Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 196847 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadia Cahyani Gandesrukma
"Penata rambut adalah sekelompok pekerja yang kemampuan kerja dan kondisi kesehatannya dapat dipengaruhi oleh aktivitas pekerjaan tertentu. Para penata rambut yang bekerja di salon berisiko mengalami Work Related Musculoskeletal Disorder (WMSDs) dan kurangnya kebugaran fisik akibat pekerjaan di salon. Tercatat terdapat beberapa masalah yang dialami oleh penata rambut salon yang ada, hal ini salah satunya dikarenakan postur kerja nya yang canggung. Beberapa ketidaknyamanan tubuh yang dirasakan adalah pada lengan, bahu, dan pergelangan tangan. Ketidaknyamanan yang diidentifikasi ini terjadi khususnya pada proses pengeringan rambut, dimana terdapat postur canggung, repetisi yang tinggi dan durasi yang cukup lama bagi seorang penata rambut mengerjakan proses blow dry. Diidentifikasi ketidaknyamanan dengan Nordic Body Map dan proses kritis yang dilakukan dengan menggunakan Hairdresser Questionnaire. Proses tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode RULA dan REBA untuk menilai keamanan postur penata rambut terhadap risiko cerdera. Diperlukan adanya suatu intervensi ergonomis dalam memperbaiki permasalahan ini. Dalam penelitian ini, rekomendasi yang diberikan adalah dengan merancang Hair Dryer Holder bagi penata rambut yang melakukan blow dry. Perancangan produk ini dilakukan dengan kerangka kerja Nigel Cross. Dalam tahapan perancangan produk ini, software Jack digunakan sebagai evaluasi postur sebelum dan sesudah dilakukan intervensi dengan melakukan Digital Human Modeling. Pada penelitian ini, rekomendasi yang diberikan kepada penata rambut dapat menurunkan nilai RULA sehingga mengindikasikan nilai yang aman, dan dapat menyesuaikan operasi Blow Dry yang dilakukan penata rambut di salon.

Hairdressers are a group of workers whose work abilities and health conditions can be affected by certain work activities. Hairdressers who work in salons are at risk of experiencing Work Related Musculoskeletal Disorders (WMSDs) and impaired physical fitness due to work in salons. It was noted that there were several problems experienced by existing salon hairdressers, this was due to their awkward working posture. Some of the body discomfort that is felt is in the arms, shoulders, and wrists. This identified discomfort occurs especially in the hair drying process, where there are posture doubts, high repetitions and a long enough duration for a hairdresser to do the blow drying process. Identification of discomfort with the Nordic Body Map and critical processes carried out with the addition of a Hairdresser Questionnaire. The process was then analyzed using the RULA and REBA methods to assess the safety of the hairdresser's posture against the risk of injury. Ergonomic intervention is needed to fix this problem. In this study, the recommendation given is to design a Hair Dryer Holder for hairdressers who do blow drying. The design of this product is done with the Nigel Cross framework. In the design stage of this product, Jack's software is used as a posture evaluation before and after the intervention by doing Digital Human Modeling. In this study, the recommendations given to hairdressers show a safe value and can adjust the Blow Dry operation performed by hairdressers in salons."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Prayudhi
"Tenaga kesehatan memegang peran penting pada kesehatan warga Indonesia. Namun, saat ini jumlah dokter di Indonesia bisa dibilang masih kurang. Menurut ikatan dokter indonesia (IDI), jumlah dokter umum yang ada saat ini berjumlah 129.772 orang sedangkan untuk dokter spesialis hanya ada sebanyak 36.552 orang. Dengan jumlah dokter ahli bedah yang sedikit dan penduduk indonesia yang sangat banyak, menuntut dokter-dokter tersebut untuk bisa menangani pasien secepat dan sebaik mungkin dengan waktu kerja yang panjang. Sehingga tidak jarang terjadinya pegal, sakit leher, sakit punggung ataupun penyakit Work-related Musculoskeletal Disorder (WMSD) lainnya yang dirasakan oleh para dokter ahli bedah, apalagi jika ada beberapa operasi yang dilaksanakan secara berurutan. Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H Chasan Boesoirie merupakan salah satu rumah sakit di Indonesia, tepatnya rumah sakit ini berada di Maluku Utara, Ternate. Pada RSUD Dr. H. Chasan Boesoirie terdapat beberapa dokter ahli, diantaranya adalah 3 dokter ahli bedah umum, 1 dokter saraf, 1 dokter ortopedi dan 1 dokter tumor. Dimana operasi yang paling sering dilakukan adalah operasi laparotomi. Diantara operasi laparotomi, operasi yang paling sering dilakukan adalah operasi apendisitis perforasi. Dokter ahli bedah di RSUD Dr. H Chasan Boesoirie memiliki risiko WMSD berdasarkan nilai analisis yang didapatkan yaitu RULA mulai dari 4 hingga 6 dan REBA mulai dari 3 hingga 5 yang menunjukkan dokter ahli bedah memiliki risiko low hingga risiko medium saat melakukan operasi dengan postur kerja yang dilakukan. Penelitian dilakukan untuk membandingkan postur tubuh sebelum dan sesudah adanya perbaikan menggunakan perekaman postur dan membuktikan bahwa pelatihan merupakan solusi efektif.

Health workers play an important role in the health of Indonesian citizens. However, currently the number of doctors in Indonesia is arguably still lacking. According to the Indonesian Doctors Association (IDI), the current number of general practitioners is 129,772 people, while for specialist doctors there are only 36,552 people. With a small number of surgeons and a very large population of Indonesia, it requires these doctors to be able to treat patients as quickly and as well as possible with long working hours. So that it is not uncommon for surgeons to experience aches, neck pain, back pain or other Work-related Musculoskeletal Disorder (WMSD), especially if there are several operations that are carried out sequentially. Regional General Hospital Dr. H Chasan Boesoirie is one of the hospitals in Indonesia, precisely this hospital is located in North Maluku, Ternate. At Regional General Hospital Dr. H Chasan Boesoirie there are several specialist doctors, including 3 general surgeons, 1 neurologist, 1 orthopedic doctor and 1 tumor doctor. The most common operation is laparotomy. Among laparotomy operations, the most frequently performed operation is perforated appendicitis. Surgeon at RSUD Dr. H Chasan Boesoirie has a risk of WMSD based on the analysis values ​​obtained, namely RULA ranging from 4 to 6 and REBA ranging from 3 to 5 which indicate the surgeon has a low to medium risk when performing surgery with the work posture performed. The study was conducted to compare the body posture before and after the improvement using posture recording and prove that training is an effective solution."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rangga Bagaskara
"Kameramen merupakan suatu pekerjaan yang akan memiliki peran penting dalam industri perfilman dan konten Over-The-Top (OTT). Dengan adanya tren peningkatan konsumsi film dan konten OTT, terutama di Indonesia, terdapat peningkatan permintaan pasar akan film dan konten OTT. Hal ini membuat kru produksi terutama kameramen menjadi korban atas keinginan production house untuk dapat memproduksi episode sebanyak-banyaknya. Dalam 6 hari kerja, kameramen dapat bekerja 12 jam non-stop ditambah banyaknya tekanan fisiologis dan lingkungan. Kondisi inilah yang sering kali menyebabkan kameramen mengalami insiden Work-Related Musculoskeletal Disorder (WMSD). Berdasarkan hal tersebut, peneliti melakukan analisis mengenai pekerjaan kameramen dengan metode Cornell Musculoskeletal Disorder Questionnare (CMDQ) dan evaluasi terhadap postur kameramen pada saat pengambilan gambar menggunakan metode Rapid Upper Limb Assessment (RULA) dan Rapid Entire Body Assessment (REBA) untuk membandingkan postur tubuh sebelum dan sesudah adanya intervensi. Dengan adanya risiko WMSD terhadap postur kameramen, peneliti mengunakan framework Hazardous Manual Task Assessment dan Hierarchy of Control untuk mengetahui sumber risiko dan bentuk pengendaliannya. Dari penggunaan framework tersebut, dihasilkan beberapa kombinasi pengendalian risiko dengan mempertimbangkan biaya investasi dari pengimplementasian kombinasi tersebut. Melalui proyeksi penerapan kombinasi pengendalian risiko, peneliti melakukan analisis RULA dan REBA setelah adanya intervensi tersebut. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kombinasi pengendalian risiko dapat mengurangi risiko kameramen mengalamai WMSD dalam aktivitas pengambilan gambar.

Cameraman is a job that have an important role in the film industry and Over-The-Top (OTT) content. With the increasing trend of film and OTT content consumption, especially in Indonesia, causing an increment of market demand on film and OTT content. However, the production crew especially the cameramen, often are victims of the production house's desire to be able to produce as many episodes as possible. In 6 working days, cameramen can work 12 hours non-stop coupled with physiological and environmental stress. This condition often causes cameramen to experience Work-Related Musculoskeletal Disorder (WMSD) incidents. Therefore, the researcher is trying to analyzed cameramen’s job using the Cornell Musculoskeletal Disorder Questionnaire (CMDQ) method and evaluated the cameraman's posture at the time of shooting using the Rapid Upper Limb Assessment (RULA) and Rapid Entire Body Assessment (REBA) methods to compare body postures before and after intervention during shooting activity on several postures. With the risk of WMSD on cameraman posture, Hazardous Manual Task Assessment framework and Hierarchy of Control are used to determine the source of risk and the form of control. From the use of these frameworks, several risk prevention methods combinations are generated by considering the investment costs of implementing these combinations. The researcher applied a combination of risks, performed RULA and REBA analysis after the intervention. Thus, it can be said that the combinations of risk control can reduce the risk of cameramen experiencing WMSD when shooting activity.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfina Damayanti
"Gangguan muskuloskeletal berada pada peringkat kedua penyakit penyebab disabilitas di dunia menurut WHO. Di Indonesia, pada tahun 2013 prevalensi periode gangguan muskuloskeletal pada kalangan usia 15 tahun ke atas mencapai 24,7%. Berdasarkan penelitian oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan pada tahun 2013 menunjukkan bahwa pekerjaan dengan prevalensi penderita terkait keluhan muskuloskeletal tertinggi adalah petani. Hal ini dikarenakan pekerjaan yang dilakukan petani memiliki faktor risiko ergonomi utama yaitu tingginya pengulangan aktivitas pekerjaan, penggunaan tenaga yang kuat, dan postur canggung yang berulang dan berkelanjutan. Untuk mengetahui risiko gangguan muskuloskeletal yang mungkin terjadi pada petani saat menanam bawang merah, penelitian ini akan melakukan perekaman postur dan pembuatan virtual human untuk mengetahui nilai RULA dan REBA yang merupakan salah dua metode untuk mengetahui nilai risiko terjadinya gangguan muskuloskeletal. Penilaian ini berdasarkan kelima aktivitas yang dilakukan petani pada saat penanaman bawang merah yang dimulai dari pengolahan tanah, penanaman biji, pemberian pupuk, penyemprotan obat, dan panen. Dari perhitungan tersebut ditemukan nilai RULA dan REBA yang tinggi pada aktivitas menanam biji dan untuk memberikan rekomendasi sebagai bentuk pencegahan dalam terdampak gangguan musculoskeletal bagi petani, dilakukan perancangan dengan menggunakan framework Nigel Cross. Dengan demikian, hasil dari penelitian ini adalah rancangan alat tanam untuk penanaman bawang merah.

Musculoskeletal disorders are ranked second in disability-causing diseases in the world according to WHO. In Indonesia, in 2013 the prevalence of musculoskeletal disorders among the age of 15 years and overreached 24.7%. Based on research by the Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan in 2013 shows that the occupation with the highest prevalence of sufferers related to musculoskeletal complaints is farmers. This is because the work done by farmers has major ergonomic risk factors, namely high repetition of work activities, strong use of force, and repetitive and continuous awkward postures. To determine the risk of musculoskeletal disorders that may occur in farmers when planting shallots, this study will record posture and make virtual humans to determine the score of RULA and REBA which are two methods to determine the risk score of musculoskeletal disorders. This assessment is based on the five activities carried out by farmers at the time of planting shallots starting from tillage, seed planting, fertilizing, drug spraying, and harvesting. From these calculations, it was found that the high value of RULA and REBA is in seed planting activities and to provide recommendations as a form of prevention in the impact of musculoskeletal disorders for farmers, a design was carried out using the Nigel Cross framework. Thus, the result of this study is the design of planting tools for planting shallots."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Aulia Rahmi
"Daun mangkokan memiliki khasiat untuk mengatasi kerontokan rambut yang telah dibuktikan oleh penelitian sebelumnya. Namun, metode ekstraksi yang digunakan kurang efektif untuk mengektraksi flavonoid yang diduga sebagai senyawa aktif yang bertanggungjawab atas masalah kerontokan rambut. Flavonoid juga memiliki kelarutan lipid yang buruk sehingga dibutuhkan sistem penghantaran yang baru, yaitu fitosom. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat formulasi sediaan losio fitosom ekstrak daun mangkokan (Nothopanax scutellarium, Merr.) menggunakan metode ekstraksi dengan green solvent yang optimal. Ionic liquids meliputi; (BMIM)Br, (BMIM)BF4, (BMIM)Cl, (BMIM)HSO4, (HMIM)Br digunakan untuk mengekstraksi senyawa flavonoid dibandingkan dengan metode konvensional. Pelarut (BMIM)Cl dengan garam pemisahan NaCl memiliki kadar total flavonoid sebesar (360.57 mg/g). Penetapan kadar kuersetin diperoleh pelarut yang optimum adalah (BMIM)BF4 dengan garam pemisahan NaCl dengan kadar (26.13 mg/g).
Hasil menunjukkan bahwa metode ekstraksi konvensinal, yaitu ekstrak metanol daun mangkokan memiliki kadar total flavonoid (411.08 mg/g) dan kuersetin (127.1 mg/g) yang lebih tinggi dibandingkan ionic liquid. Namun dalam sifat ramah lingkungan, dan efisiensi waktu pelarut ionic liquid perlu dipertimbangkan. Formula losio fitosom yang diuji aktivitas pertumbuhan rambutnya dengan parameter panjang rambut, dan bobot rambut. Data dianalisis menggunakan anova two way diperoleh hasil losio fitosom memiliki aktivitas yang lebih baik dibandingkan dengan minoxidil 2% dengan nilai signifikansi (p=0,0001).

Mangkokan leaves have efficacy to curing hair loss which has been proven by previous studies. However, the extraction method used is not effective for extracting flavonoids that are thought to be active compounds responsible for hair loss problems. Flavonoids have poor lipid solubility. New delivery system called phytosome was needed. The purpose of this study was to formulate phytosome lotion of mangkokan leaves extract (Nothopanax scutellarium, Merr.) using an optimal green solvent extraction method. Ionic liquids include; (BMIM) Br, (BMIM)BF4, (BMIM)Cl, (BMIM)HSO4, (HMIM)Br were used to extract flavonoid compounds. (BMIM)Cl solvent with NaCl separation salt has the higher total flavonoid level of (360.57 mg/g). Determination of quercetin levels obtained that (BMIM)BF4 with NaCl salt separation as the optimum solvent with quercetin levels (26.13 mg/g).
The results showed that the convensinal extraction method; methanol extract of mangkokan leaves had the highest total flavonoid (411.08 mg/g) and quercetin (127.1 mg/g) levels among ionic liquids. Ionic liquids characterization such as environmentally friendly, and the time efficiency of extraction were needed to be considered. The phytosome lotion formula was tested for hair growth activity with parameters of hair length and hair weight. Data were analyzed using two way ANOVA. The result obtained that phytosome lotion had better activity than 2% Minoxidil with a significance value (p = 0.0001).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
T54907
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Selvianti
"Skripsi ini menggambarkan tingkat risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) dengan metode Rapid Entire Body Assessment (REBA) pada aktivitas mengangkat pasien oleh perawat UGD di Rumah Sakit Atma Jaya. MSDs menyebabkan beberapa perawat UGD tidak layak kerja. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan mengidentifikasi risiko MSDs. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat risiko MSDs tertinggi terjadi pada saat mengangkat pasien dengan kesadaran menurun dan tingkat risiko terendah yaitu saat mengangkat pasien yang dapat menggeser tubuhnya sendiri. Oleh karena itu diperlukan pengendalian teknik, memperhatikan beban kerja dan sikap kerja saat mengangkat pasien dengan aman serta melakukan peregangan otot sebelum bekerja.
Focus of this study is description about risk level of Musculoskeletal Disorders (MSDs) with Rapid Entire Body Assessment (REBA) method for nurses which patient lifting activity in emergency department at Atma Jaya Hospital. MSDs causes nurses not fit to work. This research is a descriptive analysed with identifying MSDs risk. Result indicates that level of highest MSDs risk found at lifting patient which consciousness and level of low MSDs risk is when lifting patient with own activity support. Therefore some technique are needed, attention to work load and work position for safe patient lifting, good exercise with stretching before work."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arlha
"Latar belakang: Alopesia androgenetik (AAG) adalah kebotakan rambut yang paling umum, ditandai dengan miniaturisasi progresif tanpa jaringan parut pada pria, akibat kerentanan terhadap hormon androgen. Penyakit ini terjadi secara multifaktorial, dari faktor genetik, lingkungan dan hormon androgen. Penyakit ini menyebabkan gangguan kosmetik yang mempengaruhi kualitas hidup dan rasa percaya diri. Hingga saat ini belum ada data mengenai kadar ferritin serum dan rambut pada pria dengan AAG yang dibandingkan dengan kelompok non-alopesia dan dikaitkan dengan densitas dan diameter rambut. Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan kadar feritin serum dan besi total rambut pada populasi AAG dan non-alopesia.

Metode: Penelitian ini merupakan suatu studi analitik observasional potong lintang antara dua kelompok. 33 pria dengan diagnosis alopesia androgenetik dan 33 pria tanpa alopesia androgenetik diikutsertakan dalam penelitian ini. Diagnosis alopesia androgenetik ditegakkan secara klinis. Kadar feritin serum dan total besi rambut pasien dibandingkan antara dua kelompok dan dikorelasikan dengan dengan diameter dan densitas rambut.

Hasil: Sebanyak 66 SP mengikuti penelitian dengan median usia 37-38 tahun. Feritin serum dan besi total rambut pada kelompok alopesia androgenetik lebih tinggi dibandingkan kelompok non-alopesia. Median 232 ng/mL, dan 222 ng/mL,  Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p = 0,758). Kadar besi total pada kelompok AAG lebih rendah dibandingkan non-alopesia. (22,65 ng/mL dan 39,67 ng/mL, p= 0,102). Terdapat korelasi positif lemah pada kelompok alopesia androgenetik derajat < 4 terhadap diameter rambut.

Kesimpulan: Kadar serum feritin dan besi total rambut pada pria non-alopesia lebih tinggi dibandingkan pria dengan alopesia androgenetik, namun tidak bermakna secara statistik.


Background: Androgenetic alopecia (AGA) is the most common nonscarring hair loss disorder in men due to susceptibility to testosterone. AGA is amultifactorial disease, due to genetic, hormonal and environmental influence. AGA causes cosmetic disturbances that affects confidence and quality of life. In women, it has been proven correlation between low ferritin serum and AGA occurrences, however not many studies have proven likewise in men. Till now, not many data provides sufficient correlation between ferritin levels and hair iron concentration in men with control group, associated with hair diameter and density. This study aims to compare the differences of serum ferritin and hair iron content between two populations.

Method: This is a cross-sectional analysis of two groups, 33 AGA men and 33 men without AGA were included in this study. Serum ferritin and hair level of iron were measured. Diagnosis of AGA was made clinically. Difference of serum ferritin and hair level of iron was analyzed and correlated with hair diameter and density.

Result: 66 men were included in this study. Median age was 37-38 year-old. Ferritin serum (232 ng/mL) and hair iron (39,67 ng/mL) was slightly higher in control group as compared to alopecia androgenetic group (ferritin 222 ng/mL and hair iron 22,65 ng/mL), but there was no statistically significant result (p = 0,758 and p = 0,102). Hair iron level correlates weakly positive with hair diameter in subgroup analysis.

Conclusion: Serum ferritin and hair iron level in non-alopecia population is higher compared to alopecia androgenetic men, but statistically insignificant"

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peppy Fourina
"Latar belakang: Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim yang besar.
Hijab dipakai oleh banyak wanita di Indonesia, sedangkan hijab berpotensi mengurangi
serapan sinar matahari di kulit yang memengaruhi sintesis vitamin D. Beberapa
penelitian telah mengaitkan defisiensi kadar 25-hydroxyvitamin D serum dengan
kerontokan rambut, tetapi tidak pernah dilakukan pada kelompok perempuan berhijab.
Tujuan: Mengetahui hubungan kadar 25-hydroxyvitamin D serum dengan kerontokan
rambut pada perempuan dewasa usia subur berhijab (H) dan tidak berhijab (TH).
Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan sepanjang bulan November 2019
hingga Maret 2020. Data terkait pemakaian hijab, kerontokan rambut, skor pajanan
sinar matahari, jumlah rambut rontok harian, hair pull test, dan kadar 25-
hydroxyvitamin D serum dievaluasi pada masing-masing 30 subjek berhijab dan tidak
berhijab yang tidak menderita penyakit sistemik maupun kejiwaan.
Hasil: Median kadar 25-hydroxyvitamin D serum pada kelompok H adalah 8,70 (6,13-
34,10) ng/mL dan mean kadarnya pada kelompok TH adalah 16,70 6,30 ng/mL.
Median jumlah rambut rontok harian pada kelompok H adalah 28,62 (3,00-118,50) helai
dan pada kelompok TH adalah 18,25 (3,50-134,50) helai. Berdasarkan uji korelasi
Spearman, didapatkan koefisien korelasi r = -0,190 pada kelompok H (p = 0,315), dan r
= 0,193 pada kelompok TH (p = 0,308).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan kadar 25-hydroxyvitamin D serum dengan
kerontokan rambut baik pada perempuan dewasa usia subur berhijab maupun tidak
berhijab.

Background: Indonesia has a large muslim population. As hijab is considered
compulsory for most, wearing it may potentially reduce skin absorption of sunlight
which plays important role in vitamin D synthesis. Several studies had described
significant correlation between serum 25-hyroxyvitamin D level and hair loss, but never
specifically conducted in hijab wearing women.
Objective: To assess the correlation between serum 25-hydroxyvitamin D level and
hair loss in adult childbearing-age women who wear (H) and do not wear hijab (NH).
Methods: This cross-sectional study was conducted from November 2019 to March
2020. Data concerning hijab use, hair loss, sun exposure score, daily hair loss, hair pull
test, and serum 25-hydroxyvitamin D level were evaluated in 30 subjects of each group.
Results: The median level of serum 25-hydroxyvitamin D in the H group was 8,70
(6,13-34,10) ng/mL while the mean serum level in the NH group was 16,70 6,30
ng/mL. The median number of daily hair loss in the wearing hijab group was 28,62
(3,00-118,50) and in the not-wearing hijab group was 18,25 (3,50-134,50). Based on
Spearman’s correlation test, r = -0,190 in the H group (p = 0,315) and r = 0,193 in the
NH group (p = 0,308).
Conclusion: There was no significant correlation between serum 25-hydroxyvitamin D
level and hair loss in both groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Emma Sri Kuncari
"Seledri telah dikenal luas mampu merangsang pertumbuhan rambut. Salah satu senyawa utama yang terkandung di dalam seledri adalah apigenin. Tesis ini membahas tentang aktivitas dan stabilitas gel yang mengandung apigenin dan perasan herba seledri terhadap pertumbuhan rambut tikus putih. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar apigenin dalam perasan herba seledri dibandingkan dengan apigenin standar, menguji aktivitas dan stabilitas gel yang mengandung apigenin dan perasan herba seledri terhadap pertumbuhan rambut tikus putih dan uji iritasi. Metode yang digunakan adalah KLT-Densitometer, evaluasi gel, stabilitas fisik, uji iritasi dan aktivitas rambut.
Hasil KLT-Densitometer menunjukkan kadar apigenin dalam perasan seledri 0,65% dari apigenin standar. Gel yang mengandung apigenin dan perasan seledri menunjukkan aktivitas menambah panjang rambut lebih baik (p<0,05) dibandingkan kontrol normal tanpa perlakuan. Sedangkan untuk parameter menambah tebal rambut, apigenin terbukti lebih baik secara nyata (p<0,05) dibanding kontrol normal namun seledri tidak terbukti secara nyata (p>0,05). Gel apigenin dan perasan seledri menunjukkan stabil fisik pada penyimpanan 28±2 °C dan 40±2 °C, namun kurang stabil pada penyimpanan 4±2 °C selama 14 minggu. Berdasarkan indeks iritasi primer, keempat sediaan gel tidak menimbulkan iritasi pada kulit tikus putih. Dapat disimpulkan pemberian gel yang mengandung apigenin dan perasan herba seledri dapat memperpanjang rambut tikus putih bila dibandingkan dengan kontrol normal tanpa perlakuan apapun.

Celery (Apium graveolens L.) juice is widely used for promoting hair growth. One of the main compounds contained in celery is apigenin. This thesis discusses about the activity and stability of gel containing apigenin and celery juice as hair growth of male S-D mice. The purpose of this study was to quantify the levels of apigenin in the fresh celery juice compared with standard apigenin, to test the activity and stability of the gel containing apigenin and celery juice for hair growth of male S-D mice and irritation test. The method used were TLC-Densitometer, gel evaluation, physical stability, irritation test and hair growth activity.
Based on the result of the TLC-Densitometer, showed that apigenin in celery juice was 0,65% of standard apigenin. Gel containing apigenin and celery juice showed better in promoting hair growth (p<0,05) than control without treatment. Apigenin showed better activity (p<0,05) in increasing hair thickness as well than control without treatment. However treatment of celery juice did not significantly (p>0,05) increase hair thickness. Gel containing apigenin and celery juice showed good physical stability at 28±2 °C and 40±2 °C, but less stable at 4±2 °C for 14 weeks. Based on primary index irritation, all of four gel formulas did not cause skin irritation on the mice. It can be concluded that gel containing apigenin and celery juice may result in better hair growth promoting of mice compared to control without treatment.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
T36018
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>