Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 214110 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hesty Ayu Nurranti Ramadhani
"Berdasarkan data Riskesdas (2018), prevalensi balita stunting di Provinsi DKI Jakarta sebesar 17,7%. Sedangkan prevalensi Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Provinsi DKI Jakarta sebesar 6,08%. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara riwayat BBLR terhadap kejadian stunting pada balita di Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diambil dari Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 dengan jumlah sampel 3075 dan analisis data menggunakan Cox-regression. Dari hasil analisis didapatkan proporsi BBLR sebesar 6,6% dan proporsi balita stunting sebesar 17,6%. Hasil analisis multivariat hubungan BBLR dengan kejadian stunting setelah dikontrol oleh variabel potensial confounder yaitu PR 0,938 (95%CI: 0,655-1,345). Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak ada hubungan yang bermakna antara BBLR dengan kejadian stunting di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan data SSGI tahun 2021 setelah dikontrol oleh variabel usia, jenis kelamin, panjang badan lahir, konsumsi protein hewani, keragaman pangan, keikutsertaan KB, kelas ibu hamil dan kelas ibu balita.

Based on Riskesdas data (2018), the prevalence of stunting under five in DKI Jakarta Province is 17.7%. While the prevalence of Low Birth Weight Babies (LBW) in DKI Jakarta Province is 6.08%. The purpose of this study was to determine the relationship between LBW history and the incidence of stunting in toddlers in DKI Jakarta Province. This study used secondary data taken from the 2021 Indonesian Nutrition Status Study (SSGI) with a sample size of 3075 and data analysis using Cox-regression. From the results of the analysis, it was found that the proportion of LBW was 6.6% and the proportion of stunted toddlers was 17.6%. The results of multivariate analysis of the relationship between low birth weight and stunting after being controlled by the potential confounder variable, namely PR 0.938 (95% CI: 0.655-1.345). The conclusion of this study is that there is no significant relationship between LBW and the incidence of stunting in DKI Jakarta Province based on the 2021 SSGI data after controlling for the variables age, sex, birth length, consumption of  protein, food diversity, family planning participation, class of pregnant women and mother toddler class."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Desi Purwanti
"Stunting merupakan bentuk malnutrisi yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan menyebabkan berbagai dampak buruk bagi kesehatan anak. Selain disebabkan karena kurangnya asupan gizi secara kronis, stunting juga dapat disebabkan oleh penyakit infeksi berulang. Upaya pencegahan penyakit infeksi seperti imunisasi akan turut berperan dalam meningkatkan pertumbuhan anak khususnya di negara berkembang. Tujuan penelitian ini untuk melihat hubungan antara status imunisasi dasar dengan kejadian stunting pada balita di Indonesia. Penelitian ini menggunakan disain studi cross sectional dan menggunakan data sekunder SSGI Tahun 2021. Kriteria inklusi penelitian ini adalah balita berusia 12-59 bulan saat pengumpulan data, diukur tinggi badannya, tidak sedang mengalami sakit berat/kronis, dan memiliki data variabel yang lengkap. Sebanyak 70.267 balita memenuhi kriteria inklusi dan seluruhnya diambil sebagai sampel penelitian. Analisis data dilakukan menggunakan uji cox regression untuk mendapatkan besar asosiasi prevalence ratio (PR) dengan interval kepercayaan 95%. Penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi stunting balita usia 12-59 bulan di Indonesia adalah 23,1% dan proporsi balita yang mempunyai status imunisasi dasar lengkap adalah 74,92%. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa status imunisasi dasar berhubungan signifikan secara statistik dengan kejadian stunting. Balita dengan status imunisasi dasar yang tidak lengkap berisiko 1,19 kali lebih tinggi untuk mengalami stunting dibandingkan balita dengan status imunisasi dasar lengkap [adjusted PR 1,19 (95% CI 1,15-1,23)]. Balita yang tidak imunisasi sama sekali mempunyai risiko yang lebih tinggi lagi yaitu 1,27 kali untuk mengalami stunting dibandingkan balita dengan status imunisasi dasar lengkap [adjusted PR 1,27 (95% CI 1,15-1,39)], setelah mengontrol variabel pendidikan ibu, status ekonomi dan berat lahir anak. Diperlukan upaya untuk melengkapi status imunisasi anak sesuai jadwal dan peningkatan pengetahuan ibu mengenai pemanfaatan pelayanan kesehatan, pemenuhan gizi balita dan stimulasi tumbuh kembang anak.

Stunting is a malnutrition that is still a public health problem in Indonesia and causes various adverse effects on children's health. Besides caused by a chronic lack of nutrition, stunting can also be caused by recurrent of infectious diseases. Efforts to prevent infectious diseases, such as immunization, will play a role in increasing child growth, especially in developing countries. The purpose of this study was to examine the association between basic immunization status and the incidence of stunting in toddlers in Indonesia. This study used a cross-sectional study design using secondary data from SSGI 2021. The inclusion criteria for this study were that toddlers were aged 12–59 months at the time of data collection, their height was measured, were not experiencing severe or chronic illness, and had complete variable data. A total of 70,267 toddlers met the inclusion criteria, and all were taken as research samples. Data analysis was performed using the Cox regression to obtain a prevalence ratio (PR) with 95% of confidence interval. This study shows that the prevalence of stunting among children aged 12–59 months in Indonesia is 23.1%, and the proportion of children under five who have complete basic immunization status is 74.92%. The results of the multivariate analysis showed that basic immunization status had a statistically significant association with the incidence of stunting. Toddlers with incomplete basic immunization status are at risk 1.19 times higher for stunting compared to toddlers with complete basic immunization status [adjusted PR 1.19 (95% CI 1.15–1.23)]. Toddlers who are not immunized at all have an even higher risk of experiencing stunting, which is 1.27 times higher compared to toddlers with complete basic immunization status [adjusted PR 1.27 (95% CI 1.15–1.39)], after controlling for variables such as the mother's education, economic status, and the child's birth weight. Efforts are needed to complete the child's immunization status on time according to schedule and increase the mother's knowledge regarding the use of health services, the fulfillment of toddler nutrition, and the stimulation of child growth and development."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Weny Wulandary
"Stunting merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, kesehatan dan gizi ibu yang buruk, pola asuh dan stimulasi psikososial tidak memadai. Tesis ini membahas determinan stunting pada anak usia 6 – 23 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Timur menggunakan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan proporsi stunting pada anak usia 6 – 23 bulan di provinsi NTT sebesar 32,8%. Analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan signifikan dengan stunting di antaranya adalah usia anak (OR: 1,723 CI 95% 1,215-2,445), jenis kelamin (OR: 1,777 CI 95% 1,305-2,419), BBLR (OR: 2,106 CI 95% 1,206-3,423), PBLR (OR: 1,768 CI 95% 1,133-2,759), riwayat penyakit infeksi (OR: 1,548 CI 95% 1,141-2,099), tingkat pendidikan ibu (OR: 1,555 CI 95% 1,136-2,127), dan sanitasi jamban (OR: 1,881 CI 95% 1,384-2,555). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor paling dominan terhadap stunting yaitu riwayat penyakit infeksi dengan nilai OR terbesar (p-value 0,003; OR: 2,244). Anak yang memiliki riwayat penyakit infeksi berisiko stunting sebesar 2,2 kali lebih tinggi dibandingan dengan anak yang tidak memiliki riwayat penyakit infeksi setelah dikontrol variabel usia anak, jenis kelamin, berat badan lahir, panjang badan lahir, dan sanitasi jamban.

Stunting is the impaired growth and development that children experience from chronic malnutrition, repeated infection, poor maternal health, and inadequate psychosocial stimulation. The focus of this study is determinants of stunting on 6 – 23 months children in East Nusa Tenggara Province using data from the Study of Indonesian Nutritional Status in 2021. This research is a quantitative study used cross sectional design. The results showed that the proportion of stunting in 6-23 months in NTT province was 32.8%. The results of bivariate analysis showed that variables significantly associated with stunting included child age (OR: 1.723 CI 95% 1.215-2.445), gender (OR: 1.777 CI 95% 1.305-2.419), LBW (OR: 2.106 CI 95% 1.206-3.423), LBH (OR: 1.768 CI 95% 1.133-2.759), history of infectious disease (OR: 1.548 CI 95% 1.141-2.099), maternal education (OR: 1.555 CI 95% 1.136-2.127), and toilet sanitation (OR: 1.881 CI 95% 1.384-2.555). The results of multivariate analysis showed that the most dominant factor of stunting was history of infectious disease (p-value 0,003; OR: 2.244). Children who have history of infectious disease are at risk of stunting by 2.2 times higher than children who do not have history of infectious disease after being controlled by child age, gender, LBW, LBH, and toilet sanitation."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Isnaini Arifianti
"Stunting adalah kondisi kegagalan pertumbuhan disebabkan oleh kekurangan zat gizi kronik dan infeksi berulang yang memiliki dampak jangka panjang. Stunting masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Provinsi Banten karena prevalensinya masih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinan stunting balita 6-59 bulan di Provinsi Banten. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan jumlah sampel 1.643 balita yang didapat dari total sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Data yang digunakan adalah data SSGI 2021 milik BKPK Kementerian Kesehatan RI. Variabel independen pada penelitian ini adalah faktor anak (umur, jenis kelamin, berat badan lahir, panjang badan lahir, keragaman pangan), faktor ibu (pendidikan ibu dan pekerjaan ibu); faktor kerawanan pangan; faktor kesehatan lingkungan (kepemilikan jamban); faktor penyakit infeksi (ISPA, diare, pneumonia, TBC) dan faktor pelayanan kesehatan (pemberian vitamin A dan pengobatan balita sakit di fasilitas kesehatan). Data dianalisis menggunakan analisis data kompleks. Analisis bivariat menggunakan uji chi-square dan analisis multivariat menggunakan regresi logistik ganda. Hasil penelitian menunjukkan proporsi stunting pada balita 6-59 bulan adalah 22,7%. Berdasarkan analisis multivariat, determinan stunting balita 6-59 bulan di Provinsi Banten adalah jenis kelamin (p-value 0,021; AOR 1,351; CI 95% 1,047 – 1,744); pendidikan ibu (p-value 0,009; AOR 1,484; CI 95% 1,103 – 1,998); panjang badan lahir (p-value 0,001; AOR 2,094; CI 95% 1,512 – 2,899); kerawanan pangan (p-value 0,009; AOR 1,629; CI 95% 1,131 – 2,347). Faktor dominan kejadian stunting balita 6-59 bulan di Provinsi Banten adalah panjang badan lahir pendek (AOR 2,09). Bayi panjang lahir pendek perlu mendapatkan intervensi KIE gizi dan kesehatan untuk ibu balita; mendapat makanan tambahan balita dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Puskesmas serta pemantauan rutin setiap bulan di Posyandu agar tidak tumbuh menjadi balita stunting.

Stunting is a condition of growth failure caused by chronic nutritional deficiencies and repeated infections that have long-term effects. Stunting is still a public health problem in Banten Province because the prevalence is still high. This study aims to determine the determinants of stunting in toddlers aged 6-59 months in Banten Province. The research design used was cross sectional with a total sample of 1,643 toddlers obtained from total sampling based on inclusion and exclusion criteria. The data used is the SSGI 2021 data belonging to the Indonesian Ministry of Health's BKPK. The independent variables in this study were child factors (age, sex, birth weight, birth length, dietary diversity), maternal factors (mother's education and mother's occupation); food insecurity factor; environmental health factors (latrine ownership); infection disease factors (ARI, diarrhea, pneumonia, tuberculosis) and health service factors (giving vitamin A and treating sick toddlers in health facilities). Data were analyzed using complex data analysis. Bivariate analysis used the chi-square test and multivariate analysis used multiple logistic regression. The results showed that the proportion of stunting among toddlers aged 6-59 months was 22.7%. Based on multivariate analysis, the determinant of stunting for children aged 6-59 months in Banten Province is gender (p-value 0.021; AOR 1.351; 95% CI 1.047 – 1.744); mother's education (p-value 0.009; AOR 1.484; 95% CI 1.103 – 1.998); birth length (p-value 0.001; AOR 2.094; 95% CI 1.512 – 2.899); food insecurity (p-value 0.009; AOR 1.629; 95% CI 1.131 – 2.347). The dominant factor in the incidence of stunting in toddlers aged 6-59 months in Banten Province is short birth length (AOR 2.09). Short-born babies need to receive health and nutrition communication, information, education interventions for mothers under five and get supplementary food for toddlers from the District/City Health Office and Community Health Centers as well as routine monitoring every month at the Posyandu so they don't grow into stunted toddlers."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandra Fikawati
"Berat lahir bayi, khususnya bayi dengan berat badan lahir rendah, merupakan masalah gizi intergenerasi yang akan mempengaruhi kualitas kesehatan sepanjang daur kehidupan seorang manusia. Diet vegetarian dianggap berisiko karena konsumsi makannya yang terbatas dikhawatirkan dapat menyebabkan rawan terjadinya defisiensi zat gizi. Penelitian dengan desain retrospektif ini bertujuan mengetahui hubungan antara status gizi ibu hamil vegetarian (indeks masa tubuh/IMT prahamil dan kenaikan berat badan hamil) dengan berat lahir bayi pada kelompok vegetarian di DKI Jakarta.
Sampel adalah 85 anak berumur 1 bulan-5 tahun yang dipilih secara purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata IMT prahamil sebesar 20,2 kg/m2 (±3,2 kg/m2), kenaikan berat badan hamil 15,5 kg (±6,4 kg) dan berat lahir bayi 3212 g (±417,7 g). IMT prahamil dan kenaikan berat badan hamil berhubungan signifikan dengan berat lahir bayi vegetarian. Tidak ada hubungan antara IMT prahamil dan kenaikan berat badan hamil.
Berdasarkan analisis multivariat ditemukan bahwa variabel yang berhubungan dengan berat lahir bayi adalah IMT prahamil, asupan protein, vitamin B12, Fe, Zn, dan jenis kelamin. Disarankan agar ibu vegetarian dapat memperoleh informasi mengenai pentingnya status gizi prahamil, kenaikan berat badan hamil yang optimal, serta menjaga kecukupan asupan protein, vitamin B12, Fe dan Zn selama hamil.

Infant?s birth weight, especially low birth weight (LBW), are intergenerational issues that will affect the cycle of life. Vegetarian diets are at risk because limited food consumption could cause nutrient deficiencies. This retrospective study aims to determine the relationship between maternal nutritional status (pre-pregnancy body mass index (BMI) and weight gain during pregnancy) and infant?s birth weight among vegetarians in Jakarta.
The total sample of 85 children aged 1 month to 5 years was selected purposively. Results showed that the mean of pre-pregnancy BMI of vegetarian mothers is 20.2 kg/m2 (±2.2 kg/m2), pregnancy weight gain is 15.5 kg (±6.4 kg) and infant?s birth weight is 3212 gs (±417.7 gs). Pre-pregnancy BMI and pregnancy weight gain were significantly associated with infant?s birth weight of vegetarians. There is no relationship between pre-pregnancy BMI and pregnancy weight gain.
Multivariate analysis found that pre-pregnancy BMI, protein, vitamin B12, iron, and Zn intakes and sex has relationship with infant?s birth weight. It is recommended that vegetarian mothers should get information about the importance of pre-pregnancy nutrition, optimal pregnancy weight gain, and maintaining adequate intake of protein, vitamin B12, iron, and Zn during pregnancy.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2012
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wa Ode Dwi Daningrat
"Stunting merupakan suatu bentuk kegagalan pertumbuhan linear yang disebabkan oleh buruknya nutrisi dan kesehatan. Stunting diukur dalam tinggi badan berdasarkan umur dengan -2 Z-score dibawah referens internasional. Stunting masih cukup serius di Indonesia dengan prevalens 37,2% pada tahun 2013. BBLR merupakan determinan penting terjadinya stunting pada anak yang mana BBLR merupakan gambaran buruknya status gizi ibu sebelum dan selama kehamilan. Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Indonesia setelah dikontrol dengan variabel potensial confounder lainnya. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional study dengan menggunakan data Riskesdas 2013. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah stunting, dan variabel independen utama adalah BBLR dengan ASI eksklusif, urutan kelahiran, imunisasi, jenis kelamin, konsumsi kapsul vitamin A, usia ibu saat melahirkan, status sosial ekonomi, jumlah anggota keluarga, status stunting saat lahir, panjang badan lahir dan kepemilikan KMS sebagai variabel potensial confounder. Hasil analisis menunjukan BBLR berhubungan secara signifikan dan independen dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 Bulan di Indonesia. Anak yang lahir BBLR memiliki peluang 1,5 (95% CI: 1,14 - 2,07) kali untuk stunting dibandingkan anak yang lahir dengan berat badan normal.

Stunting is a linier growth failure caused by inadequate nutrition and health. Stunting is defined as height for age with Z-score below -2 SD according to international reference. Stunting is still a serious health problem in Indonesia with a prevalence of 37,2% in 2013. LBW is an important determinant of stunting in children as LBW represents poor maternal nutritional status before and during pregnancy. The main objective of the study is to determine the relationship between LBW and stunting in children age 6-23 months in Indonesia after controlling by other potential confounding factors. This study is a cross-sectional study of Indonesia Basic Health Research data in 2013. Stunting is a dependent variable in this study, and LBW as the main independent variable with Exclusive Breastfeeding, Birth Order, Immunization, Gender, Vitamin A Supplementation, Mother's Age At Birth, Social Economy Status, Family Size, Stunting at Birth Status, Birth Length, and Growth Chart Ownership as potential confounding factors. The results of the analysis shows that LBW are independently and significantly correlated with stunting in children age 6-23 months in Indonesia. children born with LBW has an odds 1.5 (95% CI: 1.14 - 2.07) to be stunted compared to children with normal birth weight."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
T44226
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kandita Iman Khairina
"Diare didefinisikan sebagai cairan abnormal atau tinja yang tidak berbentuk (cair), yang disertai peningkatan frekuensi buang air besar sebanyak tiga kali atau lebih dalam sehari.Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian diare yaitu karakteristik anak, karakteristik keluarga, faktor perilaku, dan faktor lingkungan. Penelitian ini merupakan studi deskriptif yang menggunakan desain potong lintang yang bertujuan untuk mengetahui determinan faktor kejadian diare pada balita usia 6-59 bulan di Jawa Barat menggunakan data sekunder Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021. Sampel merupakan balita berusia 6-59 bulan di Jawa Barat dalam data SSGI 2021 dan 4083 sampel didapat. Hasil penelitian menunjukkan proporsi kejadian diare pada balita 9,1%. Analisis bivariat menunjukkan variabel yang berhubungan bermakna dengan diare adalah usia anak, usia ibu, pendidikan ibu, sumber air minum, kelayakan jamban, dan tempat tinggal. Hasil analisis multivariat menunjukkan bhwa faktor paling dominan dari kejadian diare yaitu usia anak dengan nilai OR terbesar 1,872. Anak yang berusia 6-23 bulan berisiko 1,872 kali mengalami diare dibandingkan anak berusia 24-59 bulan.

Diarrhea is defined as loose or liquid stool with increased frequency of defecation three times in a day. There are some factors that have been associted with diarrhea such as; children’s characteristic, mother’s characteristic, behavioural factors, and environmental factors. This study is a descriptive study using cross-sectional design that aims to determine the determinants of diarrhea incidence in infants aged 6-59 months in West Java Province using secondary data from Study of Indonesia Nutritional Status Data 2021. Sample in this study is toddler aged 6-59 months in West Java Province in Indonesia Nutritional Study Data 2021 and 4083 samples were obtained. This study shows that diarrhea incidence in 6-59 month children in West Java is 9,1%. Bivariate analysis shows that there are significant relationship between diarrhea incidence with children;’s age, mother’s age, mother’s education, drinking water source, latrines, and type of residence. Multivariate analysis shows that children’s age is the dominant factor in diarrhea incidence in children aged 6-59 month old."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dilla Syamola
"Bayi berat lahir rendah BBLR adalah bayi dengan berat badan lahir 1500 sampai kurang dari 2500 gram. Terdapat berbagai faktor bayi lahir dengan BBLR, salah satunya yaitu ketahanan pangan rumah tangga. Salah satu program pemerintah untuk tercapainya ketahanan pangan adalah program dari Kementerian Sosial yaitu Program Keluarga Harapan PKH dan Raskin.
Penelitian ini bertujuan mengindentifikasi hubungan ketahanan pangan rumah tangga dengan bayi BBLR menggunakan data Survei Sosial Ekonomi dan Nasional Susenas 2015, 2016, 2017 dan Sub Sampel PKH 2017. Program Keluarga Harapan merupakan program pemerintah yang dapat dihubungkan dengan kejadian BBLR sebagai variabel social support dari pemerintah.
Penelitian ini menggunakan studi cross-sectional yang dilaksanakan pada November 2018 - April 2019. Jumlah sampel sebanyak 22.426 responden pada tahun 2015, 22.822 pada tahun 2016 dan 7.393 pada tahun 2017. Sedangkan pada sub sampel PKH sebanyak 378 responden.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan ketahanan pangan rumah tangga dan bayi BBLR pada tahun 2015, 2016 dan 2017 dengan nilai p=0,0001, p=0,0001 dan p=0,003. Namun, pada sub Sampel PKH tidak ada hubungan ketahanan pangan rumah tangga dengan nilai p=0,572. Oleh karena itu pemerintah terkait, Kementerian Sosial dan Kementerian Pertanian diharapkan dapat memaksimal tercapainya ketahanan pangan bagi masyarakat agar risiko bayi lahir dengan BBLR dapat diminimalisir.

Low birth weight babies LBW are babies with a birth weight of 1500 to less than 2500 grams. There are various factors that can lead to babies with LBW and one of them is household food security. One of the government programs to achieve food security is a program from the Kementerian Sosial is Program Keluarga Harapan PKH and Raskin.
This study aims to identify household food security relationship with Low Birth Weight in Indonesia using National Socioeconomic Survey Susenas in 2015, 2016 and 2017.
This study uses a cross-sectional study conducted on November 2018- April 2019. The number of samples are about 22.426 respondents in 2015, 22.822 respondents in 2016 and 7.393 respondents in 2017. Meanwhile, the Sub sample of PKH is about 378 respondents.
The results showed that the association of household food security and LBW in 2015, 2016 and 2017 are p=0,0001, p=0,0001 and p=0,003, respectively. But in the sub sample of PKH with p=572 is not respecttively. Therefore, the government, Kementerian Sosial and Kementerian Pertanian are expected to be able to maximize the achievement of food security for the community and the risk of babies born with LBW can be minimized.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53849
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Masitoh
"Penyakit infeksi pada balita merupakan masalah kesehatan yang perlu ditangani karena menjadi penyebab langsung kematian balita dan stunting. Salah satu penyebab tidak langsung dari penyakit infeksi balita adalah kerawanan pangan. Meskipun beberapa bukti saat ini menunjukkan ada hubungan antara kerawanan pangan dengan penyakit infeksi pada balita tetapi masih sedikit bukti yang meneliti hubungan ini di negara berpenghasilan sedang dan rendah seperti di Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kerawanan pangan dengan penyakit infeksi pada balita di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang menggunakan data SSGI Tahun 2021. Hubungan antara kerawanan pangan dengan penyakit infeksi dikontrol oleh variabel kovariat. Analisis multivariat dilakukan menggunakan uji multiple multinomial logistic untuk memperoleh nilai OR adjusted. Hasil penelitian menunjukkan balita dari rumah tangga dengan rawan pangan ringan berisiko 1,367 kali, rawan pangan sedang berisiko 1,490 dan pada rawan pangan berat 1,500 kali. Begitu juga risiko untuk menderita lebih dari satu penyakit infeksi. Balita dari rumah tangga dengan rawan pangan ringan berisiko 1,685 kali, pada rawan pangan sedang 2,418 kali dan rawan pangan berat 2,596 kali. Dapat disimpulkan risiko balita untuk menderita satu penyakit infeksi maupun lebih dari satu penyakit infeksi semakin meningkat seiring dengan level kerawanan pangan rumah tangga.

Infectious diseases in toddlers are a health problem that needs to be addressed because they are a direct cause of toddlers deaths and stunting. One of the indirect causes of infant infection is food insecurity. Although some current evidence shows that there is a relationship between food insecurity and infectious diseases in toddlers, there is still little evidence examining this relationship in middle and low income countries such as Indonesia. Therefore this study aims to determine the relationship between food insecurity and infectious diseases in toddlers in Indonesia. The research was conducted with a cross-sectional design using SSGI data for 2021. The relationship between food insecurity and infectious diseases was controlled by covariate variables. Multivariate analysis was performed using the multiple multinomial logistic test to obtain an adjusted OR value. The results showed that toddlers from households with mild food insecurity had a risk of 1,367 times, moderate food insecurity had a risk of 1,490 and in severe food insecurity 1.500 times. Likewise, the risk of children suffering from more than one infectious disease. Toddlers from households with mild food insecurity have a risk of 1,685 times, in moderate food insecurity 2,418 times and severe food insecurity 2,596 times. It can be concluded that the risk of toddlers suffering from one infectious disease or more than one infectious disease increases along with the level of household food insecurity."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dayu Nazella
"

Stunting merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat gizi buruk, infeksi berulang dan stimulasi psikososial tidak memadai yang ditandai oleh indikator TB/U atau PB/U <-2 standar deviasi. Prevalensi stunting di Indonesia sebesar 21,6% pada tahun 2022, dimana ibukota Indonesia, DKI Jakarta, memiliki prevalensi stunting sebesar 14,8%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor dominan dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita usia 0-59 bulan di DKI Jakarta. Desain penelitian ini adalah cross-sectional menggunakan data hasil SSGI 2022 dengan sampel anak usia 0-59 bulan yang menjadi responden dalam SSGI 2022. Analisis data yang dilakukan merupakan analisis univariat menggunakan distribusi frekuensi, analisis bivariat menggunakan chi-square dan analisis multivariat menggunakan regresi logistik ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 3627 balita sebanyak 17% mengalami stunting. Faktor dominan stunting pada balita di kelompok usia 0-5 bulan dan 24-59 bulan adalah panjang lahir (OR: 37,498 dan OR: 1,657), sedangkan pada kelompok usia 6-23 bulan, faktor dominan stunting adalah tinggi badan ibu (OR: 2,287).


Stunting is the impaired growth and development of children due to poor nutrition, repeated infection and inadequate psychosocial stimulation that can be identified if their height-for-age (HAZ) is less than -2 standard deviation. The prevalence of stunting in Indonesia was 21,6% in 2022, whereas it’s capital city, DKI Jakarta has a prevalence of 14,8%. This study aims to identify the dominant factor and factors associated with stunting among children aged 0-59 months in Jakarta. The design of this study is cross-sectional using data from SSGI 2022 with a sample of children aged 0-59 months who were selected as respondents in the SSGI 2022. Data analysis was carried out in this study using univariate analysis with frequency distribution, bivariate analysis using chi-square test and multivariate analysis using multiple logistic regression. This study found that among 3.627 children, 17% were stunted. Multivariate analysis showed that birth length is the most dominant factor associated with stunting among children in the age group of 0-5 months and 24-59 months (OR: 37,498 and OR: 1,657), whereas mother’s height is the most dominant factor associated with stunting among children in the age group of 6-23 months (OR: 2,287)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>