Ditemukan 125682 dokumen yang sesuai dengan query
Berlin Anggitasari
"Film merupakan salah satu bentuk karya sastra yang efektif menyampaikan ideologi atau suatu pemikiran kepada masyarakat luas. Film Ode to My Father yang diproduksi pada tahun 2014 merupakan salah satu film Korea Selatan yang tidak hanya menampilkan kembali peristiwa sejarah dengan rentang waktu masa perang Korea hingga Korea modern tetapi juga mengandung representasi jangnam atau anak laki-laki pertama dalam keluarga Korea di dalamnya. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dengan pendekatan teori semiotika Roland Barthes. Penelitian bertujuan untuk mengetahui makna representasi atas nilai-nilai jangnam dalam film Ode to My Father dan untuk mengetahui makna konotasi, denotasi, serta mitos atas nilai-nilai jangnam yang ditampilkan dalam film Ode to My Father. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa representasi jangnam yang ditampilkan dalam film Ode to My Father antara lain mendampingi orang tua dalam mengasuh adik-adik, menjadi pengganti ayah sebagai kepala keluarga, sikap siap bekerja keras untuk kepentingan keluarga, sikap teguh hati dan berkepribadian tangguh, sikap rela berkorban untuk kepentingan keluarga, dan bertanggung jawab untuk memimpin ritual tradisi dalam lingkup keluarga.
Film is a type of literary work that can effectively spread an idea or an ideology to a larger audience. One South Korean movie from 2014, Ode to My Father, not only depicts historical occurrences from the Korean War to contemporary Korea, but also features a representation of jangnam, or the first son in a Korean family. Roland Barthes' semiotic theory approach is used with a qualitative descriptive analytic method in this study. The goals of this study are to understand the significance of how Jangnam values are represented in the movie Ode to My Father and to understand the connotation, denotation, and mythical interpretations of Jangnam values displayed in the movie. The results of this study indicate that the representation of jangnam shown in the film Ode to My Father includes accompanying parents in raising younger siblings, being a substitute for the father as the head of the family, being ready to work hard for the benefit of the family, having a firm heart and having a tough personality, being willing to sacrifice for the benefit of the family, and is responsible for leading traditional rituals within the family."
Depok:
2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Stam, Robert
New York: Blackwell, 2000
791.43 Sta f
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Muhamad Dwiki Armani
"Film dengan genre animasi memiliki daya tarik tersendiri. Film animasi dapat merepresentasikan unsur kebudayaan suatu bangsa dengan grafis yang beragam dan menarik. Salah satu film yang merepresentasikan budaya Cina antara lain adalah Film Turning Red '青春变形记' (Qīngchūn biànxíng jì) (2020). Representasi budaya Cina dalam film Turning Red menampilkan unsur-unsur ajaran Konfusianisme dalam hubungan keluarga. Konfusianisme merupakan salah satu unsur kebudayaan Cina yang berisi falsafah hidup bagi etnis Cina baik yang tinggal di daratan Cina, maupun di luar daratan Cina. Dalam Konfusianisme terdapat konsep harmonisasi sebagai unsur bijak manusia antara lain Ren 仁 (kemanusiaan), Yi 義 (kebajikan/keadilan), Li 礼 (etika), Zhi 知 (pengetahuan), Xin 信 (integritas), Zhong 忠 (kesetiaan), 孝 (Xiào) (bakti kepada orang tua). Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana representasi Xiao pada film animasi berjudul Turning Red melalui penokohan Meilin Lee, Ming Lee, dan Wu. Melalui metode kualitatif, penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana bentuk representasi konsep Xiao yang ditunjukan pada film Turning Red melalui adegan tokoh-tokoh pada film. Melalui pendekatan deskriptif, penelitian ini menemukan bahwa konsep Xiao merupakan faktor penting dalam membangun alur dan penokohan dalam film ini.
Films with the animation genre have their own charm. Animated films can represent elements of a nation's culture with diverse and attractive graphics. One of the films that represents Chinese culture is Turning Red '青春变形记' (Qīngchūn biànxíng jì) (2020).The representation of Chinese culture in the film Turning Red displays elements of Confucianism in family relationships. Confucianism is one of the elements of Chinese culture which contains a philosophy of life for ethnic Chinese both living in mainland China and outside mainland China. In Confucianism there is the concept of harmonization as a wise human element, including Ren 仁 (humanity), Yi 義 (virtue/justice), Li 礼 (ethics), Zhi 知 (knowledge), Xin 信 (integrity), Zhong 忠 (loyalty), 孝 (Xiào) (filial piety). This study intends to find out how Xiao is represented in the animated film Turning Red through the characterizations of Meilin Lee, Ming Lee, and Wu. Through qualitative methods, this study will reveal how the form of representation of Xiao's concept is shown in the film Turning Red through the scenes of the characters in the film. Through a descriptive approach, this research finds that Xiao's concept is an important factor in developing the plot and characterizations in this film."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 2019
791.43 TIL
Buku Teks Universitas Indonesia Library
"Di suatu pagi di sebuah perpustakaan,seorang siswa SMU sedang sibuk mencari literatur berupa buku atau bahan pustaka mengenai Loetoeng kasaroeng . Gurunya menyuruh ,membuat esai mengenai legenda dari Jawa Barat itu. Siswa tersebut pun larut dalam bacaan dan literatur yang diperolehnya di Perpustakaan. Beberapa buku dan majalah dilahapnya sampai memiliki bahan yang cukup banyak untuk membuat suatu esai ...."
020 VIS 10:2 (2008)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Ribka Sangianglili
"Skripsi ini menganalisis dekonstruksi yang terjadi dalam film animasi bergenre superhero, Megamind. Melalui perbandingan antara film ini dengan film-film superhero klasik, diperoleh hasil bahwa film ini telah medekonstruksi konvensi cerita superhero dalam aspek penokohan, alur cerita, dan sudut pandang. Namun, melalui pengkajian postkolonialisme dan gender, upaya dekonstruksi dalam film ini mengandung dualisme. Pada satu sisi, upaya tersebut terlihat telah melawan supremasi kulit putih serta nilai maskulinitas dan femininitas konvensional yang kerap kali muncul dalam film superhero pada umumnya. Tapi, di sisi lain, terjadi ambivalensi dalam upaya dekonstruksi tersebut karena pada akhirnya malah menekankan pola-pola tersebut. Lebih lanjut, dekonstruksi tersebut ternyata bertujuan untuk merekonstruksi konsep hero yang berbeda. Melalui tokoh Megamind, terdapat beberapa hal yang berusaha ditekankan yaitu proses untuk menjadi hero dan kekuatan yang tidak sekedar mengandalkan fisik.
This undergraduate thesis analyses the deconstruction which happens in Megamind, an animated superhero movie. By comparing this movie and several classic superhero movies, it can be concluded that Megamind has changed the basic convention of superhero stories through its characters, plot, and point of view. However, there is a dualism meaning in the deconstruction. On one hand, this movie seems to oppose the white supremacy, and also the conventional masculinities and femininities which usually can be seen in superhero movies in general. On the other hand, it also confirms those values again. Furthermore, the movie reconstructs different concept of hero as the result of the ambivalence in the deconstruction. Megamind shows some hero's qualities that rarely appear in the classic superhero movies such as the process to be a hero and other kind of powers beside the physical power."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43374
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Andriadi
"
ABSTRAKDegradasi apresiasi terhadap film Western mutakhir melatarbelakangi penelitian ini. Para produser film mencoba merevitalisasi elemen film Western agar menghasilkan karya yang lebih menarik dengan atmosfer yang berbeda. Penelitian ini menelaah invensi dan interaksi budaya melalui eksplorasi unsur-unsur eksternal yang menyebabkan perubahan pada formula genre Western dalam film Wild Wild West (1999) dan Django Unchained (2012). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi pembalikan tipe struktur estetika dalam kedua film tersebut. Pertama, latar karya menunjukkan ruang yang semakin modern dan cenderung mengurangi ruang kebudayaan liar; kedua, ikon persenjataan dan transportasi yang digunakan oleh para tokoh semakin modern; ketiga, tokoh hero yang ditampilkan semakin marjinal; keempat, ide cerita semakin variatif dan dinamis; kelima, situasi dan pola tindakan yang disuguhkan menunjukkan formula kekerasan yang semakin brutal. Evolusi yang terjadi pada kedua film teranalisis dipengaruhi oleh politisasi produksi, perubahan jaman, dan perubahan selera penonton/masyarakat."
Ambon: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016
400 JIKKT 4:2 (2016)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Diko Rinaldo
"Skripsi ini merupakan pendekatan filosofis terhadap pilihan identitas atas kecantikan perempuan yang dikonstruksi oleh beberapa ideologi dan dikaitkan dengan derasnya arus informasi yang disodorkan oleh beberapa media elektronik, film khususnya. Kondisi ini membawa kita pada satu bentuk fenomena budaya, yang oleh Jean Baudrillard dikatakan sebagai fenomena budaya hiperrealitas. Berbeda dengan pengkajian budaya, telaah filosofis menaruh perhatian pada kondisi individu yang otonom. Penelitian dilakukan dengan cara membedah fenomena hiperrealitas dengan hipersemiotika sebagai pisau bedahnya.
This undergraduated thesis is a philosophical approach of the female beauty identity selection that is constructed by some of the ideology and associated with a rapid flow of information offered by some of the electronic media, especially movies. This condition leads to a cultural phenomena that Jean Baudrillard said as the cultural phenomenon of hyperreality. Unlike the assessment of cultural, philosophical study concerns with the conditions of the autonomous individual. Research has been done by dissecting the phenomenon of hyperreality with hypersemiotic as the scalpel."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43270
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Nia Nafisah
"Subjektivitas adalah konsep identitas diri yang berkaitan dengan cara pandang mengenai diri dan relasinya dengan struktur sosial tempatnya berada. Disertasi ini mengungkapkan ambivalensi subjektivitas tokoh anak dalam empat film anak –
Laskar Pelangi,
Serdadu Kumbang,
Lima Elang, dan
Langit Biru. Melalui pendekatan strukturalisme dan analisis sistem formal dari Bordwell dan Thompson (2008), ditemukan ambivalensi struktur teks dan strategi naratif yang di satu sisi memosisikan tokoh anak sebagai subjek, tetapi di sisi lain dibatasi dengan kondisi tertentu, yaitu ketidakhadiran atau campur tangan tokoh dewasa, keberadaan di ruang terbuka, serta kehendak yang berorientasi kelompok. Analisis lebih jauh dengan menggunakan teori kuasa disiplin Foucault (1995) menemukan bahwa walaupun keterampilan literasi dapat menggeser dominasi kuasa dewasa dan negosiasi posisi dimungkinkan untuk sementara waktu, subjektivitas tokoh anak pada umumnya dikonstruksi melalui pendisiplinan dalam praktik sosial. Pendisiplinan ini melatih anak untuk selalu memperhatikan aspek budaya yang dianggap penting. Akibatnya, subjektivitas yang dikonstruksi ini mendorong tokoh anak untuk mematuhi aturan yang berlaku, mengedepankan kepentingan kelompok, dan menghindari perbedaan. Subjektivitas yang ambivalen ini mengisyaratkan film anak Indonesia memandang anak-anak sebagai manusia yang defisien atau kurang sempurna sebagai manusia sehingga harus dibimbing dan diberi pengarahan, tetapi kurang memperhatikan potensi emosi dan intelektual yang dimiliki anak-anak.
The notion of subjectivity is a concept of personal identity which deals with the self and its relations to the social structures. This dissertation reveals the ambivalent construction of child character subjectivity in four Indonesian children’s films: Laskar Pelangi, Serdadu Kumbang, Lima Elang, dan Langit Biru. Employing structuralism approach and system formal analysis form Bordwell and Thompson (2008), it is found that textual structure and narrative strategies are ambivalent because they position child characters as subjects, but only under certain conditions: the absence or without involvement of adult characters, in open space, and group-oriented. Further analysis using Foucault theory of power and governmentality (1995) found that although literacy is the child's potential skill to shift adult's dominant power and negotiating positions take place temporarily, the child character's subjectivity is generally constructed through discipline in social practices in order to train children to take cultural aspects deemed important into consideration. Consequently, the constructed subjectivity is submissive children who obey the expected norms, prioritize group's interests, and avoid differences. This ambivalent subjectivity suggests that Indonesian children's films view children as deficient and so in need of guidance and instruction despite their emotional and intellectual potentials."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
D2657
UI - Disertasi Membership Universitas Indonesia Library
020 VIS 12:1 (2010)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library