Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 96625 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Angela Calista
"Jepang sejak pasca Perang Dunia dikenal sebagai negara pasifis. Hal ini terkait Pasal 9 Konstitusi Jepang yang menjadi dasar identitas Jepang. Kebijakan luar negeri Jepang tampak berfokus pada instrumen dan kebijakan ekonomi dalam mencapai kepentingan nasional. Semenjak Shinzo Abe menjabat sebagai Perdana Menteri di tahun 2012, literatur dan media menyoroti perubahan dalam kebijakan luar negeri Jepang yang diawali oleh pengajuan revisi Abe terhadap Pasal 9 sebagai tonggak identitas Jepang. Selain itu, kepemimpinannya turut disoroti sebagai Perdana Menteri dengan masa jabat terlama di Jepang. Untuk menelaah dinamika kebijakan luar negeri Jepang di era kedua Abe, tulisan ini memetakan 44 literatur dalam bentuk artikel jurnal dengan metode taksonomi yang dikategorisasikan ke lima tema utama, yaitu (1) elemen domestik dalam kebijakan luar negeri, (2) hubungan luar negeri Jepang, (3) isu keamanan dalam kebijakan luar negeri Jepang, (4) isu ekonomi dalam kebijakan luar negeri Jepang, dan (5) isu sosial budaya dalam kebijakan luar negeri Jepang. Dari tinjauan kelima tema utama ini, penulis memetakan konsensus, perdebatan, refleksi, dan sintesis untuk menelaah dan memaknai temuan dari persebaran literatur. Literatur-literatur utamanya memperlihatkan kontra terhadap pandangan negatif media massa dan literatur lainnya terhadap Jepang di era kepemimpinan Shinzo Abe. Penulis menemukan bahwa dinamika perubahan yang terjadi dalam kebijakan luar negeri Jepang di era Abe pada periode 2012-2020 dapat dijelaskan oleh faktor geopolitik dan signifikansi Abe sebagai pemimpin negara yang terletak pada peran pengatur proses pembentukan kebijakan luar negeri dalam politik domestik Jepang. Dari temuan tersebut, tulisan ini merekomendasikan beberapa analisis lanjutan dan pentingnya untuk tidak terfokus hanya pada unit analisis struktur ataupun individu, tetapi faktor domestik menjadi signifikan pula untuk dieksplorasi dalam analisis kebijakan luar negeri.

Japan has been known as a pacifist country since the post-World War II period, largely due to Article 9 of the Japanese Constitution, which serves as the foundation of Japan's identity. Japan's foreign policy appears to prioritize economic instruments and policies to pursue national interests. Since Shinzo Abe assumed the position of Prime Minister in 2012, literature and media have highlighted changes in Japan's foreign policy, initiated by Abe's proposal to revise Article 9 as a cornerstone of Japan's identity. Additionally, his leadership has been noted for being the longest-serving Prime Minister in Japan. To examine the dynamics of Japan's foreign policy in Abe's second era, this paper maps 44 literature pieces in the form of journal articles, using a taxonomy method categorized into five main themes: (1) domestic elements in foreign policy, (2) Japan's foreign relations, (3) security issues in Japan's foreign policy, (4) economic issues in Japan's foreign policy, and (5) socio-cultural issues in Japan's foreign policy. From the review of these five main themes, the author identifies consensus, debates, reflections, and syntheses to analyze and interpret the findings from the distribution of literature. The main literature shows contrasting views against the negative perceptions of mass media and other literature towards Japan during Shinzo Abe's leadership. The author finds that the dynamics of change in Japan's foreign policy during Abe's era from 2012 to 2020 can be explained by geopolitical factors and Abe's significance as a leader shaping foreign policy processes in Japan's domestic politics. Based on these findings, this paper recommends several further analyses and emphasizes the importance of not solely focusing on structural or individual units of analysis, but also exploring domestic factors in foreign policy analysis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Naya Rizka Hafiza Rijal
"Fenomena shoushika atau menurunnya tingkat kelahiran merupakan salah satu isu yang krusial di Jepang. Rendahnya angka kelahiran, diikuti oleh meningkatnya angka harapan hidup, berdampak secara signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan di negara tersebut. Sebagai konsekuensi dari berkurangnya populasi penduduk di usia produktif dan menyusutnya jumlah penduduk secara keseluruhan, fenomena ini telah berkontribusi terhadap menurunnya produktivitas negara sehingga memengaruhi pertumbuhan ekonomi Jepang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah Perdana Menteri Shinzo Abe melalui paket kebijakan Abenomics-nya mengeluarkan serangkaian kebijakan keluarga untuk mendorong angka kelahiran yang berfokus pada peningkatan fasilitas penitipan anak, cuti orang tua, dan pengurangan jam kerja. Meskipun demikian, kebijakan-kebijakan tersebut nyatanya tidak dapat memberikan hasil yang efektif. Sebaliknya, angka kelahiran cenderung menurun pada masa periode jabatan Abe. Melalui tulisan ini, penulis hendak mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi tidak efektifnya implementasi kebijakan keluarga dalam menangani fenomena shoushika di Jepang. Berdasarkan hasil temuan, dapat diketahui bahwa hambatan budaya, konservatisme politik, dan silver democracy di Jepang telah memengaruhi tidak efektifnya kebijakan keluarga yang diluncurkan pemerintah Abe dalam menangani fenomena shoushika.

The shoushika phenomenon or declining birth rates is a crucial issue in Japan. The low birth rate, coupled with rising life expectancy, has significantly impacted various aspects of life in the country. As a consequence of the dwindling working-age population and the shrinking population as a whole, this phenomenon has contributed to a decline in the country's productivity, affecting Japan's economic growth. To address this issue, Prime Minister Shinzo Abe’s government through its Abenomics policy package issued a set of family policies to boost birth rates that focused on increasing childcare facilities, parental leave, and reducing working hours. However, these policies did not produce effective results. On the contrary, the birth rate tended to decline during Abe's term. Through this paper, the author aims to identify the factors that influence the ineffective implementation of family policies in dealing with the shoushika phenomenon in Japan. Based on the findings, it can be seen that cultural barriers, political conservatism, and silver democracy in Japan have influenced the ineffectiveness of the family policies launched by Abe’s government in dealing with the shoushika phenomenon."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Godement, Francois
London: Routledge, 1997
950 G 304 rx
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lattimore, Owen, 1900-
Boston: Little, Brown, 1949
950.42 LAT s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lely Demiyati
"Penelitian ini membahas pemagaran atau hedging dalam pidato politik bahasa Jepang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis dan fungsi pagar dalam teks-teks pidato perdana menteri Jepang Shinzo Abe. Teks pidato yang dijadikan sumber data berjumlah lima pidato yang diunduh dari situs resmi lsquo;perdana menteri Jepang dan kabinetnya rsquo;. Pagar temuan dalam pidato akan dianalisis menggunakan pagar taksonomi Salager-Meyer 1994 sebagai acuan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pagar yang dominan digunakan adalah frasa pembuka sebesar 50 . Urutan kedua pagar adalah verba bantu modal sekitar 22 . Urutan ketiga jenis pagar kata penunjuk derajat, kuantitas frekuensi dan waktu sekitar 11 . Jenis pagar verba leksikal modal urutan ke empat sekitar 6 . Urutan kelima pagar frasa modal nomina, adjektiva dan adverbia berjumlah 5 atau. Jenis pagar klausa bersyarat menempati urutan keenam yaitu 4 . Urutan terakhir adalah pagar majemuk sekitar 2 . Fungsi dari pagar-pagar yang digunakan oleh PM Abe ini sebagai mitigasi, melindungi diri dari kritik, menunjukkan kesantunan, mencegah konfrontasi, membangun hubungan baik dengan mitra tutur dan menunjukkan kurangnya komitmen atau tanggung jawab.Kata kunci: Pemagaran, pidato politik, Shinzo Abe, pragmatik, kesantunan.

The object of this research is hedging in Japanese political speeches. The objective of this research is to identify types and functions of hedging in the speeches of the Japan Prime Minister Shinzo Abe. The data consist of five Shinzo Abe rsquo s speeches taken from website Prime Minister and Cabinet at http www.kantei.go.jp. The hedges found in the speeches are analyzed using the taxonomy and functions of hedges according to Salager Meyer 1994 . The analysis shows that the most frequently used hedges in political speeches by Shinzo Abe is introductory phrases 50 , followed modal auxiliaries 22 , approximators of degree, quantity, 11 , lexical verb 6 , frasa modal nomina, adjektiva dan adverbia 5 , lsquo if rsquo type clauses 4 , and compound hedge 2 . In addition, the function of hedging in the speeches of Shinzo Abe is to mitigate, to protect himself from critique, to show politeness, to prevent confrontation, to build a good relation with the hearer, and show lack of commitment or responsibility.Key words pragmatics, hedging, political speech, politeness. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
T49377
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kingston, Jeff, 1957-
Chichester: Wiley Blackwell, 2016
320.540 95 KIN n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Vina Ardha Sukma
"

Kendatipun Jepang sempat mengalami stagnasi selama dua dekade, dewasa ini Jepang tetap berkomitmen untuk meningkatkan hubungan kerja sama dengan negara-negara anggota ASEAN.  Hal itu dapat diamati dari berbagai kebijakan Shinzo Abe yang ditujukan untuk menciptakan kemakmuran, perdamaian, dan stabilitas di kawasan ASEAN. Pada tahun 2013, ketika Shinzo Abe kembali menjabat sebagai Perdana Menteri Jepang, ia banyak melakukan lawatan ke luar negeri dan aktif berpidato di depan publik untuk menyampaikan visi dan misinya terkait kemitraan Jepang dan ASEAN. Sebagai penutur, Shinzo Abe memiliki strategi tersendiri dalam menyampaikan gagasan-gagasan ideologisnya. Melalui penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan teori analisis wacana kritis yang memusatkan perhatian pada proses produksi teks, distribusi, dan konsumsi, ideologi dalam wacana akan dapat diungkap. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi muatan ideologi yang digunakan Perdana Menteri Shinzo Abe dalam pidato yang mengangkat tema hubungan ekonomi luar negeri Jepang terhadap ASEAN tahun 2013. Melalui analisis wacana kritis, ditemukan sebanyak 9 ideologi yang dianut oleh Shinzo Abe, yakni: sentralitas ASEAN (11 data); negara sejahtera (10 data); berkontribusi secara proaktif untuk perdamaian (6 data); nemawashi (6 data); Cool Japan (4 data); pemimpin Asia (3 data); omotenashi; (3 data) progender; (2 data); dan Jepang negara pariwisata (1 data). Dari 46 data, sebanyak 24 data menunjukkan bahwa pemerolehan legitimasi dilakukan Shinzo Abe secara simbolis dan 22 data diperoleh secara materiil.


Though Japan encountered economic stagnation for two decades, the country recently remains committed to develop international partnership with the members of ASEAN. It is palpably seen from Shinzo Abes multiple policies aimed at creating prosperity, peace, and stability in ASEAN region. When Shinzo Abe reserved as Japanese Prime Minister in 2013, he frequently travelled abroad and actively gave speech in public to deliver his vision and mission related to the partnership of Japan and ASEAN. As a speaker, he has distinctive strategies to deliver his ideological ideas. This research employed descriptive qualitative method with critical discourse analysis theory focusing on text production, distribution, and consumption to reveal ideologies in three speeches. This research aims to identify ideologies in Shinzo Abe Prime Ministers speeches about Japans foreign economic relations to ASEAN in 2013. The research reveals that Shinzo Abe adopts 9 ideologies in his speech, they are ASEAN centrality (11 data); prosperous country (10 data); proactive contribution to create peace (6 data); nemawashi (6 data); Cool Japan (4 data); Asia leader (3 data); omotenashi; (3 data); pro-gender (2 data); and Japan as tourism oriented country (1 data). Of the 46 data, 24 of them indicate that Shinzo Abe gain legitimacy symbolically, and 22 data are gained materially."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Kajian Wilayah Jepang, 2019
T52266
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Adninta
"Kuil Yasukuni merupakan kuil Shinto yang terletak di Tokyo. Dalam Perang Dunia II, dipercaya bahwa kuil Yasukuni memiliki peran penting dalam membangun moral baik kaum militer, maupun sipil. Kuil ini juga dipercaya sebagai simbol pengabdian kepada Kaisar. Berkaitan dengan perannya sebagai simbol pengabdian pada kaisar, kuil ini dianggap kontroversial karena dipercaya sebagi representasi ideologi Shinto Negara (Kokka Shinto). Mengunjungi dan berziarah di kuil Yasukuni dianggap melegitimasi sejarah militer Jepang karena di kuil Yasukuni disemayamkan 14 penjahat perang kelas A. Melegitimasi sejarah dan mangabaikan kejahatan yang pernah militer Jepang lakukan adalah aksi merevisi sejarah atau historical revisionism. Kunjungan Perdana Menteri ke kuil Yasukuni selalu menuai kritikan dan kecaman dari negara lain, terutama Cina dan Korea, dua negara yang pernah diokupasi oleh Jepang. Meskipun kuil ini memiliki banyak kontroversi, beberapa Perdana Menteri Jepang tetap mengunjungi kuil ini, termasuk Shinzo Abe yang memang dikenal memiliki pandangan revisionis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan Abe mengunjungi Yasukuni dan mengungkapkan implikasi yang diterima oleh Jepang karena sikap revisionis Abe. Teori Historical Revisionism digunakan untuk mengungkapkan sikap-sikap politik Abe. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif anailtis yang menggunakan prosedur studi pustaka. Melalui penelitian ini ditemukan bahwa Abe memiliki stabilitas politik yang baik dan pemikiran revisionis sehingga dia mengunjungi kuil tersebut. Faktor kunjungan Abe ke Yasukuni menyebabkan ruang diplomatik Jepang dengan Cina dan Korea menjadi terbatas sepanjang tahun 2014.

Yasukuni Shrine is a Shinto shrine located in Tokyo. In World War II, it was believed that Yasukuni shrine had an important role in building morale both military and civilian. This shrine is also believed as a symbol of devotion to the Emperor. Regarding its role as a symbol of devotion to the emperor, this shrine is considered controversial because it is believed as a representation of Shinto State ideology (Kokka Shinto). Visiting the shrine is considered glorifying Japanese military history  because in Yasukuni shrine there’s 14 class A war criminals enshrined. Legitimizing history and ignoring the crimes that the Japanese military had committed was an act of revising history or historical revisionism. The Prime Minister's visit to Yasukuni shrine has always drawn criticism from other countries, especially China and South Korea, the two countries that have been occupied by Japan. Although this shrine has a lot of controversy, some Japanese Prime Ministers still visit this shrine, including Shinzo Abe who is known as a revisionist. This research aims to find out the reason Abe visited Yasukuni and revealed the implications received by Japan because of Abe's revisionist attitude. Historical Revisionism theory is used to express Abe's political attitudes. This research is an analytical descriptive study that uses a literature study procedure. Through this research it was found that Abe had good political stability and revisionist thoughts so he visited the shrine. The factor of Abe's visit to Yasukuni caused Japan's diplomatic space with China and Korea to be limited throughout 2014.

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Hayun Nurdiniyah
"Pasca Perang Dunia II, Jepang maju pesat sebagai negara industri maju. Sektor manufaktur Jepang, termasuk industri otomotif berkembang pesat. Namun, laju industrialisasi menyebabkan perpindahan penduduk usia produktif dari desa ke kota dan dari sektor pertanian ke sektor industri. Akibatnya, sektor pertanian hanya ditangani oleh tenaga kerja usia lanjut. Di samping itu, nilai tambah yang rendah juga menyebabkan sektor pertanian kurang diminati oleh generasi muda angkatan kerja. Akibatnya, pertanian menjadi sektor yang tidak kompetitif di Jepang. Sejak era pertumbuhan ekonomi tinggi, pemerintah Jepang menjalankan kebijakan proteksi dengan memberi subsidi kepada pelaku sektor pertanian. Memasuki abad ke-21, globalisasi dan liberalisasi perdagangan menjadi agenda utama dunia, termasuk Jepang. Untuk mengantisipasi impor produk pertanian yang lebih murah, pemerintah Jepang harus menjalankan kebijakan untuk tidak hanya melindungi, tetapi juga membantu meningkatkan daya saing sektor pertanian. Setelah menjabat sebagai perdana menteri pada Desember 2012, PM Shinzo Abe mengeluarkan paket kebijakan ekonomi salah satunya untuk sektor pertanian. Selain itu, pada Mei 2013 PM Shinzo Abe memutuskan bahwa Jepang akan berpartisipasi dalam perundingan Trans-Pacific Partnership (TPP). Di saat yang bersamaan, PM Abe mendorong implementasi beberapa kebijakan untuk meningkatkan daya saing sektor pertanian Jepang.

In post World War II era, Japan has transformed itself into a leading industrial nation. Manufacturing industries, including automotive industry, has become a leading industry for Japan. However, rapid industrialization caused the urbanization and the migration of working forces from rural to urban area. Consequently, agricultural sector was left to the elderly worker. Meanwhile, the value added of the agricultural products are much lower, causing it less and less attractive to the younger generation. As a result, agricultural sector became less competitive. Since the era of high economic growth, the Japanese government has been taking a number of protective policies, including heavy subsidies, to protect the farmers. However, in the 21st century, globalization and trade liberalization has become the rule of the day, and Japan must also join itu. In order to anticipate the influx of low price agricultural product imports, the Japanese government had to implement policies not only to protect, but also to empower the farmers, and to make agricultural sector in Japan more competitive. In December 2012, prime minister Abe Shinzo came to power, and immediately after, he announced a number of economic policies, including policies to boost the growth of agricultural sector. In May 2013, PM Abe announced that Japan will join the negotiation of Trans-Pacific Partnership (TPP). At the same time, PM Abe had push the implementation of a number of policies to boost agricultural sector in Japan."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T45513
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>