Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129692 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erly Arkasan Dzahwan
"Indonesia memiliki potensi besar dalam memproduksi silikon karena memiliki deposit pasir silika yang melimpah di seluruh wilayahnya. Belum ada industri di Indonesia yang mampu mereduksi silika menjadi silikon. Hingga saat ini metode yang umum digunakan untuk mereduksi pasir silika menjadi silikon adalah dengan menggunakan metode karbotermik. Alternatif metode reduksi yang dapat digunakan di antaranya adalah metode reduksi magnesiotermik yang mampu menurunkan kebutuhan temperatur menjadi pada kisaran 500-950℃. Metode ini dilakukan dengan mereaksikan pasir silika (SiO2) dengan magnesium (Mg) pada temperatur terkontrol. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan magnesiotermik terhadap sampel Mg-Si dalam bentuk serbuk padat dalam tungku selama 4 jam dan variasi temperatur 600℃, 700℃, dan 800℃. Sampel hasil pembakaran kemudian dilakukan pelindian menggunakan larutan HCl 6M di atas magnetic stirrer dengan kecepatan 650rpm dan suhu 80℃ selama 4 jam. Hasil pelindian kemudian disaring dan sampel dikarakterisasi menggunakan XRD, XRF, dan SEM-EDS. Data XRF yang menunjukkan adanya keberadaan silikon dalam sampel akhir mengindikasikan berhasilnya proses reduksi. Karakterisasi XRD pada sampel akhir menunjukkan kadar silikon dan bahwa temperatur optimum untuk mereduksi pasir silika adalah 600℃ dengan silikon 65,3%. Kemudian dengan didukung pengujian SEM-EDS, variabel temperatur 600℃ memiliki kehalusan lebih tinggi dan tingkat homogenitas tertinggi secara visual dibandingkan dengan hasil mikrostruktur sampel lainnya.

Indonesia has great potential in silicon production due to abundant deposits of silica sand throughout the country. However, the processing of silica sand into silicon for solar cell applications is still rare in Indonesia due to the high energy requirement of the process. Currently, the most common method used to reduce silica sand into silicon is the carbothermic method. An alternative reduction method that can be used is the magnesiothermic reduction method, which can significantly lower the temperature required to the range of 500-950°C. This method involves the reaction of silica sand (SiO2) with magnesium (Mg) at controlled temperatures. This research focuses on conducting magnesiothermic reduction on Mg-Si samples in the form of solid powder in a furnace for 4 hours at various temperatures of 600°C, 700°C, and 800°C. The resulting burned samples are then subjected to leaching using a 6M HCl solution with the assistance of a magnetic stirrer operating at 650 rpm and a temperature of 80°C for 4 hours. The leached samples are subsequently filtered and characterized using XRD, XRF, and SEM-EDS techniques. The XRF data indicates the presence of silicon in the final sample, indicating the success of the reduction process. XRD characterization of the final sample reveals the silicon content, and the optimum temperature for reducing silica sand is found to be 600°C silicon content of 65.3%. Supported by SEM-EDS analysis, the 600°C temperature variable exhibits higher fineness and the highest level of visual homogeneity compared to other sample microstructures."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sibarani, Mangasa
"Proses Ekvtraksi adalah proses perolehan suatu logam berharga secara kimia-meralurgi dengan mernisalz/can bahan sampingannya serra memisahkan logam tersebul dari perserg/awaannya di lialam mineral termasu/c pemurniannya (refinning)- Proses Elcstralcei ini berbeda dengan proses pemurnian byih lagam. Dimana pada proses pemurnian byih Iogam hanya meningkatkan lcadar b§ih Iogam dengan memisahkan secara p/risik. Dengan demilcian sgfat-syhl bgjilz Iogam dari pemurnian inf ridak berbeda sam sama fain. Lain halnya dengan melalurgi eksrra/div, dfmana terjadi perubahan sg/'at dari ba/:an awal terhadap produk ak/air.
Proses E/cstraksi Mg0 dari dolomit diawali dengarz crushing sampel dengan ukuran I hingga 2 cm, /femudian sampel dilakalsinasi unluk mendckompsisikan Ca,Mg(CO3)g menjadi senyawa Mg0 dan Ca0. Sampel hasi/ kalsinasi awal kemudian di slalcing. Endupan hasil slaking kemudian mengalami proses Ieahing. Filrral proses leaching kemudian dllpfsahkan dari erldapunnya, dimana bagian yang dzperlu/Zan untu/C prose.; seianjulnya adalah endapan Mg(0PU2. Proses yang rem/chir adalah kalsinasi a/(hir fer/zadap endapan Mg(OI~D2, dirnana ada proses ini dilakukan dengarz variasai tempera/ur dan waktu kalsinasi Variabel temperatur yang diguna/can adala/1 300 °C, 400 °C, 500 °C, 600 ?C dengan waklu ka1.vinasima.s'ing masing I jam. Sedcmgkan pada korldisi kedua, difaku/Can variasi wakru kasinusi I jam, 2 jam, 3 jam dan -Ijam dengan lemperalur kalsinasi 600 "C.l?roduk akhir hasil kalsinasi ak/:ir ini adalah senyawa MgO.
Dari hasi/ pengujian didaparhm bahwa peningkaran temperarur pada kalsinasi ak/fir akan menyebab/can penurunan /radar MgO, dan peningkatan wa/:tu ka/sirius! ukhir akan menyebablam penunmana kadar MgO.
Sebanya/< 12 gram do/omit mental: akan rlrenghasilkan .vekilar 7 gram dolmnit kalsin (haul kalsinasi awful). Dari penelitian ini, sebanyak 5 gram sampcf dolomil knlsin akan mengfrasilkan produk ak/1ir 2 gram MgO. Dolomii mental: dengan kadar Mg() 28,33%_ .vetefa/1 lcalsmasi awal akfm memiliki kadar Mg() .~rebe.sar 3/ ,I 5% dan nzcmiliki kudur Mg() sebesar 75_49% pacla produk akin:-_ jadi dalam pr0.s'e.s' ekstruksi ini lefj;1adipe;1i:zgkarr1n kadar Mg 0 .xebemr 42 I 6%."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2002
S41462
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Banjarnahor, Samuel Na Mora Putra Gemilang
"Proses hilirisasi bahan tambang menghasilkan emisi gas rumah kaca yang signifikan dan memberikan pengaruh besar pada pemanasan global. Proses produksi feronikel, misalnya, menghasilkan 45 kg CO2 untuk setiap 1 kg konten nikelnya. Amonia (NH3) telah muncul sebagai energi terbarukan yang dapat digunakan sebagai pengangkut dan pemasok hidrogen melalui penguraiannya menjadi hidrogen dan nitrogen. Keunggulan ini menjadikan amonia cocok sebagai bahan untuk memproduksi nikel yang ramah lingkungan karena dapat menggantikan bahan pereduksi berbasis fosil. Namun, studi tentang rute pirometalurgi untuk ekstraksi nikel laterit dengan NH3 sebagai reduktor masih sangat terbatas sehingga topik ini masih kurang dipahami. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi proses reduksi nikel laterit menggunakan amonia sebagai reduktor serta menganalisis bagaimana variasi suhu memengaruhi struktur mikro dan fasa produk. Bijih nikel jenis laterit pada penelitian ini diperoleh dari daerah tambang di Indonesia. Penelitian mempertimbangkan variasi suhu antara 800-1300°C dengan variasi waktu tahan 30 menit dan 60 menit. Simulasi termodinamika menggunakan perangkat lunak HSC Chemistry 9.1.5® memprediksi bahwa reduksi bijih nikel laterit dengan amonia terjadi dalam dua tahap utama: dehidroksilasi dan reduksi. Secara termodinamika, pembentukan logam Fe dan Ni diprediksi terjadi pada suhu 900°C, namun secara eksperimental logam Fe dan Ni baru terbentuk pada suhu 1000°C. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa suhu optimal adalah 1150°C, menghasilkan fasa Fe dan feronikel yang tinggi dengan derajat metalisasi optimal sebesar 94,78% sebagaimana dibuktikan melalui analisis XRD. Pengaruh waktu tahan memberikan peningkatan signifikan terhadap recovery Fe-Ni hingga 14,4% pada suhu 1100°C. Namun, pada suhu 1200°C, peningkatan rasio amonia tidak memberikan efek signifikan (hanya 2%) karena logam telah terperangkap dalam fasa slag yang stabil pada suhu tinggi. Analisis SEM menunjukkan kemampuan reduksi unik dari amonia yang tampak pada perubahan morfologi progresif dalam struktur mikro menghasilkan struktur porous dan tidak teratur disebabkan reduksi selektif oleh gas H2 hasil dekomposisi dari amonia.

The downstream mining process generates significant greenhouse gas emissions and has a major influence on global warming. The ferronickel production process, for example, generates 45 kg of CO2 for every 1 kg of nickel content. Ammonia (NH3) has emerged as a renewable energy that can be used as a hydrogen transporter and supplier through its decomposition into hydrogen and nitrogen. These advantages make ammonia suitable as a material for producing environmentally friendly nickel because it can replace fossil-based reducing agents. However, studies on pyrometallurgical routes for laterite nickel extraction with NH3 as a reductant are still very limited so this topic is still poorly understood. This study aims to explore the reduction process of nickel laterite using ammonia as a reductant and analyze how temperature variation affects the microstructure and phase of the product. The laterite nickel ores in this study were obtained from mining areas in Indonesia. The study considers temperature variations between 800-1300°C with 30-minute and 60-minute holding times.  Thermodynamic simulations using HSC Chemistry 9.1.5® software predict that the reduction of lateritic nickel ore with ammonia occurs in two main stages: dehydroxylation and reduction. Thermodynamically, the formation of Fe and Ni metals is predicted to occur at 900°C, but experimentally Fe and Ni metals are only formed at 1000°C. The experimental results show that the optimum temperature is 1150°C, resulting in high Fe and ferronickel phases with an optimum degree of metallization of 94.78% as evidenced by XRD analysis. The effect of holding time provides a significant increase in Fe-Ni recovery up to 14.4% at 1100°C. However, at 1200°C, increasing the ammonia ratio did not have a significant effect (only 2%) because the metal had been trapped in the slag phase which is stable at high temperatures. SEM analysis shows the unique reducing ability of ammonia which is evident in the progressive morphological changes in the microstructure resulting in porous and irregular structures due to selective reduction by H2 gas from the decomposition of ammonia. "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jordan Andrean Martin
"Paduan Feronikel (FeNi) merupakan salah satu produk utama yang dihasilkan dalam pengolahan bijih nikel laterit. Negara Indonesia merupakan salah satu negara dengan deposit nikel besar dalam bentuk bijih laterit. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kadar senyawa Magnesium melalui proses leaching menggunakan larutan asam klorida dengan variasi konsentrasi larutan dan waktu proses leaching. Sampel yang digunakan berupa Slag Feronikel yang telah diberikan penambahan aditif Na2CO3 dan telah dipanggang dengan temperatur 1100oC. Penelitian dilakukan dengan melakukan proses leaching sampel menggunakan larutan HCl 4M dan 6M. Proses leaching untuk setiap konsentrasi larutan kemudian divariasikan waktu proses leaching yang digunakan yaitu 2, 4, dan 6 Jam. Setelah proses leaching mencapai waktu yang ditentukan, dilakukan proses penyaringan untuk memisahkan filtrat dan residu yang dihasilkan. Pada filtrat hasil leaching dilakukan karakterisasi ICP-OES untuk mengidentifikasi unsur-unsur yang terlarut pada filtrat selama proses leaching berlangsung. Sedangkan residu hasil leaching dilakukan karakterisasi SEM/EDS untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada residu setelah proses leaching. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan kadar Magnesium dari kadar sebelum dilakukan proses leaching. Proses leaching menggunakan larutan HCl 6M menghasilkan peningkatan kadar Magnesium yang lebih besar. Selain itu, waktu proses leaching yang digunakan juga berpengaruh terhadap hasil yang dilakukan, dimana proses leaching Roasted Slag Feronikel memiliki waktu optimal untuk proses ekstraksi senyawa Magnesium. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa larutan asam klorida (HCl) yang digunakan dalam proses leaching Roasted Slag Feronikel dapat meningkatkan kadar senyawa Magnesium pada filtrat. Proses leaching yang paling optimal pada penelitian ini menggunakan larutan HCl 6M selama 4 Jam, dengan persentase leaching sebesar 49,05%.

Feronickel Alloy (FeNi) is one of the main products produced in the processing of nickel laterite ore. Indonesia is one of the countries with a large nickel deposit in the form of laterite ore. This research aims to increase the levels of Magnesium compounds through the leaching process using hydrochloric acid solutions with varying solution concentrations and leaching process times. The sample used is the Feronickel Slag which has been given the addition of the Na2CO3 additive and has been baked at an 1100oC temperature. Research is conducted by conducting leaching process samples using a solution of HCl 4M and 6M. The leaching process for each solution concentration is then varied when the leaching process used are 2, 4, and 6 hours. After the leaching process reaches the specified time, the filtering process is performed to separate the filtrate and the resulting residue. In filtrate, leaching is performed ICP-OES characterization to identify the dissolved elements of the filtrate during the progress of the leaching process. Meanwhile, leaching residue is performed SEM/EDS characterization to know the changes occurring in residue after leaching process. The results of this study showed that the presence of increased levels of Magnesium from levels prior to leaching processes. The leaching process using a 6M HCl solution produces a greater increase in Magnesium levels. In addition, the leaching process time used also affects the results, where the leaching process of Roasted Slag Feronickel has the optimal time for the extraction process of Magnesium compounds. Based on the results of this study, it can be concluded that a solution of hydrochloric acid (HCl) used in the leaching process of Roasted Slag Feronikel can increase the levels of Magnesium compounds in filtrate. The most optimal leaching process in this study was using an 6M HCl solution for 4 hours, with a leaching percentage of 49,05%."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arfan Badeges
"Dalam penatalaksanaan trauma maksilofasial diperlukan material implan sampai terjadi penyembuhan tulang. Magnesium memiliki potensi sebagai material implan tulang, dengan syarat memiliki laju biodegradasi yang baik. Proses equal channel angular pressing (ECAP) merupakan salah satu metode untuk memperbaiki sifat biodegradasi dari material logam.
Tujuan: Mengkaji proses biodegradasi magnesium ECAP pada cairan fisiologis.
Metode: Laju biodegradasi dan tingkat evolusi hidrogen didapatkan dari uji perendaman pada larutan DMEM dengan metode weight loss dan spektrometri dengan menggunakan dua belas spesimen magnesium ECAP dan enam spesimen magnesium murni sebagai kontrol. Pola biodegradasi didapatkan dari analisis struktur permukaan mikro. Analisis data menggunakan uji T independen.
Hasil: Terdapat perbedaan yang signifikan antara laju biodegradasi dan tingkat evolusi hidrogen antara magnesium ECAP dengan magnesium murni. Magnesium ECAP memiliki pola biodegradasi yang homogen.
Kesimpulan: Magnesium ECAP memiliki laju biodegradasi dan tingkat evolusi hidrogen yang lebih baik dibandingkan dengan magnesium murni.

Implant material are used in the management of maxillofacial trauma until bone healing occur. Magnesium has the potential to be a bone implant material, but it requires a good biodegradation rate. The process of equal channel angular pressing (ECAP) is a method to improve the biodegradation properties of metallic materials.
Purpose: To observe the biodegradation process of magnesium ECAP in physiological fluid.
Method: The biodegradation and hydrogen evolution rate were obtained from immersion test in a DMEM solution, using weight loss and spectrometric method within twelve magnesium ECAP specimens and six specimens of pure magnesium as a control. Biodegradation pattern were obtained from the micro surface structures analysis. The result was statistically analyzed with independent T test.
Results: There were significant difference between the biodegradation and hydrogen evolution rate between magnesium ECAP and pure magnesium. Magnesium ECAP has a homogeneous biodegradation pattern.
Conclusion: Magnesium ECAP has better biodegradation and hydrogen evolution rate than pure magnesium.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
T33021
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Syaflida
"Magnesiummerupakan suatu material yang berpotensi digunakan sebagai biomaterial logam yang dapat terdegradasi. Syarat magnesium dapat digunakan sebagai material implan biodegradable adalah laju degradasimagnesiumharus sesuaidenganlaju penyembuhandarijaringan yang terlibat.Umumnya magnesium memiliki laju degradasi yang cepat, hal ini merupakan kekurangan magnesium yang tidak diinginkan.Aplikasimagnesiumsebagai implanyang terdegradasiterhambatkarena tingkattinggidegradasilingkungan fisiologisdan kerugiankonsekuen dalamsifat mekanik. Oleh karena itu, proses Equal Channel Angular Pressing (ECAP) yang dilakukan padamagnesium diharapkan akanmengurangiukuran butir yang dapat menurunkanlaju degradasidan meningkatkansifat mekanis magnesium.
Tujuan: Menganalisasifat mekanismagnesium ECAP dalam cairan fisiologis.
Metode:Sifat mekanis magnesium ECAP dianalisis setelah dilakukan perendaman dalam larutan DMEM dengan menggunakan masing-masing sepuluh sampel magnesium ECAP dan lima sampel magnesium untuk uji tarik dan uji kekekrasan. Sifat mekanis di analisis menggunakan nilai ultimate tensile strength (UTS) pada uji tarik dan vickers hardness number (VHN) pada uji kekerasan.
Hasil: Kekuatan dan kekerasan magnesium meningkat setelah proses ECAP.

Magnesium has thepotential to be used asdegradable metallic biomaterial. For magnesium to be used as biodegradable implant materials, their degradation rates should be consistent with the rate of healing of the affected tissue, the release of the degradation products should be within the body?s acceptable absorption levels. Conventional magnesium degrades rapidly, which is undesirable. The successful applications of magnesium as degradable implants are mainly inhibited due to their high degradation rates in physiological environment and consequent loss in the mechanical properties. Equal channel angular pressing (ECAP) was applied to a pure magnesium. This processes will be decreasing grain size, decreasing degradation rates and increasing mechanical properties.
Purpose: To analyze the mechanical properties of magnesium ECAP in physiological fluid.
Method:The mechanical properties were obtained from immersion test in a DMEM solution, within ten magnesium ECAP specimens and five specimens of pure magnesium as a control. Mechanical properties were analyzed using the value of ultimate tensile strength (UTS) with tensile testing and vickers hardness number (VHN) with hardness testing.
Results:The ultimate tensile strength and hardness magnesium increased after ECAP, and the mechanical properties of the magnesium ECAP decreased in physiological fluid.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
T33041
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miranda Cahyeni
"Magnesium (Mg) merupakan logam ringan. Namun, magnesium dan paduannya mengalami degradasi yang sangat cepat di dalam lingkungan yang basah. Selain itu sifat film alami pada paduan magnesium sangat tipis, sehingga paduan magnesium memiliki ketahanan korosi yang sangat rendah. Hal ini menyebabkan kekuatan mekanik pada paduan magnesium mengalami penurunan. Untuk menangani masalah tersebut maka dilakukan Plasma electrolytic Oxidation (PEO) untuk meningkatkan ketahanan korosi pada paduan magnesium. Lapisan film oksida yang dihasilkan dari proses PEO bersifat tebal dan keras, namun juga memiliki pori, retakan dan lapisan yang tidak rata. Proses PEO dilakukan dengan memvariasikan waktu PEO dan arus selama PEO yang berlangsung di dalam elektrolit 0.5 M Na3PO4 pada suhu 30°C ± 1°C. PEO dilakukan dengan variasi waktu 30, 60 dan 90 detik. Ketebalan yang dihasilkan untuk masing-masing variasi waktu adalah 16,23, 27,76 dan 33,11 μm. Sedangkan untuk variasi arus 0,2, 0,3 dan 0,4 A akan dihasilkan ketebalan film oksida 32,61, 55,65 dan 66,25 μm. Untuk mengetahui laju korosi paduan magnesium yang telah diberi perlakuan PEO dilakukan dengan uji polarisasi di dalam larutan 3,5% NaCl pada suhu 30°C. Hasil uji polarisasi untuk variasi waktu menunjukkan peningkatan ketahanan korosi yang ditandai dengan kenaikan potensial korosi pada substrat, 30, 60 dan 90 detik berturut-turut adalah -1.22, -1.26, -0.75 dan -1.03 VAg/AgCl dan penurunan arus korosi berturut-turut 94,79, 11.30, 0.36 dan 0,67 μA/cm2. Sedangkan untuk variasi arus 0,2, 0,3 san 0,4 A menunjukkan kenaikan potensial korosi berturut-turut  -1,24, -1,18 dan 0,41 VAg/AgCl dan penurunan arus korosi berturut-turut adalah 5,1, 4,6 dan 4,3 μA/cm2. Hasil tersebut menunjukkan bahwa PEO dapat meningkatkan ketahanan  korosi pada paduan magnesium AZ91.

Magnesium (Mg) is a lightweight metal. However, Magnesium and its alloys experience very rapid degradation in wet environments. In addition, the natural film properties of magnesium alloys are very thin, so magnesium alloys have very low corrosion resistance. This causes the mechanical strength of the magnesium alloy to decrease. To deal with these problems, a Plasma Electrolytic Oxidation (PEO) was performed to improve corrosion resistance in magnesium alloys. The oxide film layer produced from the PEO process is thick and hard, but also has pores, cracks and uneven layers. The PEO process is carried out by varying the time of the PEO and the current during the PEO that takes place in a 0.5 M Na3PO4 electrolyte at a temperature of 30 °C ± 1 °C. PEO is done with a time variation of 30, 60 and 90 seconds. The thickness produced for each time variation is 16.23, 27.76 and 33.11 μm. As for the current variations of 0.2, 0.3 and 0.4 A, an oxide film thickness of 32.61, 55.65 and 66,25 μm  To determine the corrosion rate of magnesium alloys that have been treated with PEO is done by polarization testing in a solution of 3.5% NaCl at 30 °C. The polarization test results for time variation show an increase in corrosion resistance which is characterized by an increase in corrosion potential on the substrate, 30, 60 and 90 seconds respectively -1.22, -1.26, -0.75 and -1.03 VAg/AgCl and a decrease in corrosion currents respectively 94.79, 11.30, 0.36 and 0.67 μA/cm2. As for the current variations of 0.2, 0.3 and 0.4 A, it shows a increase in corrosion potential of -1.24, -1.18 and 0.41 VAg/AgCl and an decrease in corrosion current respectively 5,1, 4,6 dan 4,3 μA/cm2. These results indicate that PEO can increase corrosion resistance in AZ91 magnesium alloys."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Handayani
"Latar Belakang: Magnesium ECAP mempunyai sifat mekanis yang baik danpengaruh osteoanabolik, namun magnesium memiliki sifat korosif.Imunohistokimia mengidentifikasi respon proses korosi dengan melihat jejakjaringan sekitar.
Metode: Tulang femur dipasang miniplate dan screwdikelompokkan 1-3-5 bulan. Tulang kontrol diambil pada sisi berlawanan. Hasil Imunohistokimia dinilai dengan skoring. Data diuji nonparametrik dengan tingkatkepercayaan 99.
Hasil: Perbedaan bermakna kelompok perlakuan dengankelompok kontrol p=0,000 . Peningkatan pembentukan trabekula dan responosteogenesis. Peningkatan revaskularisasi dan reaksi kluster diferensiasi terhadapgas poket hingga bulan ke-3.
Kesimpulan: Respon jaringan sekitar tertoleransi dengan terjadinya peningkatan osteogenesis, tidak ditemukannya jaringannekrosis, dan penurunan nilai gas poket.

Background : ECAP processed magnesium has an excellent mechanicalproperties and osteoanabolic effect. However metal materials are known to havecorrosive nature, and magnesium was no exception. Immunohistochemistry is ableto identify corrosion process response in living organism by looking into its tracesin surrounding tissus.
Methods : The femur bone samples were implanted byECAP processed magnesium miniplate and screw for 1, 3, and 5 months. Theopposing femur was left alone as control samples. Afterwards,immunohistochemical staining results were scored and tested using nonparametrictests with confidence interval of 99.
Results : Significant differences werefound between treatment groups and control groups p=0.000. The increase oftrabeculae formation and osteogenesis responses also revascularisation anddifferentiation clusters to gas voids are observed well into the 3 month samples.
Conclusion : Surrounding tissue responses are tolerated as shown by the increaseof osteogenesis, untraceable necrotic tissues, and the decrease in gas voids score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elsa Septiyana Ratuarrum
"Indonesia mendeklarasikan target untuk mewujudkan net zero emission pada tahun 2060 mendatang. Banyak upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong ketercapaian target tersebut. Namun, beberapa sektor khususnya sektor industri masih menyumbangkan sebagian besar gas emisi-nya ke udara akibat dari limbah reaksi pembakaran dengan batubara. Amonia sebagai salah satu hydrogen carrier memiliki peluang dan potensi untuk dikembangkan menjadi solusi alternatif pengganti reduktor pembakaran batubara di sektor industri. Penelitian ini mengeksplorasi proses reduksi nikel laterit sintetik menggunakan gas amonia sebagai reduktor dan menganalisa efek variasi temperatur dan rasio reduktor terhadap fasa dan mikrostruktur. Nikel laterit sintetik diolah dari campuran oksida Fe2O3, NiO, SiO2, Al2O3, dan MgO dan dicampur dalam ball-milling yang setelahnya direduksi di dalam tube furnace. Penelitian ini menggunakan variasi temperatur di rentang 600-9000C serta rasio reduktor 1:1, 1:2, 1:3, dan 1:4. Waktu reduksi dilakukan selama 16-66 menit. Pengujian yang dilakukan diantaranya adalah XRD, OM, dan SEM-EDS. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa temperatur 9000C dengan rasio reduktor 1:4 merupakan kondisi yang optimal untuk mereduksi logam dari nikel laterit menggunakan reduktor amonia dengan persentase perolehan Fe sebesar 23% dan paduan FeNi sebesar 5%.

Indonesia has declared a target to achieve net zero emissions by 2060. Many efforts have been made by the government to facilitate the achievement of this target. However, certain sectors, particularly the industrial sector, still contribute significantly to air emissions due to combustion waste reactions with coal. Ammonia, as a hydrogen carrier, has the opportunity and potential to be developed as an alternative solution to replace coal combustion reducers in the industrial sector. This research explores the synthetic reduction process of nickel laterite using ammonia gas as a reducer and analyzes the effects of temperature and reducer ratio variations on phase and microstructure. Synthetic nickel laterite is processed from a mixture of Fe2O3, NiO, SiO2, Al2O3, and MgO oxides, mixed in a ball-milling process, and subsequently reduced in a tube furnace. The study employs temperature variations ranging from 600-900°C and reducer ratios of 1:1, 1:2, 1:3, and 1:4. Reduction times range from 16 to 66 minutes. Tests conducted include XRD, OM, and SEM-EDS analyses. The results indicate that a temperature of 900°C with a reducer ratio of 1:4 is the optimal condition for reducing metals from nickel laterite using ammonia reducer, achieving a 23% yield of Fe and a 5% FeNi alloy."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyuni Martiningsih
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2002
TA3300
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>