Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 157608 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nur Laila Fitriati Ahwanah
"Latar belakang: Perdarahan intraventrikular (PIV) menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas bayi prematur. Sekitar 27% bayi dengan BB <1.500 gram mengalami PIV pada berbagai derajat (1–4). Faktor risiko PIV dapat berasal dari maternal, seperti preeklamsia, tanpa steroid antenatal, dan persalinan per vaginam serta berasal dari neonatal, seperti usia gestasi lebih muda, berat badan lahir lebih rendah, jenis kelamin lelaki, nilai Apgar rendah, asfiksia, pemberian inotropik, trombositopenia, ventilasi mekanik invasif, sepsis, sindrom distres pernapasan, dan duktus arteriosus persisten. Identifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan PIV penting agar penatalaksanaan yang tepat dapat dilakukan dan sebagai evaluasi pencegahan dan tata laksana PIV yang saat ini sudah diterapkan.
Metode: Penelitian kasus kontrol ini melibatkan subjek bayi usia gestasi <35 minggu di RSCM yang diambil retrospektif secara consecutive sampling mulai perawatan Agustus 2022 hingga jumlah sampel terpenuhi. Subjek dibagi menjadi kelompok kasus (dengan PIV) dan kontrol (tanpa PIV) berdasarkan hasil USG kepala selama perawatan. Masing-masing kelompok diidentifikasi faktor risiko yang ada dari rekam medis, baik faktor maternal maupun neonatal. Data kemudian dianalisis menggunakan program SPSS.
Hasil: Total 220 subjek diteliti terdiri atas kelompok kasus 110 subjek dan kontrol 110 subjek. Dari 110 kasus didapatkan PIV derajat 1 (69,1%), derajat 2 (12,7%), derajat 3 (10%), dan derajat 4 (8,2%). Analisis bivariat menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara PIV dengan usia gestasi <28 minggu (OR 5,44; IK 95% 2,23-13,27; p<0,001), berat badan lahir <1.000 gram (OR 6,23; IK 95% 2,87-13,52; p<0,001), berat badan lahir 1.000-1.499 gram (OR 3,04; IK 95% 1,62-5,71; p=0,001), nilai Apgar menit ke-1 (p=0,004), nilai Apgar menit ke-5 (p=0,03), pemberian inotropik (OR 2,47; IK 95% 1,35-4,53; p=0,005), jumlah trombosit <50.000/μL (OR 2,52; IK 95% 1,17-5,42; p=0,018), jumlah trombosit 50.000-99.000/μL (OR 3,42; IK 95% 1,51-7,74; p=0,003), ventilasi mekanik invasif (OR 3,71; IK 95% 2,11-6,53; p<0,001), sepsis (OR 2,84; IK 95% 1,64-4,90; p<0,001), dan DAP (OR 2,01; IK 95% 1,07-3,79; p=0,042). Analisis multivariat menunjukkan hanya berat badan lahir <1.000 gram (OR 3,93; IK 95% 1,71-9,06; p=0,001), berat badan lahir 1.000-1.499 gram (OR 2,57; IK 95% 1,34-4,92; p=0,004), dan penggunaan ventilasi mekanik invasif (OR 2,49; IK 95% 1,34-4,63; p=0,004) yang mempunyai hubungan bermakna dengan PIV.
Kesimpulan: Faktor risiko yang mempunyai hubungan bermakna dengan PIV pada bayi usia gestasi <35 minggu adalah berat badan lahir <1.500 gram dan penggunaan ventilasi mekanik invasif.

Background: Intraventricular hemorrhage (IVH) is a cause of morbidity and mortality in preterm infants. Approximately 27% of infants weighing <1,500 gram have PIV in various degrees (1-4). Risk factors for IVH can be maternal origin, such as preeclamsia, absence of steroid antenatal, and vaginal delivery; and also from neonatal origin, such as younger gestational age, lower birth weight, male gender, lower Apgar score, asphyxia, inotropic administration, thrombocytopenia, invasive mechanical ventilation, sepsis, respiratory distress syndrome and patent ductus arteriosus (PDA). Identification of risk factors associated with IVH is important so that appropriate management can be carried out and as an evaluation of IVH’s prevention and treatment that are currently being implemented.
Method: This case-control study involved subjects with gestational age <35 weeks at Cipto Mangunkusumo Hospital who were taken retrospectively by consecutive sampling starting from admission in August 2022 until the number of samples were fulfilled. Subjects were divided into case (with IVH) and control (without IVH) groups based on the results of head ultrasound during hospitalization. Each group was identified existing risk factors from medical record, both maternal and neonatal factor. The data were then analyzed using the SPSS program.
Result: A total 220 subjects were studied, consisting 110 subjects in case group and 110 subjects in control group. Of the 110 cases, IVH grade 1 (69.1%), grade 2 (12.7%), grade 3 (10%), and grade 4 (8.2%). Bivariate analysis showed that PIV was significantly associated with gestational age <28 weeks (OR 5.44; 95% CI 2.23-13.27; p<0.001), birth weight <1,000 grams (OR 6.23; 95% CI 2.87-13.52; p<0.001), birth weight 1,000-1,499 grams (OR 3.04; 95% CI 1.62-5.71; p=0.001), 1st minute Apgar score (p=0.004), 5th minute Apgar score (p=0.03), inotropic administration (OR 2.47; 95% CI 1.35-4.53; p=0.005), platelet count <50,000/μL (OR 2.52; 95% CI 1.17-5.42; p=0.018), platelet count 50,000-99,000/μL (OR 3.42; 95% CI 1.51-7.74; p=0.003), invasive mechanical ventilation (OR 3.71; 95% CI 2.11-6.53; p<0.001), sepsis (OR 2.84; 95% CI 1.64-4.90; p<0.001), and PDA (OR 2.01; 95% CI 1.07-3.78; p=0.042). Multivariate analysis showed only birth weight <1,000 grams (OR 3.93; 95% CI 1.71-9.06; p=0.001), birth weight 1,000-1,499 grams (OR 2.57; 95% CI 1.34-4.92; p=0.004), and the use of invasive mechanical ventilation (OR 2.49; 95% CI 1.34-4.63; p=0.004) were significantly associated with IVH.
Conclusion: Risk factors that significantly associated with IVH in baby with gestational age <35 weeks are birth weight <1,500 grams and the use of invasive mechanical ventilation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Idha Yulandari
"[ABSTRAK
Latar Belakang: Angka kejadian trombositopenia pada neonatus dilaporkan antara 22-35%, dan salah satu komplikasinya adalah perdarahan intraventrikular (PIV). Penelitian sebelumnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta melaporkan angka kejadian PIV masih tinggi pada bayi usia gestasi < 35 minggu sebesar 43,47%. Perdarahan intraventrikular menyebabkan dampak yang berat pada perkembangan neurologis dan mortalitas. Di Indonesia, belum ada penelitian mengenai hubungan trombositopenia dan PIV. Tujuan: Mengetahui hubungan trombositopenia dengan PIV pada bayi usia gestasi < 35 minggu dan korelasi antara derajat berat trombositopenia dan derajat berat PIV. Metode: Penelitian potong lintang dengan penelusuran rekam medis dilakukan di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSCM pada subjek yang dirawat pada bulan Januari 2012 sampai Desember 2014 dengan diagnosis PIV. Subjek dibagi menjadi kelompok PIV ringan sedang (derajat ≤ 2) dan berat (derajat > 2). Nilai trombosit dicatat pada hari yang sama dengan diagnosis PIV. Digunakan uji Pearson?s chi-square, Fischer, analisis multivariat, dan korelasi untuk analisis data. Hasil: Angka kejadian PIV berat dengan trombosit < 100.000/uL sebesar 28,2% dibanding 10,4% pada nilai trombosit ≥ 100.000/uL (p=0,014). Berdasarkan analisis multivariat, faktor yang memiliki pengaruh terhadap terjadinya PIV berat adalah usia gestasi < 32 minggu dan penggunaan alat bantu napas berupa ventilator dan high frequency oscillatory ventilation (HFOV). Derajat berat trombositopenia tidak memiliki korelasi dengan derajat berat PIV (koefisien korelasi 0,21). Simpulan: Trombositopenia tidak memiliki peranan pada terjadinya PIV berat. Derajat berat trombositopenia tidak memiliki korelasi dengan derajat berat PIV.

ABSTRACT
Background: The prevalence of thrombocytopenia in neonates ranges from 22 to 35%, and the complication could be intraventricular hemorrhage (IVH). The previous research in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) Jakarta reported high incidence of IVH until gestational age < 35 weeks which is 43,47%. Intraventricular hemorrhage has caused a significant defect to neurologic development and mortality. In Indonesia, there were no research about the relationsghip between thrombocytopenia and IVH. Objective: To study the relation between thrombocytopenia and IVH in a baby with gestational age < 35 weeks and the correlation between the severity of thrombocytopenia and the severity of IVH. Methods: A cross sectional study was performed by medical records review in Neonatology Division of Child Health Department University of Indonesia RSCM. The subject of this study is neonates who were hospitalized from January 2012 until December 2014 with IVH diagnosis. Subjects were divided into mild moderate IVH (grade ≤ 2) and severe IVH (grade > 2). Thrombocyte count was recorded in the same day with the diagnosis of IVH. Pearson?s chi-squared, Fischer's tests, multivariate analysis, and correlation were used to analyzed the data. Results: Risk of severe IVH was 28,2% in neonates with thrombocyte count < 100,000/uL versus 10,4% in neonates without (p=0.014). From multivariate analysis, gestational age < 32 weeks and the use of respiratory support (ventilator and high frequency oscillatory ventilation) played a significant role in severe IVH. The severity of thrombocytopenia has no correlation with the severity of IVH (correlation coefficient = 0,21). Conclusion: Thrombocytopenia doesn?t have a role in severe IVH based on multivariate anlysis. The severity of thrombocytopenia has no correlation with the severity of IVH., Background: The prevalence of thrombocytopenia in neonates ranges from 22 to 35%, and the complication could be intraventricular hemorrhage (IVH). The previous research in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) Jakarta reported high incidence of IVH until gestational age < 35 weeks which is 43,47%. Intraventricular hemorrhage has caused a significant defect to neurologic development and mortality. In Indonesia, there were no research about the relationsghip between thrombocytopenia and IVH. Objective: To study the relation between thrombocytopenia and IVH in a baby with gestational age < 35 weeks and the correlation between the severity of thrombocytopenia and the severity of IVH. Methods: A cross sectional study was performed by medical records review in Neonatology Division of Child Health Department University of Indonesia RSCM. The subject of this study is neonates who were hospitalized from January 2012 until December 2014 with IVH diagnosis. Subjects were divided into mild moderate IVH (grade ≤ 2) and severe IVH (grade > 2). Thrombocyte count was recorded in the same day with the diagnosis of IVH. Pearson’s chi-squared, Fischer’s tests, multivariate analysis, and correlation were used to analyzed the data. Results: Risk of severe IVH was 28,2% in neonates with thrombocyte count < 100,000/uL versus 10,4% in neonates without (p=0.014). From multivariate analysis, gestational age < 32 weeks and the use of respiratory support (ventilator and high frequency oscillatory ventilation) played a significant role in severe IVH. The severity of thrombocytopenia has no correlation with the severity of IVH (correlation coefficient = 0,21). Conclusion: Thrombocytopenia doesn’t have a role in severe IVH based on multivariate anlysis. The severity of thrombocytopenia has no correlation with the severity of IVH.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"[Latar Belakang. Bayi kurang bulan (BKB) memiliki risiko tinggi mengalami gangguan neurobehavioral. Gangguan tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor prenatal, natal, dan perinatal. Perlu dilakukan deteksi dini gangguan agar dapat dilakukan intervensi dini. Penilaian neurobehavioral metode Dubowitz dapat digunakan untuk deteksi dini gangguan neurobehavioral pada BKB.
Tujuan. Mengetahui proporsi dan faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan neurobehavioral BKB. Mengetahui hubungan antara kelompok bayi risiko tinggi dengan kejadian gangguan neurobehavioral.
Disain Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian dengan studi potong lintang analitik untuk mengetahui karakteristik penilaian neurobehavioral BKB dengan metode Dubowitz dan faktor risiko yang berhubungan. Subjek penelitian adalah BKB yang pernah dirawat di Divisi Perinatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Dilakukan analisis bivariat dengan uji kai kuadarat dan dilanjutkan dengan analisis multivariat dengan uji regresi logistik.
Hasil Penelitian. Didapatkan 106 subjek yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Proporsi BKB yang mendapat nilai suboptimal pada pemeriksaan neurobehavioral metode Dubowitz adalah 57,5%. Faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan neurobehavioral adalah sepsis (OR 6,23 (IK 95% 2,18-17,73); p=0,001), perdarahan intraventrikular (OR 6,23 (IK 95% 2,18-17,73) p=0,007); dan berat lahir ≤1500 gram (OR 3,46 (IK 95% 1,15-10,37), p=0,027). Didapatkan 37 subjek (34,9%) masuk ke dalam kelompok risiko tinggi dan 69 subjek (65,1%) risiko rendah. Terdapat 86,5% bayi di kelompok risiko tinggi mendapatkan penilaian neurobehavioral suboptimal. Terdapat hubungan yang bermakna antara kelompok bayi risiko tinggi dengan penilaian suboptimal metode Dubowitz, dengan p<0,001.
Simpulan. Faktor risiko yang berhubungan dengan penilaian suboptimal pada pemeriksaan neurobehavioral adalah sepsis, perdarahan intraventrikular, dan berat lahir ≤1500 gram. Bayi kelompok risiko tinggi berhubungan dengan besarnya penilaian suboptimal pada pemeriksaan neurobehavioral metode Dubowitz., Background. Preterm baby tend to be at risk for having neurobehavioral impairment. The risk factors included prenatal, natal, and perinatal factors. Early recognition of infants at risk for development disability is important. The Dubowitz Neurological Assessment can be used to evaluate infants at risk for developmental disabilitiesis.
Objective. To determine proportion and factors that related to Dubowitz Neurobehavioral assesment in preterm baby.
Methods. Cross-sectional study involving preterm baby in Cipto Mangunkusumo Hospital. The Dubowitz Neurobehavioral Assesment was performed to asses the neurobehavioral pattern at 37-40 weeks post menstrual age. The risk factors data was collected retrospectively from the medical record. Statistical analysis was done using bivariate (Chi-square test) and multivariate analysis (logistic regression) analysis.
Results. One hundred and six infants fullfilled the eligibility criteria. Based on The Dubowitz Neurological Assesment, 57,5% subjects got suboptimal score. Logistic regression analysis showed significant association between sepsis (OR 6,23 (IK 95% 2,18-17,73); p=0,001), intraventricular haemorrhage (OR 6,23 (IK 95% 2,18-17,73) p=0,007); and birth weight ≤1500 gram (OR 3,46 (IK 95% 1,15-10,37), p=0,027) and neurobehavioral impairment. There was 86,5% from all high risk babies that got suboptimal score with signifficant association, p<0,001.
Conclusion. In preterm infants, sepsis, intraventricular haemorrhage, and low birth weight can become factors that related to the neurobehavioral impairment. High risk babies potential to have neurobehavioral impairment.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahardi Mokhtar
"Latar belakang: Pneumotoraks merupakan kondisi terjadinya akumulasi udara di pleura yang dapat menyebabkan kolaps pada paru, dan paling lebih sering terjadi pada periode neonatus dibandingkan dengan periode kehidupan lainnya. Angka insidens pneumotoraks meningkat menjadi 6-7% pada kelahiran bayi berat lahir rendah (BBLR). Saat ini sudah banyak kemajuan dalam perawatan intensif neonatus, tetapi pneumotoraks tetap menjadi komplikasi pernapasan utama yang menyebabkan kematian. Identifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan pneumotoraks pada neonatus penting agar dapat dilakukan tatalaksana yang tepat dan sebagai evaluasi pencegahan dan tata laksana yang saat ini sudah diterapkan.
Metode: Penelitian kasus kontrol ini melibatkan neonatus usia <28 hari yang lahir cukup bulan di RSCM yang diambil retrospektif secara consecutive sampling mulai perawatan 1 Januari 2021 hingga 31 Desember 2022. Subjek dibagi menjadi kelompok kasus (dengan pneumotoraks) dan kontrol (tanpa pneumotoraks) berdasarkan klinis dan radiologis selama perawatan. Faktor risiko yang ada pada masing-masing kelompok diidentifikasi dari rekam medis. Data kemudian dianalisis menggunakan program SPSS.
Hasil: Total 116 subjek yang diteliti terdiri atas 58 subjek pada kelompok kasus dan 58 subjek pada kelompok kontrol. Angka kejadian pneumotoraks pada bayi di RSCM yaitu 2%. Faktor yang terbukti menjadi risiko terhadap insidens pneumotoraks adalah ventilasi mekanik invasif (OR 3,19; IK 1,01-10,11; p=0,048). Faktor yang tidak terbukti berhubungan dengan pneumotoraks adalah ventilasi tekanan positif saat resusitasi, sindrom distres napas, dan sepsis neonatorum. Angka kematian bayi dengan pneumotoraks adalah 72,4%.
Kesimpulan: Faktor risiko yang mempunyai hubungan bermakna dengan pneumotoraks pada bayi usia <28 hari yang lahir cukup bulan adalah penggunaan ventilasi mekanik invasif.

Background: Pneumothorax is a condition where air accumulation in the pleura can lead to lung collapse, and is more common in the neonatal period compared to other periods of life. The incidence of pneumothorax increases to 6-7% in low birth weight (LBW) neonates. There have been many advances in the intensive care of neonates, but pneumothorax remains a major respiratory complication leading to death. Identification of risk factors associated with pneumothorax in neonates is important for appropriate management and to evaluate current prevention and management.
Method: This case-control study involved neonates aged <28 days who were born at full term at RSCM who were taken retrospectively by consecutive sampling from January 1st 2021 to December 31st 2022. Subjects were divided into case groups (with pneumothorax) and controls (without pneumothorax) based on the clinical and radiology during treatment. The risk factors in each group were identified from medical records. The data were then analysed using the SPSS program.
Result: A total of 116 subjects were studied, consisting of 58 subjects in the case group and 58 subjects in the control group. The incidence rate of pneumothorax in neonates at RSCM was 2%. The factor that proved to be a risk factor for the incidence of pneumothorax in neonates was invasive mechanical ventilation (OR 3.19; IK 1.01-10.11; p=0.048). Factors not associated with pneumothorax were positive pressure ventilation during resuscitation, respiratory distress syndrome, and neonatal sepsis. The mortality rate of neonates with pneumothorax was 72.4%.
Conclusion: Risk factor that significantly associated with pneumothorax in neonates aged <28 days who were born at full term is invasive mechanical ventilation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Made Satria Murti
"Latar belakang. Indonesia merupakan salah satu dari 11 negara di dunia yang memiliki angka kelahiran prematur terbanyak. Salah satu morbiditas bayi prematur yang umum dijumpai adalah anemia. Hal ini menyebabkan mereka sering mendapatkan transfusi darah di minggu-minggu pertama kehidupannya. Mencegah beratnya anemia akan mengurangi kemungkinan tranfusi dan risiko komplikasinya.
Tujuan. Mengetahui karakteristik bayi prematur yang mengalami anemia sebelum usia kronologis 4 minggu di unit Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta.
Metode. Studi deskriptif retrospektif terhadap rekam medis semua bayi baru lahir prematur yang menjalani perawatan di unit perinatologi RSCM periode 1 Januari 2012 sampai dengan 31 Desember 2013. Pemilihan subyek penelitian secara simple random sampling. Penilaian karakteristik bayi prematur meliputi kadar Hb, berat lahir, usia gestasi, riwayat tranfusi PRC, status sepsis, lama rawat dan status keluar.
Hasil. Sebanyak 393 subjek memenuhi kriteria penelitian, terdapat 94 (23,9%) subjek yang mengalami anemia dan 123 (31,3%) subjek yang mendapatkan transfusi PRC minimal satu kali. Frekuensi tersering anemia adalah 4 kali sedangkan frekuensi tersering pemberian PRC adalah 7 kali. Usia pertama kali anemia paling banyak ditemukan pada usia ≤7 hari (66%) serupa halnya dengan usia pertama kali mendapatkan transfusi PRC (51,2%). Perbedaan proporsi karakteristik antara bayi prematur yang mengalami anemia dengan yang tidak mengalami anemia menunjukkan hasil yang bermakna secara statistik pada variabel jenis kelamin, usia gestasi, berat lahir, transfusi PRC, status sepsis, lama rawat, dan status keluar. Hampir sama dengan hal tersebut, perbedaan proporsi karakteristik bayi prematur yang mendapatkan transfusi PRC dengan yang tidak mendapatkan transfusi PRC menunjukkan hasil yang bermakna secara statistik pada variabel usia gestasi, berat lahir, status sepsis, lama rawat, dan status keluar.
Simpulan. Insidens bayi prematur yang mengalami anemia adalah 23,9% sedangkan insidens transfusi PRC adalah 31,3%. Kejadian anemia dan transfusi PRC paling banyak dialami pada satu minggu pertama kehidupan. Perbedaan proporsi antar variabel untuk kejadian anemia dan kejadian transfusi PRC secara statistik bermakna ditemukan pada variabel yang sama yaitu usia gestasi, berat lahir, status sepsis, lama rawat, dan status keluar.

Background. Indonesia is one of 11 countries with high number of premature birth rate. One of the morbidity commonly seen ini premature infants is anemia This cause frequent blood transfusion on their first weeks of life. Anemia prevention will reduce transfusion and its complication.
Objectives. To study characteristics of premature infants with anemia before 4 weeks chronological age in Perinatology Unit Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
Methods. A retrospective descriptive study from medical records of premature infants who had hospitalized from January 1st 2012 until Desember 31st 2013 in Perinatology Unit Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Subjects was selected by simple random sampling. Characteristics evaluation include Hb concentration, birth body weight, gestational age, length of stay, history of PRC transfusion, septic status, and discharge status.
Results. There were 393 subjects fulfilled research criteria. Incidence of anemia was 23,9%, while PRC transfusion was done in 31,3% subjects. The most frequent anemia episode is 4 times and PRC transfusion is 7 times. First episode anemia is mostly found at age ≤7 days (66%) as well as PRC transfusion (51,2%). Proportion difference of characteristic between premature infants with anemia and not anemia revealed statistically significant in gestational age, birth weight, PRC transfusion, septic status, length of stay, and discharge status. Proportion difference of premature infants with PRC transfusioan also statistically significant in gestational age, birth weight, PRC transfusion, septic status, length of stay, and discharge status.
Conclusions. Incidence of anemia in premature infants 23,9% while incidence of PRC transfusion is 31,3%. Anemia and PRC transfusion most frequently happened at first week of life. Characteristic proportion difference with significant result between premature infants who had anemia and got PRC transfusion was similar in gestational age, birth weight, PRC transfusion, septic status, length of stay, and discharge status.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jenni Dahliana
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian mengenai perdarahan periventrikular intraventrikular (PPV-PIV) pada neonatus kembar di RSCH Jakarta. Disain penelitian yang digunakan bersifat prospektif tanpa intervensi untuk mencari antara faktor risiko ante, intra dan pasca-natal hubungan neonatus kembar dengan PPV-PIV.
Sampel masing-masing terdiri dari 30 neonatus kembar sebagai kelompok terpapar dan 30 neonatus tunggal sebagai kelompok tidak terpapar yang jarak lahir nya terdekat dengan neonatus kembar dan mempunyai mesa gestasi. Nilai Apgar dan cara lahir yang sama. Pada kedua kelompok dilakukan pemeriksaan ultrasonografi kepala pada hari I,III, IV passe lahir.
Hasil uji statistik dan penghitungan risiko relatif menunjukkan bahwa paritas dan umur ibu tidak mempengaruhi terjadinya kelahiran kembar, tidak ada perbedaan yang bermakna mengenai perawatan antenatal yang dilakukan oleh ibu kedua kelompok. Sebaran penyakit antenatal ibu yaitu preeklampsia dan anemia lebih banyak ditemukan pada kelompok kembar dibandingkan kelompok tunggal (bermakna). Kemungkinan timbulnya PPV-PIV pada kelahiran kembar I adalah sebesar 2S,7% yang secara bermakna lebih tinggi dibandingkan dengan kemungkinan PPV-FIV kelahiran bayi tunggal sebesar 6,72. Kemungkinan terjadinya PPV-FIV pada kelahiran kembar II sebesar 20% . Secara statistik (uji Mc Nemar) tidak ditemukan perbedaan Yang bermakna antara kemungkinan timbulnya PPV-FIV pada kelahiran kembar II dan tunggal, demikian pula antara kelompok kembar I dan kembar II.
Berdasarkan perhitungan risiko relatif, neonatus kembar' I dan neonatus kembar II masing-masing mempunyai risiko untuk terjadinya PPV-PIV sebesar 4 kali dan 3,5 kali lipat dibandingkan neonatus tunggal. Preeklampsia dan anemia pada ibu memberikan efek yang sama dalam hal terjadinya PPV-PIV baik pada neonatus kembar maupun pada tunggal. Kelahiran prematur dan asfiksia yang diduga menpunyai pengaruh terhadap terjadinya PPV-PIV memperlihatkan akibat yang sama pada bayi kembar dan bayi tunggal. Faktor risiko lain seperti cara lahir dan berat lahir rendah tidak mempengaruhi risiko terjadinya PPV-PIV pada neonatus kembar I, kembar II maupun neonatus tunggal.
Masa gestasi 37 < 42 minggu; berat lahir > 2500 g memberikan gambaran risiko terjadinya PPV-PIV pada kelahiran kembar I lebih besar dibandingkan dengan kelahiran tunggal. Hal ini berarti terdapat faktor risiko lain yang mempengaruhi terjadinya PPV-PIV seperti trauma kepala mengingat bayi kembar I merupakan pembuka jalan lahir, sehingga perlu diperhatikan faktor keterampilan penolong persalinan. Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara urutan kelahiran, masa gestasi dan faktor asfiksia dengan saat timbulnya PPV-PIV pada neonatus kembar maupun tunggal."
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvanie Ratna Permatasari
"Latar Belakang Krisis miastenia (KM) merupakan kondisi gagal nafas akut pada pasien miastenia gravis (MG). Beberapa faktor risiko diduga berperan terhadap kejadian KM. Deteksi dini faktor risiko diharapkan dapat mencegah terjadinya KM. Metodologi Penelitian Disain penelitian potong lintang menggunakan data sekunder rekam medis pasien MG rawat jalan maupun rawat inap di RSCM sejak Januari 2014-Maret 2019. Faktor risiko KM berdasarkan demografi dan klinis (jenis kelamin, usia awitan MG, jenis MG, antibodi reseptor asetilkolin (AchR), kelenjar timus, infeksi, rasio netrofil limfosit (RNL), riwayat timektomi, kehamilan, penghentian imunosupresan non steroid, penggunaan antibiotik, agen kardiovaskular serta agen kontras radiografi) dicatat dan dianalisis dalam penelitian ini.
Hasil Sebanyak 115 subjek memenuhi kriteria inklusi. Insiden terjadinya KM sebesar 46,1%. Faktor yang berhubungan dengan kejadian MG yaitu MG umum, infeksi dan RNL yang tinggi (p<0.05). Rerata rasio netrofil limfosit pada KM lebih tinggi dibanding tidak KM (perbandingan rerata 1.62; IK95% 2.32-2.39). Berdasarkan analisis multivariat diperoleh prediktor independen KM yaitu MG umum (OR 5.3; IK95% 2.4-12.1) dan infeksi (OR 3.4; IK95% 1.2-9.7). Kadar antibodi AchR dan faktor klinis lainnya tidak berhubungan dengan kejadian KM. Kesimpulan Jenis MG umum, infeksi, dan rasio netrofil limfosit tinggi berpengaruh terhadap kejadian KM. Pencegahan infeksi, pemeriksaan RNL berkala serta intervensi agresif diperlukan pada pasien MG dengan faktor risiko tersebut.

Background Myasthenic crisis (MC) is an acute respiratory failure in myasthenia gravis (MG) patient with several risk factors contributing to the life-threatening condition. Early detection of MC risk factors are recommended. Material and methods This study was conducted with cross-sectional design using secondary data collected from MG patients medical records in Cipto Mangunkusumo General Hospital between 2014-2019. MC risk factors (gender, MG onset, initial presenting symptoms, acetylcholine receptor (AchR) antibody, thymic abnormality, infection, neutrophil-to-lymphocyte ratio (NLR), history of thymectomy, pregnancy status, non-steroid immunosuppressive agent withdrawal, antibiotic, cardiovascular agent and radiocontrast agent) were demographically and clinically analysed in this study. Result Of the 115 MG patients selected. Incidence of MC was 46,1%. Factors that were associated with occurrence of MC were generalized MG, presence of infection and high NLR (p<0.05). Mean NLR was higher in MC than those without MC (mean difference 1.6; 95%CI 2.3-2.4). However, multivariate analysis showed that generalized MG (OR 5.3; 95%CI 2.4-12.1) and infection (OR 3.4; 95%CI 1.2-9.7) were independently associated with MC occurrence. Level of AchR antibody and other clinical factors apparently were not associated factors of MC. Conclusion Generalized MG, presence of infection and high NLR were associated with MC occurrence. Prevention of infection, periodic NLR evaluation, and aggressive treatment are suggested for MG patient with above risk factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lenny Naulita
"Latar Belakang: Meskipun kontroversial, hospital readmission (HR) dapat mencerminkan keadaan pasien saat dipulangkan dan sebagai indikator untuk mengevaluasi mutu perawatan rumah sakit (RS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insidensi dan faktor risiko HR pada pasien infeksi intrakranial.
Metode Penelitian: Studi kohort retrospektif pasien infeksi intrakranial periode April 2019-November 2021, menggunakan data Indonesian Brain Infection Study dan telusur rekam medis. Analisis bivariat menggunakan uji Chi Square dan Mann Whitney, dilanjutkan dengan analisis multivariat regresi logistik.
Hasil: Insidensi HR pasien infeksi intrakranial sebesar 28,45%. Mayoritas subjek mengalami HR sebelum 30 hari (64,7%). Penyebab HR terbanyak adalah penyakit lain yang berbeda dengan diagnosis awal (55,9%). Komorbid penyakit ginjal meningkatkan risiko HR (aOR=7,2, IK 95%=2,2-23,8,p=0,000). Gejala klinis saat perawatan awal berupa kelemahan motorik dan kejang juga meningkatkan risiko HR (aOR=2,27,IK 95%=1,28-4,01, p=0,001) dan (aOR=1,93,IK 95%=1,02-3,62, p=0,037). Sedangkan ketersediaan pelaku rawat dapat menurunkan risiko HR (aOR=0,07,IK 95%=0,03-0,45, p=0,002).
Kesimpulan: Insidensi HR pada pasien infeksi intrakranial dalam waktu 6 bulan sebesar 28,45%. Penyakit ginjal, gejala klinis kelemahan motorik dan kejang pada perawatan awal merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko HR, sedangkan ketersediaan pelaku rawat merupakan faktor yang dapat menurunkan risiko HR. 

Background: Although controversial, hospital readmission (HR) can reflect the patient's condition at discharge and as an indicator to evaluate the quality of hospital care. This study aims to determine the incidence and risk factors for HR in intracranial infections.
Method: A retrospective cohort study of intracranial infection patients, in period April 2019-November 2021, using secondary data from the Indonesian Brain Infection Study and tracing medical records. Bivariate analysis using Chi Square and Mann Whitney test, followed by multivariate logistic regression analysis.
Results: The incidence of HR in patients with intracranial infections was 28.45%. The majority of subjects experienced HR before 30 days (64.7%). The most common cause of HR was other diseases that were different from the initial diagnosis (55.9%). Kidney disease comorbidity increased HR risk (aOR=7.2;95%CI=2.2-23.8;p=0.000). Clinical symptoms during initial treatment such as motor weakness and seizures also increased the risk of HR (aOR=2.27;95%CI=1.28-4.01;p=0.001) and (aOR=1.93;95%CI=1.02-3.62;p=0.037). Meanwhile, the availability of caregivers can reduce HR risk (aOR=0.07;CI 95=0.03-0.45;p=0.002).  
Conclusion: The incidence of HR in patients with intracranial infection within 6 months was 28.45%. Kidney disease, motor weakness and seizures are factors that can increase the risk of HR, while the availability of caregivers is a factor that can reduce the risk of HR.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hanna Khairat
"Latar belakang. Delirium adalah komplikasi neuropsikiatri yang serius dan kerap terjadi pada pasien anak sakit kritis yang dirawat di unit rawat intensif anak (URIA). Diagnosis delirium sulit ditegakkan karena manifestasi klinis yang tidak khas. Kurangnya pengetahuan dokter anak mengenai faktor risiko dan diagnosis delirium menyebabkan terjadinya underdiagnosed atau misdiagnosed sehingga pasien tidak mendapat tata laksana yang adekuat. Hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada pasien sehingga penting melakukan penapisan delirium dan identifikasi faktor risiko sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dan tata laksana yang cepat. Implementasi penapisan dengan menggunakan Cornell Assessment of Pediatric Delirium (CAP-D) dan tata laksana yang adekuat terhadap delirium pada anak sakit kritis termasuk pengaturan dalam pemberian sedasi tertuang dalam pediatric intensive care unit (PICU) liberation bundle. Saat ini data mengenai prevalens dan faktor risiko kejadian delirium pada anak sakit kritis di Indonesia belum ada. Dibutuhkan data tersebut untuk dapat melakukan implementasi PICU Liberation Bundle di Indonesia, terutama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Tujuan. Mengetahui prevalens dan faktor risiko delirium pada anak sakit kritis.
Metode. Studi deskriptif observasional menggunakan desain potong lintang yang dilakukan pada 87 pasien anak sakit kritis yang dirawat di URIA Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA), URIA Instalasi Gawat Darurat (IGD), dan URIA Unit Luka Bakar (ULB), URIA Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSCM.
Hasil. Sebanyak 4 (4,6%) anak sakit kritis memenuhi kriteria delirium berdasarkan DSM IV-TR/ICD-10. Dua subjek mengalami delirium tipe campuran, satu subjek mengalami delirium tipe hipoaktif, dan satu subjek mengalami delirium tipe hiperaktif. Tiga subjek tidak mendapatkan sedasi tetapi salah satu subjek mendapatkan sedasi dengan kombinasi yang banyak, jumlah yang besar, dan waktu yang lama. Dua dari keempat subjek mengalami keterlambatan perkembangan. Satu dari empat subjek dengan delirium yang menggunakan ventilasi mekanik.
Kesimpulan. Prevalens delirium pada anak sakit kritis di RSCM adalah 4,6%. Penggunaan midazolam, opioid, dan deksmedetomidin infus kontinu di URIA sebagai faktor risiko delirium pada anak sakit kritis belum memiliki data yang cukup untuk dapat disimpulkan karena data prevalens delirium pada penelitian ini yang rendah meskipun dengan minimal besar sampel telah terpenuhi.

Background. Delirium is a serious neuropsychiatric complication that occurs frequently in critically ill pediatric patients who admitted to the pediatric intensive care unit (PICU). The diagnosis of delirium is difficult to establish because of the atypical clinical manifestations. The lack of knowledge from pediatricians regarding risk factors and the diagnosis of delirium causes underdiagnosed or misdiagnosed of it so that patients do not receive adequate management. This causes morbidity and mortality in patients making it important to screen delirium and identify supporting factors so the preventive action and fast management can be carried out. Implementation of screening using Cornell Assessment of Pediatric Delirium (CAP-D) and management of delirium in critically ill children, including arrangements for administering sedation, is contained in PICU liberation bundle. Currently there is no data regarding prevalence and risk factors for delirium in critically ill children in Indonesia. This data is needed to be able to implement the PICU Liberation Bundle in Indonesia, especially Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM).
Objectives. Knowing the prevalence and risk factors for delirium in critically ill children.
Methods. Observational descriptive study using a cross-sectional design conducted on 87 critically ill pediatric patients treated at PICU Department of Pediatrics, PICU of Emergency Room, PICU of Burn Unit, and Cardiac Intensive Care Unit RSCM.
Results. A total of 4 (4.6%) critically ill children met the criteria for delirium based on DSM IV-TR/ICD-10. Two subjects had a mixed type of delirium, one subject had a hypoactive type of delirium, and one subject had a hyperactive type of delirium. Three subjects did not get sedation but one subject got sedation with a lot of combinations, large amounts, and long duration. Two of the four subjects experienced developmental delays. One in four subjects with delirium is on mechanical ventilation.
Conclusion. The prevalence of delirium in critically ill children at RSCM is 4.6%. The use of midazolam, opioids, and continuous infusion of dexmedetomidine in PICU as a risk factor for delirium in critically ill children does not yet have sufficient data to be conclusive because the data on the prevalence of delirium in this study was low even though the minimum sample size was met.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmawati Kusumastuti Roosadiono
"Latar belakang: Angka kelahiran dan kesintasan bayi prematur mengalami peningkatan. Prematur memiliki morbiditas 7 kali lipat dari bayi cukup bulan. Gangguan pendengaran merupakan salah satu morbiditas yang masih tinggi insidensnya dengan 6 kasus per 1000 kelahiran di negara berkembang. Deteksi dini dan identifikasi faktor risiko dilakukan agar tidak terjadi keterlambatan diagnosis dan intervensi.
Tujuan: Mengetahui prevalens dan faktor risiko disfungsi auditorik pada bayi prematur.
Metode: Penelitian deskriptif-analitik dengan metode potong lintang dilakukan selama bulan Oktober 2016 sampai Januari 2017 pada bayi prematur usia 48 jam-3 bulan yang dirawat di Divisi Perinatologi Departemen IKA FKUI/RSCM. Sampel dipilih secara consecutive sampling. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara orangtua pasien, pengumpulan data retrospektif dari rekam medis, uji tapis DPOAE dan AABR. Analisis bivariat disfungsi auditorik dengan faktor risiko dinilai dengan uji chi-square dan fischer sebagai uji alternatif. Analisis multivariat dilakukan untuk menilai interaksi faktor risiko dengan regresi logistik.
Hasil: Sejumlah 100 subyek memenuhi kriteria inklusi dan sebesar 25 subyek pernah mendapat perawatan intensif. Prevalens disfungsi auditorik pada bayi prematur sebesar 14 . Analisis multivariat faktor risiko yang berhubungan dengan disfungsi auditorik adalah usia gestasi OR 3,824; IK 95 1,109-13,179; p=0,034 . Faktor risiko lain seperti berat lahir, pertumbuhan janin terhambat, hiperbilirubinemia, proven sepsis, pemakaian aminoglikosida, ventilasi mekanik lebih dari 5 hari, nilai Apgar yang rendah, abnormalitas lingkar kepala, riwayat gangguan pendengaran di keluarga tidak memiliki hubungan bermakna dengan disfungsi auditorik.
Simpulan: Prevalens disfungsi auditorik pada bayi prematur sebesar 14 . Usia gestasi merupakan faktor risiko disfungsi auditorik pada bayi prematur."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>