Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 106146 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Naldo Sofian
"Peningkatan kasus diabetes melitus tipe 2 (DMT2) dengan berbagai komplikasinya memberikan dampak gangguan fungsional seseorang dalam bentuk gangguan kognitif dan kapasitas fisik. Keduanya masih reversibel dan baru diketahui berhubungan sehingga disebut sebagai PhysioCognitive Decline Syndrome (PCDS). Kondisi PCDS baru dipelajari pada lansia dan belum spesifik pada penyandang DMT2.
Tujuan
Mengetahui korelasi antara kendali glikemik dengan komponen physiocognitive decline syndrome pada penyandang DMT2 dewasa usia pertengahan.
Metode Studi potong lintang menggunakan consecutive sampling dari pasien di poliklinik metabolik endokrin dan poli jantung terpadu sejak Januari 2021 – November 2022. Subjek DMT2 berusia 40 – 59 tahun diinklusi. Pemeriksaan kekuatan genggam tangan, dan kecepatan berjalan 6-meter diperiksakan di ruangan standar. MoCA-Ina dilakukan oleh dokter yang telah dilatih. Data HbA1c subjek yang diperiksa adalah HbA1c 3 bulan terakhir. Analisis korelasi Pearson’s atau Spearman’s pada SPSS 20.0 dilakukan sesuai sebaran data.
Hasil Sebanyak 133 subjek telah dianalisis. Usia median mencapai 53 tahun dengan proporsi laki-laki dan perempuan serta komplikasi pada masing-masing kateori kendali glikemik (batas HbA1c 7,0%) serupa. Subjek didominasi dengan pendidikan SMA dan Sarjana/Diploma. Median durasi terdiagnosisnya diabetes melitus mencapai 7 tahun dengan HbA1c median 7.6%. Nilai MoCA-Ina pada subjek mencapai nilai median 24 dengan kecepatan berjalan rerata 1.02 + 0.23 m/detik dan median kekuatan genggam tangan 24 kg. Terdapat korelasi bermakna hanya pada HbA1c dengan kekutan genggam tangan (r = -0.24, R2 = 0.06, p value <0.01), terutama pada perempuan
Kesimpulan
Terdapat korelasi bermakna antara kendali glikemik dan kekuatan genggam tangan.

Increasing cases of type 2 diabetes melitus (T2DM) including its complication have caused functional dysfunction consisted of cognitive decline and physical incapacity. Both cognitive decline and physical incapacity had been just known to be reversible and related to each other, so it is termed as PhysioCognitive Decline Syndrome (PCDS). However, it had been just evaluated in geriatric and not specific to T2DM patient.
To investigate the correlation between glycaemic correlation and component of physiocognitive decline syndrome in middle-aged adult with T2DM.
A cross sectional study with consecutive sampling in our metabolic and endocrine clinic and integrated heart centre in January 2021 – November 2022 had been conducted. Inclusion criteria was 40 – 59 years old subjects with T2DM. Measurement of HbA1c in the last 3 month were analysed, while hand grip strength and gait speed were done in standard room. MoCA-Ina had been conducted by trained doctor. Correlation analysis using Pearson’s or Spearman’s in SPSS 20.0 was done according to data distribution.
133 subjects were analysed. Median age was 53 years old with both sex and complication within each glycaemic control category (HbA1c 7,0% cut off) were similar. Subjects were dominated by high school and undergraduate/diploma education level. Most subjects were diagnosed in up to 7 years of T2DM. Median of HbA1c levels in our study was 7.6%. MoCA-Ina score was 24 in median with mean of gait speed was 1.02 + 0.23 m/s. Our median for hand grip was 24 kg. Significant correlation was only found in relationship of HbA1c and hand grip strength (r = -0.24, R2 = 0.06, p value <0.01).
There was significant correlation between glycaemic control and hand grip strength.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naldo Sofian
"Latar Belakang
Peningkatan kasus diabetes melitus tipe 2 (DMT2) dengan berbagai komplikasinya memberikan dampak gangguan fungsional seseorang dalam bentuk gangguan kognitif dan kapasitas fisik. Keduanya masih reversibel dan baru diketahui berhubungan sehingga disebut sebagai PhysioCognitive Decline Syndrome (PCDS). Kondisi PCDS baru dipelajari pada lansia dan belum spesifik pada penyandang DMT2.
Tujuan
Mengetahui korelasi antara kendali glikemik dengan komponen physiocognitive decline syndrome pada penyandang DMT2 dewasa usia pertengahan.
Metode
Studi potong lintang menggunakan consecutive sampling dari pasien di poliklinik metabolik endokrin dan poli jantung terpadu sejak Januari 202-November 2022. Subjek DMT2 berusia 40-59 tahun diinklusi. Pemeriksaan kekuatan genggam tangan, dan kecepatan berjalan 6-meter diperiksakan di ruangan standar. MoCA-Ina dilakukan oleh dokter yang telah dilatih. Data HbA1c subjek yang diperiksa adalah HbA1c 3 bulan terakhir. Analisis korelasi Pearson’s atau Spearman’s pada SPSS 20.0 dilakukan sesuai sebaran data.
Hasil
Sebanyak 133 subjek telah dianalisis. Usia median mencapai 53 tahun dengan proporsi laki-laki dan perempuan serta komplikasi pada masing-masing kateori kendali glikemik (batas HbA1c 7,0%) serupa. Subjek didominasi dengan pendidikan SMA dan Sarjana/Diploma. Median durasi terdiagnosisnya diabetes melitus mencapai 7 tahun dengan HbA1c median 7.6%. Nilai MoCA-Ina pada subjek mencapai nilai median 24 dengan kecepatan berjalan rerata 1.02 + 0.23 m/detik dan median kekuatan genggam tangan 24 kg. Terdapat korelasi bermakna hanya pada HbA1c dengan kekutan genggam tangan (r = -0.24, R2 = 0.06, p value <0.01), terutama pada perempuan
Kesimpulan
Terdapat korelasi bermakna antara kendali glikemik dan kekuatan genggam tangan.

Background
Increasing cases of type 2 diabetes melitus (T2DM) including its complication have caused functional dysfunction consisted of cognitive decline and physical incapacity. Both cognitive decline and physical incapacity had been just known to be reversible and related to each other, so it is termed as PhysioCognitive Decline Syndrome (PCDS). However, it had been just evaluated in geriatric and not specific to T2DM patient.
Aim
To investigate the correlation between glycaemic correlation and component of physiocognitive decline syndrome in middle-aged adult with T2DM.
Methods
A cross sectional study with consecutive sampling in our metabolic and endocrine clinic and integrated heart centre in January 2021-November 2022 had been conducted. Inclusion criteria was 40-59 years old subjects with T2DM. Measurement of HbA1c in the last 3 month were analysed, while hand grip strength and gait speed were done in standard room. MoCA-Ina had been conducted by trained doctor. Correlation analysis using Pearson’s or Spearman’s in SPSS 20.0 was done according to data distribution.
Result
133 subjects were analysed. Median age was 53 years old with both sex and complication within each glycaemic control category (HbA1c 7,0% cut off) were similar. Subjects were dominated by high school and undergraduate/diploma education level. Most subjects were diagnosed in up to 7 years of T2DM. Median of HbA1c levels in our study was 7.6%. MoCA-Ina score was 24 in median with mean of gait speed was 1.02 + 0.23 m/s. Our median for hand grip was 24 kg. Significant correlation was only found in relationship of HbA1c and hand grip strength (r = -0.24, R2 = 0.06, p value <0.01).
Conclusion
There was significant correlation between glycaemic control and hand grip strength.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Brian Muttaqien
"Latar Belakang: Chronic limb threatening ischemia (CLTI) merupakan tahap akhir dari penyakit arteri perifer (PAP) yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Penyakit arteri perifer dapat menjadi penanda aterotrombosis pada sistem vaskular lainnya. Peran mikrobiota usus dalam penyakit vaskular telah menjadi perhatian dalam penelitian terbaru. Perubahan komposisi mikrobiota usus dapat terjadi pada berbagai penyakit termasuk DM dan penyakit kardiovaskular. Short chain fatty acid (SCFA) adalah produk fermentasi mikrobiota usus dan dapat mempengaruhi kesehatan usus dan peradangan. SCFA dapat menghambat pembentukan foam cells dan mengurangi produksi sitokin pro-inflamasi oleh endotel. Deposit kalsium pada arteri adalah karakteristik dari proses aterosklerosis dan dapat dinilai menggunakan CT angiography. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi hubungan antara kadar SCFA dalam feses dengan tingkat kalsifikasi arteri pada pasien CLTI dengan DM.
Metode: Penelitian desain potong lintang pada 30 subjek CLTI dengan DM tipe 2 yang dirawat di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Pengukuran kadar SCFA dengan sampel feses. Analisis statistik menggunakan SPSS versi 25, nilai p<0.05 menunjukkan kemaknaan secara statistik.
Hasil: Sebanyak 30 subjek penelitian CLTI dengan DM, didapatkan 17 subjek dengan diagnosis CLTI ekstremitas inferior sinistra dan 13 subjek dengan diagnosis CLTI ekstremitas inferior dekstra memiliki nilai kalsifikasi terberat pada regio right femoropopliteal dengan skor 449,46 ± 289,92 diikuti regio left femoropopliteal dengan skor 425 (0-6759). Didapatkan korelasi positif sedang antara persentase propionat dan skor LLAC regio left below knee (r=0,521; p= 0,032). Didapatkan korelasi positif lemah antara kadar HDL dengan aortoiliac score (r=0,371; p=0,043). Terdapat korelasi positif sedang pada kadar LDL dengan LLAC regio left below knee (r=0,535; p=0,027) serta korelasi positif kuat antara nilai kolestrol total dengan LLAC regio left below knee (r=0,671; p=0,003).
Kesimpulan: Ekskresi SCFA pada feses yang tinggi dapat mencerminkan nilai LLAC yang tinggi terutama regio femoropopliteal pada subjek CLTI dengan diabetes melitus.

Background: Chronic limb threatening ischemia (CLTI) is the end stage of peripheral artery disease (PAD) and is associated with high morbidity and mortality. Peripheral artery disease can serve as a marker of atherothrombosis in other vascular systems. The role of gut microbiota in vascular diseases has gained attention in recent research. Changes in gut microbiota composition have been observed in various diseases, including type 2 diabetes mellitus (DM) and cardiovascular diseases. Short chain fatty acids (SCFA), which are products of gut microbiota fermentation, can influence gut health and inflammation. SCFA can inhibit foam cell formation and reduce the production of pro-inflammatory cytokines by endothelial cells. Arterial calcification, assessed using CT angiography, is a characteristic feature of atherosclerosis. The aim of this study was to evaluate the relationship between fecal SCFA levels and arterial calcification in CLTI patients with DM.
Methods: A cross-sectional study was conducted on 30 CLTI subjects with type 2 DM who were treated at RSUPN Cipto Mangunkusumo. SCFA levels were measured using fecal samples. Statistical analysis was performed using SPSS version 25, with a significance level of p<0.05.
Results: the 30 CLTI subjects with DM, 17 had CLTI in the left lower extremity and 13 had CLTI in the right lower extremity. The highest calcification score was found in the right femoropopliteal region with a score of 449.46 ± 289.92, followed by the left femoropopliteal region with a score of 425 (0-6759). A moderate positive correlation was found between the percentage of propionate and the LLAC score in the left below knee region (r=0.521; p=0.032). A weak positive correlation was observed between HDL levels and the aortoiliac score (r=0.371; p=0.043). There was a moderate positive correlation between LDL levels and the LLAC score in the left below knee region (r=0.535; p=0.027), as well as a strong positive correlation between total cholesterol levels and the LLAC score in the left below knee region (r=0.671; p=0.003).
Conclusion: High fecal SCFA excretion may reflect high LLAC scores, particularly in the femoropopliteal region, in CLTI subjects with diabetes mellitus.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
E.M. Yunir
Jakarta: UI Publishing, 2024
616.462 EMY t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kartini
"Diabetes mellitus merupakan penyakit kronik pada system endokrin yang paling banyak dijumpai dipelayanan kesehatan. Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dapat menggunakan berbagai metode pendekatan, salah satunya dengan model pendekatan Self Care Orem yang menggunakan pendekatan untuk memandirikan pasien diabetes melalui manajemen diabetes secara mandiri.Residensi keperawatan medikal bedah peminatan keperawatan endokrin bertujuan melakukan analisis terhadap penerapan model pendekatan Self Care Orem dalam melakukan kegiatan pemberian asuhan keperawatan. Selain itu juga dilakukan penerapan praktek berbasis bukti dengan pengkajian 3 menit kaki diabetesdi poliklinik penyakit dalam diharapkan dapat menjadi skrining terhadap pencegahan terjadinya ulkus diabetik. Selain penerapan Evidence Based Nursing Practice juga dilakukan penerapan inovasi promosi kesehatan dengan tujuan untuk memandirikan pasien dalam melakukan perawatan diri sehari-hari dalam mencegah terjadinya komplikasi diabeti yang dilakukan dipoliklinik penyakit dalam RS. Ciptomangunkusumo, Jakarta. Diharapkan dengan penerapan asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan Self Care Orem, serta penerapan pengkajian 3 menit kaki diabetik dan promosi kesehatan dapat menjadi acuan dalam penerapan asuhan keperawatan yang komprehensif dan terintegrasi, sehingga pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kulaitas asuhan keperawatan.

Diabetes mellitus is a chronic disease in the endocrine system of the most prevalent in health care system. Nurses in providing nursing care can use various methods for approach , one of them with models of Orem Self Care approach.
That uses approach for diabetic patients through independent diabetes management. Nursing specialist of Medical-Surgical practice for endocrine conduct an analysis of the application models of Orem Self Care approach in the provision of nursing care activities. It also made the application of evidencebased practice with an assessment of the diabetic foot in 3 minutes in outpatient
with diabetic, with the aims to be screened foot problems for prevention of diabetic ulcers.
In addition to the application of evidence -based nursing practice is also carried
out the implementation of inovation prgramme health promotion. The purpose of
this programme is promote patient ability to be independent for perform daily
self-care and prevention from diabetic complication in Cipto Mangunkusumo
Hospital at Jakarta. The cxpectation of implementation of nursing care by using Orem Self Care Approach, 3 minutes diabetic foot assessment and health promotion can be a reference in the implementation of nursing care is comprehensive and integrated , which in turn is expected to improve the quality of nursing care .
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fazar Az Zahara Wany
"Diabetes melitus merupakan faktor risiko berkembangnya disfungsi seksualitas pada wanita yang dapat mempengaruhi hasrat seksual, lubrikasi, dispareunia, dan menurunnya kemampuan mencapai orgasme. Masalah disfungsi seksualitas pada pasien diabetes melitus masih merupakan hal yang tabu untuk dibahas secara terbuka karena sulitnya pasien untuk mengungkapkan masalah seksualitasnya kepada petugas kesehatan. Tujuan penelitian adalah untuk mengeksplorasi pengalaman disfungsi seksualitas pasien wanita dengan diabetes melitus. Metode penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan pendekatan studi fenomenologi. Partisipan wanita sejumlah 6 orang dengan kriteria inklusi berusia 18-45 tahun, wanita diabetes melitus tipe 2 dengan disfungsi seksual, memiliki pasangan pernikahan yang masih hidup, yang diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam dan menggunakan catatan lapangan field note. Setiap partisipan diberikan kuesioner FSFI female sexual function index untuk menentukan status disfungsi seksualnya. Data dianalisa dengan metode konten analisis kualitatif. Tujuh tema yang ditemukan: 1 ketidaknyamanan fisik saat melakukan aktifitas seksual; 2 adanya penurunan hasrat seksual pada isteri usia lebih dari 30 tahun; 3 ketidakpuasan aktifitas seksual yang dilakukan; 4 keterpaksaan dalam mendiskusikan masalah seksual pada petugas kesehatan; 5 kurangnya informasi tentang aktifitas seksual; 6 ketidakberdayaan menjalani pengobatan masalah seksual; dan 7 penurunan peran seksual sebagai istri. Dapat disimpulkan bahwa disfungsi seksual pada wanita diabetes melitus tipe 2 ada dan mengganggu baik secara fisik maupun psikologis. Namun, masih terdapat keengganan bagi wanita untuk dapat mendiskusikan masalahnya secara terbuka. Oleh sebab itu, disarankan bagi perawat untuk memulai komunikasi secara terbuka mengani masalah seksualitas wanita dengan diabetes melitus tipe 2.

Diabetes mellitus is a risk factor for developing female sexual dysfunction which affected sexual desire, lubrication, dispareunia sexual pain, and orgasm decreased. Sexual dysfunction problem in type 2 diabetic patients is still a taboo subject to be discussed because that was hard to be revealed to their healthcare personnel. The aim of the study was to explore sexual dysfunction experience of type 2 diabetes mellitus woman. A qualitative with a phenomenology design was used. This study was involved six women with type 2 diabetes mellitus who met the inclusion criterion ages 18 45 years, married, gathered using a purposive sampling method. Data were collected using an in depth interview and field notes. Each participant was screened using a FSFI quessionaire to determine sexual dysfunction status. Data were analyzed using qualitative content analysis. Seven themes emerged 1 physical discomfort while having sexual activities 2 presence of sexual desire decreased in spouse with ages more than 30 years old 3 dissatisfaction with sexual activity 4 hesitance feeling while discussing sexual problem with healthcare providers 5 lack of information about sexual activity 6 feeling powerlessness while undergone sexual problem treatment 7 decreased in sexual roles as a wife. In conclude that the sexual dysfunction among women with type 2 diabetes mellitus is existing and disturbing physically and psychology. But there has been hesitated of women to openly disccussed the problem. It is suggested for nurses to initiate open communication about sexual problem among women with type 2 diabetes mellitus.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
T47659
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mustika Dian Permana
"Latar Belakang. Hanya sepertiga pasien DM tipe 2 yang mencapai target HbA1c yang diharapkan. Beberapa studi menunjukkan bahwa health coaching terbukti mampu menurunkan kadar HbA1c secara bermakna, namun belum banyak diketahui pengaruh health coaching dalam jangka panjang setelah coaching dihentikan.
Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh edukasi dan health coaching dalam perbaikan kendali glikemik jangka panjang pada pasien DM tipe 2 rawat jalan di pusat kesehatan nasional tersier.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian observasional lanjutan dari 6 bulan RCT yang dilaksanakan di dua pusat kesehatan nasional tersier untuk membandingkan kombinasi edukasi dan health coaching dengan edukasi saja
pada pasien DM tipe 2 dengan diabetes yang tidak terkontrol. Subjek penelitian diikuti pada bulan ke-6 dan ke-18 dari RCT awal. Keluaran primer adalah beda rerata HbA1c antar kedua kelompok, dan keluaran sekunder adalah beda proporsi subjek yang mengalami penurunan HbA1c ≥1% dari baseline dan beda proporsi subjek yang mencapai target HbA1c <7%. Analisis data menggunakan uji-T independen dan uji Chi-square.
Hasil. Penelitian ini berhasil mengumpulkan 42 dari 60 subjek (70%) yang mengikuti penelitian hingga bulan ke-18. Tidak ada perbedaan yang bermakna rerata HbA1c antara kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol (8,70
[±2,00] vs 9,02 [±1,71], p=0,334); dengan rerata HbA1c yang meningkat secara bermakna jika dibandingkan dengan rerata HbA1c bulan ke-6 (8,70 [±2,00] vs 7,83 [±1,80], p=0,016). Keluaran sekunder didapatkan perbedaan yang bermakna
proporsi subjek yang mengalami penurunan kadar HbA1c ≥1% antara kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol (41,4% [n=12] vs 10,3% [n=3], p=0,015); serta tidak ada perbedaan yang bermakna proporsi subjek yang mencapai target HbA1c <7% (13,8% [n=4] vs 6,9% [n=2], p=0,670).
Kesimpulan. Health coaching tidak mampu mempertahankan perbaikan kendali glikemik pada pasien DM tipe 2 untuk jangka panjang jika coaching dihentikan, diperlukan pemberian coaching ulang agar perbaikan kendali glikemik dapat menetap.

Background. Only one-third of type 2 DM patients achieved the expected HbA1c
target. Several studies have shown that health coaching has been shown to be able
to significantly reduce HbA1c levels, but it is not widely known the effects of
long-term health coaching after coaching is stopped.
Aim. This study was to determine the effect of education and health coaching in
improving long-term glycemic control in outpatients with type 2 diabetes at a
tertiary national health center.
Method. This study is a follow-up observational study of 6 months RCT
conducted in two tertiary national health centers to compare the combination of
education and health coaching with education alone in type 2 diabetes mellitus
patients with uncontrolled diabetes. Study subjects were followed at 6 and 18
months of baseline RCT. The primary outcome was the difference in the mean
HbA1c between the two groups, and the secondary outcome was the difference in
the proportion of subjects who experienced a decrease in HbA1c ≥1% from
baseline and the difference in the proportion of subjects who achieved the HbA1c
target <7%. Data analysis used independent T-test and Chi-square test.
Result. This study managed to collect 42 out of 60 subjects (70%) who attended
the study until the 18th month. There was no significant difference in the mean
HbA1c between the intervention group and the control group (8.70 [± 2.00] vs
9.02 [± 1.71], p = 0.334); with the mean HbA1c which increased significantly
when compared with the mean HbA1c at 6 months (8.70 [± 2.00] vs 7.83 [± 1.80],
p = 0.016). Secondary outcomes showed a significant difference in the proportion
of subjects who experienced a decrease in HbA1c levels ≥1% between the
intervention group and the control group (41.4% [n = 12] vs 10.3% [n = 3], p =
0.015); and there was no significant difference in the proportion of subjects who achieved the HbA1c target <7% (13.8% [n = 4] vs 6.9% [n = 2], p = 0.670).
Conclusion. Health coaching is unable to maintain improved glycemic control in type 2 DM patients for the long term when coaching is stopped, re-coaching is needed so that improved glycemic control can persist.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Iin Indra Pertiwi
"Latar Belakang. Jumlah penyandang diabetes melitus terus meningkat sementara kendali glikemik masih sulit tercapai. Edukasi perlu berkelanjutan untuk mencapai kendali glikemik yang baik, sayangnya terdapat kendala waktu yang terbatas. Aplikasi telepon seluler merupakan sarana pemberian edukasi berkelanjutan dan berperan pada kendali glikemik tetapi manfaatnya di Indonesia belum diketahui. Tujuan. Mengetahui manfaat edukasi berbasis aplikasi telepon seluler dalam pengendalian glikemik penyandang DM tipe 2 dengan terapi insulin dosis multipel harian. Metode. Desain uji acak tersamar. Total 29 subjek pada kelompok intervensi (aplikasi DM educorner + edukasi standar) dan 31 subjek pada kelompok edukasi standar yang memenuhi kriteria inklusi yaitu DM tipe 2 berusia 30-60 tahun dengan insulin dosis multipel harian, memiliki A1C ≥ 7%, dan dapat menggunakan telepon pintar. Dilakukan pemeriksaan A1C saat awal dan setelah intervensi 3 bulan. Uji Wilcoxon digunakan untuk menganalisis perbedaan perubahan A1C setelah intervensi di kelompok edukasi dan aplikasi. Perbedaan perubahan A1C antar kelompok dianalisis dengan uji Mann Whitney. Perbedaan proporsi penurunan A1C ≥ 1% menggunakan uji kai kuadrat. Hasil. Perubahan A1C signifikan pada kelompok intervensi (edukasi + aplikasi) pasca 3 bulan evaluasi yaitu dari 9,5 (7,8-13)% menjadi 8,3 (5,8-10,5)%, p < 0,001. Tidak terdapat perbedaan perubahan signifikan A1C antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol, p = 0,103. Proporsi penurunan A1C ≥ 1% tidak berbeda bermakna antar kelompok, p = 0,427. Kesimpulan. Terdapat perbedaan nilai A1C penyandang DM tipe 2 dengan terapi insulin dosis multipel harian sebelum dan setelah pemberian edukasi dan aplikasi. Tidak terdapat perbedaan penurunan A1C maupun proporsi penurunan A1C ≥ 1% penyandang DM tipe 2 dengan terapi insulin dosis multipel harian antara kelompok yang mendapatkan edukasi secara tatap muka dan aplikasi dengan kelompok yang hanya mendapatkan edukasi secara tatap muka.

Background. The number of people with diabetes mellitus increases while glycemic control is still difficult to achieve. Education needs to be given continuously to achieve good glycemic control, unfortunately there are time limited. The mobile phone application provides continuous education and plays a role in glycemic control but its benefits in Indonesia are still unknown. Objective. To know the benefit of mobile phone application-based education on glycemic control for people with type 2 diabetes on multiple daily dose insulin Methods. Randomized controlled trial. 29 subjects on the intervention group (education + smartphone application) and 31 subjects on the control group (education) who fulfill the inclusion criterias: type 2 diabetes, age 30-60 years old, using multiple daily dose insulin, A1C ≥ 7%, and operating smartphone. A1C was measured at the beginning and 3 months after intervention. Wilcoxon test was performed to analyze the difference of A1C before and after 3 months after intervention. Mann Whitney test was performed to analyze the difference change of A1C between groups. Chi square was performed to analyze the difference of proportion A1C ≥ 1% decrease between groups. Results. A1C change significantly in the intervention group after 3 months evaluation from 9,5 (7,8-13)% to 8,3 (5,8-10,5)%, p < 0,001. A1C change between groups is no difference, p = 0,103. There is no differemce of proportion A1C ≥ 1% decrease between groups, p = 0,427. Conclusion. There was a difference in A1C value of people with type 2 diabetes with multiple daily dose insulin therapy before and after the provision of education and application. There is no difference in A1C reduction and the proportion of A1C reduction ≥ 1% of people with type 2 diabetes mellitus with multiple daily dose insulin therapy between intervention (education + application) group and control (education only) group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Irene Hendrata
"Latar Belakang: Prevalensi Diabetes Melitus (DM) tipe 2 cenderung meningkat di seluruh dunia dan keteraturan pengobatan masih menjadi masalah hingga saat ini. Penelitian terdahulu menemukan bahwa terdapat hubungan antara temperamen dengan kontrol glukosa namun belum banyak penelitian yang membahas hal ini. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara temperamen dengan terkontrol atau tidak terkontrolnya DM tipe 2.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian analitik potong lintang. Pengambilan sampel dilakukan dengan consecutive sampling pada 110 penyandang DM tipe 2 di Poliklinik Metabolik Endokrin RSCM selama bulan Agustus-Desember 2015. Responden dikelompokkan menjadi penyandang DM terkontrol atau DM tidak terkontrol berdasarkan hasil laboratorium HbA1c terakhir. Responden mengisi kuesioner Modified-Temperament and Character Inventory versi bahasa Indonesia.
Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa skor temperamen harm avoidance, novelty seeking, dan reward dependence tidak berhubungan bermakna dengan terkontrol atau tidak terkontrolnya DM tipe 2.
Simpulan: Tidak ada hubungan bermakna antara temperamen dengan pengendalian kadar HbA1c pada penyandang DM tipe 2.

Background: Prevalence on type 2 Diabetes Mellitus (DM) tend to increase across the world and regulating treatment still being one of the matters to be discussed until recently. Previous research had found that there are correlations between temperament with glucose control but with limited study on that area. This research aim to qualify the relationship between temperament to controllable or uncontrollable type 2 DM.
Method: This research is a cross sectional sampling method. Sampling conducted with consecutive sampling on 110 respondents with type 2 DM in RSCM Metabolism Endocrine Polyclinic, sampling was done between August to December 2015. Respondents are grouped to two different groups which is controllable DM and uncontrollable DM based on last HbA1c laboratory results. Respondents were requested to fill up Modified-Temperament and Character Inventory questionnaire in Bahasa Indonesia.
Results: Result on this research indicates that temperament score in harm avoidance, novelty seeking, and reward dependence are unrelated with whether Type 2 DM being controllable or uncontrollable.
Conclusion: Absent of significant relation between temperament and HbA1c level control in type 2 DM patients.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Tri Juli Edi
"Latar belakang: Hipomagnesemia berhubungan dengan kejadian pre-diabetes, konversi ke diabetes tipe 2 dan juga komplikasi kronik diabetes, termasuk albuminuria. Hasil studi hubungan antara kadar magnesium dengan kejadian albuminuria pada diabetes melitus tipe 2 masih kontroversial. Untuk itu perlu dilakukan penelitian hubungan tersebut.
Metode: Potong lintang dengan consecutive sampling pada pasien DM tipe 2 yang sudah terdiagnosis nefropati diabetes. Dilakukan anamnesis faktor risiko, pemeriksaan fisik, kadar magnesium, albumine creatinine ratio dan A1C.
Hasil: Tiga puluh delapan subjek ikut dalam penelitian yang sebagian besar berusia lebih 50 tahun dan memiliki kontrol glikemik yang buruk (81,6%). Pada subjek penelitian yang memiliki kadar Mg <1,7 mg/dl 80% mengalami albuminuria, sementara subjek yang memiliki kadar Mg ≥ 1,7 mg/dl didapat 63,6% subjek penelitian yang mengalami albuminuria. Pada penelitian ini didapatkan koefisien korelasi sebesar 0,006 yang menunjukkan hubungan yang lemah antara kadar magnesium dalam darah dengan albuminuria.
Kesimpulan: Secara statistik tidak ditemukan korelasi antara kadar magnesium dengan albuminuria.

Background: Hypomagnesemia associated with occurance of prediabetes, convertion to type 2 diabetes and also chronic complication of diabetes, including albuminuria. Studies that look for correlation magnesium concentration with albuminuria in type 2 diabetes still controvensial that?s why we need to do this research.
Method: Cross sectional study done in type 2 diabetes who have been diagnosed with nephropathy. Correlation Pearson test used to prove correlation between magnesium level with albuminuria.
Result: Thirty eight subjects follow this study, majority of them age more than 50 years old, mostly having bad glycemic control (81,6%).There are 80 % subject with hypomagnesemia (Mg <1,7 mg/dl) suffered from albuminuria while subject with normomagnesia (Mg ≥ 1.7 mg/dl) only 63.6% suffered from albuminuria. This study result in no correlation between magnesium level in type 2 diabetes.
Conclusion: No correlation between serum magnesium concentration with albuminuria.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>