Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179532 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rohana Rosmiyati Abdul Karim
"Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang menjadi salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian di dunia. Di Indonesia peningkatan jumlah kasus TBC dari tahun 2020-2022 sejalan dengan peningkatan kasus TBC anak. Peningkatan kasus TBC anak juga terjadi di Kabupaten Nagekeo dengan cakupan penemuan TBC anak di tahun 2022 yaitu 70%. Adanya pasien TBC anak merupakan indikator masih berlangsungnya penularan TBC di suatu komunitas. Anak yang kontak dengan penderita TBC dewasa sangat berisiko untuk terinfeksi TBC. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor- faktor yang berhubungan dengan infeksi TBC pada anak di Kabupaten Nagekeo tahun 2020-2022. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional dan analisis regresi logistik untuk mengestimasi risiko dengan memanfaatkan data sekunder pada Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) Dinas Kesehatan Kabupaten Nagekeo. Dari 239 anak yang memiliki riwayat kontak dengan penderita TBC, sebesar 5.44% memiliki riwayat infeksi TBC. Dari hasil analisis multivariat, ditemukan bahwa anak 5 tahun lebih berisiko menderita TBC dibanding anak >5 tahun [prevalence odds ratio (POR) 5,74 (95% CI: 1,66 – 19,85]. Kontak dengan penderita TBC yang memiliki riwayat gagal berobat sebelumnya juga berasosiasi dengan peningkatan risiko infeksi TBC pada anak dibanding dengan kontak dengan pasien TBC baru [POR 5,17 (95%CI : 1,17 – 22,70)]. Upaya promotif dan preventif harus terus dilakukan dalam rangka pencegahan infeksi TBC pada anak dengan meningkatkan komunikasi informasi edukasi (KIE), pemberian Terapi Pencegahan TBC (TPT) kepada semua kontak anak terutama  5 tahun serta dukungan kepatuhan pengobatan kepada penderita TBC dan pengawas minum obat (PMO).

Tuberculosis (TB) is a communicable disease that is a major cause of ill health and one of the leading causes of death worldwide. In Indonesia, the increase in the number of TB cases from 2020-2022 is in line with the increase in TB cases in children. An increase in cases of TB in children has also occurred in Nagekeo Regency with a coverage of TB detection in children in 2022, namely 70%. The presence of pediatric TB patients is an indicator of ongoing TB transmission in a community. Children who are in contact with adult TB patients are at high risk of becoming infected with TB. This study aims to determine the factors related to TB infection in children in Nagekeo Regency in 2020- 2022. This study used a cross-sectional study design and logistic regression analysis to estimate the risk by utilizing secondary data from the Tuberculosis Information System of the Nagekeo District Health Office. Of the 239 children who had a history of contact with TB sufferers, 5.44% had a history of TB infection. From the results of multivariate analysis, it was found that children 5 years were more at risk of suffering from TB than children >5 years [prevalence odds ratio (POR) 5.74 (95% CI: 1.66 – 19.85). A history of previous treatment failures is also associated with an increased risk of TB infection in children compared to contacts with new TB patients [POR 5.17 (95% CI: 1.17 – 22.70)]. Promotive and preventive efforts must continue to be carried out in the context of preventing TB infection in children by increasing communication, information and education (CIE), providing TB Prevention Therapy (TPT) to all child contacts especially  5 years and supporting treatment adherence to TB patients and drugs taking supervisors (DTS)."
Depok: 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jajat Hidajat
"Tuberkulosis Paru (TB. Paru) merupakan masalah kesehatan masyarakat penting, WHO memperkirakan bahwa di Indonesia setiap tahunnya ada 581.000 kasus baru tuberkulosis dengan 140.000 kematian dan merupakan penyumbang ke tiga terbesar kasus tuberkulosis di dunia setelah India dan Cina.
Berdasarkan survei tahun 1979 - 1993 didapat prevalensi BTA (+) rata-rata 0,29%, terendah di Bali (0,08%) dan tertinggi di Nusa Tenggara Timur (0,79%). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menyebutkan bahwa TB. Paru adalah penyebab kematian ketiga, sesudah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernapasan. Di Kabupaten Pontianak prevalensi TB. Paru BTA (+) tahun 1994 adalah 0,55 per 1000 penduduk. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2000, disain penelitian adalah kasus kontrol dengan sampel penelitian adalah penderita TB. Paru berumur 14 tahun dengan BTA (+) yang bertempat tinggal di Kabupaten Pontianak pada tahun 1999 - 2000 dan mendapat pengobatan dengan OAT, baik kategori-1 maupun kategori-2; sedangkan jurnlah sampel yang diambil berjumlah 108 kasus dan 108 kontrol.
Hasil yang diperoleh, dari 459 penderita TB. Paru BTA (+) yang diobati yang dinyatakan sembuh 74,1%, pengobatan lengkap 21,3%, lalai berobat 0,9%, gagal 2% dan meninggal 1,7%. Hasil analisis univariat, dari 216 responden 64,35% jenis kelamin laki-laki dan 33,65% perempuan; umur terbanyak pada kelompok umur 34-43 tahun (31,02%), tingkat pendidikan terbanyak pendidikan rendah (66,2%) dan pekerjaan terbanyak petani/pedagang (60,19%). Pada analisis univariat, dari 14 variabel independen temyata hanya 12 variabel yang dianggap potensial sebagai faktor risiko (p<0,25), variabel yang dianggap sama untuk kedua kelompok (p>0,25) adalah variabel jenis kelamin dan pendidikan.
Hasil analisis multivariat dengan metode regresi logistik dari 12 variabel independen yang diambil sebagai model, ternyata hanya 5 variabel yang mempunyai hubungan bermakna secara statistik (p<0,05), yaitu tidak mengerti materi penyuluhan (OR=5,6 95% CI : 2,3 ; 13,8 dan p=0,000), tidak ada PMO (OR-16,2 95% CI : 4,7 ; 56,0 dan p4,1,000), pengetahuan tentang TB. Paru kurang (OR=31,9 95% CI : 11,3 ; 89,9 dan p=0,000), pelayanan tidak Iengkap (OR-7,0 95% CI : 1,3 ; 36,2 dan p 0,000) dan kelompok umur. Kelompok umur di klasifxkasikan ke dalam 6 kelompok dengan kelompok umur 64-73 tahun sebagai referensi; hasilnya adalah kelompok umur 14-23 tahun (OR-12,9 95% Cl : 1,5 ; 108,5 dan p 0,019), kelompok umur 24-33 tahun (OR-8,3 95% CI : 2.0 ; 68.6 dan p 4l.048), kelompok umur 34-43 tahun (OR-4,9 95% CI : 0,8 ; 32,2 dan p=0,095), kelompok umur 44-53 tahun (OR=11,0 95% CI : 1,5 ; 82,0 dan p--0,020) dan kelompok umur 54-63 tahun (OR-2,7 95% CI : 0,3 ; 20,9 dan p=0,348).
Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu faktor tidak mengerti materi penyuluhan, tidak ada PMO, pengetahuan kurang mengenai TB. Paru, pelayanan tidak lengkap, umur yang secara bersama-sama mempunyai hubungan yang bermakna (p<0,05) dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak tahun 1999-2000.
Selanjutnya dapat disarankan agar faktor penyuluhan kesehatan dari petugas kesehatan supaya lebih di intensifkan lagi, dilakukan pembinaan secara berkesinambungan terhadap PMO dan meningkatkan kemampuan pengelola program P2 TB Paru di Puskesmas. Selain itu juga juga perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai ketidakpatuhan berobat, terutama terhadap faktor stigma masyarakat, ESO, PMO dan persepsi terhadap kemajuan pengobatan dengan suatu alat ukur atau instrurnen yang lebih baik.
Daftar Pustaka 46 : (1986 - 2000)

Pulmonary Tuberculosis (Pulmonary TB) is serious public health problem, WHO estimated about 140 thousands of TB deaths in Indonesia annually, and every year 483 thousands new TB Cases and contributed the 3 rd greatest number of TB cases in the world after India and China. Based on survey between 1979 - 1993, the prevalence of AFB (+) is about 0.29%, the lowest is in Bali (0.08%) and the highest is in East Nusa Tenggara (0.79%). The Household Health Survey (SIKRT) in 1995 mentioned that Pulmonary TB was the Std caused of death after Cardiovascular Diseases and Respiratory Diseases. In Pontianak Regency prevalence of Pulmonary TB in 1994 is 0.55% per 1000 people and there is no formal research result about incompliance treatment of pulmonary TB AFB (+) patient mentioned in area.
The objective of this research is to understand key factors associated with incompliance treatment of patients of Pulmonary TB AFB (+) in Pontianak Regency. Research was done in June 2000, by using case control design. Population sample are the Pulmonary TB patients in the age over 14 year old with AFB (+) who live in Pontianak Regency in 1999 - 2000 with anti-TB drugs treatment, not only the first category but also the second category. The sample size were 108 cases and 108 controls.
The results pre, from 459 Pulmonary TB treated patients AFB (+), 74.1% recovery, 21.3% completed treated, 0.9% defaulted, 2.0% failure and 1.7% dead. The univariate analysis results from 216 respondences 64.35% male and 35.65% female; 31.02% at age group of 34-43 years old, most of them have low education level (66.2%) and 60.19% stated as farmer/merchant. Based on univariate analysis, from 14 independent variables found that only 12 considered as potential risk factors (p<0,25), the variables considered as similar for two categories (p>0.25) are gender and education.
In logistic regression method using 12 independent variables in the model and incompliance toward treatment variable as dependent variable, there were only 5 independent variables that have significant relationship (p<0.05). The 5 variables were : the lack of understanding of health promotion materials (OR=5.6 95% CI : 2.3 ; 13.8 and p=0.000), the availability of overseer of the DOT (OR-I6.2 95% Cl : 4.7 ; 56.0 and p=0.000), the lack of knowledge of Pulmonary TB (OR=31.9 95% CI : 11.3 ; 89.9 and p=q.000), the incomplete of facilities service (OR-7.0 95% CI : 1,3 ; 36,2 and p=0,000) and the age groups. The age groups were classified into 6 groups; i.e. 14-23 year old, 24-33 year old, 3443 year old, 44-53 year old, 54-63 year old and 64-73 year old, The age group of 64-73 year old had become a reference for other groups. Each other groups was compared to reference (64-73 year old). The comparisons result in OR-12,9 95% CI : 1.5 ; 108.5 and p=0.019 (group of age 14-23 year old), OR=8.3 95% Cl : 2,0 ; 68.6 and p O.048 (group of age 24-33 year old), OR=4.9, 95% CI : 0.8 ; 32.2 and p=0.095 (group of age 34-43 year old), (OR-11.0 95% CI : 1,5 ; 82,0 and p=0,020 (group of age 44-53 year old) and OR=2.7 95% CI : 0.3 ; 20.9 and p=0.348 ( group of age 54-63 year old ).
The conclusion is that the lack of understanding of health promotion materials, the availability overseer of the DOT, the lack of knowledge of Pulmonary TB, the uncompleted of facilities service and the age group have significant relationships (p<0.05) with incompliance toward treatment among patients of Pulmonary TB AFB (}) in Pontianak Regency in 1999 - 2000. Furthermore, it is suggested to make health promotion from health staff more intensive, cultivate the overseer of DOT continuously and improve the capability of the organizer TB Program in health center (Puskesmas). Besides that, it needs to do further research on incompliance toward treatment, mainly on community stigma, drug side effect, efficacy of overseer of the DOT and the perceived treatment using a better indicator or instrument.
Reference : 46 (1986 - 2000)
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T2755
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sara Fadila
"Tuberkulosis (TB) Paru merupakan salah satu penyakit penyebab utama kesakitan dan kematian di seluruh dunia. Pada tahun 2020 penyakit TB menempati peringkat kedua penyebab utama kematian akibat infeksi agen tunggal. Infeksi TB pada anak masih menjadi salah satu penyebab mortalitas dan morbiditas sehingga dibutuhkan tindakan preventif dan promotif yang tepat untuk menurunkan angka insiden TB salah satunya dengan mengevaluasi faktor-faktor risiko kejadian TB paru pada anak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian TB paru pada anak di Kota Bekasi tahun 2022. Penelitian ini menggunakan studi kasus-kontrol dengan sampel 135 kasus dan 135 kontrol yang diambil berdasarkan data SITB Kota Bekasi. Variabel yang diteliti antara lain usia, jenis kelamin, status gizi, status vaksinasi BCG, riwayat kontak serumah dengan penderita TB, tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, kepadatan hunian, ventilasi rumah, dan sumber pencahayaan. Hasil penelitian berdasarkan analisis multivariat menunjukkan faktor risiko usia 0 - ≤5 tahun (OR 2,27; 95% CI: 1,22-4,22), status vaksinasi BCG negatif (OR 7,96; 95% CI: 2,02-31,40), status gizi kurang (OR 13,24; 95% CI: 5,44-32,22), riwayat kontak TB serumah lebih dari 4 minggu (OR 4,52; 95% CI: 2,41-8,48), dan pencahayaan rumah tidak memenuhi syarat (OR 2,39; 95% CI: 1,17-4,84) memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian TB paru pada anak di Kota Bekasi tahun 2022.

Tuberculosis (TB) is one of the main causes of morbidity and mortality in worldwide. In 2020 TB disease is the second leading cause of death due to single agent infection. TB infection in children is still one of the causes of mortality and morbidity, so appropriate preventive and promotive measures are needed to reduce the incidence of TB, one of which is by evaluating the risk factors for pulmonary TB in children. The purpose of this study was to determine the risk factors associated with the incidence of pulmonary TB in children in Bekasi City in 2022. This study used a case-control study with a sample of 135 cases and 135 controls taken based on SITB from Bekasi City. The variables studied included age, gender, nutritional status, BCG immunization status, history of household contact with TB, parents' education level, parents' occupation, occupancy density, house ventilation, and lighting sources. The results of the study based on multivariate analysis showed that the risk factors were age 0 - ≤5 years (OR 2,27; 95% CI: 1,22-4,22), negative BCG immunization status (OR 7,96; 95% CI: 2,02-31,40), malnutrition status (OR 13,24; 95% CI: 5,44-32,22), history of contact with TB in the household for more than 4 weeks (OR 4,52; 95% CI: 2,41-8,48), and house lighting not requirements (OR 2,39; 95% CI: 1,17-4,84) has a significant relationship with the incidence of pulmonary TB in children in Bekasi City in 2022."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Masud
"Latar Belakang: Peraturan Kementerian Kesehatan No.15 Tahun 2016 tentang Istithaah Kesehatan Jamaah haji menempatkan pasien dengan infeksi tuberkulosis dapat masuk dalam kategori tidak memenuhi syarat Isthitaah pada Tuberkulosis Totally drug Resistance (TDR) atau tidak memenuhi syarat Istithaah sementara pada Tuberkulosis sputum BTA Positif, Tuberkulosis Multi Drug Resistance, sehingga jamaah haji dengan TB berpotensi tidak dapat melaksanakan rukun islam kelima tersebut. Selain itu tingkat kebugaran dengan kategori cukup disyaratkan untuk memenuhi Istithaah kesehatan sesuai pasal 10. Saat ini belum ada laporan mengenai karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhi Istithaah kesehatan pada jemaah haji dengan infeksi tuberkulosis Tujuan: Mengetahui karakteristik jamaah haji DKI Jakarta dengan infeksi tuberkulosis, mengetahui proporsi dan faktor-faktor terkait Istithaah kesehatan pada Jamaah haji dengan infeksi tuberkulosis. Metode: Studi potong lintang terhadap 31 jemaah haji DKI Jakarta yang sedang mendapatkan pengobatan tuberkulosis pada saat pelaksanaan ibadah haji tahun 2018. Kuesioner juga dilakukan terhadap Tim Kesehatan Haji Indonesia yang mendampingi subyek sebagai data tambahan. Analisa bivariat terhadap variabel kategorik-kategorik dilakukan menggunakan uji Chi Square atau bila persyaratannya tidak terpenuhi, maka dilakukan uji Fisher. Selanjutnya analisa multivariat menggunakan uji regresi logistik. Hasil: Pada studi ini didapatkan 31 subyek jemaah haji dengan Infeksi tuberkulosis dan menjalani pengobatan pada penyelenggaraan haji 2018. Dari data tersebut diketahui Sebagian besar subyek dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki: 19/31(61,3 %) dan hampir seluruhnya berusia antara 40 hingga 60 tahun keatas: 30/31(96.8%). Sebagian besar subyek memiliki IMT yang normal atau lebih: 28/31 (90.3 %). Penegakan diagnosis TB pada jamaah haji lebih banyak melalui konfirmasi klinis: 17/31 (54.8%) dengan 93% subyek tidak bergejala. Seluruh subyek sudah menyelesaikan fase intensif dan memiliki BTA negatif yang dinyatakan layak terbang. Pada penelitian ini, mengacu kepada Peraturan Kementerian Kesehatan No.15 Tahun 2016, seluruh subyek memenuhi syarat Istithaah kesehatan haji dalam kriteria Memenuhi Syarat Istithaah Kesehatan Haji dengan Pendampingan, yaitu subyek menderita TB dengan sputum BTA negatif pada pemeriksaan akhir kelayakan terbang: 29/31 (94%) atau TB MDR yang sudah dinyatakan layak pergi haji oleh Tim Ahli Klinis TB MDR: 2/31 ( 0.6 %). Subyek jemaah haji dengan Infeksi tuberkulosis memiliki tingkat kebugaran cukup 12/31 (38.7%), kurang 13/31 (41.9%) dan sangat kurang 6/31 (19.30%), sesuai dengan kriteria kebugaran yang ditetapkan dalam penelitian ini. Hasil Kuesioner kepada Tim Kesehatan Haji Indonesia diketahui bahwa semua jamaah mampu melakukan Thawaf, Sai, dan wukuf di Padang Arafah sebagai rukun haji. Kesimpulan: Subyek yang sudah menyelesaikan fase intensif dengan sputum BTA yang negatif atau TB MDR yang dinyatakan layak berangkat haji oleh TIM Ahli Klinis TB MDR dinyatakan layak terbang pada pemeriksaaan kesehatan tahap ketiga dengan Memenuhi Syarat Istithaah dengan Pendampingan. Sebanyak 19/31 subyek jamaah haji dengan tuberkulosis memiliki tingkat kebugaran dibawah nilai cukup. Meskipun demikian jamaah haji dengan infeksi tuberkulosis masih mampu menjalankan rukun haji di tanah suci. Pada penelitian ini, komorbid, lama pengobatan dan kadar Hb tidak signifikan secara statistik mempengaruhi Istithaah kesehatan dengan infeksi tuberkulosis.

Background: Indonesian Ministry of Health Regulation No. 15 of 2016 on health policy for Hajj pilgrims puts patients with tuberculosis (TB) infection in the category of not fulfilling Isthahah (conditions Totally Drug Resistance TB) or does not meet temporary Istithaah ( Smear positif TB, Multi Drug Resistance (MDR) TB), so that pilgrims with TB potentially unable for hajj. In addition, the level of fitness with sufficient category is required according to chapter 10. At present, there is no reports on the health Istithaah of pilgrims with tuberculosis infection. Objective: To determine the characteristics of DKI Jakarta pilgrims with tuberculosis infection, to find out the proportion of low fitness levels for pilgrims with tuberculosis infection and to find out the factors related to Istithaah. Methods: A cross-sectional study of 31 Special Capitol Region of Jakarta pilgrims who were receiving tuberculosis treatment during the Hajj pilgrimage in 2018 was conducted; in addition, the Indonesian Hajj Health Team who accompanied the subjects was also included as additional data. Bivariate analysis of categoric-categoric variables are done using Chi Square method or as alternative, the Fisher method is used if the Chi Square test requirements are not fufille. Significant variables will be further analyzed with multivariate analysis using the logistic regression test Results: A total of 31 subjects of the Hajj were found with tuberculosis infection and underwent treatment. The majority were male: 19/31 and aged above 40 years old : 30/31, BMI normal or more: 28/31, diagnosis through clinical confirmation: 17/31 with 29/31 of subjects asymptomatic. All subjects have completed the intensive phase of TB treatment. Subjects with negative sputum smear at the final inspection of flightworthiness: 29/31 or MDR TB that has been declared eligible for Hajj by the MDR TB Clinical Expert Team: 2/31 .Subjects of pilgrims with tuberculosis infection have a sufficient fitness level of 12/31, less :13/31 and very less :6/31 , according to the fitness criteria established in this study. The results of the questionnaire to the Indonesian Hajj Health Team revealed that all pilgrims were able to do Thawaf, Sai, and stay in Padang Arafah. Conclusion: Subjects who have completed the intensive phase with negative sputum smear or MDR TB who were declared eligible by the MDR TB Clinical Expert Team were declared eligible to hajj with Istithaah Requirements with Assistance. As many as 19/31 of Hajj pilgrims with tuberculosis had a level of fitness below sufficient value. Nevertheless, subjects are still able to run the pillars of the Hajj. Nevertheless, subjects are still able to run the pillars of the Hajj. In this study, comorbidities, duration of treatment and HB level were not statistically significant affecting health status with tuberculosis infection."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ririn Ayudiasari
"Tren angka putus berobat pada pasien TBC RO cenderung fluktuatif. Angka putus berobat TBC RO pada tahun 2020 sebesar 19%, angka ini menurun dibandingkan tahun 2019 sebesar 22% dan 2018 sebesar 27%. Angka putus berobat ini memberikan dampak yang besar bagi indikator program tuberkulosis nasional yang secara tidak langsung memengaruhi keberhasilan pengobatan TBC RO yang belum mencapai target 80%. Penelitian terdahulu menyebutkan kejadian putus berobat ini dipengaruhi oleh faktor karakteristik individu, faktor perilaku, dan faktor lingkungan. Akan tetapi, penyebab pasti dari kejadian putus berobat pasien TBC RO di Indonesia belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian putus berobat pada pasien TBC RO di Indonesia Tahun 2022-2023. Sampel penelitian ini adalah semua kasus pasien TBC RO di Indonesia yang memulai pengobatan pada tahun 2022-2023 dan telah memiliki hasil akhir pengobatan dinyatakan sembuh, pengobatan lengkap, dan putus berobat pada Mei 2024. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 11,04% paseien TBC RO mengalami putus berobat. Terdapat hubungan antara faktor umur, jenis kelamin, status HIV, status DM, jenis resistansi, kategori panduan OAT, dan jenis fasyankes terhadap kejadian putus berobat pada pasien TBC RO. Sedangkan faktor riwayat pengobatan dan wilayah fasyankes tidak menunjukan adanya hubungan yang signifikan dengan kejadian putus berobat. Perluasan fasyankes pelaksana layanan TBC RO dan kolaborasi antara fasyankes dan komunitas TB dalam melakukan pendampingan dan memberikan dukungan psikososial dapat membantu mencegah terjadinya kejadian putus berobat pada pasien TBC RO di Indonesia.

The trend of treatment loss to follow up (LTFU) rates in DR-TB patients tends to fluctuate. The DR-TB treatment LTFU 2020 was 19%, this number decreased compared to 2019 of 22% and 2018 of 27%. LTFU have a major impact on national TB programme indicators, which indirectly affect the success of DR-TB treatment, which has not yet reached the 80% target. Previous studies have found that LTFU is influenced by individual characteristics, behavioural factors, and environmental factors. However, the exact causes of LTFU among DR-TB patients in Indonesia are still unknown. This study aims to find out what factors are associated with the incidence of LTFU in patients with DR-TB in Indonesia in 2022-2023. The sample of this study was all DR-TB patients in Indonesia who started treatment in 2022-2023 and had the final results of treatment declared cured, complete treatment, and LTFU in May 2024. The results showed that 11.04% of patients with DR-TB had loss to follow up of TB treatment. There was an association between age, gender, HIV status, DM status, type of resistance, OAT guideline category, and type of health facility with LTFU in patients with DR-TB. Meanwhile, the treatment history and health facility region did not show a significant association with LTFU. Expansion of health facilities providing DR-TB treatment and collaboration between health facilities and TB communities in assisting and providing psychosocial support can help prevent LTFU among patients with DR-TB in Indonesia."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wahyuni
"Insidensi TB di Indonesia menempati urutan kedua terbesar di dunia tahun 2016. Buruknya, sebagian besar provinsi di Indonesia masih belum bisa mencapai target keberhasilan pengobatan tahun 2016, salah satunya DKI Jakarta. Hal ini dapat disebabkan karena banyaknya jumlah putus pengobatan (default treatment). Jika dibiarkan, kondisi ini dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk yaitu peningkatan kasus TB MDR. Oleh karena itu faktor yang berhubungan dengan kejadian putus pengobatan perlu identifikasi, namun faktornya bervariasi di berbagai tempat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian putus pengobatan pada pasien TB MDR di RSUP Persahabatan tahun 2016-2018. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang menggunakan rekam medis dan wawancara 60 subjek.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi TB MDR dengan riwayat putus pengobatan di RSUP Persahabatan tahun 2016-2018 adalah 16,9%. Berdasarkan analisis bivariat, faktor yang memiliki hubungan signifikan dengan putus pengobatan adalah perilaku merokok (p=0,008). Melalui analisis multivariat diketahui bahwa hanya perokok sedang yang berhubungan dengan putus pengobatan (p = 0,035, OR = 4,364; KI95% = 1,112-17,128). Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa perokok sedang merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian putus pengobatan TB pada pasien TB MDR.

TB incidence of Indonesia ranks the second largest in the world in 2016. Poorly, most provinces in Indonesia still cannot reach the target of successful TB treatment in 2016, one of which is DKI Jakarta. This can be caused by the large number of dropouts (treatment default). This finding is worrisome, individuals who default from tuberculosis (TB) treatment experience an increased risk of multi drugs resistance tuberculosis cases. Therefore it is important to identify local risk factors for default and for further research to demonstrate the best programme models for reducing default.
This study aims to determine the factors associated with default from TB treatment in multi drugs resistance tuberculosis patients in RSUP Persahabatan in 2016-2018. The study was conducted with a cross-sectional design using medical records and 60 tuberculosis patients were interviewed.
The results showed the prevalence of multi drugs resistance tuberculosis with a history of default tb treatment at RSUP Persahabatan in 2016-2018 is 16.9%. Based on bivariate analysis, significant factor associated with default for drug-sensitive TB programmes is smoking behavior (p = 0.008). In multivariate logistic regression, it was found that only moderate smokers were associated with default from treatment (p = 0.035, OR = 4.364; CI95% = 1.112-17.128). From these results it was concluded that moderate smokers were a factor identified to be associated with treatment default in multi drugs resistance tuberculosis patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Budi Waluyo
"Salah satu aspek penting dalam upaya meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam menunjang keherhasilan program pemberantasan penyakit TB Paru adalah melalui penyebarluasan informasi penyakit TB Paru pada masyarakat luas. Maka dengan demikian komunikasi merupakan salah satu komponen yang penting dalam penyampaian pesan yaitu komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Dari kenyataan yang ada ternyata sebagian besar (56%) masyarakat di Kabupaten lndramayu belum pernah terpapar dengan informasi penyakit TB Paru.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan ketakterpaparan informasi penyakit TB Paru pada masyarakat di Kabupaten lndramayu tahun 2001, berdasarkan hasil analisis data sekunder Survei Evaluasi Manfaat (SEM) yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) bekerjasama dengan Biro Pusat Statistik (BPS) di Kabupaten Indramayu tahun 2001. Dalam penelitian ini, sebagai variabel dependen adalah ketakterpaparan informasi penyakit TB Paru dan variabel independen adalah umur, jenis kelamin, pendidikkan, pekerjaan, pendapatan dan jarak ke fasilitas kesehatan.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study dengan populasi aktual seluruh responden dalam Survei Evaluasi Manfaat (SEM). Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 3.359, jumlah ini melewati jumlah sampel minimum yang diperoleh dengan perhitungan. Analisis yang digunakan adalah analisis univariat, bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar atau prevalensi ketakterpaparan informasi penyakit TB Paru cukup besar yaitu 56%. Dari 6 variabel independen yang secara statistik bermakna adalah faktor umur (p=0,000, OR-1,52, 95% CI: 1,249 - 1,845), jenis kelamin (p=0,000, OR=1,32, 95% CI: 1,140 - 1,540), pendidikkan (p=0,000, CR=4,28, 95% CI : 3,518 - 5,216), pekerjaan (p=0,000, OR=I,47, 95% CI : 1,284 - 1,718) dan pendapatan (p 0,000, OR=1,37, 95% CI : 1,170 - 1,602). Berdasarkan perhitungan dampak potensial, variabel yang paling dominan adalah pendidikkan yang memberikan kontribusi terbesar dengan ketakterpaparan informasi penyakit TB Paru yaitu 68,4%.
Berdasarkan temuan peneliti, disarankan pertama perlu adanya kebijakan dari Dinas Kesehatan dalam upaya penyebarluasan informasi penyakit TB Pam. Kedua perlunya perhatian dari Dinas Kesehatan Indramayu pentingnya penyebarluasan informasi penyakit TB Pam yang dapat menjangkau seluruh masyarakat terutama kelompok masyarakat lanjut usia, pendidikan rendah, pengangguran dan pendapatan rendah, karena kelompok inilah yang mempunyai resiko besar terhadap penularan penyakit TB Paru. Ketiga bagi puskesmas perlu memanfaatkan jaringan komunikasi yang ada di masyarakat untuk menyebarluaskan informasi penyakit TB Paru. Keempat peningkatan pendidikkan non formal bagi masyarakat melalui kegiatan penyuluhan agar masyarakat meningkat pengetahuannya terhadap penyakit TB Paru.
Daftar bacaan : 41 ( 1971- 2002)

Factors Related to Non-Exposure Status Of Information About Pulmonary Tuberculosis in A Community in Kabupaten Indramayu, Year 2001One important aspect in enhancing knowledge, attitude, and practice in a community, as a part of supporting pulmonary tuberculosis (TB) control program, is information dissemination throughout the community. Therefore, communication is an important component in message transmission. There is a fact that most of people in the community (56%) in Kabupaten Indramayu are not sufficiently exposed with information regarding pulmonary TB disease.
The objective of this study was to know what factors are related to non-exposure of information about pulmonary tuberculosis in the community in Kabupaten Indramayu, by the year of 2001. The study was based on secondary data analysis of Survei Evaluasi Manfaat (SEM), a survey conducted by an institution named Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), in collaboration with Central Bureau of Statistics (Biro Pusat Statistik).
In this research we defined the non-exposure status of information about pulmonary tuberculosis in the community as a dependent variable, while age, gender, education, occupation, income and distance to health facilities were defined as independent variables. The actual population in this cross-sectional study was all respondents surveyed in Survei Evaluasi Manfaat. As many as 3,359 samples were recruited in this study. Our sample size exceeded the minimum required sample size. In this study all steps of analysis, i.e. univariate, bivariate and multivariate analyses were done.
Our findings demonstrated that a prevalence of non-exposure of information about pulmonary TB was quite high (56%). There were 6 significant independent variables influencing the non-exposure status of information, i.e. age (p=0.000, OR=1.52, 95% CI: 1.25 - 1.85), gender (p=0.000, OR=1.32, 95% CI: 1.14 - 1.54), education (p=0.000, OR=4.28, 95% CI: 3.52 - 5.22), occupation (p=4.040, OR=1.47;, 95% CI: 1.28 - 1.72) and income (p=0.000, OR=1.37, 95% CI: 1.17 -- 1.60). Considering the potential impact fraction, the most dominant variable was the education, which provided the highest contribution to the non-exposure status of information regarding pulmonary TB disease (68.4%).
Based on our findings, it is firstly suggested that District Health Office should have a policy to disseminate information regarding pulmonary TB. Secondly, to support information dissemination, means and equipment are essentially needed. Thirdly, to disseminate information about TB, the Puskesmas needs to make use of the existed communication networking in the community. Finally, it is also recommended to improve non-formal education in the community in order to increase their knowledge about pulmonary TB disease.
Reference list: 38 (1971-2002)"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T9901
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wayan Apriani
"Program Pemberantasan TB Paru bertujuan untuk memutuskan rantai penularan penyakit TB Paru. Salah satu upaya dalam pemutusan rantai penularan adalah menemukan dan mengobati penderita BTA (+) sampai sembuh, dengan menggunakan obat yang adekuat dan dilakukan pengawasan selama penderita minum obat.
Kegiatan pemberantasan TB Paru dengan strategi DOTS di Kabupaten Donggala telah dilaksanakan sejak tahun 1995, tetapi penderita baru tetap ditemukan dan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Hal ini dapat disebabkan adanya kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan atau memang dimasyarakat TB Paru masih banyak ditemukan.
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru di Kabupaten Donggala. Jenis disain yang digunakan adalah kasus kontrol dengan menggunakan 2 jenis kontrol. Kasus adalah penderita TB Paru BTA (+), kontrol-1 yang merupakan kontrol yang berasal dari sarana pelayanan kesehatan yaitu adalah tersangka TB Paru dengan hasil pemeriksaan BTA (-) dan tidak diobati dengan obat anti tuberkulosis serta pada saat wawancara tidak sedang menderita batuk 3 minggu atau lebih dan kontrol-2 berasal dari masyarakat yaitu tetangga kasus dengan criteria tidak sedang menderita batuk 3 minggu atau lebih. Jumlah sampel yang diwawancarai sebanyak 270 kasus dan 540 kontrol.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru pada kasus dan kontrol-1 adalah umur, adanya sumber penular, cahaya matahari dalam rumah, kepadatan penghuni rumah, interaksi antara sumber penular dan cahaya matahari dalam rumah, dan sumber penular tidak berobat.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru pada kasus dan kontrol-2 adalah jenis kelamin, status vaksinasi BCG, keeratan kontak, lama kontak, sumber penular tidak berobat dan kepadatan penghuni rumah.
Dari basil penelitian ditemukan bahwa adanya kontak dengan penderita TB yang tidak berobat merupakan faktor risiko yang erat hubungannya dengan kejadian TB, sehingga disarankan untuk meningkatkan penemuan dan pengobatan penderita sedini mungkin hingga penderita sembuh dan dilakukan penyuluhan secara terus menerus untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar segera mencari pengobatan.

The objective of Pulmonary Tuberculosis Control Programme is to reduce TB transmission. In order to reduce the transmission, the first priority is to decrease the risk of infection by case finding, treatment and cure of AFB (+) tuberculosis patients with adequate regimens and proper supervision during the treatment.
TB Control Programme activities with DOTS strategy in Donggala District has been implemented since 1995. Due to the increasing of case finding of new AFB (+) patients, tuberculosis still remain as public health problem. This is caused by the awareness of community to get the treatment or the existence of Pulmonary Tuberculosis in the community.
The research aim is to identify the related factors to Pulmonary Tuberculosis in Donggala District. The case-control method had been used with two different controls. The case is the new AFB (+) tuberculosis patients while the first control is the TB suspect with the result of the examination is negative as facilities based control and the second is the neighbor of cases as community based control. Both controls were not coughing for last 3 weeks at the time of the interview. 270 cases and 540 control had been interviewed as the respondents.
The result of the research reveals that related factors to Pulmonary Tuberculosis with facilities based control are age, source of infection, house lighting, house density, interaction of house lighting and source of infection, and the source of infection who were not treated.
Related factors to the incidence of Pulmonary Tuberculosis with community based control are sex, BCG vaccination status, contact closeness, duration of contact, the source of infection who were not treated and house density.
Based on the result of the study, it is identified that a contact with TB patients who were not treated is the risk factor that closely relates to the Tuberculosis. Therefore, it is recommended to improve the case finding, early treatment and cure the patients. In addition, it is necessary to provide continuous health education in order to improve the awareness of community to seek the treatment.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T622
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Said Mardani
"Kematian TBC di Indonesia merupakan cerminan dinamika kompleks upaya penanggulangan TBC di tingkat regional, termasuk di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau. Pada tahun 2022 kematian penderita TBC di Kabupaten Indragiri Hulu sebesar 7,1% dari total penderita TBC yang dilaporkan dan diobati, menjadikan Indragiri Hulu menempati peringkat kedua kematian TBC terbanyak di Provinsi Riau. Selain itu, kematian penderita TBC di Indragiri Hulu juga menunjukkan tren meningkat dari 0,8% (2020), menjadi 6,3% (2021), dan meningkat lagi menjadi 7,1% (2022). Tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui faktor risiko semua kematian penderita TBC di Kabupaten Indragiri Hulu. Desain penelitian ini adalah kohort restrospektif. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari aplikasi SITB Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2020-2023. Sebagai populasi penelitian adalah seluruh penderita TBC di Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2020-2023 berjumlah 2.073 orang. Sampel berjumlah 1.908 subjek yang dipilih menggunakan teknik total sampling berdasarkan kriteria inklusi dan ekskluasi. Analisis data meliputi analisis univariat menggunakan tabel distribusi frekuensi dan deskriptif probababilitas survival kumulatif, analisis bivariat menggunakan metode Kaplan-Meier dan uji logrank, dan analisis multivariat menggunakan uji cox regression. Hasil penelitian menunjukkan kematian penderita TBC sebesar 6,6% dari total kasus TBC dengan insidens kematian 40 per 100.000 orang-hari dan probabilitas survival kumulatif diakhir pengamatan (hari ke-640) sebesar 31,12%. Model akhir analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor risiko semua kematian penderita TBC di Kabupaten Indragiri Hulu adalah umur ≥50 tahun (HR=4,241, 95%CI: 2,902-6,197), status HIV (HR=8,104, 95%CI: 2,553-25,722), riwayat pengobatan sebelumnya (HR=1,848, 95%CI:1,076-3,174), dan resistensi obat (baseline HR=5,739, 95%CI: 1,482-22,225). Status HIV menjadi faktor risiko kematian penderita TBC yang paling dominan.

TBC deaths in Indonesia are a reflection of the complex dynamics of TB control efforts at the regional level, including in Indragiri Hulu Regency, Riau Province. In 2022, TBC deaths in Indragiri Hulu Regency will be 7,1% of the total TBC cases reported and treated, making Indragiri Hulu the second highest TBC death rate in Riau Province. Apart from that, TBC deaths in Indragiri Hulu also show an increasing trend from 0.8% (2020), to 6.3% (2021), and increasing again to 7.1% (2022). The main objective of this research is to determine the risk factors for all deaths of TB patients in Indragiri Hulu Regency. The design of this study was a retrospective cohort. This research uses secondary data from the Indragiri Hulu Regency SITB application for 2020-2023. The research population is all TBC patients in Indragiri Hulu Regency in 2020-2023 totaling 2,073 people. The sample consisted of 1,908 subjects selected using total sampling techniques based on inclusion and exclusion criteria. Data analysis included univariate analysis using frequency distribution tables and descriptive cumulative survival probabilities, bivariate analysis using the Kaplan-Meier method and logrank test, and multivariate analysis using the cox regression test. The results of the study showed that TBC death was 6.6% of the total TB cases with an incidence of death of 40 per 100,000 person-days and a cumulative survival probability at the end of observation (day 640) of 31.12%. The final model of the multivariate analysis showed that the risk factors for all TBC deaths in Indragiri Hulu Regency were age ≥50 years (HR=4,241, 95%CI: 2,902-6,197), HIV status (HR=8,104, 95%CI: 2,553-25,722), treatment history (HR=1,848, 95%CI:1,076-3,174), and drug resistance (HR=5,739, 95%CI: 1,482-22,225). HIV status is the most dominant risk factor for TBC death.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardjono Samad
"Penyakit Tuberkulosis Paru pada umumnya menyerang penduduk usia produktif. Dari segi ekonomi penyakit ini dapat menimbulkan dampak terhadap produktivitas seseorang dan keluarga, yang pada akhirnya pertumbuhan ekonomi menjadi terganggu.
Dalam rangka mengefektifkan program pemberantasan penyakit tuberkulosis paru, maka sejak tahun 1993 Indonesia telah menetapkan strategi baru dalam pemberantasan penyakit Tb.Paru, yang dikenal dengan stratagi DOTS (Directly Obseved Treatment Short Course).
Hasil analisis data program P2.Tb.Paru di Kota Palu selama kurun waktu tahun 1997-1999, menunjukan bahwa cakupan penggunaan pelayanan kesehatan oleh penderita tersangka Tb.Paru di Kota Palu baru mencapai 28,5% pertahun. Di wilayah Kecamatan Palu Selatan, khususnya di Puskesmas Kawatuna dan Puskesmas Petobo cakupan tersebut Baru mencapai 27,4% dari perkiraan jumlah penderita tersangka Tb.Paru yang ada di wilayah tersebut. Rendahnya cakupan penggunaan pelayanan Kesehatan diperkirakan berhubungan dengan faktor pengetahuan, dan faktor-faktor lainnya seperti: pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, persepsi bahaya, biaya pengobatan, penerimaan informasi tentang Tb.Paru dan dorongan keluarga.
Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kecamatan Palu Selatan Kota Palu, tepatnya di Puskesmas Kawatuna dan Puskesmas Petobo pada Tahun 2001. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kasus-kontrol tidak berpadanan. Sebagai populasi adalah semua penderita tersangka Tb.Paru yang berusia >15 tahun dan berdomisili di wilayah penelitian tahun 2001. Sedangkan sampel adalah semua penderita tersangka Tb.Paru yang mempunyai gejala batuk berdahak > 3 minggu, ditemukan pada saat dilakukan skrining. Kasus adalah penderita tersangka Tb.Paru yang tidak menggunakan pelayanan kesehatan dan kontrol adalah penderita tersangka Tb.Paru yang menggunakan pelayanan kesehatan. Besarnya sampel dalam penelitian ini adalah 306, yang terdiri dari 80 sampel pada kasus , dan 226 sampel kontrol.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola penggunaan pelayanan kesehatan, menilai kekuatan hubungan antara faktor pengetahuan setelah dikontrol dengan variabel pendidikan, pekerjaan, persepsi bahaya, biaya pengobatan, dorongan keluarga dan faktor penerimaan informasi tentang Tb.Paru dengan penggunaan pelayanan kesehatan bagi penderita tersangka Tb.Paru.
Hasil penelitian menunjukan, berdasarkan analisa bivariat terdapat 4 (empat) variabel yang secara statistik mempunyai hubungan yang signifikan dengan penggunaan pelayanan kesehatan, yaitu pengetahuan, pendidikan, persepsi bahaya dan penerimaan informasi Tb.Paru. Hasil analisa multivariat menunjukan, bahwa dua variabel yang dinilai mempunyai kekuatan hubungan, yaitu variabel pengetahuan, dan penerimaan informasi tentang Tb.Paru. Variabel pengetahuan dalam penelitian ini dinilai mempunyai kekuatan hubungan yang lebih besar OR = 13,811 ; 95% Cl = 7,318 - 26,067 dibanding dengan variabel penerimaan informasi tentang Tb.Paru dengan OR = 2,417 ; 95% CI=1,305 - 4,476. Artinya penderita tersangka Tb.Paru yang mempunyai pengetahuan rendah tentang penyakit Tb.Paru mempunyai risiko sebesar 13,8 kali untuk tidak menggunakan pelayanan kesehatan dibanding dengan yang mempunyai pengetahuan tinggi.
Upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan cakupan penggunaan pelayanan kesehatan oleh penderita tersangka Tb.Paru di Kecamatan.Palu Selatan, adalah upaya peningkatan promosi kesehatan/penyuluhan tentang penyakit Tb.Paru secara berkesinambungan kepada masyarakat, yang klaim pelaksanaanya perlu didukung unsur advocacy, social support dan empowerment.

The Factors that Related to the Use of the Health Service for Suspected Lung Tuberculosis in South Palu Sub-district, Palu City, 2001Lung Tuberculosis Disease usually attacks people at the reproductive age economically, this disease can emerge the impact to productivity of them as well as their family and furthermore to national economic growth.
In order to make effective the program on lung tuberculosis eradication, since 1993 Indonesia has decided the new strategy in combating this disease namely DOTS (Directly Observed Treatment Short Course).
According to the data analysis on lung tuberculosis in Palu City within 1997 to 1999, it showed that the coverage of the use of health care by suspected lung tuberculosis was only 285% per year. In South Palu Sub-district, especially at Kawatuna and Petobo Community Health Centers, the coverage was only 27A% from the estimation figures to all suspected lung tuberculosis in these areas. The low of its coverage was related to the factors such as knowledge, education, occupation, sex, perception of dangerous, cost of medication, information on lung tuberculosis, and motivation of their families.
The research was conducted in the area of South Palu Sub-district, Palu City, at Kawatuna and Petobo Community Health Centers at the year of 2001. The design used in this research was un-matching case-control. The population was all suspected lung tuberculosis who more 15 years of age and selected in the research area in 2001. While the samples were all suspected lung tuberculosis who's indicated cough sputum symptom more than 3 weeks, at the time of screening. The cases were suspected lung tuberculosis that did not used the health care, while the control were those who used the health care. The samples were 306 consist of 80 cases and 226 controls.
The objective of the research was to know the pattern of the use of the health care, to grade the power relationship between the knowledge after controlled by the factors such as education, occupation, perception of dangerous, cost of medication, motivation of family, and the information received by them on lung tuberculosis and the use of the health care for suspected lung tuberculosis.
The result of the research showed that based on bivariates analysis there were four variables which statistically have significant relationship to the use of the health care. Those variables were knowledge, education, perception of dangerous, as well as information received on lung tuberculosis. According to multivariate analysis showed that two variables, which graded have power relationship, those were variable knowledge, and information received on lung tuberculosis. Knowledge variable in this study graded has greater power relationship (OR = 13,811; 95% CI = 7,318-26,067) than information received on lung tuberculosis (OR = 2,417; 95% CI = 1,305-4,476). It means that those who had lower knowledge on lung tuberculosis had risk 13,8 times for not use the health care compared to who with higher knowledge.
Considering the result of the research it was suggested to increase the coverage of the use of the health promotion as well as giving information about lung tuberculosis continuously to the community supported by advocacy, social support and community empowerment.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T7735
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>