiplin yang tinggi, sedangkan bagi individu yang memiliki neuroticism yang tinggi dapat meminta bantuan kepada orang lain untuk mengingatkan untuk dapat mengontrol emosi negatif yang dirasakan sehingga tidak mempengaruhi atensi terhadap hal yang harus dikerjakan.

In everyday life, students make a lot of small mistakes, such as forgetting the group work schedule and also forgetting the task deadline, which is called cognitive failure. All the small mistakes have negative consequences if they happen continuously. For students who are in the best cognitive condition, cognitive failure increase because of the personality types that they have. The purpose of this study is to see the contribution of personality trait neuroticism and conscientiousness to cognitive failure in college students in Indonesia. The participants of this study are 249 students (83 males and 166 females) aged 18–25 years old (M=21, SD=1.4). This study is a quantitative study that used Cognitive Failure Questionnaire (CFQ) and IPIP-BFM 25. The result showed that neuroticism and conscientiousness simultaneously have a significant contribution to cognitive failure (F(2,246)=45.495, p<0.001, R2=0.27). However, neuroticism has a greater contribution (=0.47, SE=0.257, p<0.001) than conscientiousness (=-0.236, SE=0.326, p<0.001) to cognitive failure in college students. Based on this study, for students that have a high score of conscientiousness suggested to maintain the positive characteristics, such as attention to detail and self-discipline. However, students that have high score of neuroticism can ask for help from others to remind them of controlling the negative emotion that they feel so it doesn’t affect their attention to the task that has to be done."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Ramadhan Fitriani
"Abstrak Berbahasa Indonesia/Berbahasa Lain (Selain Bahasa Inggris):
Kegagalan kognitif merupakan suatu fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari pada manusia. Kegagalan kognitif merupakan istilah yang mengacu pada segala jenis lapse secara kognitif. Pada mahasiswa, contoh dari fenomena ini adalah salah melihat jadwal kelas, lupa mengumpulkan tugas, dan salah memasuki ruang kelas. Kegagalan kognitif dapat menyebabkan berbagai dampak negatif dalam kehidupan, seperti nilai dan performa akademik yang menurun. Pada mahasiswa, kegagalan kognitif seringkali terjadi karena individu kerap kali terpapar pada situasi yang stressful karena beban akademik dan tahap perkembangan yang dilalui. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran conscientiousness dan kemampuan metakognisi dalam memprediksi kegagalan kognitif pada mahasiswa program sarjana. Partisipan penelitian ini adalah 249 mahasiswa program sarjana berusia 18-25 tahun yang berkuliah di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa conscientiousness dan kemampuan metakognisi secara simultan memiliki kontribusi terhadap kegagalan kognitif sebesar 9,8% (F(2, 246) = 13,399, p < .001, R2 = .098). Ditemukan pula bahwa kemampuan metakognisi memiliki kontribusi yang negatif dan signifikan terhadap kegagalan kognitif (B = -.313, SE = .086, p < .001) dan conscientiousness tidak memiliki kontribusi yang signifikan terhadap kegagalan kognitif. Temuan ini dapat bermanfaat untuk memperkaya literatur terkait kegagalan kognitif, conscientiousness, dan kemampuan metakognisi. Melalui penelitian ini, diharapkan individu dapat meningkat awareness terkait kegagalan kognitif beserta penyebab dan hal yang dapat mengurangi, seperti kemampuan metakognisi, agar dampak buruk dari kegagalan kognitif dapat diminimalisir. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk membuat temuan penelitian yang lebih representatif.

Cognitive failure is a phenomenon that occurs in everyday life in humans. Cognitive failure is a term that related to all type of cognitive lapses. For students, examples of this phenomenon are looking at the class schedule incorrectly, forgetting to submit assignments, and entering the wrong classroom. Cognitive failure can cause various negative impacts in life, such as decline in academic grades and academic performance. In college students, cognitive failure often occurs because individuals are often exposed to stressful situations due to the academic load and developmental stages they go through. This study aims to look at the role of conscientiousness and metacognition ability in predicting cognitive failure in undergraduate students. The participants in this study were 249 undergraduate students aged 18-25 years studying in Indonesia. The results of this study indicate that conscientiousness and metacognition simultaneously have a significant contribution on cognitive failure by 9.8% (F(2, 246) = 13.399, p <.001, R2 = .098). It was also found that metacognitive ability had a negative and significant contribution on cognitive failure (B = -.313, SE = .086, p < .001) and conscientiousness did not have a significant contribution on cognitive failure. These findings can be useful to enrich the literature related to cognitive failure, conscientiousness, and metacognitive abilities. Through this research, it is hoped that individuals can increase awareness regarding cognitive failure and its causes and things that can reduce it, such as metacognition abilities, so that the negative effects of cognitive failure can be minimized. More research is needed to make the research findings more representative."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Tobing, Jocelyn Odelia
"Kegagalan kognitif adalah kegagalan individu dalam mengerjakan tugas yang biasanya secara sukses dapat dilakukan oleh individu. Kegagalan kognitif merupakan hal yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari mahasiswa, sebagai contoh melupakan suatu jadwal janji bertemu dengan teman dan dosen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat besaran peran kemampuan metakognisi dan neuroticism terhadap kegagalan kognitif pada mahasiswa program sarjana (S1). Penelitian ini merupakan penelitian noneksperimental dengan pendekatan kuantitatif. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cognitive Failures Questionnaire (CFQ), Metacognitive Skills Scale (MSS), dan IPIP-BFM-25. Penelitian ini dilakukan kepada 249 sampel mahasiswa program sarjana di Indonesia (83 laki-laki dan 166 perempuan) dengan rentang usia 18––25 tahun. Hasil penelitian dengan analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa kemampuan metakognisi dan neuroticism secara simultan dan signifikan berperan terhadap kegagalan kognitif pada mahasiswa program sarjana, (F(2, 246) = 41.778, p < 0.001, R² = 0.254). Neuroticism (β = 0.419, p < 0.001) memiliki peranan yang lebih besar dalam memprediksi terjadinya kegagalan kognitif dibandingkan dengan kemampuan metakognisi (β = -0.202, p < 0.001). Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam menanggulangi masalah kegagalan kognitif yang dialami oleh mahasiswa

Cognitive failure is an individual's failure to complete a task that normally executed successfully. Cognitive failure occurs in undergraduate students' daily lives, such as forgetting an appointment with supervisor or friend. The objective of this study is to look at the role of metacognitive skills and neuroticism towards cognitive failures among undergraduate students. This research is a non-experimental research with a quantitative approach. The measuring tools used in this study were the Cognitive Failures Questionnaire (CFQ), Metacognitive Skills Scale (MSS), and IPIP-BFM-25. This research was conducted on a sample of 249 undergraduate students in Indonesia (83 males and 166 females) with an age range of 18––25 years. The study was analyzed using multiple linear regression analysis and showed that metacognitive skills and neuroticism simultaneously and significantly contributed to cognitive failures in undergraduate students, (F(2, 246) = 41.778, p < 0.001, R² = 0.254). Neuroticism (β = 0.419, p < 0.001) has a greater role in predicting cognitive failures than metacognitive skills (β = -0.202, p < 0.001). This research is expected to contribute to overcoming the problem of cognitive failures experienced by undergraduate students."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Maharani Nugroho
"Saat ini, krisis iklim menjadi salah satu fenomena yang memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Hal ini dapat digambarkan sebagai eco-anxiety. Eco-anxiety adalah pengalaman akan kecemasan yang dirasakan terkait krisis iklim dan kerusakan lingkungan. Salah satu yang dapat memengaruhi eco-anxiety adalah kepribadian. Terdapat tiga kepribadian yang dapat memengaruhi eco-anxiety, yaitu neuroticism, openness, dan conscientiousness. Individu dengan tipe kepribadian neuroticism cenderung memiliki kecemasan akan lingkungan. Untuk individu dengan tipe kepribadian openness digambarkan memiliki rasa ingin tahu terhadap lingkungan, dan pada tipe kepribadian conscientiousness digambarkan sebagai individu yang berhati-hati, memiliki tujuan, dan mengikuti norma terkait lingkungan. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat peran ketiga kepribadian tersebut terhadap eco-anxiety dengan menggunakan metode kuantitatif dan desain korelasional dengan multiple analysis regression. Eco-anxiety diukur dengan menggunakan Hogg Eco-Anxiety Scale (HEAS- 13) (Hogg et al., 2021) dan kepribadian diukur dengan menggunakan Ten Item Personality Inventory (TIPI Indonesia) (Akhtar, 2018). Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 552 dengan rentang usia 19-65 tahun. Hasil penelitian menunjukkan terdapat peran pada ketiga tipe kepribadian neuroticism, openness, dan conscientiousness terhadap eco-anxiety dengan F = 2.93, p = 0.033 < 0.05, R2 = 0.016. Dalam hal ini ditemukan jika neuroticism (B= -0.545, t = -2.686, p = 0.007) dan conscientiousness (B = 0.520, t = 2.076, p = 0.038) memiliki hubungan yang signifikan, sedangkan openness tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap eco-anxiety. Temuan ini dapat digunakan untuk melihat kebutuhan pasar pada perusahaan industri, aktivis lingkungan, dan psikolog agar dapat mengurangi eco-anxiety yang disesuaikan dengan kepribadian individu.

Currently, the climate crisis is a phenomenon that has a major impact on human life. This can be described as eco-anxiety. Eco-anxiety is the experience of anxiety related to the climate crisis and environmental damage. One thing that can affect eco-anxiety is personality. There are three personalities that can affect eco-anxiety, such as neuroticism, openness, and conscientiousness. Individuals with neuroticism tends to have environmental anxiety. Individuals with openness are described as having a curiosity about the environment, and the conscientiousness personality type is described as an individual who is careful, has goals, and follows environmental norms. Therefore, this study aims to examine the role of these three personalities on eco-anxiety by using quantitative method and correlational multiple analysis regression. Eco-anxiety was measured using the Hogg Eco-Anxiety Scale (HEAS-13) (Hogg et al., 2021) and personality was measured using the Ten Item Personality Inventory (TIPI Indonesia) (Akhtar, 2018). The number of participants in this study was 552 with an age range of 19-65 years. The results showed that there was an role on the three personality types of neuroticism, openness, and conscientiousness on eco-anxiety with F = 2.93, p = 0.033 < 0.05, R2 = 0.016. In this case, it was found that neuroticism (B= -0.545, t = -2.686, p = 0.007) and conscientiousness (B = 0.520, t = 2.076, p = 0.038) had a significant relationship, while openness had no significant relationship to eco -anxiety. These findings can be used to see the market needs of industrial companies, environmental activists, and psychologists in order to reduce eco-anxiety that is tailored to individual personalities."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Riris Yulistia Hani
"Individu yang pernah mengalami childhood adversity cenderung kehilangan kesempatan dalam mempelajari kemampuan regulasi emosi kognitif yang adaptif dari orang tua di lingkungan keluarga. Situasi yang tidak menguntungkan ini menciptakan kerentanan individu terhadap gejala psikopatologi dan banyak dampak negatif menuju masa dewasa. Dengan demikian, sangat mendesak bagi individu yang berada di tahap emerging adulthood untuk menemukan cara alternatif yang dapat membantu mereka meningkatkan kemampuan regulasi emosi kognitif yang adaptif, termasuk dengan terlibat dalam fandom. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki apakah fungsi fandom (purpose in life, escaping life stress, social connection) dapat memprediksi kemampuan regulasi emosi kognitif yang adaptif pada emerging adult dengan riwayat childhood adversity. Penelitian ini memperoleh sebanyak 417 partisipan dengan karakteristik: (1) berada pada tahap emerging adulthood (18-25 tahun); (2) tergabung dalam fandom media (musik, film, buku, animasi, game dan youtube), dan; (3) memiliki riwayat childhood adversity setidaknya pada satu dimensi (physical neglect, emotional abuse, emotional neglect, physical abuse, sexual abuse). Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner online dan dianalisis dengan teknik analisis regresi berganda menggunakan perangkat IBM SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi fandom purpose in life dan social connection secara signifikan memprediksi regulasi emosi kognitif adaptif, sedangkan fungsi fandom escaping life stress tidak secara signifikan memprediksi regulasi emosi kognitif adaptif. Dapat disimpulkan bahwa manfaat purpose in life dan social connection yang fandom berikan dapat memfasilitasi individu dengan riwayat childhood adversity untuk mengenal dan belajar mengenai strategi regulasi emosi kognitif yang adaptif, tetapi tidak ketika individu mendapat manfaat escaping life stress.

Individuals who experienced childhood adversity mostly lost their chances to learn about adaptive cognitive emotion regulation strategies from their parents in a family environment. This unfortunate situation created the individual vulnerabilities to psychopathology symptoms and many negative impacts toward adulthood. So, it was urgent for emerging adult to find an alternative factor which enabled them to boost their adaptive cognitive emotion regulation strategy, such as through their involvement in fandom. This research examined whether fandom functions (purpose in life, escaping life stress, social connection) could significantly predict adaptive cognitive emotion regulation on an emerging adult who experienced childhood adversity. There were 417 participants involved in this research with characteristic; (1) emerging adult (18 – 25 years old); (2) involved in media fandom (music, film, book, animation, game, and youtube), and; (3) have a history of childhood adversity in at least one dimension (physical neglect, emotional abuse, emotional neglect, physical abuse, sexual abuse) with moderate-severe level. Data was collected through an online questionnaire and analyzed with the Multiple Regression Analysis technique using IBM SPSS software. The results showed that the function of the fandom purpose in life and social connection significantly predicted adaptive cognitive emotion regulation. However, the function of the fandom escaping life stress failed to predict adaptive cognitive emotion regulation significantly. It can be concluded that the benefits of purpose in life and social connection that fandom provide could facilitate individuals with a history of childhood adversity to recognize and learn about adaptive cognitive emotional regulation strategies, but not when individuals benefit from escaping life stress."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Flavell, John H.
New Jersey: Prentice-Hall, 1993
155.413 FLA c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Best, John B.
New York: West Publishing, 1989
153.4 BAS c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Parkin, Alan J.
Philadelpia : Psychology , 2000
150 PAR e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Eysenck, Michael W.
New York: Psychology Press, 2005
153.4 EYS c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hunt, R. Reed
New York: McGraw-Hill, 2004
153 HUN f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>