Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11859 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Karmila Putri Maulidya
"Gangguan pada Vertebrae yang umum terjadi berupa Disc Degenerative Disease (DDD) dimana intervertebral disc atau diskus tulang belakang mengalami kerusakan dan tidak dapat menopang vertebrae sesuai fungsinya. Pengobatan terhadap DDD dapat dilakukan secara konservatif dengan terapi dan obat-obatan, maupun secara operatif dengan mengganti intervertebral disc. Terdapat beberapa metode operasi pemasangan implan yang masing-masing memiliki cara insersi berbeda. Di antara metode insersi tersebut, TLIF merupakan metode dengan tingkat invasi paling minimum dan dapat diminimalkan lagi dengan menerapkan prinsip Minimally Invasive Spine Surgery (MISS). Prinsip ini bertujuan untuk memperkecil ukuran sayatan operasi pada saat insersi implan, dapat dilakukan dengan bantuan teknologi atau dengan modifikasi geometri implan. Penelitian ini akan mengembangkan desain geometri implan TLIF menjadi modular lepas pasang dengan sistem pengunci horizontal dan vertikal. Bagian modular perlu diuji keberhasilannya menggunakan prototipe hasil fabrikasi stereolithography (SLA) maupun Fused Deposition Modelling (FDM). Desain implan kemudian dimanufaktur dengan material PEEK untuk dilakukan pengujian simulasi Metode Elemen Hingga dan eksperimental kompresi. Geometri modular memiliki pengaruh menurunkan kekuatan mekanik implan dibandingkan geometri nonmodular. Akan tetapi penurunan kekuatan tersebut masih pada batas aman kemampuan mekanik yang dibutuhkan oleh implan. Oleh karena itu, dengan dikembangkannya desain geometri modular ini, prinsip MISS dapat dicapai dan kekuatan mekanik yang dibutuhkan tetap dapat dicapai oleh implan TLIF.

Disorders of the Vertebrae commonly occurs is Disc Degenerative Disease (DDD) in which the intervertebral discs or spinal discs are damaged and cannot support the vertebrae according to their function. Treatment of DDD can be done conservatively with therapy and drugs, or operatively by replacing the intervertebral disc. There are several surgical implant methods, each of which has a different way of insertion. Among these insertion methods, TLIF is the method with the minimum level of invasion and can be minimized by applying the principles of Minimally Invasive Spine Surgery (MISS). This principle aims to reduce the size of the surgical incision at the time of implant insertion, which can be done with the help of technology or by modifying the implant geometry. This research will develop the geometry design of TLIF implants into a detachable modular system with a horizontal and vertical locking system. Modular parts are required to be tested for success using prototypes produced by 3-dimensional stereolithography (SLA) printing and Fused Deposition Modeling (FDM). The implant design was then manufactured with PEEK material for the Finite Element Method simulation and compression experimental tests. Modular geometry has the effect of reducing the mechanical strength of the implant compared to non-modular geometry. However, this decrease in power is still within the safe limits of the mechanical capabilities required by the implant. Therefore, with the development of this modular geometry design, the MISS principle can be achieved and TLIF implants can still achieve the required mechanical strength."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajiantoro
"Latar Belakang. Hernia Nukleus Pulposus (HNP) merupakan suatu kondisi terjadinya penonjolan nukleus pulposus melalui annulus fibrosus pada diskus intervertebralis yang menekan ke arah kanalis spinalis. Minimal invasive surgery merupakan salah satu penatalaksanaan HNP dengan intervensi minimal. Dalam banyak kasus HNP, kebocoran nukleus pulposus dapat bermigrasi ke luar dari diskus intervertebralis, dan adhesi tersebut sering menyebabkan kesulitan dalam tatalaksana HNP. Indeks Disabilitas Oswestry (IDO) adalah salah satu luaran klinis untuk mengevaluasi keberhasilan penanganan nyeri punggung bawah. Penelitian ini dilakukan untuk menilai faktor-faktor yang memengaruhi luaran klinis IDO pada pasien hernia nukleus pulposus pasca tindakan Microendoscopic Discectomy (MED).
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan metode kohort pada 102 pasien, dengan menganalisis faktor usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, konsumsi rokok, konsumsi alkohol, onset nyeri, gejala nyeri radikuler, skor VAS, skor IDO, defisit neurologis, durasi dan tatalaksana konservatif, zona herniasi, derajat herniasi, lama operasi, lama perawatan, rekurensi nyeri, komplikasi dan durasi penyembuhan pascaoperasi.
Hasil. Tidak semua faktor memiliki pengaruh terhadap luaran klinis IDO pada pasien HNP pasca tindakan MED berdasarkan hasil analisis statistik. Dari uji regresi linier didapatkan rumus perubahan skor IDO pasca 12 bulan operasi = 21.967 + -1.54*(VAS preoperasi) + 0.697*(IDO preoperasi) + -0.104*(usia) + 0.794*(derajat herniasi). Berdasarkan variabel derajat herniasi (1 = protrusi, 2 = ekstrusi, 3 = sekuestrasi). Uji analisis kesintasan rekurensi nyeri pada penelitian ini tidak bermakna secara statistik. Namun, rekurensi nyeri yang terjadi sebagian besar didapatkan pada kelompok protrusi dan ekstrusi, dengan IMT lebih dari 25, dan VAS preoperasi ≥ 5.
Kesimpulan. Faktor yang memengaruhi luaran klinis IDO pada pasien HNP pasca tindakan MED adalah skor IDO preoperasi, VAS preoperasi, onset nyeri, IMT, usia, riwayat olahraga, derajat herniasi dan rekurensi nyeri. Hanya empat dari faktor tersebut yang dapat digunakan untuk memprediksi luaran IDO, yaitu VAS preoperasi, IDO preoperasi, usia dan derajat herniasi.

Background. Herniated Nucleus Pulposus (HNP) is a condition of protrusion of the nucleus pulposus through the annulus fibrosus in the intervertebral disc that presses towards the spinal canal. Minimal invasive surgery is one of the management of HNP with minimal intervention. In many cases of HNP, leakage of the nucleus pulposus can migrate out of the intervertebral disc, and the adhesion often causes difficulties in the management of HNP. The Oswestry Disability Index (ODI) is a clinical outcome for evaluating the success of treating low back pain. This study was conducted to assess the factors that influence ODI clinical outcomes in patients with nucleus pulposus herniation after MED.
Methods. This study was an observational analytic cohort method in 102 patients. By analyzing the factors of age, sex, body mass index, cigarette consumption, alcohol consumption, pain onset, radicular pain, VAS pain score, ODI score, neurological deficit, duration and conservative management, herniation zone, herniation grading, length of operation, duration of treatment, recurrence of pain, complications and duration of postoperative healing.
Results. Some factors influence ODI outcome in the sample as resulted by statistical analysis. From linear regression calculation, ODI 12-months postoperative formula = 21.967 + -1.54*(VAS preoperative) + 0.697*(ODI pre-operative) + -0.104*(age) + 0.794*(grading herniation). There was no statistical significance found in the survival analysis of pain recurrence. However, the pain recurrence happened mostly in patients with protrusion and extrusion grade, with BMI more than 25, and preoperation VAS ≥5.
Conclusion. Factors influencing clinical outcomes by ODI in patients with nucleus pulposus herniation after MED were preoperative ODI, preoperative VAS, pain onset, BMI, age, sport history, herniation grading, and pain recurrence. Only four of them are able to predict postoperative ODI, they are preoperative ODI, preoperative VAS, age, and herniation grading.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Sakti Jiwandono
"Herniasi Nukleus Pulposus (HNP) lumbal adalah kondisi yang disebabkan proses degenerasi dari diskus intervertebralis (DIV) yang sering terjadi pada area lumbal. Kondisi ini dapat berkaitan dengan keluhan nyeri punggung bawah yang mengakibatkan kesakitan dan penurunan dari kualitas hidup pasien. Tindakan Percutaneous Laser Disc Reconstruction (PLDR) adalah tindakan yang diaplikasikan ke jaringan DIV untuk menginduksi proses regenerasi, perbaikan pada diskus yang mengalami kerusakan, dan mengurangi nyeri pada pasien. Studi prospektif cohort ini dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RSUD Dr. Moewardi Surakarta, yang melibatkan 21 pasien dengan HNP lumbal. Pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu menggunakan sampel purposif. Variabel yang dianalisis meliputi Visual Analoque Scale (VAS), Oswestry Disability Index (ODI), PROMIS (Patient-Reported Outcomes Measurement Information System) Global 10, dan Pfirrmann Grading berdaraskan MRI. Studi ini memperoleh persetujuan etik dari Komite Etik RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Analisis statistik yang digunakan untuk menguji luaran klinis tindakan PLDR pada pasien HNP Lumbal adalah Uji Mann Whitney (p<0.05) dan Wilcoxon rank test. Evaluasi setelah 3 bulan pasca tindakan PLDR yang diberikan kepada pasien dengan HNP lumbal memberikan perbaikan rasa nyeri berdasarkan skor VAS sebesar 51,3% (rata-rata 7.25±0.68 menjadi 3.67±0.48). Tindakan PLDR juga memberikan perbaikan pada kualitas hidup pasien di mana terdapat perbaikan skor ODI sebesar 58,8% (rata-rata 38.57±7.19 menjadi 15.90±4.84) dan terdapat perbaikan skor SF-36 sampai sebesar 65,1% (rata-rata 46,43±9,64 menjadi 76,67±3,65) pada komponen health change. Evaluasi MRI berdasarkan Pfirrmann Grading menunjukkan adanya penurunan yang signifikan (p<0,05) pasca tindakan PLDR. Evaluasi skor PROMIS didapatkan skor Pain Interference 43.33±5.80 dan Physical function 50.76±2.43 yang menunjukkan skor PROMIS post tindakan PLDR masih belum mencapai nilai maksimal.

Lumbar Nucleus Pulposus Herniation is a common condition caused by the degeneration process of the intervertebral disc in the lumbar area. This condition can be associated with complaints of lower back pain which results in disability and a decrease in the patient's quality of life. Percutaneous Laser Disc Reconstruction (PLDR) is a procedure applied to disc tissue, to induce the regeneration process, repair damaged discs, and reduce pain in patients. This prospective cohort study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital and Dr. Moewardi Hospital Surakarta, involving 21 patients with lumbar HNP. Sample selection is based on certain inclusion and exclusion criteria using purposive sampling. Variables analyzed included the Visual Analogue Scale (VAS), Oswestry Disability Index (ODI), PROMIS (Patient-Reported Outcomes Measurement Information System) Global 10, and Pfirrmann Grading.Evaluation after 3 months post PLDR given to patients with lumbar HNP provided an improvement in pain based on the VAS score of 51.3% (average 7.25±0.68 to 3.67±0.48). The PLDR procedure also provided an improvement in the patient's quality of life where there was an improvement in the ODI score of 58.8% (average 38.57±7.19 to 15.90±4.84) ​​and there was an improvement in the SF-36 score of up to 65.1% (average 46.43±9.64 to 76.67±3.65) in the health change component. MRI evaluation based on Pfirrmann Grading showed a significant decrease (p<0.05) after PLDR. PROMIS score evaluation obtained Pain Interference score of 43.33±5.80 and Physical function score of 50.76±2.43, showed that PROMIS score after PLDR had not yet reached the maximum value."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjokorda Agung Yavatrisna Vidyaputra
"Lumbar Degenerative Disc Disease (LDDD) adalah salah satu penyebab utama nyeri punggung bawah pada populasi dewasa. Vitamin D, reseptor vitamin D (VDR), dan aggrecan serum memiliki peran dalam patogenesis degenerasi diskus. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara kadar serum vitamin D, reseptor vitamin D, dan aggrecan dengan derajat keparahan LDDD pada populasi dewasa. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan 85 subjek usia dewasa yang didiagnosis LDDD. Kadar serum vitamin D, VDR, dan aggrecan diukur menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Derajat keparahan LDDD ditentukan berdasarkan Klasifikasi Pfirrmann melalui pencitraan MRI. Data dianalisis menggunakan uji statistik Chi-square, ROC, dan korelasi Pearson atau Spearman. Terdapat hubungan signifikan antara kadar vitamin D dengan derajat keparahan LDDD (p=0,01), dengan subjek yang memiliki kadar vitamin D insufisiensi lebih cenderung mengalami LDDD sedang. Sebaliknya, kadar aggrecan menunjukkan hubungan negatif yang signifikan dengan derajat LDDD (p<0,001), di mana kadar aggrecan yang lebih rendah berkorelasi dengan keparahan LDDD yang lebih tinggi. Tidak ditemukan hubungan signifikan antara kadar VDR dan keparahan LDDD (p=0,492). Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan signifikan antara kadar vitamin D dan aggrecan serum dengan derajat keparahan LDDD pada populasi dewasa. Kadar aggrecan yang rendah dan insufisiensi vitamin D berhubungan dengan LDDD yang lebih berat, sedangkan VDR tidak menunjukkan hubungan yang signifikan.

Lumbar Degenerative Disc Disease (LDDD) is a leading cause of low back pain (LBP) in the adult population. Serum vitamin D, vitamin D receptor (VDR), and aggrecan are believed to play roles in the pathogenesis of disc degeneration. This study aims to evaluate the relationship between serum levels of vitamin D, VDR, and aggrecan with the severity of LDDD in adults. A cross-sectional study was conducted with 85 adult subjects diagnosed with LDDD. Serum levels of vitamin D, VDR, and aggrecan were measured using enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). The severity of LDDD was graded using the Pfirrmann classification via MRI imaging. Statistical analyses were performed using Chi-square tests, ROC analysis, and Pearson or Spearman correlation. A significant association was found between vitamin D levels and the severity of LDDD (p=0.01), with subjects having insufficient vitamin D levels more likely to experience moderate LDDD. In contrast, aggrecan levels showed a significant negative association with LDDD severity (p<0.001), where lower aggrecan levels correlated with higher LDDD severity. No significant relationship was observed between VDR levels and LDDD severity (p=0.492). This study demonstrates a significant relationship between serum vitamin D and aggrecan levels with the severity of LDDD in adults. Low aggrecan levels and vitamin D insufficiency are associated with more severe LDDD, while VDR levels showed no significant association."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wafa Husnayaini
"Penyakit pada bagian punggung, khususnya pada bagian lumbar merupakan salah satu penyakit tulang belakang yang paling umum dialami oleh banyak orang. Di antaranya, sebagian besar disebabkan oleh kerusakan pada diskus. Jika penanganan konvensional tidak berhasil menghilangkan rasa sakit pasien, Teknik Lumbar Interbody Fusion Spine Cage banyak digunakan oleh dokter bedah tulang belakang untuk menangani kerusakan diskus. Dengan menggunakan material titanium yang memiliki sifat biologis yang baik, dapat dikembangkan desain struktur implan yang dapat meningkatkan sifat mekanik dari implan tersebut, yaitu dengan mengembangkan desain berbentuk mikroporus dan struktur lainnya. Namun, fabrikasi bentuk struktur porous pada titanium merupakan proses yang kompleks dan membutuhkan biaya yang mahal. Sehingga penelitian ini menggunakan metode lain, yaitu dengan CNC Milling untuk menghasilkan desain yang diinginkan dengan proses yang lebih mudah dan biaya yang lebih terjangkau. Dikembangkan desain berbentuk makroporous dan struktur truss, yang menunjukkan kekuatan kompresi yang mencapai kebutuhan implan, namun nilai modulus elastisitas yang ditargetkan untuk diturunkan tidak tercapai. Serta terdapat abnormalitas antara hasil pengujian dengan metode simulasi FEA dan eksperimental. Namun hasil temuan ini dapat diaplikasikan dengan menggabungkan material titanium dengan PEEK untuk mencapai nilai modulus elastisitas yang dibutuhkan. Serta didapatkan juga bahwa desain yang dikembangkan dapat menahan beban dengan efisien dan dapat diterapkan untuk metode fabrikasi 3D printing kedepannya.

Lower back pain, specifically in the lumbar segment, is one of the most common diseases of the spine, where most of it is caused by the intervertebral disc disease. If conventional treatment is not effective, Lumbar Interbody Fusion (LIF) Technique is used by many spine surgeons to treat disc diseases. By making use of titanium material that has great biological properties, a design can be developed to increase the mechanical properties of the implant by developing microporosity and other structures. Though, fabrication of a porous structure is complex and expensive. Hence in this research, a fabrication of porous titanium using CNC drilling method, is used for more affordable and simple methods. A macroporous and a truss structure design is developed in this research, which shows compressive strength that meets the implant requirements. Though the decrease of elastic modulus which is aimed is not achieved. There was also abnormality between the results of FEA simulation and experimental results. Despite the outcome, the findings can be applicated by combining titanium and PEEK material to achieve the elastic modulus needed. It was also found that the design developed can bear the load efficiently and can be applied in other fabrication methods such as 3D printing in the future."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damiarta
"Pendahuluan: Fusi interkorpus lumbal adalah pilihan dalam tatalaksana spondilosis degeneratif. Operasi minimal invasif menekankan pada kelebihan dalam mengurangi kerusakan jaringan lunak, jumlah perdarahan dan durasi rawat di Rumah Sakit sehingga dapat meningkatkan derajat pemulihan pasien, status fungsional dan nilai cost-effective. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi luaran pasien yang menjalani operasi terbuka dan minimal invasif. Metode: Penelitian ini merupakan restrospektif kohort pada 70 pasien operasi terbuka n=35, minimal invasif n=35 . Evaluasi klinis dan radiologis mencakup nilai VAS, jumlah perdarahan intraoperatif, durasi operasi, paparan fluoroskopi, tingkat fusi pada bulan ke 12, skor ODI untuk penilaian fungsional pasien, serta total biaya. Pasien diobservasi sampai 12 bulan pascaoperasi. Temuan Penelitian: Kedua kelompok menunjukkan hasil luaran klinis pascaoperasi yang baik. VAS nyeri punggung 1 hari pascaoperasi lebih baik secara signifikan pada kelompok minimal invasif p 0,001 , sedangkan VAS nyeri tungkai tidak berbeda secara bermakna pada kedua kelompok. Operasi minimal invasif diasosiasikan dengan berkurangnya jumlah perdarahan, namun terdapat peningkatan paparan radiasi intraoperatif. Evaluasi fusi dalam 12 bulan pascaoperasi tidak berbeda secara bermakna. Kelompok minimal invasif menunjukkan nilai ODI yang lebih baik pada periode 6 dan 12 bulan pascaoperasi. Total biaya berbeda secara bermakna, dimana terdapat angka yang lebih tinggi pada kelompok minimal invasif. Diskusi: Perbandingan antara operasi terbuka dan minimal invasif menunjukkan luaran yang relatif sama. Pada operasi minimal invasif jumlah perdarahan lebih sedikit, namun paparan radiasi lebih tinggi. Nyeri pascaoperasi periode awal lebih pada kelompok minimal invasif. Metode operasi minimal invasif dapat meningkatkan cost-effectiveness dihubungkan dengan kecepatan pemulihan dan waktu untuk kembali bekerja.

Introduction Lumbar interbody fusion is one of the mainstay management in degenerative spondylosis. Minimal invasive surgery emphasize its potential advantages to reduce soft tissue injury, blood loss, length of hospital stay that result in improvement of recovery, functional outcome and cost effectiveness. The purpose of this study is to evaluate the outcomes of patients underwent MIS TLIF and open TLIF. Methods This is a prospective cohort study on total of 70 patients open TLIF n 35, MIS TLIF n 35 . We evaluate VAS for back pain and leg pain, ODI scores, intraoperative bleeding, operation duration, C arm shots, degrees of fusion, and total cost. We observed the patients until 1 year post operation. Results Post operation all the clinical parameter increased in both group compared to pre operative condition. VAS back pain was significantly lower in the MIS TLIF group p"
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asrafi Rizki Gatam
"ABSTRAK
Pendahuluan. Penggunaan autograft dalam fusi interkorpus tulang belakang
masih menjadi pilihan utama, tetapi jumlah yang terbatas dan morbiditas pada
tempat donor mendorong penggunaan substitusi tulang. Kombinasi HA dan DBM
menjadi pilihan utama selain autograft dalam fusi interkorpus, namun hasil yang ada menunjukan variasi diantara jenis DBM. Tujuan penelitian ini untuk
mengevaluasi luaran klinis dan radiologis fusi interkorpus lumbal menggunakan
kombinasi DBM dan HA.
Metode Penelitian. Penelitian ini merupakan prospektif cohort pada 35 pasien
yang terbagi atas 18 pasien kelompok autograft dan 17 pasien kelompok
kombinasi HA dan DBM. Pasien merupakan pasien spondilosis lumbal yang
diindikasikan untuk tindakan operatif. Evaluasi klinis pada masing-masing
kelompok pasca operasi menggunakan VAS, JOA dan ODI yang dinilai pada
bulan ke-3, 6 dan 12. Evaluasi radiologis pada masing-masing berupa fusi di
evaluasi dengan ct scan pada bulan ke-12. Karakteristik pasien seperti jenis
kelamin, usia, riwayat merokok, level operasi, dan BMI juga dievaluasi.
Temuan Penelitian. Dua orang ahli bedah orthopaedi tulang belakang melakukan operasi stabilisasi posterior dan TLIF. Terdapat 55 pasien (27 kelompok autograft, 28 kelompok kombinasi HA dan DBM) yang masuk ke dalam kriteria, 9 pasien dari masing-masing kelompok di eksklusi karena tidak dapat di follow up sampai 12 bulan. Perbandinagn skor VAS, JOA dan ODI diantara kedua kelompok tidak menunjukan perbedaan yang bermakna dengan nilai p masing-masing 0,599, 0,543 dan 0,780. Perbandingan fusi antara kelompok autograft dan kombinasi HA dan DBM menunjukan nilai p 1,000, sehingga tidak bermakna secara statistik.
Simpulan Hasil luaran klinis dan radiologis pada penggunaan kombinasi HA dan
DBM dalam fusi interkorpus tidak menunjukan inferioritas bila dibandingkan
dengan autograft. Kombinasi HA dan DBM dapat dipertimbangkan sebagai
alternatif bagi pasien spondilosis lumbal yang diindikasikan untuk tindakan
operatif.

ABSTRACT
Introduction The use of autograft still remains a gold standard in lumbar
interbody fusion surgery, but the limited amount and donor site morbidity
encourages the use of bone substitute. Combination of HA and DBM become a
main choice other than autograft in lumbar interbody fusion, however there were variable result between DBM product. These research was aimed to evaluate the clinical and radiological outcome of interbody fusion using combination of DBM and HA.
Methods A cohort prospective research was conducted in 35 patients that were divided into 18 autograft group patients and 17 combination of HA and DBM group patient. All the patients were diagnosed with lumbar spondylosis and indicated for surgery. Clinical evaluation on each group was evaluated using VAS, JOA and ODI on the 3rd, 6th and 12th month post operatively. Radiologic outcome of fusion was evaluated using ct scan on the 12th month. Other patient characteristic such as sex, age, smoking history, level operation dan BMI were also evaluated in this research.
Results Two orthopaedic spine surgeon conducted the posterior stabilization and TLIF procedure. There were 55 patients (27 autograft group patients, 28
combination of HA and DBM group patients) that was included according to the criteria, 9 patients on each group were excluded due to loss of follow up below 12 months. Comparison of VAS, JOA and ODI score between the two group did not show any difference that significant statiscally with the p value was 0.599, 0.543, and 0.780 each. Comparison of fusion rate between the two groups showed p value of 1.000 which was not significant statiscally.
Conclusions Clinical and radiological outcome of combination of HA and DBM
in lumbar interbody fusion did not show inferiority compared with autograft.
Combination of HA and DBM can be considered as an alternative in lumbar
spondylosis patient that need operative procedure"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asrafi Rizki Gatam
"ABSTRAK
Pendahuluan. Penggunaan autograft dalam fusi interkorpus tulang belakang masih menjadi pilihan utama, tetapi jumlah yang terbatas dan morbiditas pada tempat donor mendorong penggunaan substitusi tulang. Kombinasi HA dan DBM menjadi pilihan utama selain autograft dalam fusi interkorpus, namun hasil yang ada menunjukan variasi diantara jenis DBM. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi luaran klinis dan radiologis fusi interkorpus lumbal menggunakan kombinasi DBM dan HA.
Metode Penelitian. Penelitian ini merupakan prospektif cohort pada 35 pasien yang terbagi atas 18 pasien kelompok autograft dan 17 pasien kelompok kombinasi HA dan DBM. Pasien merupakan pasien spondilosis lumbal yang diindikasikan untuk tindakan operatif. Evaluasi klinis pada masing-masing kelompok pasca operasi menggunakan VAS, JOA dan ODI yang dinilai pada bulan ke-3, 6 dan 12. Evaluasi radiologis pada masing-masing berupa fusi di evaluasi dengan ct scan pada bulan ke-12. Karakteristik pasien seperti jenis kelamin, usia, riwayat merokok, level operasi, dan BMI juga dievaluasi.
Temuan Penelitian. Dua orang ahli bedah orthopaedi tulang belakang melakukan operasi stabilisasi posterior dan TLIF. Terdapat 55 pasien (27 kelompok autograft, 28 kelompok kombinasi HA dan DBM) yang masuk ke dalam kriteria, 9 pasien dari masing-masing kelompok di eksklusi karena tidak dapat di follow up sampai 12 bulan. Perbandinagn skor VAS, JOA dan ODI diantara kedua kelompok tidak menunjukan perbedaan yang bermakna dengan nilai p masing-masing 0,599, 0,543 dan 0,780. Perbandingan fusi antara kelompok autograft dan kombinasi HA dan DBM menunjukan nilai p 1,000, sehingga tidak bermakna secara statistik.
Simpulan Hasil luaran klinis dan radiologis pada penggunaan kombinasi HA dan DBM dalam fusi interkorpus tidak menunjukan inferioritas bila dibandingkan dengan autograft. Kombinasi HA dan DBM dapat dipertimbangkan sebagai alternatif bagi pasien spondilosis lumbal yang diindikasikan untuk tindakan operatif.

ABSTRACT
Introduction The use of autograft still remains a gold standard in lumbar interbody fusion surgery, but the limited amount and donor site morbidity encourages the use of bone substitute. Combination of HA and DBM become a main choice other than autograft in lumbar interbody fusion, however there were variable result between DBM product. These research was aimed to evaluate the clinical and radiological outcome of interbody fusion using combination of DBM and HA.
Methods A cohort prospective research was conducted in 35 patients that were divided into 18 autograft group patients and 17 combination of HA and DBM group patient. All the patients were diagnosed with lumbar spondylosis and indicated for surgery. Clinical evaluation on each group was evaluated using VAS, JOA and ODI on the 3rd, 6th and 12th month post operatively. Radiologic outcome of fusion was evaluated using ct scan on the 12th month. Other patient characteristic such as sex, age, smoking history, level operation dan BMI were also evaluated in this research.
Results Two orthopaedic spine surgeon conducted the posterior stabilization and TLIF procedure. There were 55 patients (27 autograft group patients, 28 combination of HA and DBM group patients) that was included according to the criteria, 9 patients on each group were excluded due to loss of follow up below 12 months. Comparison of VAS, JOA and ODI score between the two group did not show any difference that significant statiscally with the p value was 0.599, 0.543, and 0.780 each. Comparison of fusion rate between the two groups showed p value of 1.000 which was not significant statiscally.
Conclusions Clinical and radiological outcome of combination of HA and DBM in lumbar interbody fusion did not show inferiority compared with autograft. Combination of HA and DBM can be considered as an alternative in lumbar spondylosis patient that need operative procedure"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Maska
"ABSTRAK
Pendahuluan. Sel punca mesenkimal merupakan salah satu alternatif pengobatan yang menjanjikan, termasuk dibidang orthopedi. Sumsum tulang masih menjadi pilihan utama sumber sel punca mesenkimal, namun dikarenakan jumlah sel punca mesenkimal yang sedikit, prosedur pengambilan yang invasif dan nyeri, jaringan adiposa mulai digunakan sebagai alternatif dengan kemampuan yang sebanding. Tindakan minimal invasive pada implantasi sel punca pada kasus tulang belakang membutuhkan alat bantu image intensifier C-arm yang menyebabkan sel punca teradiasi sinar X. Penelitian ini bertujuan mengetahui efek pajanan sinar-x c-arm terhadap viabilitas dan potensi osteogenik sel punca mesenkimal dan membandingkan antar kelompok donor. Bahan dan Metode. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilaksanakan di UPT-TK Sel Punca RSCM januari 2016-februari 2017 . Sampel penelitian adalah sel punca mesenkimal jaringan adiposa dan sumsum tulang pasca kriopreservasi. Sel punca pasca thawing dan propagasi dilakukan pajanan sinar X C-arm dengan berbagai dosis yang dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Ciptomangunkusumo. Sel punca lalu dikultur dan dilakukan diffenrensiasi osteogenik. Peneliti melakukan analisis viabilitas, waktu penggandaan populasi dan potensi osteogenik dengan pewarnaan alizarin red. Seluruh data dianalisis dengan SPSS 20. Hasil. Tidak terdapat perbedaan viabilitas sel punca mesenkimal jaringan adiposa dan sumsum tulang pre radiasi, pasca radiasi serta pasca radiasi dan kultur pada dosis radiasi yang sama p>0,05 . Tidak terdapat perbedaan potensi osteogenik yang bermakna antara sel punca mesenkimal jaringan adiposa dan sumsum tulang p>0,05 . Terdapat penurunan waktu penggandaan populasi sel punca mesenkimal jaringan adiposa pada dosis radiasi > 5,94 mSv. Kesimpulan. Viabilitas dan potensi osteogenik sel punca mesenkimal sumsum tulang dan jaringan adiposa tidak dipengaruhi oleh paparan sinar X hingga 15,30 mSv. Sel punca mesenkimal jaringan adiposa menunjukkan waktu penggandaan populasi yang lebih pendek pada dosis yang lebih besar. Sel punca mesenkimal jaringan adiposa dan sel punca mesenkimal sumsum tulang memiliki potensi osteogenik yang sebanding

ABSTRACT
Introduction. Mesencymal stem cells MSCs is a promising alternative treatment in medicine, including in orthopedic. Bone marrow is still the main source for MSCs. Because of relative less stem cell number, limited source, pain and invasive procedure to obtain the bone marrow, adipose tissue is also considered as a valuable source of MSCs with equal potency. Minimally invasive MSC injections in spine need image intensifier C arm as guidance that potentially influence the cell viability and osteogenic potency. The aim of this study is to evaluate the radiation effects from C arm on the viability and osteogenicity among two types of MSCs. Material and Methods. This experimental study was held on Stem Cell Medical Technology Integrated Service Unit Cipto Mangunkusumo Hospital January 2016 February 2017 . Study samples were Adipose Tissue derived MSCs AT MSCs and Bone Marrow MSCs BM MSCs , which had undergone cryopreservation. After thawing and propagation process, we gave x ray radiation with a variety of doses to MSCs at the Operation Theater Cipto Mangunkusumo Hospital. After the radiation, MSCs was took back to the laboratory for culture and osteogenic differentiation. Author analyzed the viability, population doubling time, and osteogenic potential by alizarin red stain. All data were analyzed using SPSS 20. Results. There was no significant difference among MSCs groups in term of cell viability before radiation, after radiation, and after radiation and culture p 0.05 . There was also no significant difference of the osteogenic potential between the two MSCs groups p 0.05 . However, there was a reduction in population doubling time of AT MSCs radiated with more than 5.94mSv radiation dose. Conclusions. Viability and osteogenic potential of either AT MSCs or BM MSCs were not affected by x ray radiation up to 15.3 mSV. AT MSCs showed a shorter population doubling time when given larger radiation dose. AT MSCs and BM MSCs had equal osteogenic potency. "
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail
"Model hewan experimental yang memadai dan menyerupai proses degeneratif diskus intervebralis manusia, dan sekaligus digunakan sebagai studi terapi baru seperti rekayasa jaringan atau distraksi diskus masih kurang. Kita meneliti tentang penggunaanaan alat kompresi eksterna cam Kroeber dkk untuk membuat degenerasi diskus intervertebralis pada model kelinci yang dibuktikan secara sinar X, MRI, histologis, dan viabilitas sel. Scpuluh kelinci putih selandia baru secara acak dibagi menjadi lima grup. Diskus intenvertebralis lumbar 4-5 dikompresi 1,9 MPa dengan alat kompresi eksterna. Grup satu kelinci dikompresi selama 14 hari, grup dua selama 28 had, grup tiga dikompresi 14 luiri dan 14 hari dilepaskan kompresi, grup empat 28 hari kompresi, 28 hari tanpa kompresi. Grup lima, kelinci dipasang alat tapi tanpa dikompresi. Empat kelinci lain digunakan sebagai sampel untuk studi viabililas sel. Penurunan ketinggian diskus terbesar pada grup satu, sebesar 23,9 unit, degenerasi diskus secara MRI yang terjelek adalah derujat tiga. Skor histologis terjelek pada grup tiga (58,69), yang terbaik grup empal (45.69). Kematian sel terbanyak terjadi pada grup satu (403,5), dan terkecil pada grup empat (124,75). Pewamaan Trypan blue menunjukhm bahwa pada grup empat (91,1) memiliki sel hidup lebih besar daripada grup tiga (86.4). Studi menyimpulkan degenerasi diskus dapat dikreasi dengan kompresi aksial eksterna selama 14 hari pada kelinci. Lama tanpa kompresi 28 hari memberikan hasil lebih balk untuk pemulihan set. (Med J Indones 2006; 15:199-207)

Appropriate experimental animal models, which mimic the degenerative process occurring in human intervertebral disc (IVD) breakdown and can be used for new treatment studies such as tissue engineering or disc distraction arc lacking. We studied the external compression device that used by Kroeber et a! to create interverlebral disc degeneration in rabbit mode! characterized by X-ray, MRI. Histology, and Cell Viability. Ten NZW rabbit were randomly assigned to one of five groups. lnterverlebral disc VL4-L5 are compressed using an external loading device, 1.9 MPa. First group rabbit are loaded for 14 days, second loaded for 28 days, thirth group are loaded for 14 days, and unloaded for 14 days, fourth group loaded for 28 days and unloaded for 28 days. The fifth group, rabbits underwent a sham operation. Additional, rabbits were used as sample for cell viability study. In disc height: sample in group one have biggest decreasing of disc height, that is 23.9 unit. In MRI assessment, the worst grade is grade 3. In histological score, the worst group is group three (58.69), and the best is group 4 (45.69). Group one have the largest dead cell, that are 403.5, and the smallest is group four (124.75). Trypan blue staining si lowed that group four have, better viable cell (91.1) compare than group three (86.4). The study conclude disc degeneration can be created by external axial loading for 14 days in rabbit intenvertebral disc. Duration of 28 days unloading gave better result for cells to recover. (MedJ Indones 2006; 15:199-207)."
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-4-OctDec2006-199
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>