Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 117749 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Fariz
"SARS-CoV-2 adalah virus yang menyebabkan pandemi COVID-19 pada 2019 kemarin. Hingga saat ini, belum ditemukan obat yang efektif dalam mengobati penyakit COVID-19. Senyawa flavonoid memiliki banyak khasiat salah satunya inhibitor virus. Hanya saja dengan banyak senyawa flavonoid menyebabkan pencarian senyawa dapat menghabiskan banyak waktu dan sumber daya untuk dilakukan pengujian berdasarkan in-vitro dan in-vivo, sehingga digunakanlah metode in-silico. Salah satu metode in-silico yang umum digunakan adalah penambatan molekuler. Akan tetapi proses penambatan molekuler ini juga masih memakan kekuatan komputasi yang tinggi. Pada Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode prediksi nilai penambatan molekuler dari senyawa flavonoid terhadap protein target SARS-CoV-2 menggunakan model pembelajaran mesin. Model yang dikembangkan yakni K-Nearest Neighbor, ExtraTrees, Gradient Boosting, dan Artificial Neural Network. Dalam penelitian ini, dibandingkan dua jenis input model, yaitu SMILES dan Alvadesc deskriptor, untuk memprediksi interaksi antara senyawa flavonoid dan protein target SARS-CoV-2. Hasil penelitian menunjukkan deskriptor AlvaDesc memiliki akurasi yang lebih tinggi dan waktu pengembangan yang lebih singkat dibandingkan dengan deskriptor SMILES.

SARS-CoV-2, the virus responsible for the COVID-19 pandemic in 2019, has not yet been effectively treated with any drug. Flavonoid compounds exhibit various properties one of it is virus inhibition. However, the search for effective compounds requires extensive time and resources due to the need for in-vitro and in-vivo testing. To expedite this process, the in-silico method, particularly molecular docking, is commonly employed. Nevertheless, molecular docking itself is time-consuming and computationally demanding. Therefore, this study aims to develop a method for predicting the molecular binding affinity of flavonoid compounds to SARS-CoV-2 target proteins using machine learning and deep learning models. Two types of input model, namely SMILES and AlvaDesc descriptors, were compared to predict the interactions between flavonoid compounds and SARS-CoV-2 target proteins. The results indicate that the AlvaDesc descriptor achieves higher accuracy and shorter development time compared to the SMILES descriptor."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alifian Atras Timur
"Virus Dengue merupakan virus endemik yang telah ada sejak abad ke 15. Virus Dengue memiliki 4 varian, dan keempat varian tersebut beredar secara bebas di Indonesia. Kasus demam berdarah di Indonesia telah mencapai 131.265 kasus pada tahun 2022. Hingga saat ini, belum ditemukan obat ataupun vaksin yang efektif dalam mencegah persebaran dan mengobati penyakit demam berdarah. Senyawa flavonoid diketahui memiliki sifat antioksidan, antikanker, dan sifat inhibisi virus. Salah satu virus yang berpotensi untuk di inhibisi adalah virus Dengue. Namun, dengan ribuan senyawa yang termasuk ke dalam senyawa flavonoid, dibutuhkan waktu lama untuk melakukan pengujian baik secara in vitro ataupun in vivo. Salah satu cara untuk mempercepat proses penemuan senyawa inhibitor potensial adalah metode in silico, dengan metode yang umum digunakan adalah penambatan molekuler. Namun, proses penambatan molekuler juga masih tetap membutuhkan waktu yang lama. Pada penelitian ini, dilakukan prediksi skor penambatan menggunakan metode pembelajaran mesin (machine learning). Data skor penambatan didapat dengan penambatan molekuler menggunakan aplikasi Autodock Vina. Dikembangkan empat model pembelajaran mesin, yakni K-Nearest Neighbor, Xtra Trees, Xtreme Gradient Boosting, dan Artificial Neural Network. Agar komputer dapat mengenali senyawa flavonoid, digunakan deskriptor AlvaDesc dan SMILES. Dari model yang dikembangkan, diambil hasil berupa akurasi dan waktu pelatihan model, dan kemudian dilakukan perbandingan dari setiap model yang dikembangkan beserta deskriptor yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan deskriptor AlvaDesc memiliki akurasi yang lebih tinggi dan waktu pengembangan yang lebih singkat dibandingkan dengan deskriptor SMILES. Model Xtreme Gradient Boosting dengan deskriptor AlvaDesc memiliki performa terbaik dengan akurasi 88,06% dan waktu pelatihan selama 2 menit 40 detik. Model Xtreme Gradient Boosting dengan deskriptor AlvaDesc juga dapat memprediksi skor penambatan senyawa propolis dengan rata-rata perbedaan hasil prediksi dengan nilai aktual sebesar 0,3517428866.

Dengue virus is an endemic virus that exist since the 15th century. Dengue Virus has 4 variants, and all of them exist in Indonesia. Dengue virus case reached over 131,265 cases in 2022 alone. Until now, there are no proven and effective drug or vaccine that can prevent the spread and infection of Dengue virus. Flavonoid compounds are known to have antioxidant and anticancer properties. In some cases, Flavonoid is also exhibit antivirus properties against some virus, one of them being Dengue virus. However, with thousands of compounds classified as flavonoid, it will take significant amount of time to discover and develop the drug for Dengue virus, both with in vitro and in vivo method. Alternative method to speed up the drug discovery process is to utilize in silico or simulation method. One of the method is to use molecular docking. Nevertheless, this method still take considerable amount of time to find the suitable compound. In this research, we will examine the usage of machine learning to predict the docking score of flavonoid compound. Docking score data are retrieved from the moelcaular docking with Autodock Vina application. In this research, four models are developed, K-Nearest Neighbor, Xtra Trees, Xtreme Gradient Boosting, and Artificial Neural Network models. The molecular descriptors that used in this research are AlvaDesc and SMILES. From the developed model, the accuracy and training time of the model will be collected and will be analyzed in relation with their model and descriptor that is used. Result shows that AlvaDesc more suitable to be used as descriptor, because of the higher model accuracy and lower training time compared to the SMILES model. XGB Regressor model with Alvadesc descriptor shows the best performance with accuracy of 88.02% and training time of 2 minutes and 40 seconds. The XGB Regressor model is also able to accurately predict the docking score of Propolis compounds with the mean value of the difference between the predicted and actual result value of 0,,3517428866.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarafina Ramadhanisa Kurnianto
"Penyakit COVID-19 merupakan penyakit infeksi yang diakibatkan oleh SARS-CoV-2 yang menyerang saluran pernapasan. Hingga saat ini belum ditemukan obat penyembuh COVID-19 dan upaya yang dilakukan ialah pemberian vaksin sehingga perlu adanya peningkatan imunitas manusia. Mpro SARS-CoV-2 merupakan enzim yang berfungsi untuk replikasi virus di sel inang, sehingga dapat menjadi target inhibisi. Pada penelitian ini dilakukan simulasi in silico terhadap senyawa flavonoid pada tumbuhan meniran hijau, yaitu Astragalin, Isoquercitrin, Quercitrin, dan Rutin dengan Quercetin sebagai ligan kontrol. Analisis prediksi ADMET menunjukkan bahwa semua ligan menunjukkan potensi yang aman untuk digunakan sebagai obat pada manusia, kecuali Rutin. Keempat ligan menunjukkan skor yang baik pada hasil penambatan molekuler dimana memiliki skor penambatan dan MM-GBSA yang lebih rendah dibanding Quercetin. Studi dinamika molekuler selama 20 ns menunjukkan bahwa semua ligan memiliki kestabilan interaksi yang baik dengan Quercetin dan Isoquercitrin cenderung memiliki kestabilan yang paling baik. Secara keseluruhan dihasilkan bahwa Isoquercetrin menunjukkan potensi yang lebih baik sebagai inhibitor Mpro SARS-CoV-2 dengan skor penambatan -11,973 kcal/mol, rata-rata RMSD 1,652Å, niali RMSF tertinggi 2,12Å, berinteraksi dengan 25 residu protein, dan memiliki 12 torsi dengan strain energy 0,748 kcal/mol.

COVID-19 is an infectious disease caused by SARS-CoV-2 which attacks the respiratory tract as the main target. Until now, no cure for COVID-19 has been found and the efforts made are vaccines distribution, so it is necessary to increase daily human immunity. Mpro SARS-CoV-2 is an enzyme for viral replication in host cells, so it can be a target of inhibition. In this study, an in-silico simulation of flavonoid compounds in green meniran plants was carried out, namely Astragalin, Isoquercitrin, Quercitrin, and Rutin with Quercetin as a control ligand. Predictive analysis of ADMET properties showed that all ligands showed good safety for use as drugs in humans, except Rutin. The four ligands showed good scores on molecular docking results which had lower binding scores and MM-GBSA than Quercetin. Molecular dynamics simulation for 20 ns showed that all ligands had good interaction stability and Quercetin and Isoquercitrin tended to have the most stable interaction. Overall, it was found that Isoquercetrin showed better potential as an Mpro SARS-CoV-2 inhibitor with a binding score of -11.973 kcal/mol, an average RMSD of 1.652Å, the highest RMSF value of 2.12Å, interacted with 25 protein residues, and had 12 torque with a strain energy of 0.748 kcal/mol."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Zainudin
"Latar belakang: Infeksi SARS-CoV-2 menyebabkan disregulasi sistem imun sehingga memperberat klinis pasien. Penilaian CT dan parameter inflamasi pejamu (neutrofil, limfosit, CRP dan feritin) saat admisi diharapkan membantu klinisi memberi tatalaksana efektif bagi pasien berisiko perburukan.
Tujuan: Mengetahui pengaruh nilai CT dan parameter inflamasi pejamu saat admisi terhadap derajat penyakit COVID-19 dalam 14 hari sejak onset gejala.
Metode: Studi kohort retrospektif dengan menelusuri rekam medis pasien COVID-19 berusia >18 tahun yang dirawat di RSCM dan RS Medistra pada Juni 2020-Februari 2021. Dilakukan analisis bivariat antara nilai CT, neutrofil, limfosit, CRP, feritin saat admisi dengan keparahan COVID-19, dilanjutkan analisis ROC untuk mendapatkan titik potong optimal. Setelahnya, dilakukan analisis multivariat dan membuat model klinis terbaik menilai kemungkinan keparahan COVID-19.
Hasil: Dari 336 subjek didapatkan COVID-19 berat-kritis sejumlah 75,3%. Tidak terdapat hubungan antara nilai CT rendah-sedang dan CT rendah-tinggi terhadap keparahan COVID-19 dengan nilai p masing-masing 0129 dan 0,913, sementara itu terdapat hubungan signifikan antara neutrofil, limfosit, CRP dan feritin terhadap keparahan COVID-19 dengan masing-masing nilai p<0,001. Dari analisis ROC, didapat titik potong optimal neutrofil (>71,5%), limfosit (<18,5%), CRP (>17,2 mg/dL), feritin (270 ng/mL) terhadap terjadinya COVID-19 berat-kritis dalam 14 hari sejak onset gejala. Hasil analisis multivariat menujukkan faktor yang mempengaruhi COVID-19 berat-kritis antara lain neutrofil (aRR 1,850 [IK 95% 1,482-2,311]), limfosit (aRR 1,877 [IK 95% 1,501 – 2,348]), CRP (aRR 2,068 [IK 95% 1,593 – 2,685]), dan feritin (aRR 1,841 [IK 95% 1,438 – 2,357]). Model klinis kombinasi neutrofil, limfosit, CPR dan feritin terhadap COVID-19 berat-kritis memiliki nilai AUC 0,933 (IK 95% 0,902 – 0,963).
Kesimpulan: nilai CT tidak mempengaruhi COVID-19 tidak berat dan berat-kritis. Neutrofil, limfosit, CRP, dan feritin saat admisi mempengaruhi terjadinya COVID-19 tidak berat dan berat-kritis Kombinasi neutrofil, limfosit, CRP dan feritin merupakan model klinis terbaik menilai kemungkinan keparahan COVID-19 dalam 14 hari sejak onset gejala.

Background: SARS-CoV-2 infection leads to immune dysregulation and hyperinflammation, thus potentially exacerbating clinical outcomes. Assessing CT value and host inflammatory parameters such as neutrophils, lymphocytes, CRP, and feritin upon admission may assist clinicians in providing effective management, especially for patient at risk of severe-critical condition.
Objective: To analyze the effect of CT values and host inflammatory parameters upon admission on the severity of COVID-19 within 14 days of symptom onset.
Methods: A retrospective cohort study tracing COVID-19 patient’s medical records aged >18 years admitted to RSUPN Ciptomangunkusumo and RS Medistra from June 2020 to February 2021. Bivariate analysis was conducted between CT values, neutrophils, lymphocytes, CRP, feritin on admission with COVID-19 severity, then ROC analysis to determine the optimal cut off points. Multivariate analysis was performed to control confounding factors. The best clinical model was analyzed for severe-critical outcome within 14 days of symptom onset.
Results: Out of 336 subjects, 75,3% had severe-critical COVID-19. There was no association between low-moderate CT value and low-high CT value with COVID-19 severity, with p value 0,129 and 0,913 respectively. However, there was significant association between neutrophils, lymphocytes, CRP, and feritins with COVID-19 severity, each with p<0.001. ROC analysis determined optimal cut off for neutrophils (>71.5%), lymphocytes (<18.5%), CRP (>17.2 mg/dL), and feritin (270 ng/mL) for the occurrence of severe-critical COVDI-19 within 14 days symptom onset. Multivariate analysis revealed factors influencing severe-critical COVID-19 including neutrophils (aRR 1.850 [95% CI 1.482-2.311]), lymphocytes (aRR 1.877 [95% CI 1.501 – 2.348]), CRP (aRR 2.068 [95% CI 1.593 – 2.685]), and feritin (aRR 1.841 [95% CI 1.438 – 2.357]). Combination of neutrophil, lymphocytes, CRP, and feritin was the best clinical model for severe-critical COVID-19 with AUC value 0.933 (95% CI 0.902 – 0.963).
Conclusion: Neutrophils, lymphocytes, CRP, and feritin value upon admission effect COVID-19 severity within 14 days of symptom onset
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andrianto Soeprapto
"Latar Belakang: Coronavirus disease 2019 (COVID-2019) disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) dan menjadi tantangan karena menyebar luas secara cepat. Jumlah virus SARS-CoV-2 ditemukan tinggi pada awal infeksi di rongga mulut dan saluran pernapasan bagian atas. Tindakan bedah di rongga mulut memiliki potensi tinggi untuk transmisi SARS-CoV-2. American Dental Association (ADA) dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan berkumur hidrogen peroksida 1,5% atau iodin povidon 0,2% sebelum tindakan medis. Mengurangi jumlah virus di saluran pernapasan bagian atas pada awal infeksi menurunkan keparahan perkembangan penyakit dan risiko transmisi. Nilai cycle threshold (CT) dari hasil pemeriksaan real time reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) merepresentasikan secara semikuantitatif viral load. Tujuan Penelitian: Menganalisis pengaruh berkumur iodin povidon 1% dan hidrogen peroksida 3% terhadap nilai CT RT-PCR SARS-CoV-2. Metode Penelitian: 45 subjek penelitian diambil dari pasien Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan yang terinfeksi SARS-CoV-2 sesuai kriteria inklusi dan ekslusi. Subjek penelitian dibagi ke dalam kelompok iodin povidon 1%, kelompok hidrogen peroksida 3%, dan kelompok kontrol. Subjek penelitian berkumur 30 detik di rongga mulut dan 30 detik di tenggorokan belakang dengan 15 ml sebanyak 3 kali sehari selama 5 hari. Analisis nilai CT dilakukan melalui pemeriksaan RT-PCR pada hari ke-1, hari ke-3, dan hari ke-5 setelah berkumur. Hasil: Didapatkan perbedaan bermakna pada hasil uji Friedman dan tampak peningkatan nilai CT RT-PCR mulai dari awal, hari ke-1, hari ke-3, dan hari ke- 5 pada keseluruhan kelompok dan masing-masing kelompok perlakuan. Hasil uji Post- Hoc dengan Wilcoxon menunjukkan perbedaan bermakna pada keseluruhan kelompok hari nilai CT RT-PCR dari keseluruhan kelompok dan kelompok iodin povidon 1%. Perbedaan bermakna sebagian besar kelompok hari nilai CT RT-PCR ditemukan dari hasil uji Post-Hoc dengan Wilcoxon pada kelompok hidrogen peroksida 3% dan kelompok kontrol, kecuali antara hari ke-1 dengan hari ke-3 dan antara hari ke-3 dengan hari ke-5 pada kelompok hidrogen peroksida 3% dan antara hari ke-3 dengan hari ke-5 pada kelompok kontrol. Peningkatan tertinggi nilai CT RT-PCR awal hingga hari ke-1 ditemukan pada kelompok hidrogen peroksida 3%, sedangkan antara hari ke-1 hingga ke-3 dan hari ke-3 hingga hari ke-5 ditemukan pada kelompok iodin povidon 1%. Usia dan jenis kelamin ditemukan tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap perubahan nilai CT RT-PCR. Kesimpulan: Berkumur iodin povidon 1% dan hidrogen peroksida 3% berpengaruh terhadap peningkatan nilai CT RT-PCR SARS-CoV-2. Peningkatan tertinggi nilai CT RT-PCR awal hingga hari ke-1 ditemukan pada kelompok hidrogen peroksida 3%, sedangkan antara hari ke-1 hingga ke-3 dan hari ke-3 hingga hari ke-5 ditemukan pada kelompok iodin povidon 1%.

Background: Coronavirus disease 2019 (COVID-2019) is caused by severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) and poses a challenge because it can spread rapidly. The number of SARS-CoV-2 was found to be high at the beginning of infection in the oral cavity and upper respiratory tract. Surgery in the oral cavity poses high transmission risk of SARS-CoV-2. The American Dental Association (ADA) and the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) recommend the use of mouthrinse either 1.5% hydrogen peroxide or 0.2% povidone iodine before commencing any surgical treatment. Reducing the viral load in the upper respiratory tract at the early of infection may decrease the severity of disease progression and the risk of transmission. The cycle threshold (CT) value from the real time reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) examination semi-quantitatively represents the viral load. Objective: To analyze the effect of mouthrinsing and gargling with 1% povidone iodine and 3% hydrogen peroxide on the CT value of SARS-CoV-2. Methods: 45 subjects were patients recruited from Persahabatan General Hospital infected with SARS-CoV-2 according to the inclusion and exclusion criteria. The subjects were divided into 1% povidone iodine group, the 3% hydrogen peroxide group, and the control group. The subjects were instructed to rinse their mouths for 30 seconds and gargle for 30 seconds at the back of the throat with 15 mL of the mouthrinse 3 times a day for 5 days. Analysis of CT values were carried out using RT-PCR on day 1, day 3 and day 5 after mouthrinsing and gargling. Results: Significant differences were found in the results of the Friedman test, and the CT value demonstrated increases from the initial, day 1, day 3 and day 5 in the whole group and each group. The results of the Post-Hoc test with Wilcoxon showed significant differences in the whole day group of the CT value of the whole group and the 1% povidone iodine group. Significant differences in most of the day group were found from the results of the Post-Hoc test with Wilcoxon in the 3% hydrogen peroxide group and the control group, except between day 1 and day 3 and between day 3 and day 5 in the 3% hydrogen peroxide group and between day 3 and day 5 in the control group. The highest increase in the initial CT value until day 1 was found in the 3% hydrogen peroxide group, while the increase between days 1 to 3 and day 3 to day 5 was found in the 1% povidone iodine group. Age and gender showed no significant correlation with changes in CT values. Conclusion: Mouthrinsing and gargling with 1% povidone iodine and 3% hydrogen peroxide were found to increase the CT value of SARS-CoV-2. The highest increase in the initial CT value until day 1 was found in the 3% hydrogen peroxide group, while between days 1 to 3 and day 3 to day 5 was found in the 1% povidone iodine group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ig Satrio Wicaksono
"Pada akhir tahun 2019, telah muncul suatu tipe virus korona baru yaitu SARS-CoV-2 yang menyebabkan pandemik global dengan tingkat kematian yang relatif sangat tinggi. Dikarenakan oleh belum adanya obat maupun vaksin yang efektif untuk mengobati virus ini maka diperlukan suatu senyawa yang bisa menginhibisi protein yang berperan dalam infeksi virus SARS-CoV-2. Virus SARS-CoV-2 terdiri dari beberapa protein penyusun. Salah satu protein yang berperan penting adalah protein nukleokapsid (NP). Protein ini berperan dalam proses transkripsi maupun replikasi dari RNA virus SARS-CoV-2. Oleh karena itu, protein ini memiliki potensi untuk dijadikan target protein yang akan diinhibisi. Pada penelitian ini akan dilakukan pemanfaatan senyawa bahan alam yang dapat menginhibisi protein target tersebut sehingga dapat mengurangi dampak dari pandemik global ini. Struktur tiga dimensi (3D) dari NP dimodel melalui sekuen yang diunduh melalui basis data GenBank. Struktur protein kemudian dioptimisasi dan dikarakterisasi untuk mengetahui keakurasian struktur hasi homologi model. Kemudian, penapisan dilakukan terhadap basis data senyawa bahan alam yang berasal dari NPASS dengan menggunakan Astex’s Rule of Three (RO3) dan sifat toksisitas untuk mendapatkan senyawa fragmen. Kemudian dilakukan simulasi penambatan molekul senyawa-senyawa fragmen ini terhadap sisi ikat dari NP menggunakan perangkat lunak MOE 2014.09. Kemudian setelah didapatkan delapan ligan terbaik, ligan-ligan tersebut ditumbuhkan dengan menggunakan proses penumbuhan fragmen yang menghasilkan 14.332 senyawa yang nantinya akan dievaluasi melalui simulasi penambatan molekul sekali lagi. Simulasi ini menghasilkan 40 ligan terbaik dengan nilai energi bebas Gibbs terendah terhadap struktur ptorein. Ligan terpilih diprediksi sifat farmakologinya secara komputasi, dan menghasilkan 2 ligan (CFG-17 dan NFG-11) yang memiliki sifat farmakologis yang baik. Kedua ligan ini divalidasi interaksinya dengan menggunakan simulasi dinamika molekul dan menunjukkan stabilitas interaksi yang baik sebagai kandidat obat untuk terapi SARS-CoV-2.

The outbreak of COVID-19 caused by the SARS-CoV-2 virus caused a global pandemic that affects the worldwide. Because of the lacking effective prescribed drugs or vaccines as a therapeutic strategy, there is a need to identify a novel inhibitor to inhibit a protein that plays a vital role in the infection of SARS-CoV-2. The Nucleocapsid protein (NP) of the SARS-CoV-2 is a protein that is necessary for viral RNA replication and transcription. Thus, in this study, a three-dimensional (3D) NP structure was modeled using the protein sequences of NP obtained from the GenBank database. After that, the modeled protein structure was characterized and optimized. The natural compound databases obtained from the NPASS database were screened based on Astex’s Rule of Three and toxicity filter to gain lead-like fragments. The filtered fragments were docked into the binding site of the NP utilizing MOE 2014.09 software. Then potential eight potential lead-like fragments were grown to generate 14,332 new ligands by utilizing DataWarrior software. Then molecular docking simulation was performed once again with the same protocol as the first molecular docking simulation. The simulation resulted in 40 best ligands with the lowest value of Gibbs free energy binding to NP. The selected ligands were subjected to the computational pharmacological properties prediction using several tools and resulted in two compounds candidate with favorable interaction and ADME-Tox properties. Then these two compounds were further analyzed with the molecular dynamic simulation."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rivaldi Febrian
"Rapid swab antigen SARS-CoV-2 merupakan pemeriksaan alternatif dalam mendeteksi SARS-CoV-2. Salah satu faktor yang mempengaruhi pemeriksaan rapid swab antigen SARS-CoV-ialah viral load yang direpresentasikan dengan cycle threshold (CT) pada pemeriksaan rRT-PCR. Hasil CT yang tinggi membuat sensitivitas pemeriksaan rapid swab antigen SARS-CoV-2 rendah. Tujuan utama pada penelitian ialah untuk menentukan nilai CT tertinggi pada pemeriksaan rRT-PCR yang mampu memberikan hasil reaktif pada pemeriksaan COVID-19 Ag (Standard Q SD Biosensor). Penelitian merupakan penelitian observasional dengan metode potong lintang dilakukan pada poliklinik demam RS dr. Cipto Mangunkusumo pada tanggal Juli 2020- Desember 2021. Total subjek dalam penelitian berjumlah 235 terdiri dari 24,7% subjek dengan rRT-PCR SARS-CoV-2 positif dan 75,3% subjek dengan rRT-PCR SARS-CoV-2 negatif. Median CT tertinggi pada pemeriksaan rRT-PCR SARS-CoV-2 yang mampu memberikan hasil reaktif pada pemeriksaan COVID-19 Ag (Standard Q SD Biosensor) ialah 28,22 (13,33- 39,16), sedangkan median CT tertinggi pada COVID-19 Ag (Standard Q SD Biosensor) non-reaktif ialah 34,45 (26,08-39,65). Sensitivitas, spesifisitas, NPV, PPV, dan LR positif dan LR negatif hasil COVID-19 Ag (Standard Q SD Biosensor) pada CT ≤ 40 adalah 63.8%, 99.4%, 89.3%, 97.4%, 112.9, dan 0.4. Pada CT ≤ 33 sensitivitas, spesifisitas, NPV, PPV, dan LR positif dan LR negatif ialah 77.1%, 99.4%, 95.7%, 96.4%, 136.5, dan 0.2 sedangkan pada CT ≤ 25 sensitivitas, spesifisitas, NPV, PPV, dan LR positif dan LR negatif adalah 92.3%, 99.4%, 99.4%, 92.3%, 163.4, dan 0.1. Titik potong CT rRT-PCR SARS-CoV-2 tertinggi ialah 26,06 dengan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 99,4%. Pemeriksaan COVID-19 Ag (Standard Q SD Biosensor) dapat dipakai untuk keperluan diagnosis, contact tracing atau community surveilance.

SARS-CoV-2 rapid antigen swab is an alternative test for detecting SARS-CoV-2 infection. One of the factors that influence the examination is viral load, which is represented by the cycle threshold (CT) in the rRT-PCR examination. The higher CT value will result in lower sensitivity of SARS-CoV-2 rapid antigen swab examination. The main objective of the study was to determine the highest CT value in rRT-PCR examination which still able to give reactive results on the COVID-19 Ag test (Standard Q SD Biosensor). The study was a cross-sectional study carried out at the fever polyclinic in dr. Cipto Mangunkusumo Hospital between July 2020 - December 2021. The study consisted of 235 subjects, 24.7% of subjects were SARS-CoV-2 positives and 75.3% of subjects were negative for SARS-CoV-2 infections. Median highest CT value in the SARS-CoV-2 rRT-PCR examination which able to give reactive results on the COVID-19 Ag (Standard Q SD Biosensor) test was 28.22 (13.33-39.16) while the median CT value on the non-reactive COVID-19 Ag (Standard Q SD Biosensor) was 34.45 (26.08-39.65). The sensitivity, specificity, NPV, PPV, and LR positive and LR negative results of COVID-19 Ag (Standard Q SD Biosensor) were 63.8%, 99.4%, 89.3%, 97.4%, 112.9, and 0.4 at CT value ≤ 40. The sensitivity, specificity, NPV, PPV, and LR positive and LR negative at CT value ≤ 33 were 77.1%, 99.4%, 95.7%, 96.4%, 136.5, and 0.2, while at CT ≤ 25 sensitivity, specificity, NPV, PPV, and LR positive and LR negative were 92.3%, 99.4%, 99.4%, 92.3%, 163.4, and 0.1. The cut-off point for the highest CT value was 26.06 with a sensitivity of 100% and a specificity of 99.4%. In conclusion, COVID-19 Ag (Standard Q SD Biosensor) was acceptable for diagnosis, contact tracing or community surveillance."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yan Tirta Indra Kurniawan
"Penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) diketahui telah menginfeksi jutaan orang sejak 2019. Infeksi virus SARS-CoV2 mengganggu kaskade koagulasi dan homeostatis, sehingga menyebabkan gangguan inflamasi dan koagulasi. Carthamus tinctorius Linn. (CTL) merupakan tumbuhan yang telah diteliti dan memiliki efek farmakologis, salah satunya sebagai antikoagulan. Namun, masih sedikit informasi yang diketahui tentang efek CTL terhadap biomarker koagulasi pada mencit model infeksi SARS-CoV2. Mencit dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu kelompok normal, kelompok yang diinduksi protein spike S SARS-CoV2 tanpa diberikan perlakuan (SARS CoV2), kelompok perlakuan deksametason (SARS CoV2+Dex), kelompok perlakuan kombinasi deksametason dan ekstrak CTL 400 mg/kg BB (SARS CoV2+Dex+CTL400), kelompok perlakuan kombinasi deksametason dan ekstrak CTL 800 mg/kg BB (SARS CoV2+Dex+CTL800), dan kelompok perlakuan ekstrak CTL 800 mg/kg BB (SARS CoV2+CTL800). Perlakuan diberikan secara oral satu kali sehari selama 6 hari. Setelah proses terminasi, parameter platelet, D-dimer, laktat dehidrogenase (LDH), aktivator-inhibitor plasminogen 1 (PAI-1), ekspresi relatif gen Angiotensin II Type I Receptor (AT1R), dan hydroxysafflor yellow A (HSYA) kemudian diukur. Kombinasi deksametason dan ekstrak CTL 800 mg/kg (SARS CoV2+Dex+CTL800) secara signifikan menurunkan kadar D-dimer dan PAI-1 (p < 0.05) dibandingkan kelompok tanpa perlakuan. Semua terapi menunjukkan penurunan ekspresi relatif AT1R dan LDH, tetapi tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap kadar platelet. Kadar HSYA terdeteksi pada jaringan paru mencit yang diberikan ekstrak CTL. Kombinasi deksametason dan ekstrak CTL memperbaiki biomarker koagulasi pada mencit model infeksi SARS-CoV2. Namun, studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan efikasi dan keamanan pada manusia.

Coronavirus disease 2019 (COVID-19) have infected millions of people since 2019. Infection of SARS-CoV2 impacts to coagulation and homeostatic cascades, causing inflammation and coagulation disorders. Based on several studies, Carthamus tinctorius Linn. (CTL) has pharmacological effects including anticoagulant. However, there is no study of CTL on coagulation biomarkers in mice induced by SARS-CoV2 spike protein. In this study, mice were divided into 6 groups consist of Normal group, group induced by SARS-CoV2 S spike protein without treatment (SARS CoV2), group with dexamethasone treatment (SARS CoV2+Dex), group with combination of dexamethasone and CTL extract 400 mg/kg (SARS CoV2+Dex+CTL400), group with combination of dexamethasone and CTL extract 800 mg/kg (SARS CoV2+Dex+CTL800), and group with CTL extract 800 mg/kg (SARS CoV2+CTL800). The treatment was given orally once a day for 6 days. After the termination process, parameters of platelets, D-dimer, lactate dehydrogenase (LDH), plasminogen activator-inhibitor 1 (PAI-1), relative expression of Angiotensin II Type I Receptor (AT1R) genes, and hydroxysafflor yellow A (HSYA) were measured. Group with combination of dexamethasone and CTL extract 800 mg/kg (SARS CoV2+Dex+CTL800) significantly reduced D-dimer and PAI-1 levels (p <0.05) compared to the untreated group. All treatment doses showed decreasing trend of AT1R expression and LDH, but did not show a significant effect on platelet level. HSYA was detected in the lung tissue of mice given CTL extract. Combination of dexamethasone and CTL extract improves coagulation biomarkers in mice induced by the SARS-CoV2 spike protein. However, further studies of extract CTL are recommended to ensure its efficacy and safety in human."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Najma Fakhira Nuril Haq
"COVID-19 merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 dan ditetapkan sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020 oleh WHO. Pemerintah Republik Indonesia mulai melaksanakan program vaksinasi booster untuk meningkatkan durabilitas sistem imun, khususnya pada tenaga kesehatan untuk memicu reaksi imunogenitas pada tubuh melalui produksi antibodi netralisasi (NAb). Namun, NAb memiliki durabilitas tertentu dan mungkin akan mengalami penurunan yang turut dipengaruhi oleh adanya SARS-CoV-2 varian baru yang muncul seperti varian Delta dan Omicron. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi antibodi netralisasi yang dihasilkan oleh tenaga kesehatan di Jakarta sebelum dan setelah 12 bulan vaksinasi booster COVID-19, mengevaluasi antibodi netralisasi setelah 12 bulan vaksinasi booster COVID-19 terhadap 4 varian SARS-CoV-2 berupa varian wild type, Delta, Omicron (B.1.1.529), dan Omicron (BA.2), dan mengevaluasi antibodi netralisasi pada partisipan yang mengalami breakthrough infection dengan partisipan yang tidak mengalami breakthrough setelah 12 bulan vaksinasi booster COVID-19. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Surrogate Virus Neutralization Test (sVNT) yang sesuai untuk digunakan dalam mendeteksi antibodi netralisasi karena memiliki hasil yang baik dengan waktu deteksi singkat. Hasil penelitian yang diperoleh adalah terdapat kenaikan antibodi netralisasi yang signifikan pada saat 12 bulan pascavaksinasi booster dibandingkan dengan saat pravaksinasi booster. Selain itu, terdapat perbedaan kadar antibodi netralisasi antara keempat varian dengan penurunan antibodi netralisasi yang cukup signifikan sekitar 10—20% pada varian Omicron (B.1.1.529 dan BA.2). Tidak terdapat perbedaan antibodi netralisasi yang signifikan pada partisipan yang mengalami breakthrough infection dengan partisipan yang tidak mengalami breakthrough infection, namun, seluruh partisipan breakthrough infection memiliki tingkat keparahan COVID-19 kategori ringan. Kesimpulan penelitian ini adalah vaksinasi booster pertama pada partisipan menunjukkan durabilitas imun pada bulan ke-12 pascavaksinasi booster pertama yang masih tergolong baik dan kemungkinan berpengaruh terhadap rendahnya tingkat keparahan gejala COVID-19 pada partisipan yang mengalami breakthrough infection. Varian baru SARS-CoV-2 seperti Omicron (B.1.1.529 dan BA.2) menyebabkan penurunan respons kekebalan tubuh sehingga perlu dilaksanakan vaksinasi booster lanjutan.

COVID-19 is an infectious disease caused by SARS-CoV-2 and was declared as global pandemic on 11 March 2020 by WHO. The Government of the Republic of Indonesia has started implementing a booster vaccination program to increase the durability of the immune system, especially for healthcare workers to trigger an immunogenic reaction in the body through the production of neutralizing antibodies (NAb). However, NAb has a certain durability and may experience a decrease which is also influenced by the emergence of new SARS-CoV-2 variants such as the Delta and Omicron variants. The purpose of this study was to evaluate the neutralization antibodies produced by healthcare workers in Jakarta before and after 12 months of the COVID-19 booster vaccination, to evaluate the neutralization antibodies after 12 months of the COVID-19 booster vaccination against 4 variants of SARS-CoV-2 in the form of wild type variants, Delta, Omicron (B.1.1.529), and Omicron (BA.2), and evaluated neutralizing antibodies in participants who experienced a breakthrough infection with participants who did not experience a breakthrough after 12 months of the COVID-19 booster vaccination. The method used in this study is the Surrogate Virus Neutralization Test (sVNT) which is suitable for detecting neutralizing antibodies because it has good results with a short detection time. The results of the study were that there was a significant increase in neutralizing antibodies 12 months after the booster vaccination compared to the prevaccination booster. In addition, there were differences in neutralizing antibody levels between the four variants with a significant decrease in neutralizing antibodies of around 10—20% in the Omicron variants (B.1.1.529 and BA.2). There was no significant difference in neutralizing antibodies in participants who experienced a breakthrough infection and participants who did not experience a breakthrough infection. However, all breakthrough infection participants had a mild level of COVID-19 severity. The conclusion of this study is that the first booster vaccination in participants shows immune durability at the 12th month after the first booster vaccination which is still relatively good and may have an effect on the lower severity of COVID-19 symptoms in participants who experience a breakthrough infection. New variants of SARS-CoV-2 such as Omicron (B.1.1.529 and BA.2) cause a decrease in the body's immune response so that further booster vaccinations are necessary."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chesira Rizki Agreatia
"COVID-19 merupakan penyakit yang sangat cepat menular, disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Pada awal tahun 2020 dunia dikejutkan dengan keberadaan virus baru yang berasal dari Tiongkok ini. Virus ini diduga pertama kali menular melalui kelelawar yang dijual di pasar tradisional di Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok. Namun sampai saat ini belum diketahui perantara yang bertanggung jawab atas penularan dari hewan ke manusia. Walaupun belum diketahui perantara penularan dari hewan ke manusia, kini virus tersebut menular dengan cepat dari manusia ke manusia dan membuat lumpuh sebagian besar negara di dunia. Seperti namanya, virus ini menyerang saluran pernafasan terutama paru-paru. Tidak hanya paru-paru, virus ini juga dapat menargetkan organ lain yang memiliki ACE2, seperti ginjal. Di ginjal, banyak ditemukan ACE2 terutama pada bagian tubulus. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengulas sejumlah pustaka mengenai virus SARS-CoV-2 dan kaitannya dengan penurunan fungsi ginjal. Sumber pustaka dicari dengan kata kunci COVID-19 SARS-CoV-2, COVID-19 and kidney, COVID-19 and ACE2, ACE2 and kidney, serta SARS-CoV-2 and kidney. Sumber pustaka yang digunakan adalah yang sumber dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Beberapa data dari rumah sakit menunjukkan penurunnan fungsi ginjal pada beberapa pasien COVID-19 dan dapat berpengaruh pada kematian pasien. Salah satu hasil penelitian tersebut melampirkan hasil analisis imunohistokimia, menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat menyebabkan nekrosis pada tubulus. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>