Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172479 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Azkia Nur Zahrah
"Anak di bawah 5 tahun (balita) merupakan populasi dengan risiko anemia tertinggi dibandingkan dengan populasi kelompok usia lainnya (WHO, 2023). Prevalensi anemia pada populasi balita di Indonesia cenderung terus mengalami peningkatan dari 27,7% pada tahun 2007, kemudian meningkat sedikit menjadi 28,1% pada tahun 2013 dan meningkat tajam menjadi 38,5% pada tahun 2018 (Kemenkes RI, 2018). Pada kelompok usia balita, anak usia 6 – 23 bulan menjadi kelompok usia dengan risiko tertinggi untuk mengalami anemia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada anak usia 6-23 bulan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional dengan data sekunder dari Riskesdas 2018. Sampel penelitian merupakan anak usia 6-23 bulan di Indonesia dengan total sampel sejumlah 331 anak. Hasil penelitian menemukan besar prevalensi anemia pada anak usia 6-23 bulan di Indonesia sebesar 58,9%. Berdasarkan hasil analisis bivariat, terdapat hubungan positif yang signifikan antara jenis kelamin (PR = 1,339; 95% CI  1,033-1,635) dan hubungan negatif yang signifikan (protektif) antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian anemia pada anak usia 6-23 bulan di Indonesia (PR = 0,613 95% CI 0,537-1,290). Penggalakan program pemeriksaan Hb anemia pada anak usia 6-23 bulan, pemberian PMT yang kaya zat besi kepada anak usia 6-23 bulan dengan anemia, serta edukasi mengenai anemia pada anak melalui posyandu maupun puskesmas setempat diperlukan untuk mencegah dan mengendalian anemia pada anak.

Toddlers are the population with the highest risk of anemia compared to other age group populations (WHO, 2023). The prevalence of anemia in the under-five population in Indonesia tends to continue to increase from 27.7% in 2007, then increased slightly to 28.1% in 2013 and increased sharply to 38.5% in 2018 (Ministry of Health RI, 2018). In the toddler age group, children aged 6-23 months are the age group with the highest risk for anemia. This study aims to determine the factors associated with the incidence of anemia in children aged 6-23 months in Indonesia. This study used a cross-sectional study design with secondary data from the 2018 Riskesdas. The research sample was children aged 6-23 months in Indonesia with a total sample of 331 children. The results of the study found that the prevalence of anemia in children aged 6-23 months in Indonesia was 58.9%. Based on the results of bivariate analysis, there was a significant positive relationship between gender (PR = 1.339; 95% CI 1.033-1.635) and a significant negative (protective) relationship between exclusive breastfeeding and the incidence of anemia in children aged 6-23 months in Indonesia ( PR = 0.613 95% CI 0.537-1.290). Promoting programs for checking Hb anemia in children aged 6-23 months, giving PMT which is rich in iron to children aged 6-23 months with anemia, as well as education about anemia in children through posyandu and local health centers is needed to prevent and treat anemia in children."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Candra Wijaya
"Anemia pada anak umur di bawah dua tahun (baduta) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besar sampai saat ini baik di tingkat global, nasional maupun lokal. Prevalensi anemia baduta di tiga kecamatan wilayah Kabupaten Aceh Besar tahun 2011 mencapai 46,64%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asupan zat gizi dengan kejadian anemia. Desain penelitian adalah potong lintang, menggunakan data sekunder hasil survey anemia defisiensi zat besi yang dilakukan oleh Poltekkes Kemenkes Aceh, dengan jumlah sampel sebanyak 253 anak usia 6-23 bulan. Prevalence Ratio dihitung dengan 95% Confident Interval menggunakan analisis regresi logistik.
Hasil: risiko kejadian anemia adalah 1,22 kali (95% CI 0,59-2,09); 1,17 kali (95% CI 0,66-1,75); 1,56 kali (95% CI 1,07-2,28) dan 1,51 kali (95% CI 1,09-2,08) pada asupan zat zat besi, asam folat, vitamin C dan vitamin A yang kurang dibandingkan dengan yang cukup. Asupan protein yang kurang tidak menjadi risiko dalam kejadian anemia. Riwayat diare, ISPA dan status ASI muncul sebagai variabel perancu dan/atau interaksi.

Anemia among children under two is still a serious public health concern at global, national and local level. Anemia prevalence among children under two in 3 subdistricts in Aceh Besar District in 2011 was 46,64%. The study aims to reveal the relationship between nutrient intake with anemia. Study design is cross section, using secondary data from anemia iron deficiency survey conducted by Poltekkes Kemenkes Aceh, with total sample of 253 children 6-23 months.Prevalence Ratio was calculated with 95% Confident Interval using logistic regression.
Result: Anemia risk is 1,22 (95% CI 0.59-2.09); 1,17 (95% CI 0.66-1.75); 1,56 (95% CI 1,07-2.28) and 1,51 (95% CI 1.09-2.08) times higher in deficiency of iron, folic acid, vitamin C and vitamin A intake in comparison with the adequate ones. There is no risk of anemia from lack of protein intake. Diarrhea and ARI histories and breastfeeding status act as either confounders or effect modifier.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T31202
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rayhana
"Prevalensi anemia anak di Indonesia, berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, sebanyak 28,1%. Angka ini meningkat dari sebelumnya di tahun 2007 hanya sebesar 27,7%. Lalu meningkat lagi di tahun 2018 pada riskesdas menunjukan angka 38,5%. Hasil penelitian Zuffo et al., 2016); Prieto-Patron et al., 2018; Li et al., 2019; Woldie, Kebede and Tariku, 2015; Konstantyner, Roma Oliveira and De Aguiar Carrazedo Taddei, 2012 menunjukan bahwa kelompok yang lebih berisiko menderita anemia adalah usia 0-23 bulan. Penelitian di Bali tahun 2019 juga menunjukan hasil yang sama bahwa sebanyak 71% anak berusia dibawah dua tahun menderita anemia, sedangkan hanaya 9% anak usia diatas dua tahun yang menderita anemia. Untuk itu penelitian ini perlu dilakukan agar dapat diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia baduta di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui prevalensi kejadian anemia baduta di Indonesia dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia baduta di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Riskesdas tahun 2018. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional dengan jumlah responden sebanyak 832 anak. Penelitian ini juga melakukan uji multivariat yaitu regresi logistic, untuk mengetahui faktor dominan kejadian anemia pada baduta di Indonesia. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa prevalensi anemia baduta mencapai 54,9%. Pada penelitian ini usia baduta 0-11 bulan [OR 1,770 (1,33-2,34)], status gizi wasting [OR 1,626 (1,03-2,55)], status gizi underweight [OR 1,556 (1,05-2,33)], pendidikan ibu rendah [OR 2,512 (1,39-4,54)], pendidikan ibu menengah [OR 1,893(1,07-3,32)], dan wilayah rumah tinggal perdesaan [OR 1,386 (1,05-1,82)] ditemukan beruhubungan signifikan dengan kejadian anemia baduta. Variabel paling dominan yang ditemukan adalah usia baduta. Oleh karena itu, disarankan bagi dinas kesehatan di Indonesia untuk menanggulangi anemia diharapkan posyandu dan puskesmas dapat sedini mungkin mendeteksi anemia pada anak, yakni pada rentang usia 3-5 bulan, atau setidaknya sesuai dengan rekomendasi skrining pertama anemia yakni, pada usia maksimal 9-12 bulan. Juga, diharapkan dapat menyediakan suplementasi yang cukup dan memadai baik untuk baduta maupun ibu hamil.

The prevalence of anemia in children in Indonesia, based on data from Indonesia Based Health Research in 2013, was 28.1%. This figure increased from the previous year in 2007 which was only 27.7%. Then it increased again in 2018 showing the figure of 38.5%. Research results Zuffo et al., 2016); Prieto-Patron et al., 2018; Li et al., 2019; Woldie, Kebede and Tariku, 2015; Konstantyner, Roma Oliveira and De Aguiar Carrazedo Taddei, 2012 showed that the group at higher risk for anemia was aged 0-23 months. Research in Bali in 2019 also showed the same results that as many as 71% of children under two years of age suffer from anemia, while only 9% of children aged over two years suffer from anemia. For this reason, this research needs to be carried out in order to know the factors associated with the incidence of anemia in under-two in Indonesia. The purpose of this study was to determine the prevalence of anemia in under-two in Indonesia and the factors associated with the incidence of anemia in under-two in Indonesia. This study uses secondary data from Indonesia Based Health Research 2018. The research design used is cross-sectional with a total of 832 children as respondents. This study also conducted a multivariate test, namely logistic regression, to determine the dominant factor in the incidence of anemia in children under two in Indonesia. Based on the results of the analysis, it is known that the prevalence of anemia in under-two reaches 54.9%. In this study, children aged 0-11 months [OR 1.770 (1.33-2.34)], nutritional status wasting [OR 1.626 (1.03-2.55)], nutritional status underweight [OR 1.556 (1.05 -2.33)], low maternal education [OR 2.512 (1.39-4.54)], secondary maternal education [OR 1.893(1.07-3.32)], and rural area of ​​residence [OR 1.386 (1.05-1.82)] was found to be significantly associated with the incidence of anemia in under-two. The most dominant variable found was the children age. Therefore, it is recommended for health offices in Indonesia to overcome anemia, it is hoped that posyandu and puskesmas can detect anemia in children as early as possible, namely in the age range of 3-5 months, or at least according to the recommendation for the first screening for anemia, namely, at a maximum age of 9-12 month. Also, it is expected to provide adequate and adequate supplementation for both children and pregnant women."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Feby Ayu Mutia Rachmawati
"Anemia merupakan kondisi kadar hemoglobin pada darah lebih rendah dari nilai normal. Anemia lebih banyak terjadi pada balita yang dapat memberikan dampak terhadap fungsi kognitif anak. Berdasarkan data Riskesdas prevalensi anemia balita mengalami peningkatan. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui perbedaan proporsi dan faktor dominan dari variabel independen dengan anemia balita usia 6-36 bulan di Indonesia. Data yang digunakan yaitu data Riskesdas tahun 2018 yang berjumlah 1251 balita dengan desain studi cross-sectional dan dilakukan analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Diperoleh bahwa terdapat 48,3% balita usia 6-36 bulan di Indonesia mengalami anemia. Sedangkan untuk variabel signifikan terhadap kejadian anemia balita yaitu pada faktor individu anak, diantaranya usia balita [OR 2,13 (1,70-2,68)], status gizi BB/U [OR 1,64 (1,22-2,19)], status gizi TB/U [OR 1,29 (1,02-1,63)], dan status gizi BB/TB [OR 1,49 (1,04-2,11)]. Sedangkan, pada faktor maternal yaitu pada pendidikan ibu [OR 1,32 (0,79-2,22); OR 1,66 (1,01-2,74)], anemia ibu [OR 1,72 (1,31-2,26)], dan paritas [OR 1,60 (1,24-,07)]. Untuk variabel yang paling berisiko terhadap kejadian anemia balita terdapat pada faktor usia balita usia 6-23 bulan.

Anemia is a condition where the hemoglobin level in the blood is lower than normal. Anemia is more common in toddlers which can have an impact on children's cognitive function. Based on Riskesdas data, the prevalence of anemia in children under five has increased. The purpose of this study was to determine differences in the proportions and dominant factors of the independent variables with anemia in children aged 6-36 months in Indonesia. The data used is the 2018 Riskesdas data, which totaled 1251 toddlers with a cross-sectional study design and univariate, bivariate and multivariate analysis was carried out. It was found that there were 48.3% of toddlers aged 6-36 months in Indonesia experiencing anemia. For significant variables, including toddler age [OR 2.13 (1.70-2.68)], underweight nutritional status [OR 1.64 (1.22-2.19)], stunted nutritional status [OR 1.29 (1.02-1.63)], wasted nutritional status [OR 1.49 (1.04-2.11)], mother's education [OR 1.32 (0.79-2.22); OR 1.66 (1.01-2.74)], maternal anemia [OR 1.72 (1.31-2.26)], and parity [OR 1.60 (1.24-2.07)]. The variable most at risk for the incidence of anemia in children under five is the age factor of children aged 6-23 months."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Unversitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yedida Ayuningtyas
"Stunting merupakan masalah pertumbuhan dan perkembangan pada anak yang disebabkan oleh kekurangan gizi, infeksi berulang, dan kurangnya rangsangan psikososial. Stunting memiliki konsekuensi negatif baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, termasuk peningkatan kejadian penyakit, gangguan perkembangan dan keterampilan belajar yang buruk, peningkatan risiko terkena penyakit tidak menular, penurunan kemampuan kerja, serta dampak antargenerasi. Kejadian stunting dikaitkan dengan berbagai faktor, di antaranya asupan tidak adekuat, penyakit infeksi, kerawanan pangan, pola asuh yang kurang tepat, serta kesehatan lingkungan dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai. Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 melaporkan bahwa Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan provinsi kelima dengan prevalensi stunting tertinggi di Indonesia dan termasuk dalam masalah kesehatan masyarakat kategori sangat tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting serta faktor dominan kejadian stunting pada anak usia 6—23 bulan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional menggunakan data sekunder SSGI tahun 2021. Terdapat 600 subyek baduta yang dilibatkan dalam penelitian ini. Data dianalisis menggunakan uji kai kuadrat pada analisis bivariat dan uji regresi logistik ganda pada analisis multivariat. Hasil penelitian menunjukkan terdapat empat variabel yang secara signifikan berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 6—23 bulan, yaitu usia anak, jenis kelamin, partisipasi ibu dalam kelas ibu hamil, dan berat badan lahir. Anak dengan riwayat berat badan lahir rendah diketahui sebagai faktor dominan kejadian stunting pada anak usia 6—23 bulan dengan p-value 0,001 dan OR 3,560 (CI 95%: 1,777-7,132). Saran yang dapat diberikan berdasarkan penelitian untuk masyarakat melakukan pencegahan dini kejadian stunting dengan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan, memerhatikan kecukupan gizi sejak dini, menerapkan pola asuh yang sesuai, dan menggunakan akses sanitasi yang layak. Selain itu, instansi kesehatan diharapkan dapat mengoptimalkan dukungan kepada masyarakat melalui Komuikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) Gizi yang berkaitan dengan stunting. Program-program pencegahan stunting yang sudah ada perlu dioptimalkan oleh instansi kesehatan guna memberikan manfaat yang maksimal dalam mencegah stunting di masyarakat.

Stunting is a growth and development problem in children caused by malnutrition, reccurent infections, and lack of psychosocial stimulation. Stunting has negative consequences in both the short and long term, including increased incidence of disease, impaired development and poor learning skills, increased risk of non-communicable diseases, decreased ability to work, and intergenerational impacts. The incidence of stunting is associated with various factors, including inadequate intake, infectious diseases, food insecurity, inadequate caregiving practices, and inadequate environmental health and health services. According to the 2021 Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) report, it is known that Southeast Sulawesi Province is the fifth province with the highest prevalence of stunting in Indonesia and is classified under the category of very high public health problem. This study aims to analyze the factors associated with stunting incidence and identify the dominant factors among children aged 6-23 months in Southeast Sulawesi Province. This research was conducted using a cross-sectional design using secondary data from the 2021 SSGI. A total of 600 children aged 6-23 months subjects were involved in this study. Data were analyzed using chi-square test in bivariate analysis and multiple logistic regression in multivariate analysis. The results of the study show that there are four variables significantly associated with the occurrence of stunting in children aged 6-23 months, namely child age, gender, maternal participation in maternity classes, and low birth weight. Children with a history of low birth weight were identified as the dominant factor in the occurrence of stunting in children aged 6-23 months, with a p-value of 0,001 and an odds ratio (OR) of 3,560 (95% CI: 1,777-7,132). Based on the research, suggestions for the community to prevent stunting include utilizing healthcare facilities for early prevention, paying attention to early nutritional adequacy, implementing appropriate parenting practices, and using proper sanitation facilities. In addition, healthcare institutions are expected to optimize support to the community through Nutrition Communication, Information, and Education (KIE Gizi) related to stunting. Existing stunting prevention programs need to be optimized by healthcare institutions to provide maximum benefits in preventing stunting in the community."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Unversitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Era Hotmauli
"Prevalensi kejadian anemia defisiensi besi pada anak balita di Indonesia masih tinggi yaitu 47,2% (Depkes, 2000). Sedangkan data terakhir prevalensi anemia defisiensi besi pada balita meningkat dari 40% (Dep.Kes, 1995) menjadi 48.1%(Depkes, 2001). Penelitian ini selain untuk mengetahui prevalensi anemia khususnya di Posyandu wilayah Pisangan Baru Matraman Jakarta Timur juga untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan perubahan/peningkatan kadar Hb anak balita anemia usia 6-59 bulan sesudah suplementasi besi selama 12 minggu.
Rancangan penelitian ini dengan disain cross sectional studi analitik menggunakan data sekunder, hasil kuesioner/wawancara, dan observasi Iingkungan. Populasi penelitian adalah anak balita yang ada di 5 Posyandu Pisangan baru Matraman Jakarta Timur. Sampel penelitian adalah anak balita anemia yang telah diperiksa kadar Hb awal sebelum suplementasi besi diberikan dan kadar Hb akhir setelah suplementasi besi selama 12 minggu. Jumlah sampel 85 balita. Sampel terbagi dua yaitu 67% (57 balita) balita dengan kadar Hb mengalami perubahan atau kenaikan dan 33% (28 balita) balita yang tidak mengalami kenaikan kadar Hb. Pengolahan dan analisis data menggunakan program komputer SPSS versi 13.0.
Faktor yang berhubungan bermakna dengan kenaikan kadar Hb anak balita pada 'analisis multivariat adalah faktor status imunisasi (POR = 3.33, 95% CI 1 1.15-9.66), faktor penghasilan keluarga (POR = 3.04, 95% CI : l-12-8.23) dan faktor riwayat infeksi pada balita (POR = 2.76, 95% CI : 1.00-7.61). Hasil penelitian menunjukkan faktor yang paling dominan berhubungan bermakna dengan kenaikan kadar Hb balita di Posyandu Pisangan Baru yaitu status imunisasi balita (POR = 3.33, 95% CI : 1.15-9.66), artinya balita yang status imunisasinya lengkap mempunyai peluang 3.33 kali utuk kadar Hb-nya mengalami kenaikan daripada balita yang status imunisasinya tidak lengkap. Sedangkan faktor yang tidak berhubungan dengan kenaikan kadar Hb berdasarkan karakteristik anak adalah umur, jenis kelamin, dau status gizi. Berdasarkan karakteristik keluarga, faktor yang tidak berhubungan dengan kenaikan kadar Hb adalah pendidikan ibu dan jumlah anak balita dalam keluarga.
Berdasarkan hasil penelitian ini upaya yang perlu dilakukan: Bagi Dinkes DKI Jakarta pentingnya kebijakan Program screening rutin dengan melakukan pemeriksaan kadar Hb awal untuk mengetahui prevalensi anemia sesungguhnya sebelum dilakukan intervensi dini suplementasi besi dan pemeriksaan kadar Hb akhir untuk evaluasi keberhasilan intervensi di Jakarta Timur, dan umumnya di DKI Jakarta. Penting untuk perluasan program cakupan imunisasi pada balita, agar kadar Hb anak balita anemia yang diberikan intervensi mengalami kenaikan. Bagi Pemerintah dalam hal ini Negara berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan sektor terkait lainnya untuk pertimbangan kebijakan Program Ketahanan pangan gizi seperti program penyediaan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) atau bahan-bahan nutrisi makanan yang diprioritaskan pada keluarga berpenghasilan rendah sehingga kadar Hb balita anemia mengalami kenaikan, mencegah terjadinya anemia berulang, dan mencegah terjadinya infeksi.

Prevalence of iron deticiencies anemia among children under five years are still high. It is amount 47,2% (Health Department, 2000). While the last data from prevalence of iron deficiencies anemia among children under five years old improved irom amount 40% (Health Department, 1995) became 48,1% (Health Department, 2001). This study aim to know anaemia prevalence especially at Posyandu of Pisangan Baru Matrarnan, East Jakarta and also for checking factors related to improved Hb rate among children under live years old with anemia aged 6-59 months after iron supplementation during12 weeks.
This study used a cross sectional design by study analytic using secondary data, qustioer or interview result, and improvement observation. Study population are children under Eve years old in 5 Posyandu of Pisangan Baru Matraman, East Jakarta. Study samples are children under tive years old with anemia which have been checked by early I-Ib rate before iron supplementation are given ad the last Hb rate alter iron supplementation during 12 weeks; Samples are 85 children under five years old. These samples divided two that are 67% (57 children under five years old) with Hb rate chaged or improved and 33% (28 children under five years old) do not improve Hb rate. Processing and data analysis used computer by SPSS program.
Main factors related to improved Hb rate among children under live years old by multivariate analysis are immunization status factor (POR = 3.33, 95% CI :1.15 - 9.66), family income factor (POR = 3.04, 95% CI : 1.12 - 8.23) and infection history factor among children under tive years old at Posyandu Pisangan baru that are immunization status of five years old (POR = 3.33, 95% CI : 1.15 - 9.66), mean children under five years old which this immunization status is complete and- it has and oppurtinity 3.33 times for its I-Ib rate improved compare than children under five years old which don?t related to improve I-Ib rate based on child characteristic are sex and nutrition status. Based on family characteristic, factors which don?t related to improved Hb rate are mother education and amount of children under tive years old in families.
Based on this study result, it is important gived early intervention to suggested to conduct health education for public or mother which have children under live years old especially for East Jakarta and generally for DKI Jakarta to carry of children under live years old to Posyandu, Primary health center, Hospital and also related health institution to get primary immunization service until completes based on govemment program for public health service of DKI Jakarta and related sector by follow-up fiom running program for overcoming poorness by giving more food and ASI, Program and giving health service for public who have askeskin.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Angelita Gladys Novia
"Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik balita dan faktor maternal yang berkaitan dengan kejadian anemia pada anak 12-59 bulan di Indonesia tahun 2018. Desain penelitian menggunakan metode cross-sectional dengan memanfaatkan data sekunder Riskesdas 2018. Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juli 2021. Populasi penelitian ini adalah anak usia 12-59 bulan di Indonesia. Total sampel yang didapatkan adalah 1662 sampel, tetapi yang termasuk ke dalam kriteria penelitian sebanyak 1592 sampel. Variabel yang diteliti meliputi jenis kelamin, usia balita, riwayat lahir, berat badan lahir, status gizi balita (BB/U, TB/U, dan BB/TB), riwayat penyakit malaria, ASI eksklusif, durasi pemberian ASI, MP-ASI dini, pendidikan ibu, usia ibu, konsumsi TTD ibu selama kehamilan, dan paritas ibu. Analisis bivariat dari penelitian ini menggunakan uji chi-square. Penelitian ini memperoleh hasil bahwa prevalensi kejadian anemia pada anak 12-59 bulan di Indonesia sebesar 37,8%. Uji statistik yang dilakukan menunjukkan adanya hubungan antara usia balita dibawah 2 tahun (p<0,001), status gizi berdasarkan BB/U (p=0,007) dan TB/U (p<0,001), ASI eksklusif (p<0,001), durasi pemberian ASI (p<0,001), MP-ASI dini (p<0,001), dan pendidikan ibu (p=0,012) dengan kejadian anaemia pada anak 12-59 bulan di Indonesia. Disarankan melakukan kerjasama lintas sektor untuk membuat dan melaksanakan program pencegahan dan penanggulangan anemia yang berfokus pada populasi balita.

This study aims to determine the characteristics of toddlers and maternal factors related to the incidence of anemia in children 12-59 months in Indonesia in 2018. A cross-sectional study was conducted by utilizing secondary data from basic health research 2018 in May-July 2021. The population of this study was children aged 12-59 months in Indonesia. The total sample obtained was 1662 samples, but only 1592 samples were included in the analysis. The variables studied are gender, age, birth history, birth weight, nutritional status, history of malaria, exclusive breastfeeding, duration of breastfeeding, early complementary feeding, maternal education, maternal age, iron tablets consumption during pregnancy, and parity. The bivariate analysis was conducted using the chi-square test. This study found that the prevalence of anemia in children 12-59 months in Indonesia was 37.8%. Statistical tests conducted showed a relationship between children under 2 years old (p<0.001), nutritional status WAZ (p=0.007) and HAZ (p<0.001), exclusive breastfeeding (p<0.001), duration of breastfeeding (p<0.001), early complementary feeding (p<0.001), and maternal education (p=0.012) with the incidence of anemia in children 12-59 months in Indonesia. It is recommended to conduct cross-sectoral collaboration to create and implement anemia prevention and control programs that focus on toddlers."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfa Putri Azizah
"Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan anemia nutrisional yang menjadi penyebab anemia tersering. Anemia defisiensi besi memiliki dampak terhadap pertumbuhan, perkembangan kognitif, gangguan perilaku, serta gangguan sistem imun pada anak. Kota Tangerang Selatan merupakan wilayah perkotaan  dengan prevalens anemia pada remaja putri cukup tinggi yaitu 35,32%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalens ADB pada anak usia 24-59 bulan di PAUD wilayah perkotaan, mengetahui profil anak dengan ADB, dan mengetahui rerata Hb dan Ret-He pada populasi tersebut. Penelitian potong lintang ini menggunakan metode pengambilan sampel cluster random sampling. ADB ditegakkan apabila kadar Hb <11 g/dl disertai Ret-He ≤27,65 pg, dan defisiensi besi apabila Ret-He ≤27,65 pg tanpa anemia. Hasil penelitian, jumlah subjek adalah 91 anak, terdiri dari 44 lelaki (48%) dan 47 perempuan (52%), median usia 45 bulan (24-59). Prevalens ADB adalah 13,2% (12 dari 91) didominasi usia 48-59 bulan, jenis kelamin perempuan, status gizi baik, penghasilan orangtua cukup, pendidikan orangtua sedang, lahir cukup bulan, mendapat ASI eksklusif, tidak mendapat suplementasi zat besi, mendapat obat cacing dalam 6 bulan terakhir, dan sedang dalam kondisi infeksi akut. Rerata Hb anak usia 24-59 bulan adalah 11,84 ± 1,03 g/dl, median Ret-He untuk anak usia 24-59 bulan adalah 28,9 (18,2-32,8) pg. Rerata Hb pada anak yang mengalami ADB adalah 10,13 ± 0,38 g/dl, median Ret-He pada anak yang mengalami ADB adalah 23,30 (18,2-27,6) pg. Sebagai kesimpulan, prevalens ADB pada anak usia 24-59 bulan di PAUD wilayah perkotaan masih cukup tinggi. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui etiologi dan faktor risiko terjadinya ADB pada anak.

Iron deficiency anemia (IDA) is  nutritional anemia and the most prevalent cause of anemia. It has longterm impact on growth, cognitive development, behavioral disorders, and immune disorders in children. Tangerang Selatan is an urban area with high prevalence of anemia in female adolescence, about 35.32%. The aims of this study is to know the prevalence of IDA in children aged 24-59 months in preschools in urban areas, to know the profile of children with IDA, and to know the mean Hb and Ret-He in this population. This is a cross-sectional study with cluster random sampling methods. IDA is defined if Hb value <11 g/dl with Ret-He ≤27.65 pg, iron deficiency if Ret-He ≤27.65 pg without anemia. Results of this study, the total subjects was 91 children, consist of 44 male (48%) and 47 female (52%), the median age was 45 months (24-59). The prevalence of IDA was 13.2% (12 of 91), dominated by age 48-59 months, female gender, normal nutritional status, good parental income, moderate parental education, full term birth, exclusively breastfeeding, not receiving iron supplements, received deworming within last 6 months, and in state of acute infection. The mean Hb for children aged 24-59 months was 11.84 ± 1,03 g/dl, the median Ret-He was 28.9 (18,2-32,8) pg. The mean Hb in children with IDA was 10.13 ± 0,38 g/dl, the median Ret-He was 23.30 (18,2-27,6) pg. Conclusions, the prevalence of IDA in children aged 24-59 months in preschool in urban area is quite high. Further research is needed to determine the etiology and risk factors of IDA in children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Satyawira Aryawan Deng
"Anemia di Indonesia masih menjadi masalah gizi utama di berbagai kalangan usia termasuk balita sebagai salah satu kelompok paling rentan. Balita anemia dapat terjadi akibat berbagai faktor dan perlu diintervensi sedini mungkin untuk mencegah akibat lain yang memengaruhi kesehatan dan pertumbuhan nya di kemudian hari. Anemia pada balita Provinsi DKI Jakarta menunjukkan prevalensi tertinggi dibandingkan tingkat wilayah provinsi lainnya di pulau Jawa. Penelitian cross-sectional ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko terjadinya anemia pada balita usia 12-59 bulan berdasarkan faktor individual, faktor orang tua, dan faktor makanan. Data diperoleh dari IFLS 5 Tahun 2014/2015 yang dilakukan oleh RAND Corporation sebanyak 172 balita usia 12-59 bulan di Provinsi DKI Jakarta. Penelitian dilakukan melalui analisis kuantitatif secara univariat, bivariat, dan multivariat. Hasil penelitian diperoleh prevalensi kejadian anemia pada balita usia 12-59 bulan di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 53,5% dan faktor risiko dominan terjadinya anemia adalah usia dengan p-value = <0,025 (OR=2,396 (1,165-4,926)) setelah dikontrol oleh variabel status gizi menurut PB/U atau TB/U. Usia 12-23 bulan adalah usia penting yang harus menjadi perhatian orang tua untuk memenuhi kebutuhan asupan gizi seimbang serta kesehatannya untuk mencegah risiko terjadinya anemia. Dinas kesehatan Provinsi DKI Jakarta, instansi kesehatan, dan petugas kesehatan yang terlibat dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta setempat perlu memberi perhatian pada upaya pencegahan anemia pada balita.

Anemia in Indonesia is still a major nutritional problem for various ages, including children under five as one of the most vulnerable groups. Under-five anemia can occur due to various factor, and it is necessary to prevent as early as possible to avoid other consequences that affect children’s health and growth in the future. Anemia in children aged 12-59 months DKI Jakarta Province shows the highest prevalence compared to other provincial areas on the island of Java. This cross-sectional study aims to determine the risk factors for anemia in children aged 12-59 months based on individual factors, parental factors, and dietary factors. Data obtained from IFLS 5 Year 2014/2015 conducted by RAND Corporation as many as 376 toddlers aged 12-59 months in DKI Jakarta Province. The research was conducted through univariate, bivariate and multivariate quantitative analysis. The results showed that the prevalence of anemia in children aged 12-59 months in DKI Jakarta Province was 53.5% and  the dominant risk factor for anemia was age p-value=<0,025 (OR=2,396 (1,165-4,926)) after being controlled by variables of nutritional status according to HAZ. The age of 12-23 months is an important age to be a concern for parents to meet their balanced nutritional and health needs to prevent the risk of anemia. DKI Jakarta Provincial Health Office, health agencies, and health workers involved from DKI Jakarta Provincial Government need to pay attention to prevent anemia in children under five."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diqi Chaerulsidqy
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2011
S26806
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>