Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 132694 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwiki Alfajri
"Kebijakan royalti 0% pada perusahaan batubara yang melakukan hilirisasi diharapkan dapat membantu meningkatkan Pendapatan Negara untuk kesejahteraan rakyat, sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Namun, kebijakan ini juga berpotensi menyebabkan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam dan akan berpengaruh pada sektor lainnya. Oleh karena itu, penelitian dilakukan untuk mengkaji perkembangan regulasi mengenai hilirisasi sebelum Undang-Undang Cipta Kerja diterbitkan, pelaksanaan hilirisasi, dan implikasi kebijakan royalti 0% pada pengusaha batubara yang melakukan hilirisasi. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian doktrinal. Penelitian ini mengkaji data sekunder yang diperoleh melalui penelusuran literatur atau studi kepustakaan terkait isu isu yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan hilirisasi belum menyeluruh dilakukan oleh pelaku usaha pertambangan. Kebijakan royalti 0% bertujuan mendorong pelaku usaha untuk melakukan hilirisasi, namun juga berdampak negatif pada penerimaan negara, pemanfaatan sumber daya alam, dan ketahanan energi nasional. Namun, di sisi positif, kebijakan ini mendorong transisi energi, meningkatkan nilai tambah batubara, dan menciptakan lapangan pekerjaan. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan semua dampak baik positif maupun negatif dalam merumuskan kebijakan royalti tambang batubara, demi keseimbangan dan memperhatikan kepentingan jangka pendek dan jangka panjang bagi negara, masyarakat, dan lingkungan.

The 0% royalty policy for downstream coal companies is expected to help increase State Revenue for the welfare of the people, in accordance with Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution. However, this policy also has the potential to cause massive exploitation of natural resources and will affect other sectors. Therefore, research was conducted to examine the development of regulations regarding downstream before the Job Creation Law was issued, the implementation of downstream, and the implications of the 0% royalty policy for coal entrepreneurs who carry out downstreaming. In this research, the writer uses doctrinal research method. This study examines secondary data obtained through literature searches or literature studies related to the issues studied. The results of the study indicate that the implementation of downstream mining has not been comprehensively carried out by mining business actors. The 0% royalty policy aims to encourage business actors to downstream, but it also has a negative impact on state revenues, utilization of natural resources, and national energy security. However, on the positive side, this policy encourages the energy transition, increases the added value of coal, and creates jobs. Therefore, it is important for the government to consider all impacts, both positive and negative, in formulating a coal mining royalty policy, for the sake of balance and taking into account short-term and long-term interests for the state, society and the environment.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Ria Bonita
"Perseroan Terbatas Perseorangan adalah Badan hukum perseorangan yang memenuhi kriteria sebagai Usaha Mikro dan Kecil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Usaha Mikro dan Kecil yang mana pendiriannya hanya dilakukan oleh satu orang yang dimunculkan berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. Namun dalam konsep badan hukum dikenal salah satu teori badan hukum yaitu Teori Kekayaan Bersama (Proprietary Collective Theory) Teori Kekayaan Bersama ini merupakan teori yang menganggap badan hukum sebagai kumpulan manusia. Kepentingan badan hukum adalah kepentingan seluruh anggotanya. Teori ini dikemukakan oleh Rudolf von Jhering, (Jerman) dan memperoleh dukungan dari Utrecht (Indonesia), Marcel Planiol (Prancis) dan Molengraaff (Belanda) yang diikuti pula oleh Star Busmann, Kranenburg, Paul Scholten, dan Apeldoorn. Sejalan dengan hal tersebut, sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Dagang di Indonesia, yang di dalamnya mengatur tentang Perseroan Terbatas, sampai kemudian diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Terakhir, diundangkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas diatur dan tertanam dalam pendidikan tinggi hukum bahwa perseroan terbatas ialah perkumpulan modal yang mana pemegang saham jumlahnya lebih dari 1 (satu) orang. Dengan menggunakan metode penelitian doktrinal, tulisan ini akan menganalisis mengenai bagaimana memahami konsep pemegang saham perseorangan berdasarkan teori kekayaan bersama (Proprietary Collective Theory).

Sole Proprietorship Company is an individual legal entity that meets the criteria for micro- and small-scale businesses as set forth in laws and regulations on micro- and small-scale businesses that the establishment is only carried out by one person based on Law Number 6 of 2023 on Enactment of Regulation of The Government In Lieu of Law Number 2 Of 2022 On Job Creation Into Law. However, in the concept of legal entity, there is one of the legal entity theories namely the Proprietary Collective Theory. This Proprietary Collective Theory is a theory that considers legal entity as a group of people. The interests of a legal entity are the interests of all its members. This theory was stated by Rudolf von Jhering, (Germany) and supported by Utrecht (Indonesia), Marcel Planiol (France) and Molengraaff (Netherlands) also followed by Star Busmann, Kranenburg, Paul Scholten, and Apeldoorn. In line with this, since the enactment of Wetboek van Koophandel voor Indonesie, which regulates Limited Liability Companies, until the promulgation of Law No. 1 of 1995 on Limited Liability Companies. Finally, the promulgation of Law No. 40 of 2007 on Limited Liability Companies which is regulated and embedded in higher legal education that a limited liability company is a capital association in which the number of shareholders is more than 1 (one) person. Using doctrinal research methods, this article will discuss how to understand the concept of Sole Proprietorship Company based on the Proprietary Collective Theory."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Resti Fauzi
"Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk menguraikan dan menganalisis permasalahan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tentang Cipta Kerja yang cacat formil dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat tetapi masih memiliki daya laku dan daya ikat sebagai undang-undang. Uji formil itu diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 pada 21 November 2021. Pembentukan dan pengujian undang-undang merupakan proses yang saling berkesinambungan dalam prinsip checks and balances. Uji formil yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan kontrol terhadap proses pembentukan hukum yang menjadi kewenangan kekuasaan dibidang legislasi oleh lembaga yudisial, yaitu upaya kontrol terhadap pembentukan hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. UJi formil Undang-Undang merupakan proses pemeriksaan yang dilakukan terhadap prosedur keabsahan pembentukan Undang-Undang. Proses itu dilakukan atas permohonan yang diajukan masyarakat ke Mahkamah Konstitusi terhadap suatu Undang-Undang yang dianggap menyalahi peraturan pembentukannya. Terdapat tiga masalah yang akan diuraikan dan dianalisis yaitu terkait dengan putusan uji formil nomor 91/PUU-XVIII/2020, implikasi dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi 91/PUU-XVIII/2020 terhadap pembentukan Undang-Undang, dan menguraikan terkait konsep ideal pembentukan undang-undang agar undang-undang tidak cacat formil. Hasil penelitian menunjukan cacat formil diputuskan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang 11 Tahun 2020 karena telah melanggar Peraturan Pembentukan Undang-Undang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 yaitu terkait penggunaan metode omnibus law, asas keterbukaan dengan tidak terpenuhinya partisipasi masyarakat, dan terdapat perubahan terhadap substansi rancangan undang-undang setelah disetujui. Dalam implementasinya putusan itu dapat ditafsirkan berbeda oleh pembentuk undang-undang dan pelaksana undang-undang sehingga mengakibatkan muncul permasalahan baru dalam bidang legislasi. Hal itu terjadi akibat tidak konkritnya norma hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi, yang memberi tafsiran baru terhadap inkonstitusional bersyarat dengan menyatakan undang-undang tetap berlaku sampai syarat dipenuhi.

The research was conducted with the aim of describing and analyzing the problems in the Process of law making of Law Number 11 Concerning Job Creation which was formally flawed and declared conditionally unconstitutional but still has enforceable and binding power as a law. This judicial review of legislative process or due process of law making was decided by the Constitutional Court through Decision Number 91/PUU-XVIII/2020 on November 21, 2021. The process of law making and the due process of law making are mutually continuous processes in the principle of checks and balances. The formal test conducted by the Constitutional Court is a control over the process of law making which is the authority of powers in the field of legislation by the judicial institution, namely an effort to control the law making of law in the Indonesian constitutional system. The formal examination of the law is a process of examining the legality of the formation of the law. The process was carried out based on an application submitted by the public to the Constitutional Court against a law deemed to have violated the regulations for its law making. There are three problems that will be described and analyzed, namely those related to the formal test decision number 91/PUU-XVIII/2020, the implications and implementation of the Constitutional Court Decision 91/PUU-XVIII/2020 on the process of law making, and elaborate on the ideal concept of forming a law. law so that the law is not formally flawed. The results of the research show that the Constitutional Court decided on a formal defect against Law 11 of 2020 because it had violated the Regulations for Forming a Law stipulated in Law Number 12 of 2011 in conjunction with Law Number 15 of 2019, namely related to the use of the omnibus law method, the principle of openness with the non-fulfillment of public participation, and there are changes to the substance of the draft law after it is approved. In its implementation, the decision can be interpreted differently by legislators and law enforcers, resulting in new problems in the field of legislation. This happened due to the lack of concrete legal norms in the decision of the Constitutional Court, which gave a new interpretation of conditional unconstitutionality by stating that the law remains in force until the conditions are met."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andika Fikri Aidu
"Skripsi ini menganalisis fenomena fast track legislation yang dipraktikkan oleh DPR sebagai lembaga legislatif dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja hingga pengesahannya pada masa COVID-19 yang dikategorisasikan sebagai keadaan darurat. Penulis menganalisis urgensi yang menjadi dasar bagi DPR untuk membentuk peraturan perundang-undangan dengan metode fast track legislation dengan menggunakan UU Cipta Kerja sebagai studi kasus. Skripsi ini disusun dengan metode penelitian doktrinal, sehingga skripsi ini diteliti dengan menarik asas-asas hukum yang terkandung pada peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwasanya UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan metode fast track legislation mengalami cacat hukum karena tidak mampu memenuhi asas keterbukaan, dengan tidak melibatkan masyarakat dalam pembentukannya. Oleh karena itu, melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan perlu untuk diperbaiki oleh DPR. DPR sebagai lembaga legislatif seharusnya mengikuti ketentuan yang sudah ada dalam UU P3 dalam pembentukan peraturan perundang-undangan agar peraturan yang dihasilkan dapat menciptakan keadilan dalam masyarakat. Indonesia juga masih perlu belajar dari negara lain seperti Inggris, Ekuador, dan Selandia Baru yang sudah memiliki pengaturan secara khusus untuk membentuk peraturan dengan metode fast track legislation.

This thesis analyzes the phenomenon of fast track legislation practiced by the DPR as a legislative body in the formation of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation until its ratification during the COVID-19 period which is categorized as an emergency. The author analyzes the urgency that is the basis for the DPR to form legislation using the fast track legislation method by using the Job Creation Law as a case study. This thesis is prepared using the doctrinal research method, so that this thesis is researched by drawing legal principles contained in existing laws and regulations. This study concludes that the Job Creation Law, which was formed using the fast track legislation method, is legally flawed because it is unable to fulfill the principle of openness, by not involving the public in its formation. Therefore, through Decision Number 91/PUU-XVIII/2020, the Job Creation Law was declared conditionally unconstitutional and needs to be revised by the DPR. The DPR as a legislative body should follow the existing provisions in the P3 Law in the formation of laws and regulations so that the resulting regulations can create justice in society. Indonesia also still needs to learn from other countries such as the United Kingdom, Ecuador, and New Zealand which already have special arrangements to form regulations using the fast track legislation method.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silaban, Dame Maria
"Terdapat paradoks antara perlindungan lingkungan hidup dengan iuran produksi (royalti) batubara 0% (nol persen) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Adanya aspek resiko kerusakan lingkungan yang harus diperhitungkan Negara pada kegiatan pertambangan batubara maka sebagian dari royalti seharusnya dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat termasuk salah satunya untuk mengembalikan fungsi lingkungan yang terdampak kegiatan pertambangan batubara. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, royalti batubara bukan ditambah melainkan dikurangi, padahal ada biaya pemulihan lingkungan (public compensation) yang harus dipertimbangkan atas terganggunya aspek ekologi pada kegiatan pertambangan batubara, yaitu kerusakan lingkungan dan ekosistem akibat aktivitas penambangan batubara. Seharusnya Negara dalam menentukan nilai royalti batubara mempertimbangkan aspek ekologi tersebut yang mana sebagian dari royalti tersebut dapat dipergunakan untuk mengembalikan fungsi lingkungan dan pemulihan (restorasi) ekosistem termasuk rehabilitasi lingkungan yang terdampak.

There is a paradox between environmental protection with 0% (zero percent) coal production fee (royalty) in Law No.11 of 2020 regarding Job Creation. The risk existence of environmental damage that must be taken into account by the State in coal mining activities, then part of the royalties should be used as much as possible for the prosperity of the people, including to restore environmental functions affected by coal mining activities. In Law No.11 of 2020 regarding Job Creation, coal royalties are not increased but even reduced, even though there are environmental restoration costs (public compensation) that must be considered for effecting the ecological aspects of coal mining activities, namely environmental and ecosystem damage due to coal mining activities. The State should in determining the value of coal royalties consider the ecological aspects in which part of the royalties can be used to restore environmental functions and ecosystem restoration (restoration), including rehabilitation of the affected environment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vina Natalia
"Penelitian ini ditulis untuk dapat menjawab mengenai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (PMK 91/2020) atas perkara pengujian formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020), yang ditindaklanjuti dengan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu 2/2022). Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan bahan-bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Di samping itu, penelitian ini juga didukung dengan data primer yang dikumpulkan melalui wawancara narasumber terkait. Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa secara formil Perppu memang dapat menggantikan undang-undang sebagai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan MK). Sebab, kedua jenis peraturan ini memiliki hierarki, fungsi, dan materi muatan yang sama. Selain itu, Putusan MK sendiri pada dasarnya juga dapat ditindaklanjuti dengan jenis peraturan perundang-undangan apapun atau bahkan hanya dengan tindakan biasa. Hal tersebut dapat terjadi karena memang bergantung pada kasus yang diputus oleh MK. Akan tetapi, dalam konteks PMK 91/2020 yang ditindaklanjuti dengan Perppu 2/2022, maka kapasitas Perppu untuk melakukan hal tersebut tidak bisa serta merta dapat diterima dan oleh karenanya tindak lanjut tersebut menjadi tidak tepat. Sebagaimana PMK 91/2020 sangat menekankan bahwa perbaikan UU 11/2020 harus bersamaan menghadirkan partisipasi yang bermakna (meaningful participation). Artinya, dalam melakukan perbaikan UU 11/2020 harus dapat menciptakan partisipasi dan keterlibatan masyarakat secara sungguh-sungguh, yang mana dalam perbaikannya harus memenuhi 3 (tiga) prasyarat yakni right to be heard, right to be considered, dan right to be explaine. Sedangkan Perppu 2/2022 tidak mungkin dapat mengakomodir partisipasi masyarakat dalam proses pembentukannya, terlebih lagi dalam memenuhi esensi partisipasi yang bermakna. Sebab, Perppu 2/2022 tidak dapat mendetailkan right to be heard, right to be considered, dan right to be explained, melainkan Perppu 2/2022 adalah sebagai bentuk penerjemahan dari partisipasi yang pura-pura dan formalistik.

This research aims to review Government action after the Constitutional Court Decision Number 91/PUU-XVIII/2020 (PMK 91/2020) regarding the enactment review of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation (UU 11/2020), which was followed up with stipulation of Government Regulation in Lieu of Law Number 2 of 2022 concerning Job Creation (Perppu 2/2022). This research is a normative juridical research using library materials or secondary data which includes primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. In addition, this research is also supported by primary data collected through interviews with relevant source persons. This study found that formally a Perppu can indeed replace a law as a follow-up to the Constitutional Court's decision, because these two types of regulations have the same hierarchy, function, and substance. Moreover, the Constitutional Court's decision can also be followed up with any type of legislation or even just ordinary actions, depending on the case decided by the Constitutional Court. However in this case, it is inappropriate for the Government to follow up PMK 19/2020 with Perppu 2/2022 since Perppu is not capable and acceptable to replace UU 11/2020 immediately. PMK 91/2020 strongly emphasizes that revisions to Law 11/2020 must simultaneously bring about meaningful public participation. This means that in amending Law 11/2020, the Government must create genuine public participation and involvement, which must at least fulfill 3 (three) prerequisites: the right to be heard, the right to be considered, and the right to be explained. Meanwhile, the forming proccess of Perppu 2/2022 is unlikely to be able to accommodate public participation, especially in fulfilling the essence of meaningful public participation. Perppu 2/2022 is not able to pursue the right to be heard, right to be considered, and right to be explained, and instead is a form of pretend and formalistic participation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bella Yuliana Lintangsari
"Salah satu penyumbang terbesar sector pajak ialah UMKM. UMKM berhak membayar pajak karena UMKM merupakan bentuk dari badan usaha dan memiliki penghasilan usaha. Akibatnya, pendapatan dari UMKM harus dikenakan pajak. Isu utama yang terjadi terkait dengan adanya peraturan omnibus law dimana semua undang-undang jadi satu, seharusnya Undang-Undang terkait perpajakan merupakan lex specialis. Sehingga dikhawatirkan UU Cipta Kerja akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum terutama dalam bidang perpajakan. Metode Penelitian yang digunakan adalah doktrinal dengan menggunakan data sekunder yang bersumber dari bahan hukum primer dan sekunder yang erat kaitannya dengan pajak, pajak penghasilan, dan pajak UMKM. Dari hasil penelitian menunjukkan, terdapat perbedaan kategori UMKM berdasarkan UU UMKM, PP 7 Tahun 2021 dan dalam hukum pajak. Pengenaan PPh bagi pelaku UMKM harus sesuai dengan kemampuan membayar. Melalui UU Nomor 7 tahun 2021 pemerintah memiliki tujuan untuk mengharmonisasikan lex specialist dari UU Cipta Kerja, kandungan UU Nomor 7 Tahun 2021 membebaskan PPh bagi pengusaha perorangan yang memiliki penghasilan kurang dari Rp. 500 juta.

One of the biggest contributors to the tax sector is micro, small, and medium enterprises. Micro, small, and medium enterprises are entitled to pay taxes because they are forms of business entities and have business income. As a result, income from micro, small, and medium enterprises must be taxed. The main issue that occurs is related to the existence of omnibus law regulations, where all laws become one. Laws related to taxation should be lex specialis. So it is feared that the Job Creation Law will cause multiple interpretations and legal uncertainty, especially in the field of taxation. The research method used is doctrinal, using secondary data sourced from primary and secondary legal materials that are closely related to taxes, income taxes, and taxes on micro, small, and medium enterprises. From the results of the study, there are differences in the categories of micro, small, and medium enterprises based on the law on the category of micro, small, and medium enterprises, PP 7 of 2021, and in tax law. The imposition of income tax on micro, small, and medium enterprises must be in accordance with their ability to pay. Through Law Number 7 of 2021, the government aims to harmonize the lex specialists from the Job Creation Law. The content of Law Number 7 of 2021 exempts income tax for individual entrepreneurs who have an income of less than Rp. 500 million."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Demetrio Reinhart Priono
"Penerapan sanksi pidana denda atas pelanggaran hukum memiliki sejarah panjang, di mana setiap peradaban dan budaya memiliki bentuk hukuman sendiri untuk pelanggaran hukum. Pemidanaan, yang identik dengan pemberian hukuman, mengacu pada penderitaan yang sengaja diberikan kepada individu yang melanggar hukum, sebagaimana didefinisikan oleh para ahli hukum. Penelitian ini mengkaji penerapan pidana denda dalam tindak pidana persaingan usaha di Indonesia setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, yang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas pidana denda sebagai instrumen hukum dalam menegakkan persaingan usaha yang sehat serta implikasi hukum dari perubahan regulasi tersebut. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan studi kasus. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 telah menyebabkan dekriminalisasi terhadap beberapa tindak pidana persaingan usaha, mengalihkan pendekatan dari penegakan pidana ke penegakan administratif. Dekriminalisasi ini bermasalah karena berpotensi mengurangi efek jera yang dapat diberikan oleh sanksi pidana, termasuk denda. Penegakan pidana yang efektif dapat memiliki efek jera yang signifikan terhadap pelanggar, seperti yang dibuktikan oleh praktik di yurisdiksi lain seperti Amerika Serikat. Potensi denda sebagai alat penegakan hukum yang kuat belum sepenuhnya dioptimalkan dalam kerangka regulasi baru ini. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, pendekatan penegakan hukum pidana dalam persaingan usaha telah bergeser, lebih memilih penegakan administratif daripada sanksi pidana. Dekriminalisasi ini dianggap kurang menguntungkan karena penegakan pidana yang efektif, termasuk denda, dapat memberikan efek jera yang signifikan, seperti yang dibuktikan oleh praktik di Amerika Serikat. Selain itu, potensi denda sebagai alat penegakan hukum yang kuat belum sepenuhnya dioptimalkan. Rekomendasi penelitian ini termasuk tinjauan lebih mendalam oleh pemerintah mengenai potensi re-kriminalisasi terhadap tindak pidana persaingan usaha yang serius, terutama kartel hardcore seperti penetapan harga, pembatasan produksi, dan pembagian pasar. Selain itu, perlu ada evaluasi mekanisme saat ini untuk menghitung denda dan menghapus batas maksimum denda untuk meningkatkan kepatuhan dan menciptakan lingkungan usaha yang lebih kompetitif dan adil di Indonesia.

The imposition of criminal fines for legal violations has a long history, with each civilization and culture having its own forms of punishment for such violations. Penalization, synonymous with sentencing, refers to the suffering intentionally imposed on individuals who break the law, as defined by legal experts. This study examines the application of criminal fines in business competition offenses in Indonesia following the enactment of Law No. 6 of 2023, which established the Government Regulation in Lieu of Law No. 2 of 2022 on Job Creation as law. The research aims to analyze the effectiveness of criminal fines as a legal instrument in enforcing fair business competition and the legal implications of the regulatory changes. The method used is normative juridical with a legislative and case study approach. The enactment of Law No. 6 of 2023 has led to the decriminalization of certain business competition offenses, shifting the approach from criminal enforcement to administrative enforcement. This decriminalization is problematic as it potentially reduces the deterrent effect that criminal sanctions, including fines, can provide. Effective criminal enforcement can have a significant deterrent effect on violators, as evidenced by practices in other jurisdictions such as the United States. The potential of fines as a powerful enforcement tool has not been fully optimized under the new regulatory framework. The study concludes that since the enactment of Law No. 6 of 2023, the approach to criminal law enforcement in business competition has shifted, favoring administrative enforcement over criminal penalties. This decriminalization is considered less favorable because effective criminal enforcement, including fines, can provide a significant deterrent effect, as evidenced by practices in the United States. Moreover, the potential of fines as a powerful enforcement tool has not been fully optimized. The study's recommendations include a deeper review by the government regarding the potential re-criminalization of serious business competition offenses, especially hardcore cartels such as price-fixing, production limitations, and market division. Additionally, there should be an evaluation of the current mechanisms for calculating fines and removing maximum fine limits to enhance compliance and create a more competitive and fair business environment in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Kesuma
"Alih daya kerap menjadi permasalahan dalam ketenagakerjaan di Indonesia, beragam penolakan khususnya dari kaum pekerja kerap terjadi, namun praktek outsourcing tetap dilaksanakan karena merupakan sebuah solusi efisiensi dalam dunia usaha. Rumusan masalah pada thesis ini adalah 1. Bagaimanakah konsep serta pengaturan dan perlindungan alih daya dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia?; 2. Bagaimanakah pelaksanaan dan kendala terhadap perlindungan pekerjaalih daya pasca diberlakukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja?; dan 3. Bagaimanakah pengaturan alih daya yang berkeadilan serta memberikan perlindungan bagi pekerja alih daya? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif bersifat deskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder melalui penelusuran literatur hukum dan kepustakaan serta dilengkapi dengan wawancara terhadap narasumber. Hasil penelitian yakni: 1. Dalam alih daya, terdapat tiga pihak yang melakukan hubungan hukum yaitu perusahaan pemberi pekerjaan, perusahaan penerima pekerjaan dan pihak pekerja/buruh yang terikat dalam hubungan hukum melalui perjanjian penyerahan pekerjaan antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penerima pekerjaan, serta yang kedua adalah perjanjian kerja antara perusahaan penerima pekerjaan dan pihak pekerja/buruh. Alih daya diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Cipta Kerja Pelaksanaan alih daya diatur dalam peraturan pelaksana Undang-Undang Cipta Kerja, yaitu PP No. 35 Tahun 2021; 2. Setelah berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja harus dilakukan format ulang perjanjian kerja dan perjanjian alih daya dengan memperhatikan perkembangan terakhir bisnis alih daya paska berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja dan PP No. 35 Tahun 2021. Terdapat beberapa kendala dalam perlindungan hukum bagi pekerja alih daya pasca keberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja. 3. Skema co-employment dapat diadopsi dalam hukum Indonesia untuk menerapkan adanya hubungan antara perusahaan pemberi kerja dan pekerja. Perusahaan pemberi kerja dan perusahaan alih daya secara bersama-sama berperan sebagai pengusaha atau majikan terhadap pekerja. Selain itu perlu dilakukan beberapa perbaikan dalam perlindungan hukum dan pengawasan bagi pekerja alih daya.

Outsourcing often becomes problem in employment in Indonesia, various rejections, especially from workers, often occur, however the practice of outsourcing is still carried on as it is an efficient solution in the business world. Formulations of problem in this thesis are 1. How is the concept, regulation, and protection of outsourcing under employment law in Indonesia?; 2. How is the implementation of outsourcing and obstacles on the legal protection of outsourced workers post the validity of Law No. 11 Year 2020 on Job Creation; and 3. How is the equitable arrangements and provide legal protection for outsourced workers? This research uses a descriptive juridical-normative approach. The type of data used is secondary data through tracing legal literature and literature and is complemented by interviews with informants. The results of the study are: 1. In outsourcing, there are three parties that carry out legal relations, which are the employer company, the job recipient company and the worker/labor who are bound by legal relationship through work outsourcing agreement between the employer company and the job recipient company, and the second is employment agreement between the job recipient company and the worker/labor. Outsourcing is regulated in the Employment Law, namely Law No. 13 of 2003 which was later amended by the Job Creation Law, and further regulated on PP No. 35 of 2021; 2. After the enactment of the Job Creation Law, a reformat of work agreements and outsourcing agreements must be carried out by taking into account the latest developments in the outsourcing business after the enactment of the Job Creation Law and PP No. 35 of 2021. There are several obstacles in legal protection for outsourced workers after the enactment of the Job Creation Law. 3. The co-employment scheme can be adopted in Indonesian law to implement the relationship between the employer and the worker. Employers and outsourcing companies jointly act as employers or employers towards workers. In addition, it is necessary to make some improvements in legal protection and supervision for outsourced workers."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fabian Buddy Pascoal
"Pengesahan Undang-undang (UU) Cipta Kerja bertujuan menciptakan lapangan kerja sekaligus akselerasi investasi, terutama penanaman modal asing (PMA). Seiring meningkatnya kesadaran dan risiko dampak perubahan iklim, investasi berkelanjutan berdasarkan faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) atau environmental, social, and governance (ESG) semakin diminati. Permasalahannya adalah (a) UU Cipta Kerja menghasilkan kebijakan investasi yang cenderung mengarah pada pelemahan faktor lingkungan, dan (b) proses perumusannya tidak melibatkan partisipasi publik sebagai bagian dari faktor sosial dan tata kelola. Penelitian ini bertujuan untuk mendalami kebijakan investasi berkelanjutan berbasis kebijakan publik sebagai bagian dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang mempertimbangkan critical threshold yang menerapkan faktor ESG di Indonesia. Metode penelitian menggunakan analisis deskriptif, soft system methodology (SSM), dan analytic hierarchy process (AHP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja belum sepenuhnya mendukung investasi berkelanjutan berdasarkan ketiga faktor ESG, sehingga dibutuhkan alternatif kebijakan dengan prioritas yang diarahkan pada penguatan kapasitas SDM kelembagaan.

The enactment of the Omnibus Law on Job Creation aims to foster employment and accelerate foreign direct investment (FDI). With an escalating awareness of climate change impacts, there is a growing interest in sustainable investments grounded in environmental, social, and governance (ESG) factors. Two primary issues arise: (a) the law tends to formulate investment policies favoring economic considerations over environmental factor, and (b) the formulation process lacks public participation as component in social and governance factors. This research explores sustainable investment policies within the framework of public policy, as a part of Gross Domestic Product (GDP) subject to critical threshold, with ESG factors in Indonesia. Implementing descriptive analysis, soft system methodology (SSM), and analytic hierarchy process (AHP) as research methods, the findings highlight that, the Job Creation Law falls short in fully supporting sustainable investments, necessitating alternative policies focused on enhancing institutional human resource capacities."
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>