Ditemukan 125929 dokumen yang sesuai dengan query
Rangga Fachry Permana
"Regionalisme merupakan konsep yang berevolusi seiring dengan perkembangan studi dan dinamika Hubungan Internasional. Regionalisme acapkali diasosiasikan dengan integrasi dan kerja sama regional sehingga dalam perkembangannya, muncul istilah “konektivitas” sebagai turunan dari regionalisme. Melihat perkembangan ini, ASEAN memutuskan untuk mengadopsi konektivitas sebagai kerangka integrasi dan kerja sama regional. Uniknya, Konektivitas ASEAN didasari oleh mekanisme kerja sama sukarela yang difasilitasi oleh prinsip “ASEAN Way” dengan menghindari keterikatan politik yang kuat. Tulisan ini kemudian merupakan sebuah tinjauan pustaka yang memiliki tujuan untuk mengeksplorasi pembahasan Rancangan Konektivitas ASEAN sebagai instrumen integrasi dan kerja sama regional Asia Tenggara. Dengan menelaah 30 literatur akademik melalui metode taksonomi, penulis kemudian mengklasifikasikan literatur-literatur terpilih ke dalam dua tema utama, antara lain: (1) Konseptualisasi Konektivitas ASEAN; dan (2) Perkembangan Rancangan dan Implementasi Konektivitas ASEAN. Alhasil, tulisan ini menemukan bahwa Konektivitas ASEAN merupakan upaya kolektif yang perlu dijalankan melalui koordinasi tiga arah antara badan regional ASEAN, negara-negara anggota ASEAN, dan pihak eksternal yang terlibat. Upaya perwujudan Rancangan Konektivitas ASEAN pun dijumpai berbagai hambatan, yaitu keterbatasan kapasitas finansial dan teknologi, kesenjangan pembangunan antara negara-negara ASEAN, komitmen politik yang rendah, perbedaan persepsi dan potensi persaingan antarnegara, dan inefisiensi koordinasi badan regional pemantau Konektivitas ASEAN.
Regionalism is a concept that has evolved along with the development of the study and dynamics of International Relations. Regionalism is commonly associated with regional integration and cooperation. Therefore, the term “connectivity” appears as a derivative of regionalism. Against this background, ASEAN has adopted connectivity as a framework for regional integration and cooperation. Uniquely, the ASEAN Connectivity has implemented a voluntary cooperation mechanism facilitated by the “ASEAN Way” principle to avoid strong political ties among the institution. Accordingly, this paper constitutes a literature review which aims to explore the discussion of the Master Plan on ASEAN Connectivity as the instrument of Southeast Asia regional integration and cooperation. By examining 30 pieces of academic literature through the taxonomic method, the selected writings will be classified into two main themes: (1) The Conceptualization of the ASEAN Connectivity; and (2) The Development of the Master Plan of ASEAN Connectivity and its Implementation. As a result, this paper finds that ASEAN Connectivity is a collective effort that needs to be carried out through the three-way coordination between the ASEAN regional bodies, the ASEAN Member States, and external parties involved. However, the efforts to realize the Master Plan of ASEAN Connectivity have encountered various obstacles, specifically limited financial and technological capacity, development gaps between ASEAN Member States, low political commitment, differences in perceptions and the potential of competition between member states, and inefficiency in regional bodies monitoring the ASEAN Connectivity."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
I Putu Hadi Pradnyana
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi Indonesia menginisiasi ASEAN Our Eyes. Selain itu, diamati juga implementasi strategi baru kontra terorisme ASEAN di bidang kerjasama pertukaran informasi intelijen, yaitu ASEAN Our Eyes di Indonesia. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh lemahnya koordinasi dan integrasi terkait pertukaran informasi intelijen antar negara anggota ASEAN khususnya dalam penanganan terorisme di kawasan. Teori yang digunakan adalah Proactive Counterterrorism: Intelligence Model. Teori Proactive Counterterrorism: Intelligence Model menjadi pisau analisa untuk mengamati implementasi dari ASEAN Our Eyes di Indonesia, termasuk mekanisme, prosedur, teknis, dan lain sebagainya. ASEAN Our Eyes dibentuk pada tahun 2017 dan telah diratifikasi oleh seluruh negara anggota ASEAN pada tahun 2018. ASEAN Our Eyes merupakan sebuah kolaborasi konkret ASEAN khususnya di bidang pertukaran informasi intelijen sebagai bagian dari proses untuk membangun fondasi keamanan regional terkait kontra terorisme. Hasil analisa adalah Indonesia menginisasi pembentukan ASEAN Our Eyes dalam upaya memperkuat stabilitas kawasan dan domestik dari eskalasi ancaman terorisme. Disisi lain sebagai upaya menjaga sentralitas ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara.
This research aims to analyze the factors that influence Indonesia to initiate ASEAN Our Eyes. In addition, it was also observed the implementation of a new ASEAN counter-terrorism strategy in the field of intelligence exchange cooperation, namely ASEAN Our Eyes in Indonesia. This was motivated by weak coordination and integration related to the exchange of intelligence information between ASEAN member countries, especially in dealing with terrorism in the region. The theory used is Proactive Counterterrorism: Intelligence Model. The theory of Proactive Counterterrorism: Intelligence Model becomes an analytical knife to observe the implementation of ASEAN Our Eyes in Indonesia, including mechanisms, procedures, techniques, and so on. ASEAN Our Eyes was formed in 2017 and has been ratified by all ASEAN member countries in 2018. ASEAN Our Eyes is a concrete collaboration between ASEAN, especially in the field of intelligence information exchange as part of the process to build a regional security foundation related to counter terrorism. The results of the analysis shows that Indonesia initiated the formation of ASEAN Our Eyes in an effort to strengthen regional and domestic stability from the escalation of the threat of terrorism. On the other hand, it is an effort to maintain ASEAN centrality as a regional organization in Southeast Asia."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Muhammad Naufal Musri
"Kawasan Asia Tenggara dihadapi dengan tantangan tingginya permintaan energi yang terus meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan energi dan mencapai interkoneksi energi kawasan, ASEAN membentuk platform khusus bernama ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation (APAEC) pada 1998. Akan tetapi, selama 25 tahun berdirinya APAEC, permasalahan-permasalahan energi di antara negara-negara anggota ASEAN tidak kunjung terselesaikan. Untuk itu, penelitian ini akan menjawab pertanyaan, “Mengapa kerja sama ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation (APAEC) tidak optimal dalam memenuhi kerja sama interkoneksi energi di kawasan?” Penelitian ini menerapkan konsep government networks yang dikemukakan oleh Anne-Marie Slaughter dalam menelaah kinerja APAEC. Data-data penunjang penelitian dikumpulkan melalui studi dokumen dan dianalisa dengan metode analisis kongruen. Berdasarkan data dan analisis dalam penelitian ini, ditemukan bahwa hanya norma Global Deliberative Equality dan Legitimate Difference yang terpenuhi dari lima norma yang terdapat dalam konsep government networks oleh Anne-Marie Slaughter. Sedangkan tiga norma lainnya yaitu Positive Comity, Subsidiarity, dan Checks and Balance tidak terpenuhi. Selain itu ditemukan faktor-faktor lain yang turut menyebabkan tidak optimalnya APAEC, termasuk kepentingan asimteris dan tidak ada insentif ekonomi. Hal ini menyebabkan APAEC tidak optimal dalam memenuhi kerja sama interkoneksi energi. Dengan demikian, penting bagi APAEC untuk mendorong program-programnya secara konsisten dengan memenuhi norma yang saat ini belum terpenuhi agar dapat mencapai keamanan energi secara optimal.
Southeast Asia faces an overwhelmingly high energy demand that keeps on increasing. ASEAN developed the ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation (APAEC) to fulfill the energy demand and achieve regional energy security in 1998. However, after 25 years, energy issues among ASEAN member states have yet to be resolved. This research aimed to answer the question, “Why hasn’t APAEC achieved an optimal interconnected energy cooperation in the region?” To answer this question, this research applied the government network concept laid out by Anne-Marie Slaughter. This research was carried out by studying official documents utilizing a congruent analysis method. According to the findings and analysis of this study, only two of the five criteria discovered in Anne-Marie Slaughter's model of government networks, in the form of Global Deliberative Equality and Legitimate Difference, are fulfilled. The remaining three principles, including Positive Comity, Subsidiarity, and Checks and Balances, still need to be fulfilled. In addition, other contributing factors that affected APAEC performance were also found, namely asymmetrical interest and the absence of economic incentive. As a result, APAEC's performance in achieving energy interconnection cooperation has yet to be fulfilled. As a result, to achieve optimal energy security, APAEC must continually push its initiatives by achieving the already unfulfilled norms."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
"Kawasan Asia Timur dewasa ini merupakan kawasan yang di tandai dengan berbagai kontradiksi. Di satu sisi ,dapat dikatakan bahwa perkembangan strategis di kawasan Asia Timur selama sepuluh tahun terakhir cukuup kondusif, kawasan ini termasuk kawasan yang cukup stabil dan dinamis, sehingga negara-negara di kawasan dapat lebih memusatkan perhatiannya baik pada upaya pemulihan ekonomi(dalam kasus Korea Selatan dan beberapa negara ASEAN) maupun dalam mempercepat pertumbuhsn ekonomi (khususnya dalam kasus China dan India)
."
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Acharya, Amitav
London: Routledge, 2001
355.031.095 ACH c
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Acharya, Amitav
"In this third edition of Constructing a Security Community in Southeast Asia, Amitav Acharya offers a comprehensive and critical account of the evolution of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) norms and the viability of the ASEAN way of conflict management. Building on the framework from the first edition, which inspired the establishment the ASEAN Political-Security community, this new edition has been extensively updated and revised based on new primary sources that are not publicly available.Updates for this edition include:Expanded and updated coverage of the South China Sea Conflict and how it affects regional order and tests ASEAN unityAnalysis of new developments in US role in the region, including ASEAN's place and role in the US pivot/rebalancing strategy and the evolution of the East Asian Community, the newest summit level multilateral groupExtensive analysis of the ASEAN Political-Security communityAn examination of US-China relations and China-ASEAN relationsCoverage of ASEAN's institutional development and the controversy over reform of the ASEAN Secretariat.An updated outlook on ASEAN's future as a security community and the issue of ASEAN Centrality in the regional security architecture. The new edition will continue to appeal to students and scholars of Asian security, international relations theory and Southeast Asian studies as well as policymakers and the media"
Oxford: Routledge, 2014
355.031 ACH c
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Hassya Aulianisa Hanafatiha Singadimedja
"Pada November 2022, negara anggota ASEAN-5 menandatangani Memorandum of Understanding Advancing Regional Payment Connectivity yang menandakan terjadinya inisiatif pembentukan sistem pembayaran antar wilayah yang terintegrasi, salah satunya berbentuk sistem pembayaran berbasis QR-Code. Kesepakatan dan inisiatif ini menimbulkan pertanyaan mengenai legalitas integrasi sistem pembayaran dan bagaimana keberadaan kedaulatan negara, sehingga terdapat dua masalah yang akan dianalisis yaitu bagaimana inisiatif Regional Payment Connectivity ASEAN-5 menurut perspektif hukum perdagangan internasional dan bagaimana konsep penggunaan teknologi QRIS dalam integrasi pembayaran regional ASEAN.
Kedua permasalahan tersebut akan dianalisis menggunakan metode penelitian notmatif karena objek yang diteliti merupakan norma hukum mengenai pengaturan regional payment connectivity dengan mengacu pada hukum perdagangan internasional. Adapun jenis pendekatan yang digunakan untuk menganalisis permasalah diatas adalah pendekatan yuridis normatif.
Hasil penelitian dan analisis yang dilakukan menujukkan bahwa Memorandum of Understanding Advanced Regional Payment Connectivity merupakan upaya mencapai integrasi ASEAN yang sebagaimana tertuang dalam ASEAN Leaders’ Declaration on Advancing Regional Payment Connectivity and Promoting Local Currency Transaction pada dan Joint Statement of the 10th ASEAN Finance Minsters’ and Central Bank Governors’ Meeting (AFMGM) dengan ketentuan yang diatur dalam AFIF dan ATiSA untuk meningkatkan integrasi dan efisiensi sistem pembayaran, mempercepat pelaksanaan pasar tunggal ASEAN, dan meningkatkan kekuatan ekonomi regional di mata dunia. Perwujudan kedaulatan dalam sistem pembayaran berstandar QRIS terdapat pada pada konversi mata uang yang dapat langsung ditransaksikan tanpa perlunya mata uang ketiga sehingga biaya yang dibutuhkan untuk pemrosesan transaksi menjadi rendah dan negara dapat menguasai sepenuhnya sistem pembayarannya sehingga dapat mendorong penguatan juga kedaulatan mata uang negara. Selain itu pengelolaan sepenuhnya terhadap skema transaksi, biaya transaksi, perizinan atas lembaga keuangan, hingga fungsi pengelolaan National Merchant Repository. Pengelolaan National Merchant Repository di dalam negeri mencerminkan kedaulatan negara atas keamanan transaksi dan teknologi QRIS karena penatausahaan dan pengolahan data dilakukan didalam negeri.
In November 2022, ASEAN-5 member countries signed a Memorandum of Understanding Advancing Regional Payment Connectivity which indicates an initiative to form an integrated inter-regional payment system, one of which is in the form of a QR-Code-based payment system. These agreements and initiatives raise questions regarding the legality of payment system integration and how the existence of state sovereignty, there are two issues that will be analyzed, namely how the ASEAN-5 Regional Payment Connectivity initiative is from the perspective of international trade law and how is the concept of using QRIS technology in ASEAN regional payment integration.Both of these problems will be analyzed using a normative research method because the object under study is a legal norm concerning regional payment connectivity arrangements regarding international trade law. The type of approach used to analyze the problems above is a normative juridical approach.The results of the research and analysis show that the Memorandum of Understanding Advanced Regional Payment Connectivity is an effort to achieve ASEAN integration as stated in the ASEAN Leaders' Declaration on Advancing Regional Payment Connectivity and Promoting Local Currency Transaction and the Joint Statement of the 10th ASEAN Finance Ministers and Central Bank Governors' Meeting (AFMGM) with the provisions stipulated in AFIF and ATiSA to increase payment system integration and efficiency, accelerate the implementation of the ASEAN single market, and increase regional economic strength in the eyes of the world. The embodiment of sovereignty in the QRIS standard payment system is in currency conversion which can be directly transacted without the need for a third currency so that the costs required for processing transactions are low and the state can fully control the payment system so that it can also encourage the strengthening of the sovereignty of the state's currency. Apart from that, full management of transaction schemes, transaction fees, licensing of financial institutions, as well as the management function of the National Merchant Repository. Domestic management of the National Merchant Repository reflects state sovereignty over transaction security and QRIS technology because data administration and processing are carried out within the country."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Hosang, Lesly Gijsbert Christian
"Ilmu hubungan internasional memiliki tiga paradigma utama; realisme, liberalisme, dan kontruktivisme yang khas dalam memandang institusi. Tulisan ini akan melihat dan membandingkan bagaimana ketiga paradigma ini memandang ASEAN Political Security Community 2015. Pada akhirnya, dapat diketahui keunikan dan kelemahan masing-masing paradigma dalam memandang kerjasama keamanan di Asia Tenggara ini. Realisme memandang security dilemma sebagai faktor kunci munculnya kerjasama, sedangkan liberalisme memandang institusionalisme sebagai faktor determinan. Di sisi lain, konstruktivisme menakankan pada identitas kolektif yang terkonstruksi di antara negara-negara anggota APSC 2015.
International relations has three major paradigms: realism, liberalism, and constructivism that has distinct view on institution. This paper will compare how the three paradigms asses the ASEAN Political Security Community 2015. In the end, the uniqueness and weaknesses of each paradigm will be identified. Realism regards security dilemma as a key factor in the emergence of security cooperation, while liberalism sees institutionalism as a determinant factor. On the other hand, constructivism emphasizes on collective identity that is constructed among the member countries of APSC 2015."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Manurung, Priscilla R.
"Perang Dunia II telah menggoreskan sejarah buruk terkait perlindungan komunitas internasional terhadap hak asasi manusia (HAM). Sejak saat itu masyarakat internasional melalui PBB memberikan perhatian lebih kepada masalah HAM dengan membentuk Komisi HAM di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial PBB. Sejak saat itu, berbagai lembaga HAM internasional serta di berbagai kawasan seperti Amerika, Eropa, dan Afrika didirikan. Namun Asia sebagai kawasan dengan kepadatan penduduk tertinggi di dunia tidak kunjung mendirikan mekanisme regional tersebut hingga akhirnya pada tahun 2009 AICHR berdiri sebagai lembaga HAM regional di Asia Tenggara. Setelah hampir tiga tahun sejak AICHR berdiri terdapat banyak masalah dan tantangan yang dihadapi oleh Komisi tersebut. Dengan demikian penting untuk mengetahui bagaimanakah peran lembaga-lembaga HAM internasional dan regional sebagaimana mekanisme HAM di dunia, kedudukan AICHR sebagai lembaga HAM di Asia Tenggara, serta tantangan-tantangan yang dihadapi AICHR dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga HAM regional di Asia Tenggara. Permasalahanpermasalahan tersebut akan dijawab melalui penelitian yuridis-normatif sehingga diperoleh simpulan bahwa lembaga-lembaga HAM internasional dan regional berperan penting dalam pemonitoran, pemajuan, serta perlindungan HAM di dunia dan regional. Selain itu dapat diketahui juga bahwa AICHR merupakan badan HAM di Asia Tenggara yang bersifat intergovernmental yang menghadapi banyak tantangan, baik yang berasal dari internal ASEAN maupun dari AICHR sebagai lembaga.
At first, human rights matter was given low concerns until it took the catalyst of World War II to propel it into the international conscience. Then the United Nations started the development of human rights through the creation of the UN Commission on Human Rights under the Economic and Social Council. From that point, many international human rights bodies and even regional systems were established like in America, Europe and Africa. This leaves Asia as the only region without such mechanism until in 2009 ASEAN inaugurated AICHR as the South East Asia?s human rights body. After almost three years of existence, this Commission has been facing many issues and challenges. Thus it is important to know about the role of international and regional human rights body, AICHR?s position as a regional human rights body in ASEAN, and the challenges that AICHR faces in exercising its functions as a regional human rights body in South East Asia. These problems will be answered through a juridical-normative research until it can be concluded that international and regional human rights bodies play an important role in the monitoring, promotion, and protection of human rights in the world and regions. Furthermore it can be informed that AICHR is a South East Asian?s human rights body with an intergovernmental characteristic that still faces many challenges coming both from the internal of ASEAN and from its shortcomings as an organization."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S43680
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library