Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 55044 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lulu Widyaningsih
"Meokta (먹다) merupakan verba yang dipelajari dalam bahasa Korea tingkat dasar
dengan frekuensi tingkat penggunaan yang tinggi. Verba ini memiliki makna leksikal
‘makan’ atau ‘makan dengan memasukkan objek padat ke dalam tubuh melalui mulut’
dan berbagai makna turunan lainnya. Penelitian ini membahas tentang makna polisemi
verba meokta (먹다) dalam bahasa Korea. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan variasi makna polisemi verba meokta (먹다) dalam bahasa Korea.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode studi pustaka dengan
pendekatan kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa verba meokta
(먹다) sebagai polisemi memiliki berbagai makna yang dimotivasi oleh kedekatan
ruang, kedekatan sebab akibat, dan kesamaan sifat. Variasi makna dasar meokta (먹다),
yaitu ‘makan’, ‘mengunyah’, dan ‘minum’. Sementara itu, variasi makna turunan
meokta (먹다) berdasarkan kedekatan ruang, yaitu ‘menghirup’, ‘makan (subjek
hewan)’, dan ‘menyerap (subjek tumbuhan)’. Berikutnya, makna turunan meokta (먹다)
berdasarkan kedekatan sebab akibat, yaitu ‘mendapatkan hal positif atau negatif’,
‘mendapatkan pengalaman’, dan ‘kehilangan benda konkret atau abstrak’. Terakhir,
makna turunan meokta (먹다) berdasarkan kesamaan sifat, yaitu ‘dimakan’, ‘dipotong’,
‘diserap’, dan ‘ditempel’.

Meokta (먹다) is a verb learned in elementary level Korean with a high frequency of
usage. It has a lexical meaning of ‘to eat’ or ‘to eat by taking a solid object into the
body through the mouth’ and various other derived meanings. This research discusses
the polysemy meaning of the verb meokta (먹다) in Korean. This research aims to
describe the variation of polysemy meaning of the verb meokta (먹다) in Korean. The
method used to analyze the data in this research is the library research method with a
descriptive qualitative approach. The results show that the verb meokta (먹다) as a
polysemy has various meanings motivated by spatial contiguity, causal contiguity, and
characteristics similarity. The variations of the basic meaning of meokta (먹다) are
‘eating’, ‘chewing’, and ‘drinking’. On the other side, meokta (먹다) derivative
meaning variations based on spatial contiguity are ‘inhale’, ‘eat (animal subject)’, and
‘absorb (plant subject)’. Also, meokta (먹다) derivative meanings based on causal
contiguity are ‘getting positive or negative things’, ‘getting experience’, and ‘losing
concrete or abstract objects’. Lastly, meokta (먹다) derivative meanings based on
characteristics similarity are ‘eaten’, ‘cut’, ‘absorbed’, and ‘pasted’.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Maurilla
"Terdapat banyak kosakata bahasa Jepang yang memiliki makna lebih dari satu namun makna-makna tersebut masih saling berhubungan yang disebut sebagai polisemi (多義語; tagigo). Verba wakaru merupakan salah satu contoh kata berpolisemi. Adanya perbedaan pada makna verba wakaru sering menimbulkan kesalahan dalam penerjamahan ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terhadap berbagai makna pada verba wakaru. Penelitian ini berfokus pada komponen makna pada verba wakaru. Data penelitian diambil dari drama Jepang periode tahun 2015-2019. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa verba wakaru sebagai polisemi memiliki tujuh buah makna dan setiap makna mengandung komponen makna yang berbeda, yaitu `pemahaman terhadap suatu hal`, `sesuatu hal menjadi jelas`, `rasa empati`, `pernyataan setuju`, `mengetahui informasi`, `mengerti apa yang diucapkan`, `mengenali seseorang`. Selain dapat dijelaskan dengan kata `tahu` dan `paham`, verba wakaru juga dapat dijelaskan dengan kata `mengenali`, `berempati`, dan juga kata `setuju` tergantung pada komponen makna yang dikandungnya.

There are many Japanese vocabularies that have more than one meaning but the meanings are still interconnected which is called polysemy (多 義 語; tagigo). Verb wakaru is an example of the word that polysemics. Differences in the meaning of verb wakaru often lead to errors in translation into Indonesian. Therefore, research needs to be done on various meanings on verb wakaru. This research focuses on the meaning components of meaning in verb wakaru. The research data was taken from Japanese drama period 2015-2019. The research method used is a qualitative method. The results showed that verb wakaru as polysemics had seven meanings and each meaning contained different meaning components, namely `understanding of something`, `things become clear`, `empathy`, `statement of agreement`, `know some information`, `understand what is said`, `recognize someone`. Besides being able to be explained with the words 'know' and 'understand', wakaru verbs can also be explained with the words 'recognize', 'empathize', and also the word 'agree' depends on the meaning components contained."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nickyta Cahaya Putri
"Penelitian ini mengkaji komponen makna verba bahasa Korea yang memiliki relasi makna ‘memakai’. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan perbedaan makna enam verba bahasa Korea yang memiliki relasi makna ‘memakai’, yakni verba sseuda, sayonghada, iyonghada, chakyonghada, ibta, dan sinta berdasarkan komponen maknanya. Penelitian ini dirancang untuk menjawab dua pertanyaan penelitian, yaitu bagaimana makna konseptual keenam verba tersebut dan bagaimana perbedaan makna keenam verba yang menjadi objek penelitian ini. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif-analitis. Analisis komponen makna digunakan untuk mencari tahu perbedaan keenam objek penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan: pertama, keenam verba memiliki makna konseptual yang sama dari tiga kamus yang digunakan sebagai data primer. Kedua, perbedaan keenam verba ini dibagi ke dalam 4 kategori komponen maknanya, yakni objek yang diikuti oleh verba, tujuan pemakaian, posisi objek, dan asal kata. Terdapat 1 komponen umum dan 13 komponen pembeda dari keenam verba yang dianalisis.

This research examines componential meaning of Korean verb which have the semantic relation of ‘to use’. The purpose of this research is to describe the difference in meaning of the six Korean verbs that have semantic relation of ‘to use’ based on the componential meaning, namely sseuda, sayonghada, iyonghada, chakyonghada, ibta, and sinta. This research aims to answer two questions, which are how is the conceptual meaning of the six verbs and how is the meaning differences between the six verbs which are the object of this research. This research is a qualitative research which uses a descriptive analysis method. Componential analysis of meaning is used to find out the difference between those six research objects. This research concludes that the six verbs have the same conceptual meaning with three different dictionaries used as a primary data. Furthermore, the differences between those six verbs differ based on the categories, which are the object that followed by the verb, the purpose of the usage, the position of the object, and the origin of the word. In this research, there is 1 common component and 11 diagnostic components from the analyzed six verbs."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indoneisa, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Kezia Febiola
"Polisemi merupakan keadaan di mana suatu kata/leksem memiliki lebih dari satu makna yang berkaitan. Bahasa Mandarin adalah bahasa yang berlimpah dengan kata berpolisemi (多义词), salah satunya leksem/kata 发 fā. Penelitian ini membahas makna dasar dan makna perluasan leksem 发 fā, dan sumbangsih makna pada kata majemuk/frase yang mengandung leksem 发 fā melalui analisis komponen makna oleh teori Nida (1975). Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dari sumber data utama 现代汉语词典 Xiàndài Hànyǔ Cídiǎn (Kamus Bahasa Cina Modern). Data yang dihimpun adalah 16 makna leksem 发 fā dan 24 kata majemuk atau frase yang mengandung leksem 发 fā. Dari hasil analisis ditemukan komponen bersama (common component) yang mengaitkan keseluruh makna-makna yang dimiliki leksem 发 fā adalah komponen [+perbuatan] [+perubahan keadaan]. 24 data kata majemuk atau frase juga diklasifikasikan berdasarkan sumbangsih salah satu dari 16 makna leksem 发 fā. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa makna leksem 发 fā dikekalkan pada setiap kata majemuk/frase yang mengandung leksem 发 fā.

Polysemy is a condition in which a word/lexeme has more than one related meanings. Mandarin is a language that has abundant of polysemous words (多义词), one of which is lexeme 发 fā. This paper discuss the core meaning and the extension meanings of lexeme 发 fā, and the meaning contribution in compound words/phrases that contain lexeme 发 fā through the componential analysis of meaning by Nida’s theory (1975). The research method used is descriptive qualitative method from the main data source 现代汉语词典 Xiàndài Hànyǔ Cídiǎn (Contemporary Chinese Dictionary). The collected data are 16 meanings of lexeme 发 fā and 24 compound words or phrases that contain lexeme 发 fā. The result of the analysis found that the common component that links all the meanings of lexeme 发 fā are [+action] [+change of state]. 24 compound words or phrases are also classified based on the contribution of one of the lexeme 发 fā’s 16 meanings. This study also found that the meaning of lexeme 发 fā is retained in every compound word/phrase that contains lexeme 发 fā."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ririen Ekoyanantiasih
Jakarta: Pusat Bahasa. Departemen Pendidikan Nasional, 2007
499.22 RIR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Rizky Fauziah
"Sebuah kata yang memiliki lebih dari satu makna dan memiliki pertautan antarmaknanya disebut polisemi. Dalam Bahasa Jepang terdapat kata bon’yari dari kelas kata adverbia yang memiliki lebih dari satu makna dan memiliki keterkaitan antarmaknanya. Hal ini dapat menjadi penghambat apabila penutur asing membaca bacaan Bahasa Jepang dan menemukan kata yang sama dengan makna yang berbeda. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk memaparkan makna dan penggunaan adverbia bon’yari yang ditemukan dalam cerpen Bahasa Jepang. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan melakukan identifikasi kata bon’yari secara morfologis, sintaksis dan semantik, yaitu menentukan kelas kata, unit sintaksis, serta relasi makna menggunakan teori analisis polisemi. Hasil dari penelitian ini adalah ditemukan 28 data kalimat yang mengandung kata bon’yari Data tersebut dikelompokan menjadi empat kelompok yaitu, bon’yari yang mengungkapan keadaan tidak fokus, keadaan tidak bisa berpikir jernih, menjelaskan fenomena kasatmata yang samar, dan menjelaskan perihal yang tidak jelas. Selain itu diketahui bahwa bon’yari sebagai adverbia membuat kata tersebut tidak selalu berada tepat sebelum kata yang dijelaskan, dan bon’yari dapat diikuti partikel to maupun tidak, dapat diikuti kata shita saat berada tepat sebelum nomina, serta dapat diikuti kata shite saat berada tepat sebelum verba.

A word that has more than one meaning and has a link between its meanings is called polysemy. In Japanese there is a word bon'yari which has more than one meaning and has a relationship between its meanings. This can be an obstacle when foreign try to read Japanese texts and find the same word with different meanings. Therefore, this study aims to explain the meaning and usage of the adverb bon'yari in Japanese short story. The method used in this research is descriptive qualitative using syntax and morphology, as well as polysemy analysis theory in describing meaning. The results of this study were found 28 data containing the word bon'yari in it, from the data it can be grouped into four types, unfocused expressions, expressions of not being able to think clearly, explaining visible phenomena, and explaining things that are not clear. In addition, it is shown that the position of bon'yari as an adverb makes the word not always be right before the word that being explained, can also be followed by the particle to or not, can be followed by shita when it comes right before noun, and can be followed by shite after verb."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Carissa Erlinda
"ABSTRAK
Verba bahasa Jepang dasu dan hajimeru masing-masing memiliki makna leksikal yang berbeda. Dasu memiliki makna ?mengeluarkan? dan hajimeru memiliki makna ?memulai?. Namun demikian, sebagai verba sufiks dalam verba majemuk gramatikal bahasa Jepang, dasu dan hajimeru memiliki makna gramatikal yang sama yakni ?mulai?. Meskipun memiliki makna gramatikal yang sama, terdapat beberapa perbedaan di antara kedua verba sufiks tersebut. Perbedaan tersebut dapat ditemukan pada makna dan penggunaan dari verba sufiks dasu dan hajimeru. Dasu cenderung digunakan untuk menggambarkan hal yang tidak diduga, sedangkan hajimeru cenderung digunakan untuk menggambarkan hal yang terjadi secara bertahap.

ABSTRACT
Japanese verbs dasu and hajimeru have different lexical meaning. Dasu means ?to take out? and hajimeru means ?to begin (something). However, as a verb suffixes in syntactic compound verb, both have the same grammatical meaning, which is ?start? or ?begin?. Even though they share the same grammatical meaning, there have to be differences in between them. Those differences can be found in the meaning and the use of them in syntactic compound verb. Dasu tends to depict unexpected things, while hajimeru tends to be depict things that happens gradually.
"
2015
S59692
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Republik Indonesia, 2014
499.22 POL
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002
499.251 POL
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Azarine Zhafirah Zahra
"Pada dasarnya manusia tidak lepas dari sistem simbol karena simbol digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan sebuah makna atau pesan sehari-hari. Sistem simbol sangat penting bagi manusia, hal ini tercermin dalam karya sastra drama yang menunjukkan betapa pentingnya sistem simbol. Extraordinary Attorney Woo adalah salah satu drama yang menghadirkan simbol ikan jeda di beberapa adegannya. Drama ini mengisahkan Woo Young Woo, seorang pengacara masalah yang bekerja di sebuah firma hukum terkemuka di Korea Selatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan makna simbol ikan jeda dalam drama Extraordinary Attorney Wooserta menganalisis pesan yang disampaikan oleh tokoh utama melalui simbol jeda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan teori semiotika Roland Barthes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa simbol ikan jeda dalam drama ini dimaknai sebagai 'kekeluargaan', 'ketidakbebasan', dan 'kesepian'. Dari ketiga makna tersebut, pesan yang disampaikan tokoh utama adalah ikan jeda dan manusia memiliki beberapa kesamaan sebagai makhluk hidup. Seperti halnya manusia, ikan paus memiliki sifat kekeluargaan yang selalu hidup bersama keluarganya. Ikan jeda memiliki hak sebagai makhluk hidup, yakni hak kebebasan untuk hidup di habitat aslinya. Manusia tidak bisa lepas dari rasa kesepian, begitu pun dengan ikan jeda yang memiliki rasa kesepian karena terpaksa berpisah dari kelompoknya.

Manusia dan sistem simbol pada dasarnya saling terkait karena simbol digunakan sebagai media untuk menyampaikan makna dan pesan sehari-hari. Sastra drama yang menunjukkan pentingnya sistem simbol bagi manusia, menunjukkan betapa pentingnya sistem simbol itu. Salah satu drama yang menggunakan simbol ikan paus dalam beberapa sekuennya adalah Extraordinary Attorney Woo. Protagonis dari drama ini adalah Woo Young Woo, seorang pengacara disabilitas yang bekerja di sebuah firma hukum ternama di Korea Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi signifikansi simbol paus yang digunakan dalam drama Extraordinary Attorney Woo dan untuk mengkaji pesan yang direpresentasikan oleh simbol paus untuk tokoh utama. Sebagai acuan dalam penelitian, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan semiotika Roland Barthes. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makna paus dalam drama ini adalah "kekeluargaan", "kurangnya kebebasan", dan "kesepian". Pesan tokoh utama dapat ditemukan dari ketiga interpretasi tersebut. Paus dan manusia memiliki banyak kesamaan sebagai makhluk hidup. Seperti halnya manusia, paus memiliki kekerabatan yang selalu hidup berkelompok. Paus memiliki hak sebagai makhluk hidup, yaitu hak kebebasan untuk hidup di habitat aslinya. Manusia tidak bisa lepas dari rasa kesepian, begitu juga paus yang memiliki rasa kesepian karena terpaksa harus berpisah dari kelompoknya padahal paus sudah terbiasa hidup bersama kelompoknya. yaitu hak kebebasan untuk hidup di habitat aslinya. Manusia tidak bisa lepas dari rasa kesepian, begitu juga paus yang memiliki rasa kesepian karena terpaksa harus berpisah dari kelompoknya padahal paus sudah terbiasa hidup bersama kelompoknya. yaitu hak kebebasan untuk hidup di habitat aslinya. Manusia tidak bisa lepas dari rasa kesepian, begitu juga paus yang memiliki rasa kesepian karena terpaksa harus berpisah dari kelompoknya padahal paus sudah terbiasa hidup bersama kelompoknya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>