Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173618 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yutha Perdana
"Stroke yang disebabkan karena gangguan perfusi otak merupakan penyebab utama disabilitas dan kematian di seluruh dunia. Komplikasi stroke dengan angka mortalitas tinggi yaitu edema luas akibat infark arteri serebri media/middle cerebral artery (MCA) maligna yang kemudian diikuti deteriorasi neurologis cepat dan berujung pada luaran yang buruk dengan angka kematian sebesar 80%. Kraniektomi dekompresi sebagai tatalaksana infark MCA maligna diketahui dapat meningkatkan probabilitas keselamatan hingga lebih dari 80%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kesintasan dan kualitas hidup pasien infark MCA maligna 1, 3, 6, dan 12 bulan pasca-operasi kraniektomi dekompresi di Indonesia, hubungan luaran dengan terapi reperfusi pendahulu, dan menganalisis faktor-faktor yang telah diketahui dapat mempengaruhi luaran, yaitu usia, waktu pembedahan, dan diameter anteroposterior kraniektomi. Penelitian ini bersifat kohort retrospektif melalui pengambilan data rekam medis pasien infark MCA maligna yang dilakukan tindakan kraniektomi dekompresi di Rumah Sakit Umum Pusat dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati, dan Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono Jakarta (RS PON) pada tahun 2017-2022. Sebanyak 39 subjek masuk dalam kriteria inklusi. Dari seluruh subjek, sebanyak 51,3% subjek berusia <60 tahun, 48,7% dioperasi dalam waktu pembedahan <48 jam, 76,6% memiliki diameter kraniektomi 12-14 cm, dan 38,5% subjek mendapatkan terapi reperfusi pendahulu sebelum operasi. Dari hasil penelitian didapatkan 12 penyintas yang hidup pada akhir follow-up. Angka kesintasan pada bulan pertama sebesar 55% yang kemudian turun menjadi 36% pada 12 bulan follow-up (Kaplan-Meier). Dari 27 subjek yang meninggal, 17 subjek meninggal dalam bulan pertama perawatan pasca-operasi di rumah sakit (rentang 1-20 hari), sedangkan sisanya meninggal di luar perawatan rumah sakit. Penyebab tertinggi kematian yang diketahui yaitu infeksi. Dari 12 penyintas, 58% memiliki luaran fungsional yang buruk (modified Rankin scale 4-5) pada akhir follow-up. Tidak didapatkan adanya perbedaan signifikan angka kesintasan (p 0,779, log rank test) maupun luaran fungsional (p 0,929, Mann- Whitney test) pada kelompok yang mendapatkan terapi reperfusi maupun tidak. Dari analisis bivariat diketahui bahwa faktor usia, waktu pembedahan, dan diameter kraniektomi tidak berhubungan signifikan dengan kesintasan maupun luaran fungsional. Dari analisis multivariat dengan melibatkan faktor-faktor tambahan di luar faktor tersebut, diketahui jenis kelamin berhubungan signifikan terhadap luaran fungsional (p 0,032) sedangkan skor National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) pra-operasi berhubungan secara signifikan dengan kesintasan (p 0,028) dan luaran fungsional (p 0,004). Dari penelitian ini diketahui bahwa angka kesintasan 12 bulan pasien infark MCA Universitas Indonesia viii maligna yang dilakukan kraniektomi dekompresi yaitu sebesar 36% dan mayoritas penyintas memiliki luaran fungsional buruk. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menyertakan kelompok kontrol pasien infark MCA maligna yang tidak dilakukan kraniektomi dekompresi namun mendapatkan terapi konservatif maksimal agar dapat diketahui manfaat operasi melalui perbandingan luaran kedua kelompok tersebut.

Stroke caused by impaired brain perfusion is a major cause of disability and death worldwide. Stroke complication with high mortality rate is extensive edema due to malignant middle cerebral artery (MCA) infarction which is followed by rapid neurological deterioration and leads to poor outcomes with a mortality rate of 80%. Decompressive hemicraniectomy as a treatment for malignant MCA infarction has been known to increase the probability of survival by more than 80%. This study aims to determine the survival rate and functional outcome of patients with malignant MCA infarction in 1, 3, 6, and 12 months after decompressive hemicraniectomy in Indonesia, analyse impacts of prior reperfusion therapy to outcomes, and also analyse factors that are already known to affect outcome from literatures, which are age, timing of surgery, and anteroposterior craniectomy diameter. This study was a retrospective cohort by collecting medical record data of malignant MCA infarction patients who underwent decompressive hemicraniectomy at Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Fatmawati General Hospital, and Mahar Mardjono Jakarta National Brain Center Hospital from 2017-2022. A total of 39 subjects were included, 51.3% of them were aged <60 years, 48.7% were operated within <48 hours of onset, 76.6% had a craniectomy diameter of 12-14 cm, and 38.5% received reperfusion therapy prior to surgery. Results of the study, 12 subjects survived at the end of follow-up. The survival rate at the first month was 55% which then decreased to 36% at 12 months follow-up (Kaplan-Meier). Of the 27 subjects who died, 17 subjects died within the first month of post-operative care in the hospital (interval 1-20 days), with infection as the leading cause of death, while the rest died outside of hospital care. Of the 12 survivors, 58% had poor functional outcomes (modified Rankin scale 4-5). There was no significant difference in survival rate (p 0.779, log rank test) and functional outcome (p 0.929, Mann-Whitney test) in the group receiving reperfusion therapy or not. From the bivariate analysis, it was found that age, timing of surgery, and craniectomy diameter were not significantly related to survival or functional outcome. From the multivariate analysis including other additional factors, it was found that sex was significantly related to functional outcome (p 0.032) while the pre-operative National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) score was significantly related to survival (p 0.028) and functional outcome (p 0.004). From this study, it is known that the 12-month survival rate of malignant MCA infarction patients who underwent decompressive hemicraniectomy was 36% and the majority of survivors had poor functional outcomes. Further research is needed by including a control group of patients with malignant MCA infarction who did not undergo decompressive hemicraniectomy Universitas Indonesia x but received maximum conservative therapy in order to know the benefits of surgery by comparing the outcomes of the two groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Department of the Army Field Manual
New York: Dorset Press, 2000
355.54 DEP u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Fachrull
"Latar belakang : Tumor mediastinum memiliki angka kematian yang tinggi dari keseluruhan pasien dengan massa mediastinum. Saat ini sudah ada kemudahan akses untuk mendapatkan pelayanan diagnosis histopatologi dan pembiayaan pengobatan tumor mediastinum, namun belum ada penelitian mengenai kesintasan 1 tahun tumor mediastinum sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian dilakukan untuk melakukan penilaian profil tumor mediastinum dan kesintasan 1 tahun di RSCM.
Tujuan : Mengetahui profil dan kesintasan 1 tahun tumor mediastinum di RSCM.
Metode : Studi potong lintang dilakukan untuk menilai profil dan kesintasan 1 tahun tumor mediastinum. Studi dilakukan dengan menelusuri rekam medik 104 pasien yang telah didiagnosis tumor mediastinum di RSCM selama bulan Januari 2011-Juni 2018.
Hasil : Dari 721 pasien yang rekam mediknya ditelusuri, sebanyak 104 pasien (67 pria dan 37 wanita) dengan usia rerata 44,33 ± 15,79 tahun dijadikan sampel setelah melalui kriteria eksklusi. Manifestasi klinis ditemukan pada 100 pasien dengan gejala terbanyak ialah sesak napas (60 kasus). Mediastinum anterosuperior menjadi lokasi terbanyak tumor mediastinum (85 kasus). Jenis tumor yang paling sering ditemukan ialah timoma (31 kasus). Dua puluh satu pasien menjalani biopsi insisi untuk mendapatkan diagnosis histopatologi. Sebanyak 62 pasien memiliki riwayat pengobatan dengan pengobatan terbanyak adalah operasi (28 kasus). Kesintasan 1 tahun tumor mediastinum di RSCM sebesar 62% dengan mean survival 9,25 bulan (8,29 -10,2 bulan).
Kesimpulan : Didapatkan profil tumor mediastinum yang bervariasi dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya, serta kesintasan 1 tahun tumor mediastinum di RSCM pada rentang Januari 2011-Juni 2018. Diperlukan penelitian lanjutan dengan sampel yang lebih banyak meliputi center lain di Indonesia untuk dapat menggambarkan profil dan kesintasan tumor mediastinum secara Nasional.

Background : Mediastinal tumor has a high mortality rate among patients with mediastinal mass. There are some improvement to histopathological diagnosis service and treatment access for mediastinal tumor recently, but no recent studies about 1-year survival rate of mediastinal tumors. Therefore, this research was done to assess mediastinal tumor profile and 1-year survival rate at RSCM.
Aim : To assess mediastinal tumor profile and 1-year survival rate at RSCM.
Methods : Cross-sectional design was used to assess mediastinal tumor profile and its one-year survival rate. This study was done by exploring 104 medical records of patients diagnosed with mediastinal tumor at RSCM during January 2011-June 2018.
Results : From all 721 patientss medical records explored, there are 104 patients was taken as samples following exclusion criteria, including 67 males and 37 females with mean age of 44,33 ± 15,79 years. Clinical manifestation was found in 100 patients, with dyspnea was the most common symptom (60 cases). Anterior superior mediastinal area was the most common location of mediastinal tumor (85 cases). The most frequent tumor found was thymoma (31 cases). Twenty one patients underwent incisional biopsy to achieve histopathological diagnosis. A total of 62 patients had treatment history with the most common treatment was surgery (28 cases). One-year survival rate of mediastinal tumor at RSCM was 62% with mean survival of 9,25 months (8,29-10,2 months).
Conclusion : Mediastinal tumor profiles in our series varied from some previously published reports. We reported 1-year survival of mediastinal tumors in the RSCM in during January 2011-June 2018. Further studies are needed with more samples covering other centers in Indonesia to be able to describe national profile and survival of mediastinal tumors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Gilang Pamungkas
"Pendahuluan: Pasien pasca Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK) dapat mengalami penurunan kapasitas fungsional dan produktivitas. Hal ini dikarenakan adanya penurunan curah jantung dan penghancuran protein otot (aktin dan miosin). Latihan berjalan dilakukan untuk meningkatkan pompa jantung dan keseimbangan metabolisme. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh latihan berjalan terhadap kapasitas fungsional dan produktivitas ada pasien pasca BPAK.
Metode: Penelitian ini menggunakan Randomized Controlled Trial (RCT) dengan single blind pada outcome assessor. Jumlah responden pada penelitian ini berjumlah 42 orang yang dibagi menjadi 21 orang di kelompok intervensi maupun kontrol.
Hasil: Penelitian ini menunjukkan hasil adanya pengaruh yang bermakna antara latihan berjalan terhadap kapasitas fungsional (0,008<0,05), gangguan dalam bekerja (0,011<0,05), dan gangguan aktivitas(0,044<0,05). Hasil juga menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara latihan berjalan terhadap kehilangan waktu kerja (0,967>0,05) dan gangguan pekerjaan keseluruhan (0,696).
Diskusi: Latihan berjalan meningkatkan pompa jantung dan metabolisme. hal tersebut meningkatkan pengeluaran Adenosine Triphospat (ATP) sehingga meningkatkan kapasitas fungsional dan produktivitas pada pasien.
Kesimpulan: Latihan berjalan meningkatkan kapasitas fungsional dan produktivitas pada pasien pasca BPAK.

Introduction: Patients after coronary artery bypass graft (CABG) may experience reduced functional capacity and productivity. This is due to decreased cardiac output and destruction of muscle proteins (actin and myosin). Walking exercise is performed to improve cardiac pump and metabolic balance. This study aims to assess the effect of walking training on functional capacity and productivity in patients after BPAK.
Methods: This study used a Randomized Controlled Trial (RCT) with a single blind on the outcome assessor. The number of respondents in this study amounted to 42 people who were divided into 21 people in the intervention and control groups.
Results: This study showed a significant effect of walking training on functional capacity(0,008<0,05), work interference(0,011<0,05), and activity interference(0,044<0,05). The results also showed no significant difference between walking training on lost work time (0,967>0,05)and overall work interference(0,696>0,05).
Discussion: Walking exercise improves cardiac pump and metabolism, which increases Adenosine Triphosphate (ATP) expenditure, thereby improving functional capacity and productivity in patients.
Conclusion: Walking exercise improves functional capacity and productivity in patients after BPAK.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Rasco Sandy
"Latar Belakang. Fibrilasi atrium (FA) awitan dini pascabedah pintas arteri koroner (BPAK) merupakan salah satu komplikasi pascaoperasi yang sering terjadi. Aritmia ini merupakan fenomena sementara dan mayoritas pasien akan mengalami konversi ke irama sinus saat dipulangkan. Meskipun bersifat sementara, FA awitan baru pasca-BPAK berpotensi mengalami rekurensi sehingga dapat meningkatkan risiko mortalitas jangka panjang.
Tujuan. Mengetahui peran FA awitan baru pasca-BPAK dalam mempengaruhi kesintasan tiga tahun.
Metode. Studi dengan desain kohort retrospektif menggunakan analisis kesintasan yang meneliti 196 pasien yang menjalani BPAK di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam rentang waktu Januari 2012 sampai Desember 2015. Eksklusi dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat FA sebelum operasi, menjalani operasi tanpa mesin pintas jantung-paru, dan yang meninggal dalam 30 hari pascaoperasi. Subyek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan ada tidaknya FA awitan baru pasca-BPAK, yang selanjutnya ditelusuri status kematiannya dalam tiga tahun sejak operasi. Kurva Kaplan-Meier digunakan untuk menilai kesintasan tiga tahun dan dilakukan uji regresi Cox sebagai uji multivariat terhadap variabel perancu (usia ≥60 tahun, penyakit paru obstruktif kronis, diabetes melitus, gangguan ginjal, dan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah) untuk mendapatkan nilai adjusted hazard ratio (HR).
Hasil. Sebanyak 29,59% pasien mengalami FA awitan baru pasca-BPAK. Angka mortalitas tiga tahun pasien yang mengalami FA awitan baru pasca-BPAK baru lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak mengalaminya (15,52% vs 3,62%). Fibrilasi atrium awitan baru pasca-BPAK secara signifikan menurunkan kesintasan tiga tahun (p=0,008; HR. Pada analisis multivariat, FA awitan dini pascaBPAK merupakan faktor independen terhadap penurunan kesintasan tiga tahun (adjusted HR 4,04; IK 95% 1,34-12,14).
Simpulan. Fibrilasi atrium awitan baru pasca-BPAK secara independen menurunkan kesintasan tiga tahun.

Background. New-onset atrial fibrillation after coronary artery bypass grafting (CABG) is a common postoperative complication. This arrhytmia considered as temporary phenomenon which the majority are converted back to sinus rhythm when the patients discharged from the hospital. Despite its transience, those arrhythmia can recur and increasing the long term mortality.
Objective. To determine the role of new-onset atrial fibrillation after CABG on three year survival.
Method. This is a retrospective cohort study using survival analysis of patients who underwent coronary artery bypass grafting since January 2012 to December 2015 at Cipto Mangunkusumo Hospital. Patients who had atrial fibrillation before surgery, who had surgery without cardiopulmonary bypass machine, and who died in 30 days after surgery were excluded. Subjects were divided into two category based of the presence of newonset atrial fibrillation after CABG and the mortality status was followed up until 3 years post-surgery. The Kaplan-Meier curve was used to determine the three-year survival of the patients who had new-onset atrial fibrillation after CABG and Cox regression test used as multivariate analysis with confounding variables in order to get adjusted hazard ratio (HR).
Result. New-onset atrial fibrillation after CABG occurred in 29,59% patients. Patients with new-onset atrial fibrillation after CABG had higher three-year mortality (15,52% vs 3,62%). New-onset atrial fibrillation after CABG significantly decreased three-year survival (p=0,008; HR 4,42; 95% CI; 1,49-13,2). In multivariate analysis, it was concluded that new-onset atrial fibrillation after CABG was an independent factor of the three-year survival decline (adjusted HR 4,04; 95% CI; 1,34-12,14).
Conclusion. New-onset atrial fibrillation after CABG independently decreased the threeyear survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anas Saidi
"Disertasi ini ingin menunjukkan Djawi Sunda, di Cigugur, Kuningan. Sebuah komunitas Adat yang berhasil membangun keruku melalui prinsip:yang penting Melalui penelitian etnografi dan teori interaksi simbolik telah menunjukkan bahwa Seren Taun sebagai alat pengingat yang berisi tuntunan yang penuh makna simbolik dan berhasil merawat tran yang ditempuh lebih mengutamakan arti pentingnya sebuah kebebasan berkeyakinan, penegasan identitas, daripada transmisi tingkat keluarga. Kombinasi antara: resistensi dan adaptasi dalam menghadapi dominasi negara dan hegemoni agama resmi, merupakan perlawanan kultural yang paling mengesankan.

This dissertation aims at indicating survival strategies carried out by Djawi Sunda, Cigugur, Kuningan. It is a community succeeding to establish a peaceful religious life relationship. It suggests that the members have tolerance (sepengertian ethnographic research and symbolic interaction have indicated as a mnemonic device meanings?and a creative performance has worked to mai transmission. The strategy emphasizes more on faith freedom and identity insistence in public than in family. The combination of resistance and adaptation to cope with state domination and formal religious hegemony works impressively."
2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Noor Dwiprakoso
"Latar belakang: Defek septum ventrikel (DSV) merupakan salah satu PJB dengan jumlah kasus terbanyak. Hipertensi pulmonal merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi dengan prevalensi antara 2-10% dari seluruh kasus DSV. Pasien yang datang ke Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RSPJNHK) sudah dengan kondisi hipertensi pulmonal dan usia dewasa. Adanya perubahan pedoman internasional AHA/ESC dalam menentukan kelayakan operasi pada pasien DSV. Perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan nilai pulmonary artery resistance index (PARI) yang menjadi prediktor keluaran pada pasien yang dilakukan operasi penutupan DSV.
Metode: Penelitian ini adalah studi kohort retrospektif berdasarkan data sekunder dari bagian rekam medis RSPJNHK Indonesia pada dewasa yang telah menjalani operasi tutup defek ventrikel pada periode 2015-2022. Variabel yang dinilai antara lain nilai pulmonary artery resistance index (PARI), lama penggunaan mesin jantung paru, lama penggunaan klem silang aorta, terhadap lama rawat, komplikasi pascaoperasi, dan kematian dini.
Hasil: Terdapat 66 subjek pada penelitian ini. Usia rerata subjek studi ini 22,5 tahun. Pada penelitian ini terdapat peningkatan yang bermakna pada durasi ventilator (p = 0,012) dan lama rawat ICU (p = 0,031) pada kelompok nilai PARI >5 WU dibandingkan dengan kelompok PARI < 5 WU. Keluaran kelompok nilai PARI <5 WU lebih baik dibandingkan kelompok PARI >5 WU dengan mortalitas (0% vs 15,6%, p = 0,02), kejadian aritmia (14,7% vs 15,6 %; p = 0,59), dan krisis hipertensi pulmonal (0% vs 9,4%, p = 0,1)
Simpulan: Terdapat hubungan antara nilai PARI dengan durasi ventilator mekanis dan lama rawat di ICU, namun tidak terdapat hubungan dengan aritmia dan kejadian krisis hipertensi pulmonal pascaoperasi. Terdapat hubungan yang bermakna antara nilai PARI dan mortalitas dini pascaoperasi penutupan defek septum ventrikel pada dewasa.

Background: Ventricular septal defect (DSV) is one of the most common CHDs. Pulmonary hypertension is one of the complications that can occur with a prevalence of between 2-10% of all DSV cases. Patients who come to Harapan Kita National Heart Center Hospital (RSPJNHK) already have pulmonary hypertension and are adults. There are changes in AHA/ESC international guidelines in determining the feasibility of surgery in DSV patients. It is necessary to conduct research on the relationship between the value of the pulmonary artery resistance index (PARI) which is a predictor of outcome in patients undergoing DSV closure surgery.
Method: This study is a retrospective cohort study based on secondary data from the medical record section of the Harapan Kita National Cardiovascular Center Hospital in adult patients who had undergone ventricular septal defect closure surgery in the 2015-2022 period. The variable assessed included pulmonary artery resistance index (PARI), duration of cardiopulmonary bypass, duration of aortic cross clamp, on length of stay, postoperative complications, and mortality.
Result: There were 66 subjects in this study. The mean age of the subjects was 22.5 years. In this study, there was a significant increase in ventilator duration (p = 0,012) and ICU length of stay (p = 0,031) in the PARI value >5 WU group compared to the PARI <5 WU group. The outcome of the PARI <5 WU group was better than the PARI >5 WU group with mortality (0% vs 15,6%, p = 0,02), arrhythmic events (14,7% vs 15,6 %; p = 0,59), and pulmonary hyperetension crisis (0% vs 9,4%, p = 0,1).
Conclusion: There is an association between PARI and duration of mechanical ventilation and length of ICU stay, but no association with arrhythmias and the incidence of postoperative pulmonary hypertensive crisis. There is a significant association between PARI and early mortality after ventricular septal defect closure surgery in adults.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hashfi Fauzan Raz
"Latar Belakang: Pasien dengan fraksi ejeksi (FE) rendah memiliki risiko apabila dilakukan BPAK dengan mesin PJP. Pengunaan mesin PJP memiliki risiko cedera miokard yang diakibatkan dari periode iskemia, reperfusi, dan inflamasi yang dapat mengakibatkan aritmia pascaoperasi. Aritmia pascaoperasi BPAK terjadi pada 5-40% dan meningkatkan mortalitas serta morbiditas. Glutamin merupakan asam amino yang memiliki efek anti inflamasi dengan menurunkan mediator inflamasi dan kerusakan oksidatif akibat radikal bebas sehingga menurunkan efek cedera miokard dan dihipotesiskan menurunkan kejadian aritmia pascaoperasi BPAK.
Metodologi: Penelitian ini kohort retrospektif pada pasien penyakit jantung koroner dengan FE rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP. Subjek dibagi menjadi kelompok yang mendapat dan tidak mendapat glutamin intravena praoperasi. Luaran yang dinilai adalah kejadian aritmia pascaoperasi secara keseluruhan, arimita ventrikel dan supraventrikel pascaoperasi BPAK.
Hasil: Kejadian aritmia pascaoperasi lebh rendah secara bermakna pada kelompok yang mendapatkan glutamin intravena praoperasi, yaitu 16,7%dibandingkan 40% (p=0,045). Kejadian aritmia atrium pascaoperasi juga lebih rendah secara bermakna pada kelompok yang mendapat glutamin intravena praoperasi, yaitu 26,7% dibandingkan 73,3% (p=0,026), namun pada kejadian aritmia ventrikel pascaoperasi tidak ada perbedaan bermakna (p=0,74).
Kesimpulan: Pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP, pemberian glutamin intravena praoperasi dapat menurunkan angka kejadian aritmia pascaoperasi.

Background: Low ejection fraction (EF) increases the risk of morbidity and mortality in patients undergoing CABG. CABG with CPB induces myocardial injury caused from ischemia, reperfusion and inflammation, causing postoperative arrhythmias. Arrhyhtmias occur in 5-40% patients after CABG and increase postoperative mortality and morbidity. Glutamine is an amino acid that has antiinflammatory effect, decerasing inflammatory mediators and oxidative stress from free radicals. In turn, glutamin lower the effect of myocardial injury and hypothesized to lower postoperative arrhythmias after CABG.
Methods: This is a cohort retrospective study in patients with coronary artery disease with low EF undergoing CABG with CPB. The subjects were divided into two groups based on given or not given intravenous glutamin preoperative.The outcomes of the study is incidence of arrhythmias after CABG and the incidence of ventricular and supraventricular arrhythmias after CABG.
Results: The subjects in the intravenous glutamin group have lower incidence of postoperative arrhythmias compared to control (16.7% vs 40% respectively, p=0.045). Supraventricular arrhythmia incidence in intravenous glutamin group is also lower compard to control (26.7% vs 73.3% respectively, p=0,026). There are no significant differences of postoperative ventricular arrhythmias between two groups (p=0.74).
Conclussion: In patients with low EF undergoing CABG with CPB, intravenous glutamin administration can lower the incidence of postoperative arrhythmias.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Philadelphia Dorrance: Dorrance & company, 1972
330 ECO
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>