Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 132741 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jackson Kamaruddin
"Latar belakang. Kanker kolorektal merupakan penyebab kematian terbesar kedua di dunia dengan tingkat kematian yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti nilai prediktif dari rasio neutrofil-limfosit (NLR) dan antigen carcinoembryonic (CEA) dalam memprediksi tingkat kelangsungan hidup pasien kanker kolorektal di Indonesia.
Metode. Ini adalah penelitian kohort retrospektif. Populasi penelitian terdiri dari pasien dengan kanker kolorektal tahap I-IV yang diobati di Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo. Variabel independen adalah NLR dan CEA, sedangkan variabel dependen adalah kelangsungan hidup lima tahun pasien kanker kolorektal. Pengolahan dan analisis data dilakukan menggunakan SPSS versi 20.
Hasil. Penelitian ini melibatkan 96 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Analisis menunjukkan bahwa 6,25% subjek memiliki NLR tinggi dan 66,6% memiliki kadar CEA tinggi. Tingkat kelangsungan hidup lima tahun secara keseluruhan untuk semua subjek adalah 35,4%. Meskipun tidak signifikan secara statistik, proporsi subjek dengan NLR normal memiliki tingkat kelangsungan hidup lima tahun yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki NLR tinggi, dan pola yang sama juga teramati pada kadar CEA. Analisis subkelompok berdasarkan stadium kanker menunjukkan hubungan yang signifikan antara NLR tinggi dan peningkatan risiko kematian pada tahap TNM I-II, namun tidak terdapat perbedaan signifikan dalam kelangsungan hidup berdasarkan NLR pada tahap III-IV.
Kesimpulan. Rasio NLR praoperasi dan CEA praoperasi tidak menunjukkan peran prediktif dalam kelangsungan hidup kanker kolorektal. Namun, ketika dibagi berdasarkan stadium kanker, terdapat perbedaan signifikan dalam kadar NLR praoperasi antara kelompok yang meninggal dan tidak meninggal pada pasien dengan kanker kolorektal stadium I-II.

Background. Colorectal cancer is the second leading cause of death worldwide, with a high mortality rate. This study aims to investigate the predictive value of the neutrophil-lymphocyte ratio (NLR) and carcinoembryonic antigen (CEA) in predicting the survival rates of colorectal cancer patients in Indonesia.
Method. This is a retrospective cohort study. The study population consisted of patients with colorectal cancer stage I-IV treated at Cipto Mangunkusumo General Hospital. The independent variables are NLR and CEA, while the dependent variable is the five-year survival of colorectal cancer. Data processing and analysis are conducted using SPSS version 20.
Results. This study included 96 subjects who met the inclusion and exclusion criteria. Analysis revealed that 6.25% of the subjects had high NLR and 66.6% had high CEA levels. The overall five-year survival rate for all subjects was 35.4%. Although not statistically significant, the proportion of subjects with normal NLR had a higher five-year survival rate compared to those with high NLR, and the same pattern was observed for CEA levels. Subgroup analysis based on cancer stage showed a significant association between high NLR and increased risk of mortality in TNM stages I-II, but no significant difference in survival based on NLR was observed in stages III-IV.
Conclusion. The preoperative NLR ratio and preoperative CEA did not show a predictive role in colorectal cancer survival. However, when stratifying by cancer stage, there was a significant difference in preoperative NLR levels between the deceased and non-deceased groups in patients with stage I-II colorectal cancer.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ikrar Syahmar
"Latar belakang: Derajat inflamasi dikaitkan dengan progresivitas kanker payudara metastasis berdasarkan subtipenya terutama Triple Negatif (TN). NLR yang menunjukkan derajat inflamasi dan subtipe kanker payudara metastasis juga dikaitkan dengan kesintasan pasien. Data yang ada saat ini terkait hubungan NLR dan subtipe kanker payudara metastasis masih terbatas.
Tujuan: Mengetahui perbedaan nilai NLR pasien kanker payudara metastasis triple negatif dan non triple.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada pasien kanker payudara metastasis yang berobat di RSCM pada 2017-2023. Pasien yang memiliki kanker ganda, penyakit akut, dan pansitopenia yang berhubungan dengan sebaran tulang luas diekslusi pada penelitian ini. Data sekunder diambil dari rekam medis secara konsekutif. Uji non parametrik Kruskal-Wallis dilakukan untuk melihat hubungan nilai NLR saat terdiagnosis kanker payudara metastasis dengan subtipe molekular TN dan non TN.
Hasil: Dari 242 subjek penelitian, terdapat 14,5% pasien kanker payudara metastasis yang memiliki subtipe TN, sedangkan subtipe non-TN secara berturut HER2 dan luminal sebesar 11,2% dan 74,4%. Perbandingan NLR antara subtipe TN dan non-TN tidak berbeda secara bermakna pada pasien kanker payudara metastasis (p = 0,457). Faktor klinikopatologi yang ditemukan berhubungan dengan nilai NLR adalah metastasis otak (p <0,001) dan status performa (p = 0,001).
Kesimpulan: Nilai NLR tidak berbeda antar subtipe TN dan non-TN pada kanker payudara metastasis.

Background: The degree of inflammation was associated with the progressivity of metastatic breast cancer based on its subtypes especially triple-negative breast cancer (TNBC). NLR indicating the degree of inflammation and subtype of metastatic breast cancer is also associated with patient survival. Current data on the relationship between NLR and metastatic breast cancer subtypes is limited.
Objective: To investriplete the difference in NLR between triple-negative and non-triple-negative metastatic breast cancer patients.
Method: A cross-sectional study was conducted on metastatic breast cancer patients who received treatment at RSCM from 2017 to 2023. Patients who had multiple cancers, acute illness, and pancytopenia associated with extensive bone distribution were excluded from this study. Secondary data were consecutively taken from medical records. A non-parametric (Kruskal-Wallis) test was performed to see the association of NLR value at diagnosis of metastatic breast cancer with molecular subtype TN and non-TN.
Results: Of the 242 study subjects, 14.5% of patients had TN subtypes, while non-TN subtypes were HER2 and luminal at 11.2% and 74.4%, respectively. NLR was not significantly associated with the molecular subtype (p = 0.457). Clinicopathologic factors found to be associated with NLR values were brain metastasis (p < 0.001), and performance status (p = 0.001).

Conclusion: NLR was not associated with the molecular subtype of metastatic breast cancer.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tofan Rakayudha
"Latar belakang: Kanker kolorektal merupakan keganasan peringkat ketiga terbesar di dunia dengan insidensi dan penyebab kematian terbanyak, Peran deteksi dini kanker kolorektal dengan visualisasi langsung dan penanda tertentu terbukti menurunkan angka insidensi dan kematian, namun program ini memiliki tingkat partisipasi yang rendah. Metode non invasif pemeriksaan berbasis feses telah digunakan dan dikembangkan. Kombinasi mRNA CEA, mRNA COX-2 dan FIT pada feses diharapkan sebagai metode deteksi dini non invasif dengan sensitivitas dan spesifitas yang baik dalam penanda diagnostik kanker kolorektal.
Tujuan: Mengevaluasi nilai diagnostik kombinasi pemeriksaan mRNA CEA, mRNA COX-2 dan FIT pada feses sebagai penanda diagnostik kanker kolorektal
Metode: Studi potong lintang dengan populasi terjangkau pasien dewasa yang diduga kanker kolorektal di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo pada bulan November 2015 hingga Februari 2016, Uji diagnostik digunakan untuk mengevaluasi nilai sensitivitas, spesifisitas, NPP, NPN, PLR, NLR pada kombinasi dalam mendeteksi kanker kolorektal dengan pemeriksaan histopatologi jaringan yang diambil dari kolonoskopi sebagai baku emas.
Hasil: Dari total 97 subjek penelitian, rerata usia 56 tahun, 50,5% pria dan 77,3% berusia > 50 tahun. Keluhan klinis perdarahan nyata saluran cerna terbanyak dengan 43,3%. Lokasi tumor terbanyak pada kolon descenden, sigmoid, dan rektum yaitu 8,24%, 6,18%, dan 5,15%. Proporsi lesi kanker kolorektal (adenokarsinoma) sebanyak 15% dan lesi non kanker kolorektal sebanyak 84.5%. Nilai sensitivitas dan spesifitas pada kanker kolorektal sebesar 93,33% (IK 95% 70,18-98,81) dan 60,98% (IK 95% 50,15-70,82). NPP, NPN, PLR, dan NLR berturut turut 30,43% (IK 95% 19,08-44,81), 98.04% (IK 95% 89,70- 99,65), 2,39 ( IK 95% 1,28-4,48), dan 0,11 (IK 95% 0,02 – 0,79). Skor AUC untuk membedakan kanker kolorektal adalah 77,2 % (IK 95% 66,3 – 88,0)
Kesimpulan: Nilai sensitivitas, spesifitas, NPP, NPN, PLR dan NLR kombinasi pemeriksaan mRNA CEA, mRNA COX-2 dan FIT pada feses untuk mendeteksi kanker kolorektal berturut-turut adalah 93,33%, 60,98%, 30,43%, 98,04%, 2.39, dan 0,11.

Background: Colorectal cancer is the third largest malignancy in the world with the highest incidence and cause of death. The role of early detection of colorectal cancer with direct visualization and certain markers has been proven to reduce incidence and death rates, however this program has a low participation rate. Non-invasive methods of stool-based examination have been used and developed. The combination of CEA mRNA, COX-2 mRNA and FIT in feces is expected to be a non-invasive early detection method with good sensitivity and specificity as a diagnostic marker for colorectal cancer.
Aim: Evaluating the diagnostic value of a combination of CEA mRNA, COX-2 mRNA and FIT examination in feces as a diagnostic marker for colorectal cancer
Method: Cross-sectional study with an accessible population of adult patients suspected of colorectal cancer at Ciptomangunkusumo Hospital from November 2015 to February 2016. Diagnostic tests were used to evaluate the value of sensitivity, specificity, NPP, NPN, PLR, NLR in combination in detecting colorectal cancer with histopathological examination tissue taken from colonoscopy as the gold standard.
Results: Of the total 97 research subjects, the average age was 56 years, 50.5% were men and 77.3% were > 50 years old. Clinical complaints of real gastrointestinal bleeding were the highest with 43.3%. The most common tumor locations were the descending colon, sigmoid and rectum, namely 8.24%, 6.18% and 5.15%. The proportion of colorectal cancer lesions (adenocarcinoma) was 15% and non-colorectal cancer lesions was 84.5%. The sensitivity and specificity values ​​for colorectal cancer were 93.33% (95% CI 70.18-98.81) and 60.98% (95% CI 50.15-70.82). NPP, NPN, PLR, and NLR respectively 30.43% (95% CI 19.08-44.81), 98.04% (95% CI 89.70- 99.65), 2.39 (95% CI 1 .28-4.48), and 0.11 (95% CI 0.02 – 0.79). The AUC score for differentiating colorectal cancer is 77.2% (95% CI 66.3 – 88.0)
Conclusion: The sensitivity, specificity, NPP, NPN, PLR and NLR values ​​of the combination of CEA mRNA, COX-2 mRNA and FIT examination in feces to detect colorectal cancer were 93.33%, 60.98%, 30.43%, 98.04%, 2.39, and 0.11.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ermi Wahyu Haryani
"Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit multisistemik yang melibatkan kaskade imunologi, inflamasi, dan koagulasi. Biomarker di sirkulasi yang dapat memberikan informasi mengenai kondisi inflamasi dan status imun dapat digunakan dalam mendiagnosis dan menilai prognosis pasien COVID-19. Parameter hematologi rutin, mudah dilakukan, biaya terjangkau dan cepat, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi awal sistem imun pasien yang dapat dihubungkan dengan outcome penyakit. Nilai RNL, RML dan RTL dapat mendeteksi dini kecurigaan perburukan kondisi pasien COVID-19. Penelitian ini menggunakan desain nested case-control yang melibatkan 206 data subjek yang terdiri atas 141 subjek luaran baik dan 65 subjek luaran buruk. Dijumpai perbedaan bermakna nilai RNL, RML dan RTL antara kelompok luaran baik dan buruk. Nilai titik potong optimal RNL, RML dan RTL berturut-turut adalah ≥5,43; ≥0,46 dan ≥196,34 untuk mendiskriminasi luaran buruk. Area Under Curve (AUC) untuk RNL adalah 0,825 (0,766-0,884), sensitivitas 76,9%, spesifisitas 73,8%; AUC RML 0,763 (0,692-0,833), sensitivitas 73,8%, spesifisitas 68,1% dan AUC RTL 0,617 (0,528-0,705), sensitivitas 63,1%, spesifisitas 60,3%. Usia >30 tahun (OR=2,59; IK95% 1,34-5,02), adanya komorbid (OR=2,21; IK95% 1,28-3,81), RNL ≥5,43 (OR=4,60; IK95% 2,07-10,26) dan RML ≥0,46 (OR=2,09; IK95% 0,93-4,67) berhubungan dengan luaran buruk pasien COVID-19.

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) is a multisystemic disease involving immunologic, inflammatory, and coagulation cascades. Biomarkers in circulation which can provide information on inflammatory conditions and immune status can be used in diagnosing and assessing the prognosis of COVID-19 patients. Hematology parameters are routinely performed, easy, affordable and fast, so it can provide preliminary information on the patient's immune system that linked to disease outcomes. NLR, MLR and TLR values can detect early suspicion of worsening conditions of COVID-19 patients. This study used a nested case-control design involving 206 subjects data consisting of 141 subjects with good outcomes and 65 subjects poor outcomes. A significant difference was found in the values of NLR, MLR and TLR between the two groups. The optimal cut-off point values of NLR, MLR and TLR were ≥5.43; ≥0.46 and ≥196.34, respectively, to discriminate against poor outcomes. The Area Under Curve (AUC) for NLR was 0.825 (0.66-0.884), sensitivity 76.9%, specificity 73.8%; MLR was 0.763 (0.692-0.833), sensitivity 73.8%, specificity 68.1% and TLR was 0.617 (0.528-0.705), sensitivity 63.1%, specificity 60.3%. Age >30 years (OR=2.59; 95% CI 1.34-5.02), presence of comorbidities (OR=2.21; 95% CI 1.28-3.81), NLR ≥5.43 (OR=4.60; 95% CI 2.07-10.26) and MLR ≥0.46 (OR=2.09; 95% CI 0.93-4.67) were associated with poor outcomes of COVID-19 patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yoppi Kencana
"Latar Belakang : Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) adalah penyakit hati kronik yang ditandai dengan akumulasi lemak berlebihan di hati. Elastografi Transien (ET) dan metode Controlled Attenuation Parameter (CAP) merupakan metode pemeriksaan non-invasif untuk menilai derajat fibrosis dan steatosis, namun tidak tersedia di seluruh rumah sakit di Indonesia. Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) merupakan penanda peradangan sederhana yang berpotensi memprediksi luaran penyakit.
Tujuan : Mengetahui nilai diagnostik RNL sebagai indikator derajat keparahan steatosis dan fibrosis NAFLD.
Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang menggunakan data sekunder dari data rekam medis tahun 2016-2018. Analisis statistik deskriptif dan analitik berupa uji korelasi, Receiver Operating Curve (ROC) dan Area Under The Curve (AUC) dipakai untuk mengetahui luaran studi.
Hasil : Dari 106 subjek penelitian, kebanyakan pasien adalah perempuan (62,3%) berusia rata-rata 57,29 tahun dan menderita sindrom metabolik (77,4%). Sebagian besar pasien memiliki derajat steatosis sedang-berat (66%) dengan rerata ET 6,14 (2,8-18,2). Terdapat korelasi antara nilai CAP (r=0,648; p<0,001) dan ET (r=0,621; p<0,001) dengan RNL. Penggunaan RNL untuk menilai derajat steatosis sedang-berat memiliki titik potong 1,775 dengan sensitivitas, spesifisitas, NDP dan NDN sebesar 81,5%, 80,6%, 89,1%, dan 69,1%; titik potong 2,150 untuk menilai fibrosis signifikan dengan sensitivitas, spesifisitas, NDP dan NDN berurutan sebesar 92.3 %, 87.5%, 70.6%, dan 97.2%.
Simpulan : RNL memiliki korelasi positif terhadap derajat steatosis dan fibrosis dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.

Introduction : Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is a chronic inflammatory disease with excessive fat accumulation in the liver. Transient Elastography (TE) with Controlled Attenuation Parameter (CAP) is a device and method to examine the degree of fibrosis and steatosis. However, this device is not widely available across Indonesia. Neutrophil and Lymphocyte Ratio (NLR) is a simple marker for inflammation which has a potency to predict disease outcome.
Objective : To know the diagnostic value of RNL as the indicator of steatosis and fibrosis severity.
Methods : This was a cross-sectional study using secondary data from the medical record, starting from 2016-2018 with the respective inclusion and exclusion criteria. A descriptive and analytic statistic, including correlation test, Receiver Operating Curve (ROC) and Area Under The Curve (AUC) were done to know the outcome of the study.
Result: Out of 106 subjects, 62.3% patients were women with aged mean 57.29 years old and 77.4% had metabolic syndrome. Most patients had average-severe steatosis degree (66%) with the mean of ET mean 6.14 (2.8-18.2). There was a positive correlation between CAP and TE compared with NLR with r = 0.647 (p<0.001) and r = 0.621 (p<0.001) respectively. The use of NLR to assess moderate-severe steatosis has a cutoff point of 1.775 with sensitivity, specificity, PPV and NPV of 81,5%, 80,6%, 89,1%, and 69,1%; cutoff point 2,150 to assess significant fibrosis with sensitivity, specificity, PPV and NPV of 92.3 %, 87.5%, 70.6%, 97.2% respectively.
Conclusion : NLR has a positive correlation with the degree of steatosis and fibrosis with high sensitivity and specificity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maylin Krey
"Malnutrisi seringkali didapatkan pada pasien dengan penyakit akut dan kronis. Penyebab malnutrisi pada pasien sakit kritis bersifat multifaktorial, salah satu penyebabnya adalah inflamasi yang tinggi. Inflamasi merupakan penyebab malnutrisi yang dapat menyebabkan anoreksia, berkurangnya asupan makan, katabolisme otot, dan resistensi insulin yang akan merangsang keadaan katabolik. Respon inflamasi terhadap pembedahan, trauma, atau kondisi medis parah lainnya menyebabkan gangguan metabolisme (misalnya katabolisme protein) pada pasien yang dirawat di ICU. Rasio neutrofil limfosit (RNL) adalah indikator yang sangat sensitif terhadap infeksi, peradangan dan sepsis, yang telah divalidasi dalam banyak penelitian. Selain inflamasi, malnutrisi pada pasien sakit kritis disebabkan oleh kesulitan mencapai target nutrisi yang optimal dan membuat pasien menghadapi risiko malnutrisi atau memperburuk kondisi malnutrisi yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu penting untuk melakukan penilaian status gizi dalam rangka mengidentifikasi malnutrisi dan mengevaluasi hasil terapi gizi yang diberikan. Beberapa pengukuran komposisi tubuh untuk melihat massa otot dapat menggunakan beberapa pemeriksaan tervalidasi seperti magnetic resonance imaging (MRI), CT scan, DXA dan bioelectrical impedance analysis (BIA). Beberapa pemeriksaan antropometri untuk memprediksi massa otot dapat dilakukan, diantaranya lingkar lengan atas dan lingkar betis dapat dilakukan sebagai pemeriksaan pengganti karena sederhana, murah, tidak invasif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar RNL dengan perubahan lingkar betis pada pasien ICU.

Malnutrition is common in patients with acute and chronic illnesses. The causes of malnutrition in critically ill patients are multifactorial, one of which is high inflammation. Inflammation is a cause of malnutrition that can lead to anorexia, reduced food intake, muscle catabolism, and insulin resistance that will stimulate a catabolic state. The inflammatory response to surgery, trauma or other severe medical conditions leads to metabolic disturbances (e.g. protein catabolism) in patients admitted to the ICU. The ratio of neutrophil lymphocytes (NLR) is a highly sensitive indicator of infection, inflammation and sepsis, which has been validated in many studies. In addition to inflammation, malnutrition in critically ill patients is caused by difficulty achieving optimal nutritional targets and puts patients at risk of malnutrition or worsens pre-existing malnutrition conditions. Therefore, it is important to assess nutritional status in order to identify malnutrition and evaluate the results of nutritional therapy. Several validated body composition measurements such as magnetic resonance imaging (MRI), CT scan, DXA and bioelectrical impedance analysis (BIA) can be used to assess muscle mass. Some anthropometric examinations to predict muscle mass can be done, including upper arm circumference and calf circumference can be done as a substitute examination because it is simple, cheap, non-invasive. This study aims to determine the correlation between RNL levels and changes in calf circumference in patients in the ICU."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Denny Grecius
"ABSTRACT
Rasio neutrofil dan limfosit (NLR) dapat digunakan dalam mengukur progresivisitas kanker payudara seperti perubahan berat badan. Tujuan Maka dari itu, penelitian ini hendak menilai hubungan perubahan status indeks masa tubuh dengan NLR. Metode: Rancangan penelitian ini merupakan potong lintang. Sampel dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pasien yang menjadi normoweight (indeks masa tubuh terakhir < 23,0) dan pasien yang menjadi overweight atau obese (indeks masa tubuh terakhir ≥ 23,0). Setiap sampel akan dihitung NLR pascadiagnosis dan pascaterapi minimal 6 bulan. Hasil: Pasien yang menjadi normoweight memiliki NLR pascadiagnosis median 2,510 (0,853-5,315) dan NLR pascaterapi median 2,652 (0,666-10,844). Pasien yang menjadi overweight atau obese memiliki NLR pascadiagnosis median 2,444 (0,318-21,000) dan NLR pascaterapi median 2,466 (0,632-22,750). Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan antara perubahan indeks masa tubuh dengan NLR pascadiagnosis dan NLR pascaterapi. Tidak adanya hubungan mungkin disebabkan adanya keberagaman karakteristik sampel yang didapat.

ABSTRACT
Neutrophil-to-lymphocyte ratio (NLR) can be used to measure progressivity of breast cancer. One of the factor that also affect progression of breast cancer is body weight change. Therefore, this study wants to evaluate correlation between Body Mass Index (BMI) status change and NLR. Methods: Sample are divided into two groups, patients who became normoweight (latest BMI < 23,0) and patients who became overweight or obese (latest BMI ≥ 23,0). NLR value in postdiagnosis and post-treatment (minimum 6 months) are being evaluated in each sample. Results: Patients who became normoweight has postdiagnosis NLR median 2,510 (0,853-5,315) and post-treatment NLR median 2,652 (0,666-10,844); while in the patients who became overweight or obese has postdiagnosis NLR median 2,444 (0,318-21,000) and post-treatment NLR median 2,466 (0,632-22,750). Interpretation & conclusion: This study shows neither postdiagnosis NLR nor post-treatment NLR has correlation with BMI status change. This result may due to various sample characteristics."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihotang, Ely Sakti Panangian
"Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nila diagnostic kadar CEA serum sebagai indikator terjadinya metastasis hepar dari kanker kolorektal (KKR) pada usia dewasa muda Metode. Studi potong lintang dilakukan dengan menggunakan data sekunder berupa catatan pasien dalam rekam medis. Pasien berusia <50 tahun yang terdiagnosis kanker kolorektal primer secara histopatologis di Cipto Mangunkusumo Hospital direkrut dalam penelitian ini. Kami mengeksklusi pasien dengan riwayat keganasan lain, telah menjalani tatalaksana operatif untuk kanker kolorektal, dan memiliki komorbiditas penyakit hati. Luaran akhir dari penelitian ini adalah cut off nilai CEA yang didapat dengan kurva ROC, sensitivitas, dan spesifisitas nilai CEA dalam memprediksi metastasis hepar KKR. Hasil. Kami merekrut 181 pasien dengan proporsi 43.6% perempuan. 59 pasien (32.6%) diketahui memiliki metastasis hepar pada saat intraoperatif. Kadar CEA pasien metastasis ditemukan sebesar 208.1 (2.1–12503.2) ng/mL, angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan pasien non-metastasis 6.27 (0.8–1099.4) ng/mL (p<0.001). Nilai AUC tercatat sebesar 0,904, dan cut off optimal didapat pada kadar CEA ≥38,765 ng/mL (Indeks Youden = 1,718). Peneliti mencatat sensitivitas dan spesifisitas niali CEA serum ≥38,765 ng/mL, secara berturut-turut, sebesar 91,53% (IK 95%, 81,32%–97,19%) dan 80,3% (72,16%–86,97%). Rasio odds pasien kanker kolorektal usia muda untuk mengalami metastasis hepar adalah sebesar 44,10 (IK 95%, 15,92–122,20) bila nilai CEA serum pasien sebesar ≥38,765 ng/mL. Simpulan. Kadar CEA ≥38,765 ng/mL memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik, sehingga cukup efektif untuk digunakan sebagai prediktor metastasis hepar pada penderita KKR.

Introduction. This study aims to determine the diagnostic value of serum CEA levels as the liver metastases predictor of colorectal cancer (CRC) in young adults.. Method. A cross-sectional study was conducted using secondary data (patient medical records) from 2015–2021. Patients aged <50 years who were diagnosed histopathologically with primary colorectal cancer at Cipto Mangunkusumo General Hospital were recruited in this study. We excluded patients with a history of other malignancies, who had undergone operative management for colorectal cancer, and preexisting liver disease. The outcome of this study is the cut-off of the CEA value obtained by the ROC curve, the sensitivity and specificity of the CEA value in predicting CR liver metastases. Results. We recruited 181 patients with a proportion of 43.6% women. Fifty-nine patients (32.6%) had liver metastases. The CEA level of metastatic patients was 208.1 (2.1–12503.2) ng/mL; this was much higher than the non-metastatic group, which was recorded at 6.27 (0.8–1099.4) ng/mL (p<0.001). The AUC value was recorded at 0.904, and the optimal cut-off was obtained at CEA levels 38.765 ng/mL (Youden's Index = 1.718). We noted the sensitivity and specificity of serum CEA values 38.765 ng/mL, respectively, of 91.53% (91.5 CI, 81.32%–97.19%) and 80.3% (72.16%– 86.97%). The odds ratio of young colorectal cancer patients to have liver metastases was 44.10 (95% CI, 15.92–122.20) if the patient's serum CEA value was 38.765 ng/mL. Conclusion. CEA level ≥38,765 ng/mL has good sensitivity and specificity in predicting liver metastases among young adults with CRC."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adityawati Ganggaiswari
"Latar belakang : Beberapa data dari luar negri menunjukkan kanker kolorektal predominan terjadi pada populasi usia yang lebih tua (lebih dari 60 tahun). Kanker kolorektal yang terjadi pada usia lebih muda (kurang dari 40 tahun) hanya berkisar antara 3-6%. Dari penelitian terdahulu dilaporkan bahwa kanker kolorektal pada pasien usia muda cenderung memiliki gambaran perilaku tumor yang agresif dengan prognosis buruk. Pada beberapa penelitian, progresivitas dan prognosis yang buruk pada kanker kolorektal, dikaitkan dengan peristiwa angiogenesis. VEGF merupakan salah satu sitokin poten yang terlibat dalam proses angiogenesis seh.ingga tingginya kadar ekspresi VEGF berhubungan dengan progresivitas penyakit yang 1ebih tinggi dan prognosis yang burnk. Cancer-associated stroma mengalami perubahan-perubahan dinamis yang menyerupai reaksi penyembuhan luka, disebut sebagai reaksi desmoplastik. Reaksi ini didukung terutama oleh aktivasi "myofibroblas;'. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa myofibroblas mempuuyai peran untuk roemfasilitasi tumorigenesis dan progresi beberapa karsinoma, dan dikenal sebagai suatu petanda penting yang potensial untuk diagnosis, pengobatan dan prognosis kanker.
Hasil : Pada penelitian ini terlihat ekspreSi VEGFA tidak berbeda, namun terdapat perbedaan yang bennakna pada reaksi desmoplastik usia muda dibanndingkan pada usia tua. Nampak pula hubungan yang sejaJan antara ekspresi VEGF-A positif kuat dengan reaksi desmoplastik yang keras pada kanker kolorektal usia muda. Hal ini menyokong hepotesa kedua dan ketiga dari penelitian ini.
Kesimpulan : Progresivitas penyakit yang lebih tinggi dan prognosis yang buruk pada pasien kanker kolorektal usia muda kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor lain selain VEGF, yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32365
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Margaretha L. T
"Pada awalnya imunologi dianggap tidak memiliki peran dalam penyakit kanker, namun
berbagai penelitian saat ini telah membuktikan bahwa sel imun tubuh dapat menghambat
perkembangan sel kanker. Sel imun yang diketahui berperan dalam mematikan sel tumor
adalah sel limfosit T sitotoksik CD4+ dan CD8+.
Reseptor PD-1 atau programmed death 1 ligand (CD279) sebagai molekul yang bersifat
mensupresi proses imunologi dihasilkan pada membran plasma sel T dan jika berikatan
dengan PD-L1 akan menekan respon imun, ekspresi berlebihan dari PD-L1 akan
menekan respons dari sel imun terutama sel limfosit T.
Saat ini rasio neutrofil-limfosit (NLR) darah dikenal sebagai salah satu petanda untuk
prognosis maupun prediktor dalam terapi kanker. Peningkatan jumlah neutrofil di darah
perifer merupakan petanda dari inflamasi kronik yang menunjukkan gangguan dari
imunitas seluler, sedangkan jumlah limfosit darah menunjukkan respons dari sel T
sitotoksik yang baik.
Penelitian ini menemukan bahwa terdapat hubungan signifikan antara NLR pra radiasi
dengan PD-L1 ELISA pasca radiasi (p=0.010) sehingga NLR pra radiasi dapat digunakan
sebagai prediktor untuk PD-L1 ELISA pasca radiasi. Tidak ditemukan hubungan
signifikan antara PD-L1 intratumoral ELISA dengan sebukan limfosit stromal tumor,
namun terdapat kecenderungan hubungan negatif antara PD-L1 intratumoral ELISA
dengan sebukan limfosit stromal tumor pasca radiasi.

Decades ago immunology was not considered to have role in cancer, but various studies
have now proven that immune cells can inhibit the development of cancer cells. Immune
cells that are known to play a role in killing tumor cells are CD4 + and CD8 + cytotoxic
T cells.
PD-1 receptor or programmed death 1 ligand (CD279) as a molecule that suppresses the
immunological process produced on the T cell plasma membrane and it binds to PD-L1
will suppress the immune response, thus excessive expression of PD-L1 will suppress
the response of immune cells especially T cell lymphocytes
Recently the neutrophil-lymphocyte ratio (NLR) is known as one of the markers for the
prognosis and predictor of cancer therapy. An increase in the number of neutrophils in
peripheral blood is a sign of chronic inflammation which shows a disruption of cellular
immunity, whereas the number of blood lymphocytes shows a response from normal
cytotoxic T cells.
This study showed that there was a significant correlation between pre-EBRT NLR and
post EBRT PD-L1 ELISA (p = 0.010) so that pre-EBRT NLR could be used as a predictor
for post EBRT PD-L1 ELISA. No significant relationship was found between
intratumoral PD-L1 ELISA with a tumor stromal lymphocyte, but there was a trend of
negative relationship between intratumoral PD-L1 ELISA with a post-radiation tumor
stromal lymphocyte"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58866
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>