Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 183100 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Novia Octaviani
"Masalah pernikahan dini saat ini masih ditemukan di beberapa wilayah Jawa Barat baik daerah pedesaan maupun perkotaan. Tulisan ini menekankan bahwa adanya ketidaksetaraan gender dalam memandang praktik pernikahan dini dan mempengaruhi kehidupan dan kesempatan hak perempuan di masyarakat. Penelitian berdasarkan data kepustakaan dengan menggunakan konsep antropologi yang relevan. Dilema situasi yang berkaitan dengan maraknya pernikahan dini di Jawa Barat karena melanggengkan budaya dan sisi lain secara normatif bertentangan dengan undang-undang perlindungan anak. Tulisan ini menyebutkan aspek yang mempengaruhi praktik pernikahan usia dini di Jawa Barat adalah (1) agama, (2) ekonomi, (3) tradisi setempat, (4) pola asuh orang tua, (5) pergaulan remaja, (6) kebijakan pemerintah & media massa. Berdasarkan hasil penelusuran dampak pernikahan dini sangatlah beragam namun lebih dominan efek negatif daripada positifnya. Pemerintah melakukan sosialisasi dan menerapkan bimbingan pranikah, kolaborasi antara seluruh instansi pemerintah dengan pihak yang menangani peristiwa pernikahan dini untuk menegakkan peraturan perundang-undangan adalah bentuk strategi untuk meminimalisir pernikahan dini di Jawa Bara

The problem of early marriage is still found in several areas of West Java, both in rural and urban areas. This paper emphasizes that there is gender inequality in viewing the practice of early marriage and affecting the lives and opportunities for women's rights in society. The research is based on literature data using relevant anthropological concepts. The dilemma of the situation is related to the rise of early marriage in West Java because it perpetuates the culture and on the other hand it is normatively contrary to child protection laws. This paper mentions the aspects that influence the practice of early marriage in West Java are (1) religion, (2) the economy, (3) local traditions, (4) parenting style, (5) youth association, (6) government policy & mass media. Based on the results of tracing the impact of early marriage is very diverse, but the negative effects are more dominant than positive. The government conducts socialization and implements premarital guidance, collaboration between all government agencies and those who handle early marriage events to enforce laws and regulations is a form of strategy to minimize early marriage in West Java."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Iin Musriani Maftukhah
"Pada tahun 2012 jumlah perceraian di Indonesia mencapai 15% dari total pernikahan, yaitu 346.480 jiwa dengan 2.289.648 juta pernikahan yang diantaranya merupakan pernikahan dini (BPS,2015). Persentase pernikahan dini dari perempuan muda berusia 15-19 yang menikah memiliki sebelas kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan lakilaki muda berusia 15-19 tahun (11,7 % P : 1,6 % L). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pernikahan dini dengan perceraian berdasarkan umur, agama, kuintil kekayaan, tingkat pendidikan wanita, tingkat pendidikan suami, tempat tinggal, status pekerjaan wanita, status pekerjaan mantan suami, pengetahuan, Jumlah anak dan pengalaman pacaran Desain penelitian adalah crosssectional. Sampel merupakan sampel pada Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, yaitu wanita yang pernah menikah usia 15-49 tahun sebelum survei yaitu sejumlah 29.712 responden. Data dianalisis dengan regresi logistik. Hasil Penelitian ada hubungan antara pernikahan dini dengan perceraian pada wanita usia 15-49 di Indonesia pada tahun 2012(OR:1.2 95% CI0.89-1.59). Saran dari penelitian ini adalah peningkatan wawasan dan informasi tentang pernikahan usia dini,dan pengaruh yang dapat dirasakan untuk kehidupan ke depannya. Semakin dini wanita menikah semakin berpotensi untuk mengalami perceraian dan mendukung program pemerintah yang disebut program menengah universal atau pendidikan 12 tahun yang diharapkan dapat menunda usia perkawinan remaja terutama perempuan yang berasal dari desa yang memiliki pendidikan rendah.

In 2012, divorced in Indonesia reached 15% of total marriage, which is 346,480 inhabitants with 2,289,648 million marriage was an early marriage (BPS, 2015).The percentage from early bridegroom of young married 15-19 has eleven times higher than young men 15-19 years old (11,7% P: 1,6% L).The purpose of this study was to investigated the corralation between early marriaged with age, religion, intellectual quintile, education level, education level, shelter, employment status of women, exhusbands employment status, knowledge, and children. The study design was crosssectional. Samples in this study is Indonesia Demographic and Health Survey (SDKI) in 2012, women who were married aged 15-49 years before the survey of 29,712 respondents. The data was analyzed by logistic regression. The results of the study there is a correlation between early marriage with divorced in women 15-49 in Indonesia in 2012 (OR: 1,2 95% CI 0.89-1.59). Suggestions from this study are increasing insight and information about early marriage, in order can be felt for life in the future. There needs to be a better program to improve the program and support a universal or 12 year education program that can be used to help teenage marriages especially women from villages who have a low-educated."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T53903
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cempaka Sekkauwati Mubtadi
"Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat pernikahan dini yang cukup tinggi di dunia. Pernikahan dini berdampak buruk pada pendidikan wanita yang kemudian dapat berdampak pada pendidikan anak mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pernikahan dini terhadap pendidikan antargenerasi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data IFLS 5 tahun 2014 dan IFLS East. Terdapat permasalahan endogenitas dalam penelitian ini sehingga diperlukan variabel instrumen untuk mengatasinya. Metode yang digunakan adalah Two Stage Least Square (2SLS) dengan variabel instrumen usia pubertas (usia haid pertama). Hasil first stage menunjukkan bahwa usia pubertas merupakan instrumen yang baik dan memenuhi asumsi relevance. Hasil estimasi 2SLS menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh pernikahan dini ibu pendidikan anak. Adanya program wajib belajar 9 tahun bagi setiap anak dapat menjadi kontribusi positif pada capaian pendidikan anak di Indonesia.

Indonesia is one of the countries with the highest rate of early marriage in the world. Early marriage can reduce mother’s educational attainment and impact their children’s educational outcomes.  This study aims to analyze the intergenerational effect of early marriage on children’s educational attainment by using nationally representative household data from the IFLS wave 5 and IFLS East. In the empirical strategy, age at menarche is used as an instrumental variable to address the endogeneity problem. The result of the first stage shows that age at menarche is a good and relevance instrument. The Two Stage Least Square (2SLS) estimates show that mother’s early marriage does not have a significant effect on children’s educational attainment. A 9-year compulsory education program for every child could give a positive contribution for children’s educational attainment."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisinis Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Tri Wulandari
"Kejadian stunting pada anak balita di Indonesia masih menjadi permasalahan nasional bahkan di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan angka stunting di Indonesia sebesar 24,4 persen pada tahun 2021 masih jauh dari target yang ditetapkan pemerintah yaitu 14 persen tahun 2024 dan target dunia untuk mengakhiri segala jenis malnutrisi tahun 2030. Stunting disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya usia ibu saat menikah. Tingginya kasus dispensasi pernikahan dini dari tahun ke tahun, bahkan melonjak tajam pada tahun 2020 sebesar tiga kali lipat menjadi 64.211 kasus, dikhawatirkan akan menyebabkan peningkatan prevalensi stunting di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan pernikahan dini sebagai risiko stunting pada anak usia 0-59 bulan (Balita) menurut provinsi di Indonesia. Data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari Laporan Studi Status Gizi Balita di Indonesia (SSGBI) terintegrasi SUSENAS tahun 2019 dan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017. Unit analisis pada penelitian ini merupakan setiap provinsi di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang positif antara pernikahan dini, indeks kesejahteraan rumah tangga kuintil 1 (terbawah) dan kuintil 2 (menengah kebawah), tingkat pendidikan wanita 4 orang terhadap stunting dan hubungan yang negatif antara tidak ASI Eksklusif terhadap stunting. Setelah dikontrol variabel lain, terdapat hubungan negatif antara pernikahan dini dengan stunting.

Stunting in children under five is still a national problem and even worldwide. The stunting rate in Indonesia was 24.4 percent on 2021 which is still far from the target set by the government, 14 percent by 2024 and the world's target to end all of malnutrition by 2030. Stunting is caused by various factors, one of them is maternal age at marriage. The high cases of early marriage soared sharply in 2020 by three times to 64.211 cases and it is feared that it will increase the prevalence of stunting in Indonesia. This study was conducted to determine the relationship between early marriage as a risk of stunting in children aged 0-59 months in Indonesia. The data used in this study is secondary data from the Studi Status Gizi Balita di Indonesia (SSGBI) integrated with the SUSENAS 2019 and Indonesian Demographic and Health Survey (IDHS) 2017. The unit of analysis in this study is each provinces in Indonesia. The results shows there is a positive correlation between early marriage, wealth index quintile 1 (lowest) and quintile 2 (middle to lower), education level of women 4 people, on stunting. The result also shows that there's negative correlation between not exclusive breastfeeding and stunting. After controlling for other variables, there is a negative correlation between early marriage and stunting"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pepen Nazaruddin
"Perkawinan dan perceraian di usia muda dipandang sebagai suatu masalah sosial yang perlu dihindari oleh pemuda. Fenomena kehidupan modern lebih mengharapkan pemuda untuk menekuni dunia pendidikan dan menekuni kegiatan lain yang bertujuan untuk pengembangan masa remaja. Kawin muda dan perceraian yang dilakukan oleh pemuda dianggap sebagai suatu hal yang janggal dan perlu dihindari karena akan menimbulkan berbagai macam akibat seperti munculnya masalah sosial keluarga retak, anak terlantar, anak nakal, wanita rawan sosial dan berlajutnya kemiskinan. Dengan melihat dampak negatif kawin muda dan perceraian dimaksud maka wajar saja bila perkawinan usia muda dan perceraian dipandang sebagai masalah sosial. Akan tetapi peristiwa ini selalu terjadi di Indramayu, bahkan Indramayu diidentikan dengan daerah kawin cerai dengan segala eksesnya seperti dikenalnya Indramayu sebagai daerah pemasok pekerja seksual Untuk mengetahui sampai sejauh mana peristiwa kawin muda dan perceraian terjadi di Indramayu serta mengapa daerah Indramayu kerapkali diidentikkan dengan daerah kawin cerai, serta untuk mengetahui apakah perkawinan usia muda dan perceraian menurut masyarakat Indramayu adalah merupakan masalah sosial atau bukan masalah, terlebih dahulu perlu diketahui secara lebih mendalam sikap penduduk Indramayu terhadap peristiwa kawin muda dan perceraian. Untuk itu perlu dipahami penafsiran penduduk terhadap makna kawin muda dan perceraian berdasarkan perspektif/pandangan mereka sendiri. Upaya untuk memahami makna kawin muda dan perceraian dari sudut pandang mereka itu dilakukan dengan serangkaian kegiatan penelitian deskriptif.
Penelitian ini lebih ditekankan pada upaya pemahaman makna dengan menggunakan beberapa konsep dari teori Interaksi Simbolis. Penggunaan konsep-konsep dari teori Interaksionsime Simbolik dianggap sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui makna kawin muda dan perceraian karena pada dasarnya teori Interaksionisme Simbolis mengandung beberapa konsep seperti konsep sudut pandang (point of view), konsep interpretasi/penafsiran makna dan simbol (meaning and symbols), konsep saling memahami makna (interaksi simbolis) dan konsep lainnya. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa masalah sosial kawin muda dan perceraian ditafsirkan oleh informan sebagai suatu masalah sosial yang perlu dihindari. Akan tetapi terdapat informan yang menafsirkan makna kawin dan bercerai di usia muda sebagai suatu solusi/alternatif pemecahan masalah. Konsekuensinya di antara mereka ada yang melaksanakan perkawinan dan perceraian di usia muda. Walaupun demikian perkawinan usia muda dan perceraian itu sendiri bukanlah kebiasaan atau bahkan budaya mereka karena peristiwa itu hanyalah hasil kompromi anggauta masyarakat yang menjadi informan dengan masalah yang dihadapi pada saat itu. Oleh karena itu makna kawin muda dan perceraian itu sendiri terus menerus disempurnakan. sesuai dengan dinamika kemampuan berpikir mereka."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqi Amelia
"Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pernikahan usia muda dengan riwayat reproduksi pada wanita usia subur di Provinsi Jawa Timur tahun 2013. Desain penelitian dengan cross sectional dan menggunakan data sekunder Improving Contraceptive Method Mix 2013.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan signifikan antara pendidikan, penggunaan KB dan status ekonomi terhadap usia nikah pertama, namun tidak berhubungan antara pengambilan keputusan keluarga terhadap usia nikah pertama. Terdapat perbedaan rata-rata lama penundaan kehamilan pertama, rata-rata jumlah paritas terhadap usia nikah pertama, akan tetapi tidak ada perbedaan rata-rata jumlah abortus terhadap usia nikah pertama.

This is a quantitative research study which aim to know the association between early marriage with child bearing women?s reproductive history in East Java on 2013. This research used crossectional study design and the data was collected from secunder data?s of Improving Contraceptive Method Mix 2013.
The result showed that there was a significant associations between education, contraceptive use and economic status, toward first age of married. However, there were no association between decision maker in family toward first age of married. There are differences on rate of first pregnancy delayed and rate of parity toward first age of married. However, there are no different on rate of abortus event toward first age of married.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
S61794
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elma Meniar
"Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur Usia minimal menikah, menimbulkan berbagai masalah terkait dengan pernikahan di bawah umur. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permintaan Pemohon untuk menambah ketentuan batas usia pernikahan bagi wanita, menarik perhatian penulis untuk penelitian Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menyelesaikan masalah disebutkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22 / PUU-XV / 2017. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah ini, penulis menggunakan formulir penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, dan didukung oleh data sekunder. Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif menganalisis data yang diperoleh dari studi pustaka dan hasil wawancara. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa batasan usia minimal 16 tahun pernikahan bagi wanita tidak lagi sesuai dengan keadaan masyarakat sehingga perlu dilakukan perubahan ketentuan ini, oleh Oleh karena itu, legislator harus melakukan kajian langsung kepada masyarakat dengan melibatkan pendampingan dari organisasi dan lembaga masyarakat yang bersangkutan untuk mendapatkan batasan usia minimal untuk menikah
pantas dan pantas, terutama bagi perempuan untuk diatur dalam UU Perkawinan dan memecahkan masalah pernikahan di bawah umur di Indonesia.

The provisions of Article 7 paragraph (1) of the Marriage Law, which regulates the minimum age for marriage, raises various problems related to underage marriage. The Constitutional Court's Decision granted the Petitioner's request to increase the provisions for the age limit of marriage for women, attracting the attention of the author for research on how judges' legal considerations in solving problems are mentioned in the Constitutional Court decision Number 22 / PUU-XV / 2017. Therefore, to overcome this problem, the author uses a normative juridical research form that is descriptive analytical, and is supported by secondary data. In addition, this study uses a qualitative approach to analyze data obtained from literature studies and interviews. Based on the results of the research, it can be concluded that the minimum age limit of 16 years of marriage for women is no longer in accordance with the conditions of society so it is necessary to change this provision, therefore, legislators must conduct a direct study to the community by involving assistance from the relevant community organizations and institutions for get the minimum age for marriage appropriate and appropriate, especially for women to be regulated in the Marriage Law and solve the problem of underage marriage in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Coraima Okfriani
"Upaya untuk menurunkan angka kehamilan remaja dapat dimonitor dengan menunda kelahiran pertama remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan interval kelahiran pertama pada remaja kawin usia 15-19 tahun di Indonesia dengan menggunakan data SDKI 2017. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, dengan sampel yang digunakan sebanyak 1,497 remaja kawin usia 15-19 tahun yang belum hamil/melahirkan anak pertama nya. Penelitian ini melakukan uji Kaplan Meier untuk mengukur median interval kelahiran pertama dan Cox Proportional Hazard model digunakan untuk membuat model prediksi variable independen. Didapatkan hasil median interval kelahiran pertama pada Remaja Kawin 15-19 tahun adalah 14 bulan. Terdapat hubungan yang signifikan antara faktor yang terkait dengan program KB dengan interval kelahiran pertama: tidak mengakses informasi KB melalui PLKB (AHR = 0.975 95% CI 0.960-0.990), tidak mengakses informasi KB melalui petugas kesehatan (AHR = 0.849 95% CI 0.733-0.983), tidak menggunakan kontrasepsi modern (AHR = 1.039 95% CI 1.028-1.051). Penggunaan kontrasepsi modern merupakan variable yang paling dominan berhubungan dengan interval kelahiran pertama pada remaja kawin. Peningkatan kualitas dari PLKB dan petugas kesehatan dalam memberikan informasi terkait KB perlu diperhatikan. Pemerintah perlu menegaskan usia minimal perkawinan dan mempertimbangkan perubahan kebijakan terkait penggunaan kontrasepsi bagi remaja kawin.

Efforts to reduce adolescence pregnancy can be monitored with delaying the first bith. This study aims to identify associated factors with first birth interval (FBI) among married adolescents 15-19 years old in Indonesia using IDHS 2017. In this cross-sectional study, the first birth history of 1,497 married adolescencewho have not pregnant yet were collected. Kaplan Meier test was conducted to measure the median of FBI and Cox Proportional Hazard Model was used to produce a prediction model of predictors. The median interval of first birth among married adolescents 15-19 years old was 14 months. There were statistically significant differences between factors related to family planning program with FBI: not accessing family planning information through PLKB AHR = 0.975 95% CI 0.960-0.990), not accessing family planning information through health workers (AHR = 0.849 95% CI 0.733-0.983), and not using modern contraception (AHR = 1.039 95% CI 1.028-1.051). Modern contraceptive use was the most dominant variable associated with FBI among married adolescents. Improvement of quality of PLKB and health workers in giving information on family planning should be noted. Government of Indonesia should continue to enforce the minimum legal age and consider policy changing on contraceptive use for married adolescents."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Made Natasya Restu Dewi Pratiwi
"Indonesia, Filipina, dan Timor-Leste merupakan negara yang memiliki kemajuan penanganan kehamilan remaja yang masih jauh dari target ASFR 2030. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui model prediksi kehamilan remaja usia 15-19 di ketiga negara tersebut dengan desain cross-sectional. Remaja 15-19 tahun yang menjadi responden DHS dipilih menjadi sampel. Di Indonesia faktor yang berpengaruh, yaitu usia pertama menikah (AOR:0.6), status pernikahan (AOR:0.002), dan penggunaan kontrasepsi (AOR:14.9). Faktor kehamilan remaja di Filipina, yaitu status pernikahan (AOR: 0.008) dan penggunaan kontrasepsi (AOR: 6.4). Sementara, faktor kehamilan remaja di Timor-Leste, yaitu tingkat pendidikan (AOR: 2.9), usia pertama menikah (AOR: 0.033), dan usia responden (AOR: 0.167). Determinan kehamilan remaja di ketiga negara studi didominasi pengaruhnya oleh faktor individu dan sosial ekonomi. Diperlukan kolaborasi lintas sektor untuk memasifkan edukasi kesehatan reproduksi agar remaja terhindar dari kehamilan. Kata kunci: Kehamilan Remaja, Kesehatan Reproduksi, Pernikahan Dini, Edukasi, Kontrasepsi.

Indonesia, the Philippines and Timor-Leste are countries that have progress in handling teenage pregnancy which is still far from the ASFR 2030 target. This research was conducted to determine the prediction model for teenage pregnancy aged 15-19 in these three countries with a design cross-sectional. Adolescents 15-19 years old who were DHS respondents were selected as samples. In Indonesia, the influencing factors are age at first marriage (AOR: 0.6), marital status (AOR: 0.002), and use of contraception (AOR: 14.9). Factors of teenage pregnancy in the Philippines, namely marital status (AOR: 0.008) and use of contraception (AOR: 6.4). Meanwhile, the factors for teenage pregnancy in Timor-Leste are education level (AOR: 2.9), age at first marriage (AOR: 0.033), and respondent age (AOR: 0.167). The determinants of teenage pregnancy in the three study countries are dominated by individual and socio-economic factors. Cross-sector collaboration is needed to intensify reproductive health education so that teenagers avoid pregnancy. Keywords: Adolescent Pregnancy, Reproductive Health, Early Marriage, Education, Contraceptive."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Vashti Raissa
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara resiliensi dan persepsi positif terhadap pernikahan pada remaja akhir dari latar belakang keluarga yang pernah bercerai. Resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dan individu dengan sukses dapat mengatasi masalah meskipun kesulitan/kemalangan terjadi. Persepsi terhadap pernikahan mencakup sikap dan ekspektasi terkait keinginan untuk menikah, serta bagaimana gambaran kehidupan pernikahan bagi individu di masa yang akan datang. Pengukuran resiliensi diukur menggunakan alat tes yang disusun untuk penelitian ini dan merupakan adaptasi dari teori Earvolino-Ramirez 2007 dan Wagnild dan Young 1993; dalam Wagnild, 2009 . Pengukuran persepsi terhadap pernikahan dilakukan dengan menggunakan alat ukur Marriage Perception Scale MPS yang dikembangkan oleh Shukla, Deodiya, dan Singh 2013 . Partisipan penelitian berjumlah 220 remaja akhir yang tinggal bersama keluarga asuh. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara resiliensi dan persepsi positif terhadap pernikahan pada remaja akhir dari keluarga yang pernah bercerai.

This research was conducted to find the relationship between resilience and a positive perception toward marriage. Resilience is defined as the ability to bounce back or cope successfully despite substantial adversity. Perception toward marriage consist of attitude and expectation to get married, as well as description about how marriage life would be for a person in the upcoming future. Resilience was measured using an instrument that was newly developed by the researcher herself with a fellow colleague, adapted from theories from Earvolino Ramirez 2007 and Wagnild and Young 1993 Wagnild, 2009 . Perception Toward Marriage was measured using an instrument named Marriage Perception Scale MPS developed by Shukla, Deodiya, and Singh 2013. Participants of this research were collected 220 late adolescents living with residential parent. The Pearson Correlation indicate positive significant correlation between resilience and a positive perception toward marriage.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S68394
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>