Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3121 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iman Dwiristato
"Kebijaksanaan reformasi perpajakan dilakukan pemerintah antara lain dimaksudkan untuk memobilisasi sumber-sumber daya untuk pengeluaran pemerintah. Walaupun di satu pihak pemerintah memerlukan penghasilan yang besar dari pajak, tetapi hal ini tidah perlu sampai membebankan masyarakat terlalu besar. Bagi masyarakat, bagaimanapun bentuknya, pajak tetap merupakan suatu pengurangan pendapatan. Keadaan ini pada gilirannya akan menimbulhan masalah-masalah dalam perekonomian secara keseluruhan. Karena dalam keseimbangan umum sektor yang satu selalu saling berhubungan dan mempengaruhi sektor lainnya.
Skripsi ini mencoba untuk melihat dampak kebiaksanaan reformasi perpajakan, terhadap perubahan distrbusi pendapatan dan perluasan kesempatan kerja, melalui model keseimbangan umum multisektoral.
Untuk menghindari kompleksitas, dampak kebjaksanaan reformasi perpajakan yang dibahas dalam skripsi ini hanya dampak dari pajak pertambahan nilai saja. Hal tersebut dikarenakan, pajak pertambahan nilai merupakan salah satu jenis pajalk yang baru diperkenalkan dalam negara kita. Disamping itu, pertumbuhan pajak pertambahan.
Analisa multisektoral nilai ini sangat pesat dibandingkan jenis pajak Iain setelah reformasi perpajakan. Kondisi ini akan rnenimbulkan pengaruh yang berarti terhadap distribusi pendapatan, kesempatan kerja dan sebagainya.
Model perencanaan yang digunakan adalah model keseimbangan kuantitatif Computable General Equilibrium (CGE). CGE adalah suatu model yang menggambarkan keseimbangan sernua pasar dalam suatu perekonornian. Di dalam model ini terdapat himpunan persaraaan yang menggambarkan permintaan, penawaran dan kondisi keseimbangan untuk pasar komoditi dan pasar faktor yang terdapat di dalam perekonomian serta persamaan-persamaan yang menspesifikasikan pendapatan dari setiap agen ekonorni Model ini mensimulasikan bekerjanya suatu sistim ekonomi yang menggambarkan interaksi antar agen ekonomi (produsen, konsumen dan pemerintah) dan dampaknya pada proses market clearing di pasar faktor dan pasar. komoditi
Hasil yang diperoleh menyebutkan bahwa pengenaan pajak pertarnbahan nilai, yang memiliki struktur pajak regresif, dirnana baik golongan berpenghasilan rendah, menengah, ataupun tinggi dikenakan tingkat yang sama terhadap pengeluaran mereka, tidak menyebabkan adanya perbaikan dalam distrbusi pendapatan. Kesimpulan ini mengacu pada menurunnya pendapatan seluruh kelompok rumah tangga, terutama, pendapatan kelompok rumah tangga pertanian yang turun paling tajam dibandinghan pendapatan kelompok rumah tangga bukan pertanian.
Disamping usaha untuk meningkatkan penerimaan, hasil yang diperoleh menyimpulhan bahwa pemerintah kurang mempertimbangkan masalah distribusi pendapatan dan kesempatan kerja dalam menetaphan kebjaksanaan reformasi perpajakan. Kesimpulan ini mengacu kepada turunnya pendapatan tenaga kerja di sebagian besar sektor produksi dan turunnya pendapatan seluruh kelompok rumah tangga, terutama pendapatan kelompok rumah tangga pertanian yang turun paling tajam dibandingkan pendapatan kelompok runrah tangga bukan pertanian, di lain pihak hasil simulasi menunjukkan bahwa penerimaan pemerintah relatif meningkat dengan tajam dibandingkan dengan kondisi awal (base) di tahun 1985.
Terhadap masalah kesempatan kerja, walaupun di satu pihak permintaan untuk kategori tenaga kerja pertanian dan tenaga kerja cukup terlatih (tenaga kerja tata usaha, penjualan dan jasa-jasa) mengalami kenaikan, dan dipihak lain untuk tenaga kerja tidak terlatih (tenaga kerja produksi, operator, buruh kasar) dan tenaga kerja
Analisa multisektoral"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1994
S18704
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Mora Aryani
"Salah satu upaya untuk mengefektifkan peranan pajak sebagai sumber pembiayaan pemerintahan adalah memperluas subjek pajak - Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga tingkat pedagang eceran. Untuk memberikan kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran (PKP PE) dalam memenuhi kewajiban PPN-nya, maka dikeluarkan ketentuan Nilai Lain sebagai Daftar Pengenaan Pajak (DPP).
Pokok permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana pelaksanaan ketentuan tersebut pertama : apakah terdapat keseragaman pemahaman terhadap ketentuan perundang-undangan perpajakan, kedua : apakah telah memberikan kemudahan administrasi pajak, ketiga : apakah telah memenuhi asas keadilan pajak, keempat apakah terdapat pengawasan dan pemeriksaan pajak yang efektif.
Kerangka teori yang penulis ajukan adalah prinsip-prinsip perpajakan yang ideal yaitu bahwa sistem perpajakan yang ideal harus memenuhi prinsip kepastian hukum yang tercermin dalam keseragaman pemahaman, kemudahan administrasi pajak, azas-azas keadilan pajak serta sistem pengawasan dan pemeriksaan yang efektif.
Disamping melakukan studi literatur (library research), penulis juga melakukan penelitian lapangan (field research) berupa unit analisis persepsi dan pengalaman aparatur pajak maupun wajib pajak (pedagang eceran) di wilayah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Jakarta Menteng dengan menggunakan instrumen kuesioner.
Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa, diantara wajib pajak maupun aparatur pajak tidak memiliki persepsi yang seragam terhadap pokok peraturan perundang-undangan perpajakan, belum sepenuhnya memberikan kemudahan dalam administrasi pajak bagi wajib pajak maupun instansi pajak, responden aparatur pajak menyatakan bahwa tarif deemed 10% x 20% x DPP sudah cukup wajar dan adil sebaliknya responden wajib pajak menyatakan belum sepenuhnya/belum adil dan seharusnya lebih rendah, sistem pengawasan dan pemeriksaan yang ada ternyata belum efektif, masih terdapat beberapa kendala dan perlu ditingkatkan.
Untuk lebih mengoptimalkan pelaksanaan pengenaan PPN terhadap PKP PE dengan menggunakan Nilai Lain sebagai DPP, disarankan untuk dilakukan peninjauan kembali seluruh ketentuan perpajakan yang terkait, dilakukan penyeragaman pemahaman antara wajib pajak maupun aparatur pajak, dilakukan peninjauan lebih lanjut untuk memberikan kemudahan administrasi pajak, dilakukan penelitian lebih lanjut tentang besarnya tarif deemed yang wajar dan dilakukan penyuluhan yang intensif dan terencana untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak sehingga tercipta keadilan (persaingan yang sehat) diantara wajib pajak."
2001
T7439
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafael Alun Trisambodo
"Penerimaan pajak memegang peranan penting dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terlebih setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan. Banyak usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Salah satunya adalah menghilangkan fasilitas perpajakan yang tidak bermanfaat.
Fasilitas di bidang Pajak Pertambahan Nilai yang menarik untuk dibahas adalah adanya penundaan penyetoran pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 549/KMK.04/2000 Pemungut PPN diperbolehkan menyetorkan PPN yang dipungut 15 hari bulan berikutnya setelah pelunasan dilakukan. Penundaan ini menimbulkan pelanggaran atas Ketentuan Perpajakan dari pihak yang tidak bertanggung jawab.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme pemungutan dan penyetoran serta pelaporan PPN oleh pemungut Pajak Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya, serta menganalisis kerugian negara yang timbul karena keterlambatan penyetoran oleh Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan melakukan studi kasus pada tiga perusahaan yang menjadi supplier Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan tiga perusahaan yang menjadi supplier Kontrak Karya. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah wawancara, observasi dan studi kepustakaan. Data yang diolah berupa data bukti setoran pajak yang diterima perusahaan untuk transaksi tahun 2001. data diambil sampai dengan September 2002 untuk melihat besarnya kerugian negara dari PPN yang belum disetor ditambah dengan sanksi bunga karena keterlambatan penyetoran.
Dari hasil penelitian dapat diperoleh gambaran bahwa mekanisme pemungutan dan penyetoran serta pelaporan PPN yang dipungut oleh Pemungut Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya berbeda dari mekanisme PPN umumnya, yaitu adanya hak untuk menyetorkan 15 hari bulan berikutnya dari pelunasan transaksi. Hal itu menimbulkan kerugian karena adanya pelanggaran Ketentuan Perpajakan dengan menunda penyetoran lebih lama dari waktu yang ditentukan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rieza Zainal
"Perusahaan pertambangan batubara dalam menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia didasarkan atas suatu Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan Pemerintah Indonesia dengan yang memiliki sifat lex specialis derogat lex generalis. Di dalam PKP2B tersebut mengatur segala hak dan kewajiban bagi kedua pihak atas kegiatan usaha termasuk mengenai pajak-pajak dan lain-lain kewajiban perusahaan.
Latar belakang penulisan ini didasari karena adanya perubahan kebijakan publik dalam perpajakan atas pengenaan PPN atas hasil tambang batubara sejak reformasi perpajakan tahun 2000 dengan diterbitkannya suatu kebijakan dalam PP Nomor 144 Tahun 2000 yang mengubah status batubara menjadi Barang Tidak Kena Pajak (BTKP). Dalam implementasinya, proses kebijakan tersebut melalui ketentuan dan peraturan perundang-undangan perpajakan (instrument fiscal arrangements) menimbulkan perubahan persepsi antara otoritas perpajakan dengan Wajib Pajak sehingga menyulitkan administrasi PPN. Selain itu, diterbitkannya PP tersebut kurang memenuhi asas-asas perpajakan dan perundang-undangan maupun konsepsi dari PPN atas nilai tambah dari hasil tambang batubara. Usaha-usaha dari Wajib Pajak sendiri berupaya kepada pemerintah untuk menunda PP tersebut karena akan merugikan investor maupun harga batubara Indonesia di pasar internasional.
Oleh karena itu atas dasar permasalahan-permasalahan tersebut, maka dalam penulisan ini bertujuan untuk melakukan kajian atau analisis terhadap perubahan kebijakan PPN atas pengusahaan pertambangan batubara di Indonesia. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah deskripsi analisis dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan dan dokumen serta penelitian lapangan melalui kuesioner dan wawancara kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan penelitian.
Berdasarkan analisis, bahwa perumusan kebijakan dalam PP tersebut sebagai pelaksana UU PPN hendaknya tidak mengubah atau mengesampingkan ketentuan pada undang-undang yang memiliki kedudukan lebih tinggi dalam mengatur hal yang sama (lex superiors derogat lex inferior). Demi menciptakan kepastian hukum, penyempitan atau perluasan materi tidak dibenarkan menambah norma-norma baru serta tidak dapat mengganti ketentuan perundangan-undangan lama sepanjang mengatur hal yang tidak sama (lex posteriori derogat lex priori). Bagi PKP2B yang terbagi dalam tiga generasi (Generasi I, II dan III), adanya kebijakan tersebut akan membawa konsekuensi pada masing-masing generasi mengalami perlakukan pengenaan PPN yang tidak sama.
Pada akhir tulisan ini, penulis memberikan input bagi pemerintah sebagai tax policy maker , sovereign tax power dan government as resources owner dalam menetapkan kebijakan PPN atas hasil tambang batubara demi memaksimalkan penerimaan negara sehingga menimbulkan keadilan (equality), kepastian (certainty), kemudahan (convenience) dan tidak menimbulkan biaya tambahan ekonomi (economy) bagi masing-masing generasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10825
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Augus Hendra
"Implementasi Kebijakan UU PPN melalui Faktur Pajak berdampak pada Kejahatan PPN berupa pengkreditan Faktur Pajak Bermasalah dalam mekanisme Pengkreditan Pajak Masukan, sehingga pengawasan multak diperlukan agar tujuan pembuatan kebijakan dapat tercapai. Pengawasan faktur pajak dapat dilakukan, baik secara administratif yakni pengawasan yang tercipta dalam suatu sistem, secara otomatis (build in control), maupun secara represif berupa penjatuhan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan. bentuk-bentuk pengawasan represif berupa pemeriksaan ataupun penyidikan pajak.
Pokok permasalahan dalam tesis ini adalah studi atas pendapat stakeholder's (Aparat Pajak dan Wajib Pajak) tentang : pertama Implementasi UU PPN melalui Faktur Pajak, kedua imptementasi pengawasan administratif Faktur Pajak, dan ketiga implementasi pengawasan represif sebagai upaya pencegahan kejahatan PPN. Sedangkan kerangka teori yang penulis ajukan adalah teori tentang pembuatan suatu kebijakan, dan implementasi dari kebijakan, serta pemahaman akan konsep Nilai Tambah ( Value Added) yang menjadi dasar pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai serta pengertian akan Faktur Pajak yang merupakan implementasi kebijakan UU PPN.
Metodologi penelitian yang dilakukan adalah deskriptif kuantitatif dengan frekuensi prosentase. Responden Wajib Pajak yang diteliti adalah yang pernah di periksa di Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Bogor, dan dipilih secara purposive, serta semua Aparat Pajak yang bekerja di Seksi PPN Kantor Pelayanan Pajak Bogor, Sukabumi, Cibinong, Depok Berta Pemeriksa di Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Bogor.
Hasil penelitian menunjukkan Sistem Informasi Perpajakan sebagai implementasi pengawasan administratif masih memiliki kelemahan-kelemahan yang mendasar. Pemeriksaan sebagai implementasi pengawasan represif diyakini tidak mampu mendeteksi adanya Faktur Pajak Bermasalah yang coba dikreditkan oleh para pelaku. Penyidikan pajak sebagai implementasi pengawasan represif merupakan upaya terakhir yang harus dilakukan bila sanksi administratif tidak mampu menghalangi terjadinya kejahatan PPN. Namun, sanksi administratif yang ada saat ini tidak mampu untuk menghalangi terjadinya kejahatan PPN.
Untuk lebih mengoptimalkan Sistem Infornasi Perpajakan sebagai implementasi pengawasan administratif disarankan agar dilakukan protek terhadap system untuk tidak dapat dicopy dan di print out diluar piranti keras yang telah disediakan Direktorat Jenderal Pajak. Pengawasan represif pemeriksaan disarankan agar dilakukan melalui pemeriksaan lengkap untuk marrpu mendeteksi adanya Faktur Pajak Bermasalah yang ikut dikreditkan. Sanksi administratif yang diberikan sebagai hasil bentuk pengawasan represif pemeriksaan agar dibuat khusus dan diperberat kepada pelaku yang mencoba mengkreditkan Faktur Pajak Bermasalah, berupa Sanksi Kenaikan sebesar 100% dari Nilai Faktur Pajak Bermasalah.
Penyidikan sebagai bentuk pengawasan represif membutuhkan dukungan kebijakan yang kuat, oleh karena itu disarankan agar unsur kerugian negara dapat ditempatkan sebagai unsur yang memberatkan, bukan sebagai unsur yang harus dibuktikan. Selain itu, disarankan Pula agar dilakukan penghapusan pasal-pasal yang menghambat proses penyidikan dan menambahkan pasal-pasal yang mempermudah pelaksanaan penyidikan sebagai upaya pencegahan kejahatan PPN."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12030
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Baidowi
"Salah satu jenis pajak yang mempunyai peranan dalam penerimaan Negara adalah Pajak Pertambahan Nilai, dimana penerapannya di Indonesia untuk pertama kali yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 dan merupakan upaya reformasi perpajakan menggantikan pelaksanaan pemungutan pajak penjualan berdasarkan Undang-Undang Darurat nomor 19 tahun 1951 dan Undang-Undang nomor 35 tahun 1953.
Pajak Pertambahan Nilai memiliki legal karakter sebagai pajak objektif dimana timbulnya suatu kewajiban pajak sangat ditentukan oleh factor objektif yaitu karena adanya peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak, sedangkan kondisi subjektif subjek pajak tidak ikut menentukan. Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri merupakan perluasan objek Pajak Pertambahan Nilai yang baru diatur dalam pasal 16.C Undang-Undang nomor 11 tahun 1994 dimana kebijakan tersebut masih kurang selaras dengan memori penjelasan pada pasal 4.
Disamping itu dalam memori penjelasan pasal 16.C Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yaitu untuk mencegah terjadinya penghindaran pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan untuk melindungi masyarakat yang berpenghasilan rendah juga belum sesuai dengan implementasi kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri yang telah dijalankan.
Berdasarkan hal tersebut penulis mendapatkan beberapa permasalahan pokok sebagai sumber dalam penulisan tesis ini yaitu :
1. Apakah Implementasi Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri tidak dalam usaha atau pekerjaannya dapat mempengaruhi masyarakat Wajib Pajak untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
2. Bagaimana pengaruh Implementasi Kebijakan Pajak Pertambahan NiIai atas kegiatan membangun sendiri tidak dalam usaha atau pekerjaannya terhadap penerimaan Negara dari Pajak Pertambahan Nilai.
3. Apakah Implementasi Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri tidak dalam usaha atau pekerjaannya dapat dilaksanakan sesuai kondisi di Indonesia.
Hasil analisis yang menggunakan metode desk iptif analisis melalui studi kepustakaan diketahui bahwa pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam usaha atau pekerjaan oleh Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, Pengusaha Kecil, maupun membangun sendiri yang dilakukan dalam kawasan real estate tujuannya adalah untuk memajaki pengeluaran konsumsi dan adanya kecendrungan masyarakat wajib pajak untuk melaksanakan kegiatan membangun sendiri dengan menggunakan jasa pemborong yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Dari kesimpulan diatas untuk mengoptimalkan Implementasi Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap kebijakan-kebijakan yang mengatur sehingga maksud dan tujuan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dapat dioptimalkan.

Analysis On The Implementation Of Value Added Tax (VAT) Policy Toward Self Establishment Activity
One type of the tax which has an important role for State revenue is Value Added Tax (VAT), which was firstly implemented in Indonesia by UU (Code of Law) number 8, 1983 and is one of tax reform action to subsirute for the implementation of sale tax collection based on Undang-undang Dana-at Number 19,1951 and Undang-undang Number 35, 1953.
Value Added Tax has legal characteristics as an objective tax in which the obligation to pay the tax is fully determined by objective factors, i.e. due to a legal event or action from which the tax can be collected, where as the subjective condition of the tax payer does not determine. VAT toward self establishment activity is the extension of VAT object which is regulated an article 16C UU (Code of Law) number 11,1994, of which policy is not in accordance with the explanation of article 4.
Besides, on the explanation of article 16C of VAT Code of Law, that is to stop the avoidance of VAT collection, as well as to protect low-income society which is not in accordance with the implementation of VAT policy toward self establishment activity. Based on those explanations the writer formulizes several research problems as the sources in writing this thesis, i.e.
1. Whether the implementation of VAT policy toward self establishment activity outside the job can stimulate tax payers to fulfill the duty in accordance with the tax regulation.
2. How the implementation of VAT policy toward self establishment activity outside the job can affect state revenue from VAT.
3. Whether the implementation of VAT policy toward self establishment activity outside the job can be implemented in Indonesian setting.
From the result of the analysis utilizing Descriptive method through library study, it is found that VAT policy implemented toward self establishment activity which is done outside the work by individuals, Institutions, Soft Office, as self establishment done by real estate in order to collect the tax from consumption and the tendency of tax payers to do self establishment activity by using the construction company which is not legalized as Tax Payer.
It can be concluded that the effort to increase the implementation of VAT Policy toward self establishment activity should be improved especially toward the regulating policies so that the purpose of VAT collection can be optimalized."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T 13866
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aloysius Heru Sutanto
"Pembangunan Nasional perlu dukungan dana yang besar terutama dari penerimaan dalam negeri khususnya pajak, yang berfungsi sebagai penggerak perekonomian. Peningkatan penerimaan pajak tiap tahun masih relatif kecil dibandingkan potensi dan perkembangan faktor-faktor yang ada dan masih banyak terjadi manipulasi/penyelewengan pajak.
Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan penarikan sampel secara acak sederhana dan stratifikasi terhadap para wajib pajak yang mengisi daftar kuesioner dan wawancara, kemudian dilakukan pemeriksaan dan pengelompokan katagori untuk dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.
Kemudahan pelayanan fasilitas pajak melalui Badan Pelayanan Kemudahan Ekspor dan Pengolahan Data Keuangan sangat disukai banyak perusahaan karena sistem pelayanannya baik dan manfaatnya sangat membantu arus kas perusahaan, yang seharusnya fasilitas tersebut masih dapat ditambah dan diperluas lagi.
Pada waktu penerimaan laporan periodik pelayanan yang diberikan masih kurang memuaskan, karena tidak ada bagian tersendiri dan kurangnya penyuluhan. sedangkan laporan Surat Pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dianalisis, sehingga harus dibuat formulir tambahan yang lebih lengkap dan terinci.
Untuk meningkatkan penerimaan pajak, pihak Direktorat Jenderal Pajak dapat membuat ketentuan dan peraturan baru tentang keharusan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan perluasan obyek pajak. sedangkan untuk system pengendalian dijalankan pemeriksaan yang lebih intensif dan rutin terhadap semua wajib pajak dengan bantuan tenaga siswa Sekolah Menengah Atas dan mahasiswa sebagai pembantu pelaksana pemeriksa sehingga tertib administrasi dan pajak dapat terlaksana baik dan mengurangi jumlah pengangguran yang ada."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Irawan
"Dalam rangka merangsang iklim investasi di bidang pertambangan di Indonesia, menurut perundang-undangan Penanaman Modal Pengusaha Pertambangan Umum, salah satunya diatur melalui Kontrak Karya yang dibuat berdasarkan persetujuan antara pengusaha pertambangan dengan Pemerintah Indonesia. Di Indonesia saat ini sudah ada sebanyak 7 Generasi. Didalam Kontrak Karya diatur mengenai hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak termasuk di dalam bidang perpajakan khususnya Pajak Pertambahan Nilai.
Dalam kaitannya dengan Kontrak Karya Generasi IV, Pemerintah mengeluarkan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai, Reformasi perpajakan dari Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 dengan terbitnya petunjuk pelaksanaan yang tertuang dalam PP Nomor 144 Tabun 2000 mengubah status barang hasil tambang berupa emas batangan dari Barang Kena Pajak menjadi Barang Tidak Kena Pajak. Didalam pelaksanaan, proses kebijakan tersebut menimbulkan perbedaan persepsi antara otoritas pajak dengan wajib pajak pertambangan Kontrak Karya Generasi IV dalam hal PPN atas barang hasil tambang.
Kebijakan Perpajakan yang diatur didalam Kontrak Karya Generasi IV disesuaikan dengan Undang-undang Pajak dan Peraturan-peraturan yang berlaku (prevailing law). Sehingga menimbulkan perbedaan interpretasi mengenai aspek Pajak Pertambahan Nilai antara pemerintah dengan wajib pajak.
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah, untuk menganalisis perubahan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analisis dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan dan dokumen serta dilakukan melalui kuesioner dan wawancara.
Dari hasil penelitian dapat diperoleh gambaran bahwa kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah hendaknya tidak mengubah ketentuan di dalam Kontrak Karya yang kedudukannya lebih tinggi dalam mengatur hal yang sama.
Dengan adanya kebijakan tersebut membawa dampak pada Perusahaan Kontrak Karya Generasi IV terhadap perlakuan PPN masukan yang berkaitan dengan kegiatan perusahaan pertambangan dibidang produksi, pemasaran, distribusi, dan manajemen menjadi tidak dapat dikreditkan.

In order to encourage investment climate in mining in Indonesia, according to the laws of the capital investment of general mining entrepreneurs, one of many ways to do it is managed by a Contract of Work which was made based on the agreement between the mining entrepreneurs and Indonesian's government. At the moment there are 7 Generations in Indonesia. Contract of Work manage the right and the obligation for both sides including the tax, especially the Value Added Tax.
In the connection with the Contract of Work fourth Generation, the government launched the Value Added Tax policy, the tax reform from laws number 18 year 2000 by releasing the direction of execution which is stated in government regulation number 144 year 2000 changing mining product status from Taxable Goods into Non-Taxable Goods. In its application, this policy creates different perception between the tax authorities and the mine tax payer of the fourth Generation of The Contract of Work in the subject of Value Added Tax on mining product.
Taxation policy, which is regulated under the fourth Generation of The Contract of Work, is adjusted to the Taxation laws and the prevailing law. This gives rise to different interpretation about Value Added Tax aspect between the government and taxpayer.
The objective of this research is to analyze the changes of Value Added Tax policy. The research method used is descriptive analytic method with data collecting technique through library and document research as well as questionnaire and interviews.
From the result of the research we conclude that the policy, which was made by the government through government regulation, should not change the points in the Contract of Work which has higher legal footing 1 position in regulating tax issues.
The existence of that policy brings the effect to the Contract of Work fourth Generation's company to the treatment of Value Added Tax as a input which is connected to the activity of mining companies; production, marketing, distribution, management, making it unpredictable.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14195
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Sudaya
"Tujuan penulisan tesis ini adalah bertujuan untuk :
1. Menganalisa putusan Majelis Hakim BPSP terhadap permohonan banding yang diajukan KPS dan pendapat DJP terhadap putusan Majelis Hakim BPSP.
2. Menganalisa putusan majelis Hakim BPSP dan DJP ditinjau dari ketentuan perundang-undangan serta konsekuensinya terhadap keuangan negara apabila DJP menjalankan putusan Majelis Hakim BPSP.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian pustaka (library research) dengan menggunakan data sekunder yaitu Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan masalah teori hukum, perpajakan, migas, dan keuangan negara, buku, makalah dan artikel terkait serta Putusan majelis hakim BPSP terhadap permasalahan tersebut teori hukum, perpajakan, migas, dan keuangan negara."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18387
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tunas Hariyulianto
"Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai menganut prinsip tujuan (Destination Principle) yaitu suatu prinsip pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas barang dan jasa oleh negara tempat pemanfaatan atau konsumsi barang dan jasa tersebut. Berdasarkan prinsip ini, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi di dalam Daerah Pabean, sedangkan atas konsumsi barang dan jasa yang dilakukan di luar Daerah Pabean tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Atas dasar prinsip tujuan (Destination Principle) ini, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai tidak mengenakan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak. Pengecualian dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai ini dilakukan melalui metode Zero Rate, yaitu atas ekspor Barang Kena Pajak ditentukan sebagai penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0%. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% ini telah membuat ekspor Barang Kena Pajak menjadi bebas dad pengenaan Pajak Pertambahan Nilai secara penuh (Free of Tax), karena atas Barang Kena Pajak yang diekspor tersebut tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan Pengusaha ekspor tetap dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan barang dan jasa yang berhubungan dengan Barang Kena Pajak yang diekspor tersebut.
Berbeda halnya dengan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Jasa Kena Pajak, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai hanya mengatur mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dengan tarif 10%, tanpa adanya ketentuan iebih lanjut yang mengatur mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai da!am hal Jasa Kena Pajak tersebut dimanfaatkan di luar Daerah Pabean (Ekspor Jasa). Dengan demikian, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai mengenakan tarif yang sama sebesar 10% atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean baik untuk dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean maupun di luar Daerah Pabean.
Analisis yang dilakukan berdasarkan studi kepustakaan, penelaahan dokumen dan hasil wawancara diperoleh kesimpulan bahwa Ketentuan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% atas ekspor Jasa Kena Pajak tidak sesuai dengan konsep teori Pajak Pertambahan Nilai antara lain prinsip tujuan (Destination Principle) yang dianut oleh Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, Teori Netralitas Pajak Pertambahan Nilai dan Teori Bukan Faktor Harga (VAT is not a cost price factor). Berdasarkan prinsip tujuan, atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean untuk dikonsumsi atau dimanfaatkan di luar Daerah Pabean seharusnya tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Teori Netralitas Pajak Pertambahan Nilai menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai seharusnya tidak dikenakan atas ekspor. Sedangkan teori yang ketiga menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai bukanlah faktor penentu harga atau tidak masuk ke dalam harga barang atau jasa yang diserahkan.
Pengecualian dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor Jasa Kena Pajak, dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari dua metode yaitu Exemption dan Zero Rate. Berdasarkan konsep teori dan metode yang digunakan oleh negara-negara yang menerapkan sistem Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax), metode yang sebaiknya digunakan adalah Zero Rate, yaitu pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Jasa Kena Pajak dengan tarif 0%.
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dengan metode Zero Rate (tarif 0%) ini, akan membuat ekspor Jasa Kena Pajak menjadi bebas dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai secara penuh (Free of Tax), karena atas Jasa Kena Pajak yang diekspor tersebut tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan Pengusaha ekspor tetap dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan barang dan jasa yang berhubungan dengan Jasa Kena Pajak yang diekspor tersebut. Pengecualian dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai secara penuh (Free of Tax) diharapkan akan dapat meningkatkan daya saing harga dari produk-produk jasa yang diekspor oleh Pengusaha Indonesia. Hal ini tentunya akan Iebih menciptakan iklim dunia usaha jasa di Indonesia yang lebih kondusil. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dengan metode Zero Rate juga dilakukan dalam rangka harmonisasi perpajakan demi terciptanya perdagangan internasional yang fair dan netral.
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan analisis permasalahan dalam tesis ini adalah pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Jasa Kena Pajak dalam peraturan perundang-undangan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia belum sesuai dengan konsep teori Pajak Pertambahan Nilai. Selanjutnya, disarankan agar dilakukan perubahan ketentuan dalam Undangundang Pajak Pertambahan Nilai yang mengatur mengenai penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean untuk dimanfaatkan di luar daerah pabean (ekspor Jasa Kena Pajak) sehingga sesuai dengan konsep teori Pajak Pertambahan Nilai.

The Indonesian VAT Prevailing Law follows a Destination Principle in imposing Value Added Tax. Under this Destination Principle, VAT is imposed on goods and services consumed in the taxing jurisdiction, regardless of where they are produce. VAT is imposed on imports for consumption in the state, and VAT is rebated on exports to be consumed elsewhere. Fiscal frontiers must be maintained to ensure that exports are fully rebated for the VAT paid in the exporter's domestic market and where the VAT rates appropriate to the importer's home market can be applied.
Based on The Destination Principle, VAT is not imposed on goods consumed outside the taxing jurisdiction (Exports of goods). This Exception of VAT Levy, done with Zero Rate Method. Zero Rate means that the trader is fully compensated for any VAT he pays on inputs and, therefore, genuinely is exempt from VAT, On the other hand, a trader liable to the zero rate is liable to an actual rate of VAT, with just happens to be zero; therefore, such a zero-rated trader is wholly a part of the VAT system and makes a full return for VAT in the normal way. However, when this trader applies the tax rate to his sales, it ends up as a zero VAT liability but from this he can deduct the entire VAT liability on his inputs, generating a repayment of tax from the government. In this way, the zero-rated trader reclaims all the VAT on his inputs and bears no tax on his outputs, and the purchaser of such a trader's sales buys the good free of VAT. Different matter with VAT levy on exports of services. Indonesian VAT Laws imposed on every transfer of taxable services in taxing jurisdiction with rate of 10%, regardless of where they are consumes. Therefore, 10% VAT is imposed on export of taxable services.
Analysis that has been done based on study of literature books and interview, conclude that 10% VAT levy on export of taxable services is not appropriate with Theory of VAT, among other things, Destination Principle, Neutrality Theory and VAT is not a cost-price factor Theory. According to this principle and the theory, VAT should not impose on services that consumed outside the taxing jurisdiction (Export of services).
Exception of VAT levy on export of services can use exemption or zero rate. According to VAT Theory and method used in countries that used VAT System, the method should be used is zero rate. Using Zero Rate means that the exporter of services is fully compensated for any VAT he pays on inputs and, therefore, genuinely is exempt from VAT. The exporter of services can reclaims all the VAT on his inputs and bears no tax on his outputs, and the purchaser of such a trader's sales buys services free of VAT. Using zero rate in export of services will increase price competitiveness of service products that exported by Indonesian producer. Further, this matter will create the conducive condition for business of services in Indonesia.
Based on analysis of the case in this examination, conclude that imposing Value Added Tax on export of services according to the prevailing law is not appropriate with theory of VAT. Further, suggested that the government should amendment prevailing law in particular that regulate about imposing Value Added Tax on export of services.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22186
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>