Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 89351 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Julia Fitriany
"Latar belakang: Sepsis pascabedah jantung terbuka merupakan kondisi yang jarang terjadi tetapi memiliki mortalitas yang cukup tinggi. Gejala sepsis yang muncul pascabedah seringkali sulit dibedakan dengan kondisi inflamasi sistemik sehingga menimbulkan keterlambatan dalam menegakkan diagnosis maupun overtreatment pada pasien. Presepsin merupakan salah satu penanda sepsis yang mulai banyak digunakan terutama pada populasi dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran presepsin dalam menegakkan diagnosis sepsis pascabedah jantung terbuka pada anak.
Tujuan: Untuk menguji performa diagnostik presepsin sebagai penanda sepsis pada anak pascabedahjantung terbuka dibandingkan dengan prokalsitonin (PCT).
Metode: Studi potong lintang terhadap 49 pasien anak pascabedah jantung terbuka yang dirawat di RSCM. Penelitian ini mencari nilai batas optimal presepsin untuk mendiagnosis sepsis pascabedah jantung terbuka pada anak yaitu pada hari pertama dan ketiga pascabedah, kemudian membandingkannya dengan prokalsitonin. Analisis kurva ROC dikerjakan untuk menentukan nilai batas optimal presepsin.
Hasil: Kadar presepsin hari pertama (T1) dan ketiga (T3) lebih tinggi pada subyek dengan sepsis daripada subyek yang tidak sepsis (median 415 pg/mL vs. 141,5 pg/mL pada hari pertama dan 624 pg/mL vs. 75,9 pg/mL pada hari ke tiga). Titik potong presepsin pada T1 dengan nilai 404 pg/mL memiliki performa untuk mendiagnosis sepsis dengan AUC 0,752 sedangkan presepsin T3 dengan nilai 203,5 pg/mL dengan AUC 0,945 yang lebih baik dibandingkan T1.
Simpulan: Presepsin dapat dijadikan suatu modalitas untuk memberikan nilai tambah dan pertimbangan bagi klinisi untuk menegakkan diagnosis sepsis pada pasien anak pascabedah jantung terbuka.

Background: Postoperative open-heart sepsis is a rare condition but has a fairly high mortality. Symptoms of sepsis that appear postoperatively are often difficult to distinguish from systemic inflammatory conditions, causing delays in establishing diagnosis and overtreatment in patients. Presepsin is one of the markers of sepsis that is starting to be widely used, especially in the adult population. This study is to identify the role of presepsin for diagnosing sepsis in post open-heart surgery in pediatric population.
Aim: To perform diagnostic test of presepsin as sepsis screening markers compares to procalcitonin (PCT) in post open-heart surgery.
Methods: Cross-sectional study of 49 postoperative open-heart pediatric patients treated at RSCM. This study looked for optimal cut-off values of presepsin for diagnosing open-heart postoperative sepsis in children on the first and third postoperative days, then compared it with procalcitonin. ROC curve analysis is performed to determine the optimal limit value of presepsin.
Result: First (T1) and third day (T3) PSP levels were higher in subjects with sepsis than non- sepsis (median 415 pg/mL vs. 141.5 pg/mL on first day and 624 pg/mL vs. 75.9 pg/mL on third day). ). T1 presepsin cut off 404 pg/ml had AUC of 0.772, while T3 presepsin cut off 203.5 og/ml had better AUC of 0.945. T3 is better for diagnosing sepsis.
Conclusion: Presepsin can be used as a modality to provide added value and consideration for clinicians to establish the diagnosis of sepsis in pediatric patients after open-heart surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reby Kusumajaya
"Latar belakang. Penyakit jantung bawaan PJB merupakan kelainan kongenital yang paling sering terjadi pada anak dibandingkan dengan kelainan kongenital lainnya. Upaya memperbaiki struktur anatomi PJB mengharuskan dilakukannya bedah jantung korektif. Di balik perkembangan pintas jantung paru dan tata laksana pasca-bedah, sindrom curah jantung rendah low cardiac output syndrome, LCOS masih menjadi komplikasi mayor, sehingga diperlukan parameter untuk membantu diagnosis LCOS secara dini. Kadar laktat, gap pCO2 dan SvO2 dilaporkan berkorelasi terhadap penurunan curah jantung, morbiditas dan mortalitas pasca-bedah jantung.
Tujuan. Mengetahui peran kadar laktat, gap pCO2 arteri-vena dan SvO2 dalam deteksi dini sindrom curah jantung rendah pasca-bedah jantung terbuka pada anak.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dilaksanakan dari 1 Agustus hingga 30 Oktober 2017 di ICU Pelayanan Jantung Terpadu RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Subyek adalah pasien anak yang menjalani bedah jantung terbuka. Pasca-bedah saat perawatan di ICU pasien dimonitor waktu terjadinya tanda-tanda klinis sindrom curah jantung rendah, serta dilakukan pemeriksaan kadar laktat, gap pCO2 dan SvO2 pada 15 menit, 4 jam dan 8 jam pasca-bedah. Analisis perbedaaan dilakukan menggunakan uji indepent T-test dan alternatifnya Mann-Whitney dengan nilai kemaknaan P

Background. Congenital heart disease CHD is the most common congenital disorder in children compared with other congenital abnormalities. To fix CHD requires corrective cardiac surgery. Behind the development of cardiopulmonary bypass surgery and post surgical intensive care, low cardiac output syndrome LCOS still become a major complication that require parameter to diagnose LCOS early lactate level, pCO2 gap and SvO2 were reported have correlation with decreasing of cardiac output, morbidity and post cardiac surgery mortality.
Objective. To find out the role of lactate levels, pCO2 gap arterial vein and SvO2 in early detection of low cardiac output syndrome in post open heart surgery in children.
Method. This study used a prospective cohort design. From 1 August until 30 October 2017 in ICU of Integrated Cardiac Centre Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Subjects were pediatric patients who underwent cardiac surgery. Post surgery procedure the patient's was monitored in ICU for clinical signs of low cardiac output syndrome and examined for lactate levels, gap pCO2 and SvO2 at 15 minutes, 4 hours and 8 hours. The difference analysis was performed using indepent T test and Mann Whitney as alternative with significance value P
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Srie Wulan Nurhasty
"Penggunaan ventilasi mekanik yang memanjang merupakan salah satu komplikasi utama pada pasien pasca-bedah jantung yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Prediksi lama penggunaan ventilasi mekanik merupakan hal penting dalam penatalaksanaan pasien operasi jantung. Skor ACEF (Age, Creatinine, Ejection Fraction) merupakan sistem prediksi sederhana dengan menggunakan tiga variabel pra-bedah yang diukur secara objektif, memiliki performa yang baik dalam memprediksi morbiditas dan mortalitas pada pasien pasca-bedah jantung. Penggunaan skor ACEF dalam memprediksi kejadian penggunaan ventilasi mekanik memanjang pasca-bedah jantung belum ada, namun variabel yang dipakai pada sistem skor ini merupakan prediktor terkuat kejadian penggunaan ventilasi mekanik memanjang pasca-bedah jantung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan skor ACEF dalam memprediksi kejadian penggunaan ventilasi mekanik yang memanjang pada pasien pasca-bedah jantung dewasa di PJT RSCM. Penelitian ini adalah penelitian kohort retrospektif yang melibatkan 206 subjek penelitian yang menjalani operasi jantung terbuka di Pelayanan Jantung Terpadu RSCM. Hasil penelitian ini didapatkan hasil AUC = 0,6336 (95% CI : 0,55-0,71), nilai sensitivitas sebesar 35,8%, spesivisitas 88%, dan akurasi 67,48%. Dari hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan Skor ACEF memiliki kemampuan prediksi yang kurang dalam memprediksi kejadian penggunaan ventilasi mekanik memanjang pada pasien pasca-bedah jantung.

Prolonged mechanical ventilation is one of the main complications in post-cardiac surgery patients that can cause morbidity and mortality. Prediction of the duration mechanical ventilation is important in the management of cardiac surgery patients. The ACEF score (Age, Creatinine, Ejection Fraction) is a simple prediction system using three measured pre-operative variables objectively, which performs well in predicting post-operative morbidity and mortality in cardiac surgery patients. The use of the ACEF score in predicting prolonged mechanical ventilation after cardiac surgery does not yet exist, but the variables used in this scoring system are the strongest predictors of prolonged mechanical ventilation after cardiac surgery. This study aims to determine the ability of the ACEF score to predict the incidence of prolonged of mechanical ventilation in post-cardiac surgery patients at RSCM PJT. This study is a retrospective cohort study involving 206 subjects who underwent open heart surgery at PJT RSCM. The results of this study showed that AUC = 0.6336 (95% CI: 0.55-0.71), the sensitivity is 35,8%; specificity is 88%, and accuracy is 67,48%. From the results obtained, it can be concluded that the ACEF score has poor predictive ability in predicting the incidence of prolonged mechanical ventilation in post-cardiac surgery patients.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Arbi
"Latar Belakang: Disfungsi kognitif pascabedah merupakan komplikasi yang cukup sering pascabedah jantung terbuka. Salah satu faktor yang dikaitkan dengan kerusakan jaringan otak adalah faktor oksigenasi jaringan yang terganggu. Selama periode pascabedah gangguan oksigenasi jaringan masih tidak dapat disingkirkan sebagai penyebab POCD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan nilai Hb, PaO2, SaO2 dan ScvO2 pascabedah terhadap kejadian POCD pada bedah jantung terbuka di RSCM.
Metode: Penelitian ini adalah kohort prospektif dilakukan di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Indonesia. Sebanyak 44 pasien bedah jantung terbuka elektif dilakukan uji neurokognisi pada 1 hari sebelum pembedahan dan hari ke 5 pascabedah. Subjek dinyatakan mengalami disfungsi kognitif pascabedah jika terjadi penurunan >20% dibandingkan dengan nilai uji prabedah, pada 2 dari 3 area kognisi. Nilai Hb, PaO2, SaO2 dan ScvO2 diambil dari kateter arteri dan kateter vena sentral pada 6 jam dan 24 jam pascabedah. Analisis data bivariat variabel numerik menggunakan Independent T-test atau Mann-Whitney dengan SPSS 20.0. Variabel dengan nilai p<0.25 pada analisis bivariat selanjutnya dimasukkan kedalam regresi logistik.
Hasil: Terdapat 23 dari 44 subjek (52,3%) mengalami POCD. Nilai Hb 6 jam pascabedah lebih rendah secara signifikan pada kelompok subjek dengan POCD (9,13±1,15 vs 10,61±1,10 mg/dL, nilai p<0,001). Sama halnya dengan nilai Hb 24 jam pascabedah juga lebih rendah secara signifikan pada kelompok subjek dengan POCD (9,13±0,68 vs 10,45±0,75 mg/dL, nilai p<0,001). Nilai PaO2, SaO2, dan ScvO2 tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok. Analisis multivariat menunjukkan nilai Hb 6 jam dan 24 jam pascabedah sebagai variabel yang paling berpengaruh dengan kejadian POCD.
Simpulan: Nilai Hb 6 jam dan 24 jam pascabedah memiliki hubungan dengan angka kejadian POCD pascabedah jantung terbuka.

Introduction. Postoperative cognitive dysfunction is a compilaction in open heart surgery. Factor that may involve is associated with impaired brain tissue oxygenation. The aim of this study is to investigate the association between postoperative value of Hb, PaO2, SaO2, and ScvO2 with POCD in open heart surgery in RSCM.
Purpose: To evaluate association between postoperative value of Hb, PaO2,and ScvO2 with POCD in open heart surgery in RSCM.
Methods. This study was prospective cohort held in Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia. We included 44 elective open heart surgery patients tested forcognitive function on 1 day before surgery and postoperative day 5. Bloods were taken in 6 hours and 24 hours after surgery to measure postoperative value of Hb,PaO2, SaO2 and ScvO2. Subjects were categorized as POCD if there was decline >20% in postoperative neurocognitive test than preoperative. Data were comparedusing SPSS 20.0 software. Bivariate analysis with p-value above 0.25 were includedin logistic regression.
Results: There was 23 of 44 subjects (52.3%) became POCD. Hemoglobin value in 6 hours and 24 hours were significantly lower in POCD group [(9,13±1,15 vs10,61±1,10 mg/dL, p value<0,001) and (9,13±0,68 vs 10,45±0,75 mg/dL, p value<0,001)]. PaO2, SaO2, and ScvO2 were not significantly different between twogroups. From multivariate analysis, it was found that hemoglobin value in 6 hours and 24 hours after surgery affect POCD in open heart surgery.
Conclusion: There is an association between hemoglobin values in 6 hours and 24 hours after surgery with POCD in open heart surgery.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eunike Ita Susanti Pramono Widjojo
"Latar belakang: Operasi jantung membutuhkan larutan kardioplegia untuk menghentikan jantung. Saat ini sebagian besar larutan kardioplegia menggunakan mekanisme depolarisasi membran yang berisiko menyebabkan gangguan keseimbangan ion transmembran, aritmia, vasokonstriksi koroner, gangguan kontraktilitas, dan sindrom curah jantung rendah. Menunjukkan proteksi miokardium masih belum optimal. Henti jantung melalui polarisasi membran secara teori dapat memberikan proteksi miokardium yang lebih baik.
Tujuan: Diketahui kualitas proteksi miokardium henti jantung terpolarisasi dibandingkan dengan henti jantung terdepolarisasi.
Metode: Tinjauan sistematik dengan menerapkan protokol PRISMA-P. Data didapatkan melalui pencarian dalam basis data Cochrane Library, PubMed, Scopus, ScienceDirect, dan Embase.
Hasil: Dari penelusuran diperoleh empat studi yang memenuhi kriteria. Tiga studi dengan desain uji acak terkontrol, satu studi dengan desain kohort retrospektif. Jumlah sampel bervariasi dari 60 sampai 1000 subjek. Kualitas proteksi miokardium dinilai dari kejadian aritmia pascaoperasi, infark miokardium pascaoperasi, dan sindrom curah jantung rendah pascaoperasi. Satu studi melaporkan angka kejadian aritmia pascaoperasi yang lebih rendah secara bermakna pada kelompok henti jantung terpolarisasi (p 0,010). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada kejadian infark miokardium pascaoperasi. Tiga studi melaporkan angka kejadian sindrom curah jantung rendah pascaoperasi yang lebih rendah pada kelompok henti jantung terpolarisasi namun tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Henti jantung terpolarisasi berpotensi memberikan kualitas proteksi miokardium yang lebih baik dibandingkan dengan henti jantung terdepolarisasi.

Background: Cardioplegia is needed in cardiac surgery to arrest the heart to achieve a quiet and bloodless field. Depolarized cardiac arrest is widely used despite the risk of ionic imbalances, arrhythmias, coronary vasoconstriction, contractility dysfunction, and low cardiac output syndrome leading to suboptimal myocardial protection. Polarized cardiac arrest has a more physiological mechanism to arrest the heart, thus giving better cardioprotection qualities.
Objective: To assess the myocardial protection quality of polarized cardiac arrest compared with depolarized cardiac arrest.
Method: Systematic review with PRISMA-P protocol. The literature search was performed using Cochrane Library, PubMed, Scopus, ScienceDirect, and Embase databases.
Result: Three randomized controlled trials and one retrospective cohort study were identified, with sample sizes varied between 60 to 1000 subjects. The quality of myocardial protection was assessed from postoperative arrhythmias, postoperative myocardial infarction, and postoperative low cardiac output syndrome. One study reported significantly lower postoperative arrhythmias in the polarized arrest group (p 0.010). There were no differences in postoperative myocardial infarction between the two intervention groups. Three studies reported lower postoperative low cardiac output syndrome in the polarized arrest group although not statistically significant.
Conclusion: Polarized cardiac arrest may give better myocardial protection than depolarized cardiac arrest.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Shandi Laila
"Latar Belakang: Low cardiac output syndrome (LCOS) adalah salah satu komplikasi berat yang sering terjadi pascabedah jantung terbuka dengan insidens 25-32%. LCOS dapat terjadi akibat proses inflamasi melalui jalur inflamasi dan komplemen setelah pintas jantung-paru (PJP). Diperlukansuatu marker inflamasi yang dapat memprediksi terjadinya LCOS. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan rasio neutrofil-limfosit (neutrophil lymphocyte ratio, NLR) yang merupakan marker inflamasi sederhana dan rutin dilakukan, tetapi penggunaannya sebagai prediktor dalam menentukan LCOS belum banyak dilaporkan.
Tujuan: Mengetahui peran NLR prabedah dan 0, 4, dan 8 jam pascabedah sebagai prediktor kejadian LCOS pascabedah jantung terbuka anak dengan penyakit jantung bawaan (PJB).
Metode: Penelitian menggunakan uji prognostik dengan desain kohort prospektif, dilaksanakan pada 1 Desember 2020 hingga 30 Juni 2021 di cardiac intensive care unit (CICU) Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Hasil: Dari 90 subyek didapatkan 25 subyek (27,8%) mengalami LCOS. Nilai NLR prabedah berperan dalam memprediksi kejadian LCOS (AUC 70), dengan cut off ≥0,88 (p=0,027) didapatkan sensitivitas dan spesifisitas 64% dan 64,62% (IK 95%, 57-83). Sedangkan NLR 0 jam pascabedah memiliki nilai prediksi yang baik (AUC 81) terhadap kejadian LCOS, dengan cut off ≥4,73 (p<0,0001) didapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 80% (IK 95%, 69-94). Selanjutnya NLR 4 dan 8 jam pascabedah memiliki nilai prediksi yang sangat baik (AUC 97 dan 98) terhadap kejadian LCOS, dengan cut off berturut-turut adalah ≥6,19 (p<0,0001) dan ≥6,78 (p<0,0001) didapatkan sensitivitas dan spesifisitas berturut-turut adalah 92% dan 96% (IK 95%, 92-100), serta 92% dan 96,92% (IK 95%, 94-100).
Kesimpulan: NLR prabedah dan 0, 4, dan 8 jam pascabedah terbukti berperan sebagai prediktor kejadian LCOS pascabedah jantung terbuka anak dengan PJB.

Background: Low cardiac output syndrome (LCOS) is a severe complications that often occurs in children after open heart surgery, with an incidence 25-32%. It can occur as a result of inflammatory response involving the inflammatory and complement pathways after cardiopulmonary bypass (CPB). An inflammatory marker is needed to predict the occurrence of LCOS. In this study, an examination of the neutrophil-lymphocyte ratio (NLR) which is a simple and routine marker of inflammation is carried out, but its use as a predictor in determining LCOS has not been widely reported.
Objective. We aimed to explore the role of preoperative and 0, 4, and 8 hours postoperative NLR as a predictor of LCOS after open heart surgery in children with congenital heart disease (CHD).
Methods: This study used a prognostic test with a prospective cohort design, was done from 1st December 2020 until 30 th June 2021 at cardiac intensive care unit (CICU) Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Results: From 90 subjects, 27.8% (25 subjects) had LCOS. Preoperative NLR had a fair predictive value (AUC 70) for the incidence of LCOS, with a cut off value ≥0.88 (p=0.027) having a sensitivity and specificity of 64% and 64.62% (CI 95%, 57-83).While the NLR 0 hours post-operative also had a good predictive value (AUC 81) for the incidence of LCOS, with a cut off value ≥4.73 (p<0.0001) having a sensitivity and specificity of 80% (CI 95%, 69-94), respectively. Furthermore, NLR 4 and 8 hours post-operative had a very good predictive value (AUC 97 and 98) for the incidence of LCOS, with cut off value ≥6.19 (p<0.0001) and ≥6.78 (p<0.0001), having a sensitivity and specificity of 92% and 96% (CI 95%, 92-100), as well as 92% and 96.92% (CI 95%, 94-100).
Conclusion: Preoperative and 0, 4, and 8 hours postoperative NLR can be a predictor of LCOS after open heart surgery in children with CHD.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Juwita Cresti Rahmaania
"ABSTRAK
Pendahuluan:Obstruksi duodenum kongenital merupakan salah satu kelainan bawaan pada saluran cerna yang tersering. Fungsi peristaltik merupakan hal yang ingin dicapai pada pascabedah. Resiko terjadinya translokasi bakteri pada kasus obstruksi membuat pasien jatuh dalam kondisi sepsis hal ini akan memengaruhi waktu tercapainya fungsi peristaltik dan pada akhirnya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Selain itu, infeksi nosokomial yang mengancam neonatus menyebabkan sepsis pada neonatus juga akan memengaruhi waktu tercapainya fungsi peristaltik. Penelitian ini ditujukan untuk mencari hubungan sepsis dengan waktu tercapainya fungsi peristaltik. Metode: Desain penelitian ini adalah potong lintang menggunakan data sekunder yaitu pasien obstruksi duodenum tanpa disertai kelainan bawaan berupa gastroschizis, omphalocele dan atresia intestinal lain yang telah dilakukan operasi di RSCM periode bulan Januari 2010-Juli 2016. Subjek dikelompokkan menjadi sepsis dan non sepsis kemudian dilakukan analisis untuk melihat hubungan dengan waktu tercapainya fungsi peristaltik serta menganalisis variabel perancu yaitu, usia gestasi, berat badan lahir, kelainan bawaan, kondisi hipoksia dan ketidakseimbangan elektrolit. Analisis data dilakukan univariat, bivariat Mann Whitney, Chi Square atau Fischer dan multivariat (regresi linier) dengan nilai p <0,05 dianggap bermakna. Hasil: Dari 31 subjek didapatkan bahwa median waktu tercapainya fungsi peristaltik pada subjek sepsis dan non sepsis yaitu 12,5 dan 5 hari (p <0,0001). Hubungan antara waktu tercapainya fungsi peristaltik dengan sepsis (p <0,0001), usia gestasi (p = 0,004) dan kondisi hipoksia (p = 0,02). Pada analisis multivariat didapatkan hasil antara sepsis dengan waktu tercapainya fungsi peristaltik dengan nilai p = 0,011 dan nilai R Simpulan: Pada penelitian ini sepsis merupakan faktor utama yang memengaruhi waktu tercapainya fungsi peristaltik. Mengingat cukup jauhnya perbedaan waktu yang dicapai antara kelompok sepsis dan non sepsis maka perlu dilakukan pengontrolan maupun pencegahan kondisi sepsis baik dalam prabedah maupun pascabedah sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas. ABSTRACT
Introduction: A common site for congenital duodenal obstruction is the duodenum. Peristaltic function is to be achieved in the postoperative, respectively. Intestinal obstruction has been shown to induce bacterial translocation and that event would be associated with an increased risk of sepsis conditions. That condition would affecting the achievement of peristaltic function and ultimately increased morbidity  and mortality. In addition, nosocomial infections that threaten neonates cause sepsis also will affect the achievement of a peristaltic function. Therefore, the aim of this study was to investigate the relationship between sepsis with timing achievement of peristaltic function postoperatively. Methods: This study is cross sectional study design. The research data was obtained from medical records of patients with duodenal obstruction without congenital abnormalities such as gastroschizis, omphalocele and other intestinal atresia that have underwent operations in RSCM period January 2010 to July 2016. Subject are grouped into sepsis and without sepsis. The relationships between sepsis and timing achievement of peristaltic function also confounding variabels (gestational age, birth weight, congenital abnormalities, conditions of hypoxia and electrolyte imbalance) were analyzed. Data analysis was performed using univariate, bivariate (Mann Whitney, Chi Square or Fischer) and multivariate (linear regression) with significance p Results: The study included 31 subjects. Time were needed to achieved peristaltic function (median value) are 12,5 days in patients with sepsis and 5 days in patients without sepsis. Bivariate analysis between timing achievement of peristaltic function are sepsis with p <0,0001, gestational age with p = 0,004 and hypoxic conditions with p = 0,02. Multivariate analysis have shown relationship between sepsis and timing achievement of peristaltic function with p = 0,011 and R Conclusion: In this study, sepsis is a major factor affecting the achievement of a peristaltic function . Considered the differences time to achieved peristaltic function between sepsis and without sepsis is significant. Therefore,it is necessary to control and prevent sepsis preoperatively and postoperatively thus reducing morbidity and mortality."
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Buku yang berjudul "Primary Surgery" ini membahas tentang pembedahan-pembedahan dalam dunia medis."
Oxford: Oxford University Press, 1990
R 617 PRI
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Tokyo : Springer ,
617 SUT
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Androsov, P.
Moscow: Foreign Language, [date of publication not identified]
616.7 And m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>