Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153046 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdurrahman Al-Fatih Ifdal
"Perjanjian Indonesia-Portugal mengenai Masalah Timor Timur merupakan objek penelitian yang mengandung aspek intermestik sehingga kajian desentralisasi asimetris yang terlibat di dalamnya juga perlu membahas mengenai diskursus kebijakan politik luar negeri. Penelitian ini hendak mengaitkan diskursus desentralisasi beserta faktor-faktor terkait lainnya dengan struktur desain konstitusional yang termuat dalam Perjanjian Indonesia-Portugal mengenai Masalah Timor Timur. Penelitian ini menilai bahwa kebijakan politik luar negeri cenderung ditetapkan dengan skema ‘kepala menghadap ke luar’. Artinya, kebijakan politik luar negeri difokuskan untuk memberikan respons terhadap faktor-faktor eksternal yang berasal dari luar. Padahal, adanya kebijakan desentralisasi ditentukan untuk menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada daerah otonom sehingga timbul hak untuk mengatur dan mengurus sendiri kekuasaan pemerintahan yang diserahkan. Di sisi lain, kebijakan politik luar negeri melalui perjanjian bilateral antara dua negara dan desentralisasi sejatinya secara inheren tidak memiliki arah pendekatan yang tertuju pada titik temu yang sama. Kebijakan politik luar negeri memiliki domain tujuan mengatasi masalah internasional, sedangkan desentralisasi memiliki domain tujuan mengatasi masalah lokal. Namun, penelitian ini berargumen bahwa keduanya sama-sama memiliki tujuan jangka panjang untuk mencapai stabilitas nasional guna memenuhi kebutuhan nasional. Dengan demikian, penelitian ini hendak menguraikan bagaimana skema konsep desentralisasi asimetris dikonstruksikan dalam suatu negara; mengulas dan mengeksplorasi konstruksi konsep desentralisasi asimetris dalam suatu negara yang lahir dari sebuah perjanjian bilateral antarnegara; dan menjabarkan penerapan konsep desentralisasi asimetris yang lahir dari sebuah perjanjian bilateral antarnegara, dengan berkaca pada Perjanjian Indonesia-Portugal mengenai Masalah Timor Timur.

The Agreement between the Republic of Indonesia and the Portuguese Republic on the Question of East Timor is an object of research that contains an intermestic aspect, in which the study of asymmetric decentralization involved in it also needs to discuss foreign policy discourse. This research seeks to relate the decentralization discourse and other related factors to the constitutional design structure contained in the Indonesia-Portugal agreement. This study assesses that foreign policy tends to be determined with a 'head facing out' scheme. That is, foreign policy is focused on providing a response to external factors that come from outside. In fact, decentralization is determined to transition government power into autonomous regions so that the right to regulate and manage the government power is handed over. On the other hand, decentralization and foreign policy, through bilateral agreements between two countries, inherently do not have an approach directed at the same meeting point. Foreign policy has a domain of overcoming international problems, while decentralization has a domain of overcoming local problems. However, this study argues that both of them have a long-term goal of achieving national stability in order to meet national needs. Thus, this study aims to describe how the concept of asymmetric decentralization is constructed in a country; review and explore the construction of the concept of asymmetric decentralization in a country that was born from a bilateral agreement between countries; and describes the operational application of the concept of asymmetric decentralization that was born from a bilateral agreement between countries, by studying the case of the Agreement between the Republic of Indonesia and the Portuguese Republic on the Question of East Timor."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsu Rizal
"Penetapan 26 dari sekitar 300 Daerah Tingkat II sebagai Percontohan Otonomi Daerah merupakan tahapan awal dari serangkaian tahapan dalam melaksanakan Otonomi Daerah dengan Titik Berat pada Daerah Tingkat II di Indonesia. Namun, karena pertimbangan tertentu, tidak semua Daerah Tingkat II dapat melaksanakannya. Dengan demikian, Daerah-daerah Tingkat II di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu: yang sudah dan yang belum melaksanakan oonomi daerah.
Perbedaan Daerah Tingkat II dalam melaksanakan oonomi daerah tersebut akan berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas Camat sebagai bawahan langsung dari Bupati kepala Daerah Tingkat II. Oleh karena itu, bobot tugas Camat akan berbeda. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan bobot tugas Camat secara empires pada Daerah Tingkat II yang belum dan sudah melaksanakan otonomi daerah, dalam hal ini Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung.
Penelitian dilakukan tidak hanya melalui studi kepustakaan, tetapi juga melalui studi lapangan. Hal ini dimaksudkan untuk memahami perbedaan bobot tugas Camat yang sesungguhnya terjadi di Daerah Tingkat II yang belum dan sudah melaksanakan otonomi daerah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan bobot tugas Camat di kedua Daerah Tingkat II signifikan, khususnya dalam hal pelaksanaan asas desentralisasi. Bobot tugas desentralisasi Camat di Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung lebih banyak dibandingkan dengan bobot tugas Camat di Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung. Berkenaan dengan pelaksanakan asas dekonsentrasi, bobot tugas Camat relatif sama, sekalipun volume dan jenis kegiatannya agak berbeda. Namun, pertambahan urusan di tingkat kecamatan tidak diimbangi oleh perubahan kelembagaan, personil, perlengkapan, dan pembiayaan yang diperlukan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bobot tugas Camat di Daerah Tingkat II yang telah melaksanakan otonomi daerah lebih besar daripada bobot tugas Camat di Daerah Tingkat II yang belum melaksanakan otonomi daerah. Oleh karena itu, untuk mengimbangi pertambahan bobot tugas tersebut, perlu perubahan dalam kelembagaan, personil, perlengkapan, dan pembiayaan di tingkat Kecamatan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismadi Ananda
"Universitas Indonesia
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Pascasarjana
Program Studi Ilmu Administrasi
Kekhususan Administrasi dan Kebijakan Publik
ABSTRAK
DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI TERHADAP KELEMBAGAAN PEMERINTAH
Ismadi Ananda - 6996322421
Viii + 166 hal + 9 tabel + 7 gambar
Bibliografl 25 buku + 5 jurnal, makalah + 6 Peraturan Perundang-undangan
(1985-2001)
Kebijakan desentralisasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah merubah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dari sentralistik ke desentrallstik. Perubahan tersebut, dilandasi oleh bergesernya kewenangan yang selama ini berada ditangan Pemerintah Pusat menjadi kewenangan Kabupaten atau kota. Pergeseran tersebut,, berdampak pada seluruh aspek manajemen pemerintahan baik perencanaan, pelaksanaan maupun pengendaliannya yang biasanya
diselenggarakan oleh lembaga-lembaga Pemerintah. Keberadaan lembaga Pemermtah yang selama ini memegang kendali terhadap ketiga kegiatan tersebut, akan sangat berkurang, mengingat hampir semua pelaksanaan yang langsung menyentuh pemberian layanan masyarakat akan dilaksanakan Daerah, sedangkan Pemerintah hanya berfungsi sebagai fasilitator belaka.
Permasalahannya adalah seberapa besar pengaruh pergeseran peran tersebut, terhadap tugas, ftmgsi dan susunan organisasi yang bermuara pada besaran unit organisasi Pemerintah setelah Undang-Undang tersebut, diterapkan ? itulah yang akan dibahas dalam tesis ini apakah memang terjadi perampingan atau malah sebaliknya.
Kerangka acuan analisis terhadap permasalahan tersebut, menggunakan metode evaluatif dengan membandingkan kondisi kelembagaan sebelum dan sesudah Undang-Undang 22 Tahun 1999 dilaksanakan melalui pendekatan analisis terhadap 3 (tiga) fungsi pemerintahan utama yakni regulatory, pemberian layanan dan penyediaan fasilitas pembangunan. Kelembagaan Pemermtah yang dianalisis adalah semua kementrian meiiputi Menteri Koordinator, Menteri Negara, Menteri Muda dan Departemen serta Lembaga Pemerintah Non Departemen. Dari hasil analisis terhadap besaran unit organisasi tersebut, dapat diketahui ternyata pergeseran kewenangan Pemerintah belum diikuti dengan perampingan organisasi sesuai yang diharapkan sehingga belum signifikan berdampak terhadap besaran kelembagaan Pemerintah.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T388
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Washington DC: The World Bank, 2005
352.283 Wor e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Saffanah Fitia Putri
"Konsep desentralisasi di Indonesia tidak hanya sekedar menyerahkan kewenangan dan kekuasan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal tersebut perlu diikuti dengan penyerahan aspek finansial, yang disebut sebagai perimbangan keuangan pusat dan daerah. Salah satu jenis dana perimbangan yang di transfer dari pusat kepada daerah adalah dana bagi hasil (DBH). DBH secara konsep merupakan transfer untuk daerah dengan persentase tertentu yang bertujuan untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan. Salah satunya adanya DBH Dana Reboisasi (DBH DR) yang berfokus pada urusan sektor kehutanan dalam level pemerintah daerah. Adapun konsep DR di Indonesia pada awalnya berangkat dari Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi yang menyebutkan bahwa DR hanya dapat digunakan untuk kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), sehingga pemerintah daerah kesulitan dalam menggunakan DR tersebut yang peruntukkannya terlalu spesifik. Hal tersebut berakibat pada banyaknya DR yang mengendap dalam kas daerah dan tidak terserap dengan baik. Berkaitan dengan masalah tersebut, pemerintah pusat menginisiasikan adanya perubahan alokasi melalui perluasan penggunaan DBH DR, yang dimana DR tersebut dapat digunakan untuk berbagai macam kegiatan dengan ketentuan sesuai pada tujuan utama dana perimbangan tersebut yakni, kegiatan reboisasi dan RHL. Pengaruh dari pengalihan urusan kehutanan kepada pemerintah provinsi dari pemerintah kabupaten/kota juga mempengaruhi pengalihan kewenangan fiskal untuk DBH DR menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Landasan hukum tersebut pada akhirnya juga mempengaruhi munculnya kebijakan perluasan penggunaan DBH DR, mengingat bahwa DR di pemerintah kabupaten/kota belum dapat digunakan secara optimal. Oleh karena itu, diharapkan perluasan penggunaan DBH DR dapat menjadi pemicu pemerintah daerah untuk meningkatkan penggunaan atau penyerapan DBH DR dalam rangka melaksanakan kegiatan RHL.


Decentralization concept in Indonesia is not just giving authority from central to local government. It needs to be followed with financial authority or fiscal decentralization. There are many types of fiscal decentralization, one of them is revenue sharing. By definition, revenue sharing is a budget with specific presentation that local government can be use to execute government activities. There is one of revenue sharing types called forest revenue sharing or DBH DR in local government. DR in Indonesia is reffering to reforestation and forest and land rehabilitation activity based on Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 about Dana Reboisasi. That regulation is forming an issue about DR absorption in local government is not proper. Responding to that issue, central government is giving an effort for expansion of usage by changing the allocation for DBH DR, so local government can use the budget for many program that still refers to reforestation and forest and land rehabilitation activity. Forest authority transfer from district to province, is also giving an impact for DBH DR as it state on Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 about Pemerintahan Daerah. Therefore, the expansion of usage is triggering the local government for using or elevated the DR absorption to support reforestation and forest and land rehabilitation activity.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairil Anwar
"Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tentang desentralisasi asimetris di Indonesia pasca reformasi berupa bagaimana penerapannya dan bagaimana bentuk ideal yang seharusnya diterapkan. Teori yang digunakan adalah teori Agus Brotosusilo yang bersumber dari Pancasila yang barasal dari hukum adat nusantara berupa dominannya sikap komunal dari individual, spiritual daripada materialisme dan romatisme dari rasionalisme. Selain itu digunakan juga teori lainnya berupa teori konflik Dahrendorf. Hasil penelitian ini mengungkap terjadi resentralisasi dari daerah ke pusat berupa diambilnya kewenangan pada UU Ciptakerja untuk keseluruhan daerah dan perubahan Otsus Papua, Papua Barat dan Aceh bagi daerah asimetris. UU Sapu jagat didapati resentralisasi; pertama, perizinan usaha ditentukan dan dimiliki pusat, kedua, wewenang penataan ruang terpusat, ketiga, amdal dipermudah, keempat, sanksi dimiliki pusat dan dipermudah, dan kelima, pajak ditarik pusat. Sedangkan pada perubahan Otsus Papua didapati; pemekaran Papua dipermudah, perubahan UU otsus tidak perlu persetujuan DPRP dan MRP, pengawasan domain pusat, pendirian parpol oleh Orang Papua dihilangkan dan kewajiban konsultasi parpol ke MRP dan DPRP disunat, dan jabatan wagub dapat diisi. Sementara pada Aceh tidak dipenuhinya Pengatutan lambang Aceh dan pengaturan suku bunga. Tidak terdapat harmonisasi sebagaimana teori Agus Brotosusilo karena pusat sangat mendominasi dengan terjadinya resentralisasi sehingga daerah merasa tidak dimanusiakan. Preskriptif yang ditawarkan adalah mewujudkan harmonisasi dan memperluas penerapan desentralisasi asimetris. Kesimpulannya adalah dari skema tujuan desentralisasi terdapat kemiripan antara orde baru dengan masa kini yaitu menguatnya resentralisasi.

This study aims to answer about asymmetric decentralization in post-reform Indonesia in terms of how it is implemented and how the ideal form should be implemented. The theory used is Agus Brotosusilo's theory which comes from Pancasila which comes from the customary law of the archipelago in the form of the dominant communal attitude of the individual, spiritual rather than materialism and romanticism from rationalism. In addition, other theories are also used in the form of Dahrendorf's conflict theory. The results of this study reveal that there has been recentralization from the regions to the center in the form of the taking of authority in the Job Creation Law for the entire region and changes to the Special Autonomy for Papua, West Papua and Aceh for asymmetric regions. The Sweeping Universe Law is found to be recentralized; first, business licenses are determined and owned by the center, second, the authority for spatial planning is centralized, third, amdal is facilitated, fourth, sanctions are owned and facilitated by the center, and fifth, taxes are levied by the center. Meanwhile, in the changes to the Special Autonomy for Papua, it was found; The expansion of Papua was facilitated, changes to the Special Autonomy Law did not require the approval of the DPRP and MRP, central domain supervision, the establishment of political parties by Papuans was eliminated and the obligation to consult political parties to the MRP and DPRP was circumcised, and the position of deputy governor could be filled. Meanwhile, in Aceh, the acknowledgment of the Aceh symbol and interest rate arrangements was not fulfilled. There is no harmonization like Agus Brotosusilo's theory because the center dominates with the recentralization so that the regions feel they are not being humanized. The prescriptive offered is to realize harmonization and expand the application of asymmetric decentralization. The conclusion is that from the scheme for the purpose of decentralization, there are similarities between the new order and the present, namely the strengthening of recentralization."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Susilo
"Lahirnya UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999 merupakan tonggak sejarah bagi sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, yaitu terjadinya perubahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Perubahan ini mengharuskan dilimpahkannya kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, termasuk dialihkannya aset dan dokumen, personil, dan pembiayaan.
Jika dilihat dari pengalihan ini, pengalihan personil (Pegawai Negeri Sipil ke sektor-sektor pemerintah di daerah) merupakan persoalan yang sangat rumit dan sangat menentukan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah selanjutnya. Oleh karena itu persoalan pelimpahan kewenangan (terutama kewenangan yang menyangkut sumber daya dan atau desentralisasi fiskal) dan pengalihan PNS diangkat menjadi persoalan utama tesis ini.
Pada kenyataannya dalam pelaksanaan pelimpahan kewenangan (dalam artian desentralisasi fiskal) tetap dikendalikan oleh Pemerintah Pusat, dengan tujuan agar pemerintah pusat dapat mengontrol dan menjaga keseimbangan antara besarnya kewenangan (dalam artian desentralisasi politis dan fungsi) yang dilimpahkan kepada pemerintah di Daerah dengan penerapan kebijakan fiskal (dalam hal ini kebijakan DAU).
Dari penelitian menunjukkan, bahwa terdapat hubungan yang positip searah dan kuat antara kebijakan Transfer DAU dengan Pengalihan PNS dari Pemerintah Pusat ke Daerah. Hal ini dapat terlihat dari besaran-besaran koefsien korelasi yang berkisar mendekati angka 1 (satu) dari perhitungan hubungan kedua variabel yaitu variabel jumlah transfer DAU dengan Gaji/pensiun PNS pada seluruh propinsi di Indonesia. Dari penelitian ini juga didapati banyak masalah yang timbul dari penerapan kebijakan tersebut, serta dapat memacu timbulnya konflik yang berkepanjangan. Permasalahan itu muncul, baik diakibatkan dari penerapan Kebijakan Pelimpahan Kewenangan maupun dari kebijakan Transfer DAU, dimana sangat mempengaruhi terhadap Pengalihan PNS dari Pemerintah Pusat ke Daerah.
Studi tentang pelaksanaan desentralisasi ini, telah menghasilkan banyak kajian, akan tetapi pengkajian secara khusus mengenai Hubungan antara Transfer Dana Alokasi Umum (DAU) dengan Pengalihan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dari Pemerintah Pusat Ke Daerah masih sangat jarang.
Dari penelitian ini, penulis mengharapkan dapat memberi sumbangan (walaupun kecil artinya) bagi pemikiran tentang hubungan antara Transfer DAU dengan Pelimpahan PNS dari Pemerintah Pusat ke Daerah, sebagai bagian dari pelaksanaan kebijakan desentralisasi, yang merupakan bagian dari kajian ilmu keuangan publik. Dan dari penelitian dasar ini diharapkan dapat memacu rekan-rekan yang lain untuk mengkaji lebih dalam ke penelitian selanjutnya.
Penelitian ini mempergunakan metode kuantitatif dengan cara mengumpulkan data historis dengan mengklasifikasikan data-data yang telah dipublikasikan, serta mengadakan wawancara, dan studi literatur atau dokumentasi. Adanya wawancara dengan pejabat atau pelaksana pemerintahan, merupakan bagian dari validasi terhadap analisa yang penulis sajikan, dengan mendasarkan pada kajian teori, kebijakan, dan peraturanperaturan yang ada mengenai Hubungan Antara Transfer DAU dengan Pengalihan PNS dari Pemerintah Pusat ke Daerah.
Pada tahap akhir, penulis mendiskusikan dan melakukan konfirmasi kepada dosen pembimbing, untuk mendapatkan pengarahan yang lebih terfokus dalam penulisan ini.
Dalam analisis, ditemukan adanya hubungan yang positip searah dan kuat dari penerapan UU No 22 dan No 25 tahun 1999, yaitu Hubungan Antara Transfer DAU dengan Pengalihan PNS dari Pemerintah Pusat ke Daerah , serta mempunyai implikasi yang besar dalam penerapan pengeluaran keuangan di Daerah. Akibat berantai dari kebijakan tersebut, akan meningkatkan kesejahteraan serta meningkatkan pelayanan kepada publik di daerah.
Adanya implikasi dari hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa hubungan antara transfer DAU dengan pengalihan PNS, masih memiliki banyak kelemahan yang harus diperbaiki, terutama dalam penerapan formula DAU, agar tidak terjadi kesenjangan (gap) yang berarti, serta dapat menyesuaikan dalam penentuan kebutuhan PNS dan kualitas PNS di Daerah. Dengan demikian akan mengarah pada tujuan dari kebijakan tersebut yaitu memberikan peningkatan pelayanan kepada publik.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12581
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Said D.
"ABSTRAK
Sulawesi Tenggara adalah salah satu provinsi yang ke-25 di Indonesia. Provinsi ini terletak di Pulau Sulawesi bagian Tenggara yang melepaskan diri dari Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara berdasarkan Peraturan Pemerintah Pusat No. 2 tahun 1964 disahkan dengan Undang-undang No. 13 tahun 1964. Peresmiannya dilaksanakan pada tanggal 27 April 1964.
Pada tahun 1952 Sulawesi Tenggara masih berstatus sebagai Kabupaten (Dati II) yang berada dalam wilayah Pemerintahan Propinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulselra). Ketika itu Kabupaten Sulawesi Tenggara berkedudukan di Bau-Bau meliputi empat wilayah kewedanaan -- Kewedanaan Buton, Kendari, Muna, dan Kolaka. Pada tahun 1960 Kabupaten Sulawesi Tenggara dimekarkan menjadi empat Daerah Tingkat II --yakni masing-masing kewedanaan ditingkatkan statusnya menjadi kabupaten.
Daerah Sulawesi Tenggara dihuni oleh empat kelompok etnik asli Buton, Muna, Tolaki, dan Moronene. Bugis-Makassar adalah etnik pendatang terbanyak jumlahnya dan telah lama menetap di daerah ini. Keberadaan etnik Bugis-Makassar di daerah ini sejak masa kerajaan-kerajaan tradisional, sehingga sudah sulit memisahkan antara mereka dengan etnik asli.
Sulawesi Tenggara ketika bergabung dengan Sulawesi Selatan dianggap sebagai daerah belakang yang kurang di perhatikan. Pembangunan terbengkalai, sehingga ketinggalan dibanding dengan daerah lainnya. Bahkan oleh pemerintah Sulawesi Selatan dijadikan sebagai daerah pembuangan untuk menghukum orang-orang yang tidak loyal kepada kebijakan pemerintah.
Kondisi Sulawesi Tenggara yang demikian itu juga didorong oleh permasalahan yang dihadapi Pemerintah pada tahun 1950-an berkembangnya isyu otonomi daerah dan ketidak berhasilan pembangunan menjadi tema sentral yang bergema di daerah. Bahkan permasalahan tersebut menjadi alasan bagi luar Jawa mendesak Pemerintah Pusat untuk menuntaskan otonomi daerah. Kesempatan ini dimanfaatkan pula oleh masyarakat Sulawesi Timur untuk mengajukan usul kepada Pemerintah Pusat agar Sulawesi Timur yang meliputi bekas Kewedanaan Buton, Muna, Kendari, Kolaka, Bungku/Mori dan Luwuk Banggai menjadi satu provinsi.
Untuk menanggapi permasalahan tersebut Pemerintah Pusat mangeluarkan kebijakan untuk mengadakan pemekaran provinsi di Indonesia yang berlangsung antara tahun 1950-1960. Namun pemekaran provinsi selama kurun waktu itu belum termasuk dengan permohonan masyarakat Sulawesi Timur. Tidak ditanggapinya keinginan masyarakat Sulawesi Timur mendorong masyarakat daerah tersebut yang berada di Makassar (sekarang Ujung Pandang) ikut mempelopori demonstrasi-demonstrasi mengajukan tuntutan kepada Pemerintah Pusat.
Pada tanggal 17 Pebruari 1957 di Makassar tokoh masyarakat, mahasiswa, pemuda, dan pelajar asal Sulawesi Timur ---Baton, Muna, Kendari, Kolaka, Bungku/Mori dan Luwuk/Banggai -- yang menetap di kota Makassar mengadakan Rapat di Gedung SMEP Negeri (sekarang SMA Negeri I ) Jalan Bawakaraeng No. 39 Makassar. Tujuan rapat itu adalah untuk memberikan tanggapan atas demonstrasi-demonstrasi yang diprakarsai oleh mahasiswa asal Sulawesi Timur yang berlangsung pada awal bulan Pebruari 1957.
Ternyata kehendak pemuda, pelajar dan mahasiswa itu mendapat dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat Sulawesi Timur. Dalam rapat itu sekaligus membentuk Panitia Penuntut Provinsi Sulawesi Timur (PPPST) yang diketuai Ngitung dilengkapi dengan wakil ketua, sekretaris dan anggota. Pembentukan panitia ini bertujuan agar perjuangan penuntutan itu terorganisasi dan secara terus-menerus mendesak Pemerintah serta mengiapkan bahan-bahan yang berkaitan dengan data-data yang dibutuhkan Pemerintah Pusat tentang Sulawesi Timur.
Keinginan masyarakat Sulawesi Timur, ternyata tidak direstui oleh Pemerintah Sulawesi Selatan dan Kodam XIV Hasanuddin di Makassar. Penolakan itu disebabkan bahwa daerah Sulawesi Timur belum layak untuk dijadikan satu provinsi, terutama dalam jumlah penduduk dan sumber daya manusianya. Juga dari segi keamanan daerah ini rawan karena menjadi pusat gerilya DI/TIl Pimpinan Abdul Kahar Mudzakar.
Ketidak relaan Sulawesi Selatan terhadap keinginan masyarakat Sulawesi. Timur, pada akhirnya mengundang timbulnya konflik kepentingan. Konflik semakin serius ketika kalangan masyarakat Sulawesi Timur timbul Juga sekat-sekat social yang bersumber dari kepentingan politik dan etnik. Sehingga konflik yang terjadi tidak hanya mengacu pada konflik eksteren, tetapi Juga konflik interen.
Setelah melalui perjuangan selama 14 tahun, akhirnya keinginan itu direalisasikan pada tahun 1964. Namun yang direstui adalah Provinsi Sulawesi Tenggara wilayahnya meliputi Kabupaten Sulawesi Tenggara -- Kewedanaan Buton, Muna, Kendari, dan Kolaka. Tidak termasuk Bungku/Mori dan Luwuk/Banggai, kedua wilayah ini masuk dalam Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tengah.
Sejak berdirinya Provinsi Sulawesi Tenggara, ternyata tidak dapat mengakhiri konflik lama, tetapi justeru menjadi semakin berlanjut. Konflik-konflik kepentingan susul menyusul terjadi yang bersumber dari kepentingan masing-masing etnik. Hingga sekarang permasalahan tesebut sering muncul ke atas permukaan, terutama penentuan dalam pengisian jabatan dan posisi penting dibidang pemerintahan selalu rnengundang pro dan kontra, karena masing-masing etnik mempertahankan keinginannya untuk menempatkan orang-orang yang berasal dari daerahnya.
"
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uyan Wiryadi
"Salah satu permasalahan yang mengemuka pasca runtuhnya kekuasaan pemerintahan Presiden Suharto adalah masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah. Persoalan ini sebenarnya sudah berkembang sedemikian rupa pada pemerintahan Soekarno. Karena itu, reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah setelah runtuhnya rezim Suharto menjadi salah satu agenda reformasi yang harus diupayakan.
Kondisi tahun 1950-an sebenarnya awal gejolak politik nasional dewasa itu. Misalnya terdapat sejumiah pemberontakan daerah yang menuntut kemerdekaan, seperti Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan. Selain itu masih terdapat pemberontakan kecil yang antara lain terjadi di Jawa Barat di awal 1960-an yang terkait dengan isu etnis Cina. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam periode tersebut merupakan permasalahan politik yang pelik dari kedua pemerintahan tersebut.
Upaya untuk memperbaiki kondisi pemerintahan daerah era Suharto dimulai dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Secara teoritis undang-undang tersebut menganut model efisiensi struktural (Structural Efficiency Model) yang menekankan pada efisiensi penyelenggaraan pemerintah berupa uniformitas dan pengendalian sebagai pintu intervensi pemerintah dan pengendalian sebagai pintu intervensi pemerintah pusat. Berdasarkan kriterium ini, pemerintah pusat memangkas jumlah susunan daerah otonom, pembatasan peran dan partisipasi lembaga perwakilan rakyat. Selain itu juga ditandai oleh keengganan Pusat untuk menyerahkan wewenang dan diskresi yang lebih besar kepada daerah otonom. Cenderung mengutamakan dekonsentrasi daripada desentralisasi. Paradoks di antara efisiensi yang memerlukan wilayah daerah otonom yang luas agar tersedia sumber daya yang memadai dengan kekhawatiran separatisme jika daerah otonom terlalu luas.
Ekses dalam pengaturan pemerintahan daerah seperti tercermin dalam Undang-undang No. 5/1974 tersebut pasca pemerintahan Suharto mendapat reaksi untuk segera diubah. Karena itu muncul gagasan untuk reformasi pemerintahan daerah."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15437
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rasyid Saleh
"Melihat realita yang berlangsung sekarang ini di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, baik di lingkungan internal organisasi birokrasi, maupun di lingkungan eksternal -lingkungan sosial, politik, dan budaya masyarakat- belum terlihat adanya tanda-tanda kesiapan ke arah perubahan sejalan dengan semangat dan jiwa UU Nomor 22/99.
Secara nasional, pemikiran, sikap, tindakan, dan bahkan "jargon-jargon" rerlormasi total terus beriangsung di lingkungan ekstemal birokrasi, namun di lingkungan internal belum ada tanda-tanda dimulainya perubahan dan belum terdorong untuk bergegas mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan sekaligus sebagai tuntutan yang harus dipenuhi. Isyarat terpenting untuk diwujudkan dalam mengaktualisasikan dan mengartikulasikan perubahan secara nasional, demokratis, transparan, efisien, mandiri, berdaya, adil, serta berkemampuan dan bertanggung jawab, juga belum menampakkan gejala ke arah pergeseran nilai dan implementasinya di kedua lingkungan birokrasi tersebut.
Tantangan utama yang menghadang Pemerintah daerah Kabupaten Maros dalam melaksanakan UU Nomor 22/99 adalah tuntutan penyesuaian (daya adaptasi) yang tinggi sesuai dengan kebutuhan nyata birokrasi dan masyarakat berdasarkan kondisi saat ini dan di masa yang akan datang. Kebutuhan-kebutuhan mendesak yang menuntut pemecahan di masa datang tersebut adalah: perubahan penampilan dan penerapan kekuasaan, kewenangan yang rasional dan obyektif termasuk pemantapan dan penentuan sejumlah kewenangan, penetapan besaran organisasi, penyederhanaan sistem dan prosedur, pergeseran kultur birokrasi, kemampuan dan integritas birokrat, sumber-sumber keuanganfpendapatan, dukungan sarana dan prasarana, peluang keikutsertaan seluruh komponen lokal, dan lain-lain. Pokok permasalahan dalam menghadapi penerapan UU Nomor 22/99 adalah perwujudan perubahan yang menuntut daya penyesuaian sejalan dengan jiwa dan kehendak sistem birokrasi yang bare sehingga tujuan otonomi daerah dapat tercapai.
Apa yang terjadi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan selama ini adalah penerapan kekuasaan dan pengelolaan kewenangan yang sentralistis: kendali . pelaksanaan sejumlah urusan organisasi birokrasi dilakukan secara seragam, sistem dan prosedur interaksi yang rumit (complicated) antar-instansi/unit organisasi atau dengan masyarakat sehingga berakibat pada tidak efektifnya organisasi dan tidak efisiennya penyelenggaraan pemerintahan, dan pada gilirannya, organisasi pemerintahan tidak mampu mencapai tujuannya.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif-analitik. dengan metode ini, penulis ingin membuat satu deskripsi analisis, yaitu membuat gambaran yang sistematis berdasarkan fakta, sifat serta hubungan antara fenomena-fenomena yang terjadi pada sistem birokrasi yang dijalankan selama ini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T7686
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>